SAJEN, TRADISI SESAJI MENYELISIHI SYAR’I
Ditulis oleh: Al-Ustadz Abulfaruq Ayip Syafruddin
Pendem adalah nama sebuah desa di Kecamatan Sumberlawang, Sragen, Jawa Tengah. Di desa inilah letak sebuah bukit yang khalayak ramai menyebutnya Gunung Kemukus. Malam Jumat Pon adalah malam keramaian. Manusia berdatangan ke Gunung Kemukus dalam rangka menjalani laku tirakat ngalap berkah di makam yang ada di tempat itu.
Makam di perbukitan yang berada di tengah Waduk Kedungombo ini, konon merupakan makam Pangeran Samodra dan Nyai Ontrowulan. Ritual ngalap berkah di Gunung Kemukus diawali dengan prosesi penyucian di Sendang Ontrowulan. Setelah itu, dengan dipandu juru kunci, para peziarah dibimbing guna melakukan ritual sajen. Yaitu, menyerahkan uborampe (perlengkapan sajen) dalam bentuk sebungkus kembang telon, dupa ratus atau kemenyan, dan uang wajib. Dengan uborampe inilah juru kunci akan memohon kepada yang mbaurekso di Gunung Kemukus. (Sajen dan Ritual Orang Jawa, Wahyana Giri MC, hlm. 94—96)
Berbeda dengan yang terjadi di Yogyakarta. Perilaku mistik sebagian orang Yogyakarta bisa ditemukan pada upacara Labuhan. Asal kata labuhan yaitu labuh, artinya membuang. Upacara Labuhan adalah sesaji ritual bertujuan melestarikan hubungan yang telah lama terjalin antara beberapa pihak dan penguasa laut selatan yaitu Kanjeng Ratu Kidul. Upacara Labuhan lainnya juga dilakukan di Gunung Merapi, dan Gunung Lawu (Karanganyar, Jawa Tengah).
Sesaji untuk penguasa laut selatan diadakan di Parangkusumo. Sesaji diletakkan pada satu tempat yang disebut petilasan, yaitu tempat terjadinya pertemuan antara Panembahan Senopati dan Kanjeng Ratu Kidul yang memiliki patih bernama Nyai Rara Kidul. Antara Panembahan Senopati dan Kanjeng Ratu Kidul terjalin perjanjian di mana Kanjeng Ratu Kidul berjanji melindungi Panembahan Senopati beserta seluruh keturunannya.
Pelaksanaan doa dilakukan di tempat tersebut dan sesaji pun ditaruh di tempat itu. Juru kunci Parangkusumo mengucapkan, “Perkenankanlah saya, Kanjeng Ratu Kidul untuk menyampaikan sesaji Labuhan kepada Paduka, … untuk keselamatan hidup, kehormatan kerajaan, dan keselamatan rakyat serta negeri Ngayogyakarta Hadiningrat.” Setelah mengucapkan mantra, sesaji itu pun dibawa ke laut. Beberapa sesaji diempaskan ombak kembali ke pantai dan diperebutkan oleh masyarakat. Mereka berkeyakinan bahwa sesaji tersebut memiliki daya untuk memberikan keselamatan, kesehatan, dan kehidupan yang lebih baik bagi mereka yang mendapatkannya.
Ritual Labuhan lainnya dilaksanakan setiap tanggal 30 Rejeb (penanggalan Jawa). Upacara ritual ini banyak dikunjungi oleh orang guna ngalap berkah. Sesaji ditujukan kepada Eyang Kanjeng Pangeran Sapujagad, Pangeran Anom Suryangalam, Eyang Kyai Udononggo, Nyai Udononggo, dan Kyai Jurutaman. Tempat tinggal mereka ada di beberapa tempat di Merapi, seperti di Turgo, Plawangan, dan Wukir Rinenggo di dekat Selo. Upacara doa dilakukan di Kinahrejo, dipimpin oleh abdi dalem kraton, Mas Ngabehi Suraksohargo alias Mbah Maridjan. Sesaji diletakkan di satu tempat bernama Kendit, letaknya di lereng selatan Gunung Merapi. Uborampe (perlengkapan sesaji) terdiri dari kain, setagen, minyak wangi, kemenyan, dan lain-lain.
Ritual Labuhan lainnya dilakukan di Desa Nano, letaknya di lereng Gunung Lawu. Sesaji dikirim ke desa tersebut lalu dibawa oleh delapan orang penduduk asli daerah tersebut. Dipilihnya delapan orang dari penduduk asli daerah itu karena mereka memiliki hubungan spiritual dengan yang mbaurekso (penguasa) Gunung Lawu. (Upacara Tradisional Jawa Menggali Untaian Kearifan Lokal, Dr. Purwadi M. Hum, hlm. 75—78)
Upacara ritual semacam yang dipaparkan di atas terjadi di mana-mana. Sebut saja upacara ritual Yudnya Kasada yang dilakukan masyarakat Tengger di kawasan Gunung Bromo, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur. Upacara ini dilakukan pada setiap purnama bulan Kasada. Upacara dilakukan menjelang fajar. Saat itulah, masyarakat Tengger (terkhusus yang menganut agama Hindu) mengangkut ongkek (wadah) berisi sesajen yang akan dilarung ke kawah Bromo. Uborampe sesajen ini berisi pisang, labu, cabai, jagung, dan hasil pertanian lainnya.
Di Pelabuhan Lorens Say, Maumere, masyarakat Nasrani di Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur, mengadakan upacara Parehoba, yaitu menyuguhkan sesajen berupa telur, arak, dan beras kepada penguasa laut dan roh leluhur. Mereka meminta keselamatan kepada penguasa laut dan roh leluhurnya.
