TINGKATAN-TINGKATAN ORANG YANG MAGHRUR (tertipu)
Oleh: Al Ustadz Abu Muhaam Idral Harits
Kata Ibnul Jauzi,“Orang-orang islam yang tertipu ada beberapa tingkatan:
Yang pertama, para ulama.
Mereka adalah orang-orang yang telah menguasai ilmu (agama) tetapi tidak mengamalkannya, dalam keadaan mengira bahwa mereka telah menjaga syariat dan mempunyai kedudukan di sisi Allah ‘Azza wa Jalla. Padahal, seandainya mereka menajamkan penglihatan mereka, niscaya mereka tahu bahwa ilmu tidak dipelajari kecuali untuk diamalkan. Seakan-akan mereka menambah hujjah yang memberatkan mereka.
Di antara mereka ada yang telah menguasai ilmu dan mengamalkannya, akan tetapi belum membersihkan batin mereka dari sifat-sifat tercela, seperti kibr (sombong), hasad (dengki), riya` (ingin dipuji) dalam keadaan tidak tahu bahwa nyala api ini bekerja di dalam rumahnya (hati) lalu membakar batin makrifat.
Saya (Ibnul Jauzi) katakan,”Orang-orang ini seperti pasien yang asal penyakitnya ada di bagian dalam lalu muncul ke permukaan tubuhnya. Kemudian dokter mengobati luka yang ada di permukaan itu, tetapi membiarkan sumber penyakit yang ada di dalam. Akhirnya, luka yang di permukaan itu sembuh, tetapi penyakit yang di dalam tidak sembuh bahkan bertambah parah. Kalau dokter itu memeriksa dan mengobati yang di dalamnya, penyakitnya akan sembuh, dan sembuh pula penyakit yang di luar.” [1]
Seperti itulah dosa dan maksiat apabila tertanam dalam hati, akan tampak buahnya melalui anggota tubuh manusia.
Ada juga ulama yang selamat dari semua keadaan ini, tetapi mereka berkhidmat terhadap hawa nafsunya tanpa mereka sadari. Mereka menulis, berbicara (tentang suatu masalah), tetapi yang diinginkan adalah disebut-sebut dan dipuji-puji serta semakin banyak pengikut mereka. Inilah kesalahan yang ada dalam sudut nafsu paling halus, yang tidak terdeteksi kecuali orang-orang yang sangat cerdas di antara manusia.
Tingkatan yang kedua, ahli ibadah.
Di antara mereka ada yang memurnikan ibadah, tetapi dia melihat dirinya tertipu dengan ibadah itu.
Ada juga yang meninggalkan banyak kewajiban karena sibuk mengerjakan amalan sunnah.
Ada pula yang dihinggapi was-was dalam niat shalatnya, kemudian dia biarkan hatinya pada sisanya, berenang dalam kelalaian.
Di antara mereka ada yang memperbanyak membaca Al-Quran dan mengamalkan apa yang dibacanya. Ada juga yang berpuasa tetapi tidak menjaga diri dari ghibah.
Ada juga yang pergi menunaikan haji, tetapi tidak beranjak dari kezaliman dan tidak memerhatikan kewajiban memberi nafkahnya.
Di antara mereka juga, ada yang menetap di Makkah, tetapi lupa kehormatan/kesucian kota Makkah.
Ada pula yang memerintahkan yang baik tetapi melupakan dirinya, bahkan anak dan istrinya.
Ada pula yang zuhud terhadap harta, tetapi berambisi meraih kekuasaan dengan sikap zuhudnya.
Ada pula yang meniru orang-orang yang fakir (istilah sufi untuk mereka yang sederhana dan ahli ibadah –ed) dalam hal pakaian dan penampilan tetapi tidak meniru batin mereka, maka dia merasa kenyang karena syahwatnya, tidur nyenyak di malam hari dan tidak mengenal kewajiban syariat.
Tingkatan yang ketiga, adalah para hartawan.
Di antara mereka ada yang bersemangat membangun masjid, madrasah dan menuliskan nama mereka di sana agar diabadikan. Siapa yang memang mengharap wajah Allah ‘Azza wa Jalla, tidak akan peduli dengan sebutan orang.
Golongan ini tertipu
Mereka mengira diri mereka ikhlas dan menginginkan kebaikan dalam berinfak dan meninggikan bangunan. Seandainya salah seorang dari mereka diperintahkan berinfak satu dinar untuk orang yang miskin, nafsu mereka tidak mengizinkannya, karena cinta pujian dan sanjungan telah berkuasa di batin mereka.
Termasuk di antara mereka ialah yang bersedekah, tetapi pada acara-acara dan tempat-tempat yang memang biasa berterima kasih dan menyebarkan kebaikan.
Di antara mereka, ada yang sering haji tetapi membiarkan tetangganya kelaparan.
Ada pula yang selalu menumpuk harta tetapi enggan mengeluarkannya, kemudian sibuk mengerjakan ibadah badaniah yang tidak perlu mengeluarkan harta, seperti shalat dan puasa, tanpa memahami bahwa jihad menundukkan nafsu agar tidak kikir adalah ibadah yang lebih utama.
Tingkatan yang keempat, ialah adalah orang-orang awam (biasa).
Ketertipuan mereka dari beberapa sisi:
Ada yang shalat menurut yang dicocokinya, tanpa pernah menanyakan mana yang merusak shalatnya mana yang membuat shalatnya benar.
Ada pula yang tekun mengerjakan shalat sunnah seperti tarawih, tetapi hampir tidak pernah terlihat dalam shalat (fardhu) berjama’ah.
Ada juga yang selalu hadir dalam majelis nasehat, tetapi tidak pernah mengamalkan apa yang didengarnya, tidak pula berhenti dari kejelekan yang dikerjakannya. Seolah-olah tujuan majelis itu hanya untuk dihadiri.
Ada yang menambah ibadah sunnah tetapi menyia-nyiakan yang fardhu.
Di antara mereka, ada yang mengerjakan kebaikan yang sifatnya sunnah, memperbanyak tasbih (zikir dan sebagainya), tetapi tetap melakukan riba dan menggunakan kecurangan (tipuan dan sebagainya). Sering pula menghardik orang tuanya dan melanggar kehormatan orang lain. Jumhur manusia bersandar kepada maaf dan kasih sayang-Nya sementara mereka tetap dalam dosa dan kesalahan.
Apabila diingatkan, mereka akan mengatakan,”Allah Maha Pemurah,” tetapi lupa bahwa Dia juga sangat keras azab-Nya.
Di antara mereka ada yang segera bermaksiat karena mengikuti hawa nafsunya, sambil dalam hati berkata bahwa nanti kami bertaubat, tetapi menunda-nunda taubat itu.
Di antara pelaku dosa di kalangan mereka tertipu dengan mengerjakan kebaikan, seperti sedekah atau bertasbih, sambil mengira amalan ini bisa menutupi dosanya. Dia lupa bahwa ghibah, dusta, riya dan kemaksiatan sejenisnya, bisa mengikis kebaikan meskipun sebesar gunung.
Ada pula yang tertipu karena kesalehan bapak (nenek moyang) mereka, bahkan mengatakan,”Ayahku akan memberiku syafaat,” dalam keadaan dia tidak tahu bahwa ayahnya diberi keutamaan karena takwa, bahkan selalu merasa takut (kepada Allah). Bagaimana dia akan memberi syafaat untuk anaknya, sementara dia mendengar firman Allah Ta’ala: وَلَا يَشْفَعُونَ إِلَّا لِمَنِ ارْتَضَى (mereka (para malaikat) itu tidak memberi syafaat kecuali untuk orang-orang yang diridhai (oleh Allah)).
Tingkatan yang lain, tekun membaca Kitab Allah tetapi tanpa mentadaburi dan mengamalkannya. Sering mereka mengkhatamkannya sehari semalam dengan bacaan, tetapi hati mereka berputar-putar dalam urusan dunia, tanpa memikirkan makna Al Quran agar berhenti karena larangannya, mendapat nasehatnya, berhenti pada perintah dan larangannya, serta mengambil ibrah pada tempat-tempat yang mengandung ibrah.
Ada pula tingkatan yang memperbanyak puasa, namun tidak menjaga lisan mereka dari ghibah, namimah, dusta, menjilat kepada orang-orang fasik dan musuh agama, tidak mengenal al awala dan al bara. Mereka tidak menjaga perutnya dari yang haram, tidak menjaga mata mereka dari yang haram, tidak pula menjaga telinga mereka dari musik dan kata-kata yang mungkar, serta tidak membimbing dan mendidik anak-anak mereka.
Tingkatan lain, banyak mengerjakan haji yang sunnah, tetapi tidak pernah beranjak dari kezaliman, melunasi hutang, meminta keridhaan orang tua, tidak pula mencari bekal yang halal untuk (haji) tersebut. Bahkan sering menyia-nyiakan shalat jama’ah (yang fardhu), tidak peduli dengan hal-hal yang najis.
Ada pula yang menunaikan zakat untuk orang-orang yang berkhidmat kepadanya dan keluarganya
Semoga Allah membimbing dan menyelamatkan kita dari ketertipuan ini.
Hal-hal di atas tidak samar lagi bagi siapapun kecuali mereka yang buta bashirahnya dan dikuasai oleh kekikiran.
Dari nasehat Ibnul Jauzi rahimahullah.
Catatan Kaki:
1. Seperti pasien yang demam karena gangguan bagian dalam tubuhnya, tetapi hanya diberi penurun panas, sementara penyakit dalamnya tidak tertangani. Wallahu a’lam.