Upacara sejenis terjadi di Kabupaten Subang, Jawa Barat, tepatnya di Muara Belanakan. Masyarakat nelayan di daerah ini melakukan ruwatan atau sedekah laut. Bentuknya dengan menyuguhkan sajen berupa kepala kerbau dan darahnya, serta makanan lainnya.
Di Flores Tengah, kalangan Suku Lio juga mengadakan ritual semacam ini. Sesajen atau kuwiroe (menurut istilah masyarakat Suku Lio) adalah sebentuk ritual yang ditujukan kepada para dewa, roh, atau arwah nenek moyang. Tujuannya tentu saja dengan sebuah keyakinan bahwa dengan kuwiroe tersebut diharapkan arwah-arwah leluhur bisa memberi perlindungan hidup kepada mereka.
Semoga Allah Subhanahu wa ta’ala memberikan hidayah dan taufik-Nya kepada pemerintah untuk menghilangkan segala tradisi yang mengandung kesyirikan.
Sajen, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, adalah makanan (bunga-bungaan dan sebagainya) yang disajikan untuk makhluk halus. Sajen adalah satu bentuk laku spiritual. Sebagaimana diketahui, seseorang tidak ingin mendapatkan gangguan apa pun dalam kehidupannya. Seseorang selalu ingin hidup yang diwarnai oleh harmoni. Dalam tujuan menggapai harmoni inilah sebagian manusia lantas melakukan laku spiritual sajen. Dengan laku spiritual tersebut, diharapkan yang mbaurekso (menguasai) tempat tertentu tidak mengganggu mereka, menimpakan malapetakan dan bencana. Dengan demikian, akan tercipta kehidupan yang penuh harmoni. Itulah filosofi orang-orang yang melakukan laku spiritual dalam bentuk sajen. Filosofi ini tentu berakar pada kepercayaan animisme, yaitu sebuah paham yang mendasarkan keyakinan pada peranan makhluk halus atau roh-roh (anima). Makhluk halus atau roh-roh inilah yang sering dibahasakan dengan sebutan yang mbaurekso: Kanjeng Ratu Kidul, Nyai Roro Kidul, dan sebagainya. Sering dibahasakan pula dengan istilah ‘penunggu’. Apabila di satu tempat keadaannya angker dan mistis, orang-orang di sekitar tempat itu mengatakan bahwa tempat tersebut ada penunggunya.
Pada zaman Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam, ada berhala yang bernama al-‘Uzza. Ini disebutkan dalam Al-Qur’an:
“Maka apakah patut kamu (hai orang-orang musyrik) menganggap al-Lata, al-‘Uzza, dan Manah yang ketiga, yang paling terkemudian (sebagai anak perempuan Allah)?” (an-Najm: 19—20)
Al-‘Uzza adalah berhala yang disembah masyarakat Arab musyrikin. Berhala ini merupakan pohon as-Salam yang terletak di Lembah Nakhlah, antara Makkah dan Thaif. Berhala ini diselimuti kain dan memiliki juru kunci. Bahkan, di situ didiami pula oleh jin (yang mbaurekso/penunggu). Orang-orang yang jahil (tidak paham agama) akan beranggapan bahwa pohon tersebut bisa berbicara. Berhala ini adalah sesembahan orang-orang Quraisy dan penduduk Makkah yang musyrik serta orang-orang sekitar kota Makkah.
Saat terjadi Fathu Makkah, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Khalid ibnul Walid Radhiyallahu ‘anhu ke Lembah Nakhlah guna menghancurkan berhala al-‘Uzza. Khalid ibnul Walid Radhiyallahu ‘anhu pun menebang habis pohon tersebut. Setelahnya, ia kembali ke Makkah untuk melaporkan apa yang diperbuatnya kepada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam.
Namun, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam menyuruhnya kembali ke tempat berhala al-‘Uzza, karena tugas yang diberikan kepadanya belum tuntas dia tunaikan. Khalid ibnul Walid Radhiyallahu ‘anhu pun kembali ke tempat berhala al-‘Uzza dan memburu yang mbaurekso tempat itu untuk membunuhnya. Akhirnya, Khalid ibnul Walid Radhiyallahu ‘anhu berhasil melibas habis yang mbaurekso, yang senyatanya adalah jinniyah (jin wanita). (Syarh al-Qawa’id al-Arba’, asy-Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan, hlm. 35—36)
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab t menjelaskan bahwa apa yang dipertuhankan oleh manusia sangat beragam. Ada di antara mereka yang menyembah para malaikat. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Dan (tidak wajar pula baginya) menyuruhmu menjadikan malaikat dan para nabi sebagai tuhan.” (Ali Imran: 80)
Ada di antara mereka yang menyembah para nabi. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:
Dan (ingatlah) ketika Allah berfirman, “Hai Isa putra Maryam, adakah kamu mengatakan kepada manusia, ‘Jadikanlah aku dan ibuku dua orang tuhan selain Allah’?” Isa menjawab, “Mahasuci Engkau, tidaklah patut bagiku mengatakan apa yang bukan hakku (mengatakannya). Jika aku pernah mengatakannya maka tentulah Engkau telah mengetahuinya. Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku dan aku tidak mengetahui apa yang ada pada diri-Mu. Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui perkara-perkara yang gaib.” (al-Maidah: 116)
Ada juga di antara mereka yang menyembah orang-orang saleh. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Rabb mereka siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya; sesungguhnya azab Rabbmu adalah suatu yang (harus) ditakuti.” (al-Isra: 57)
Di antara manusia ada pula yang menyembah matahari dan bulan. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Dan sebagian dari tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah malam, siang, matahari, dan bulan. Janganlah bersujud kepada matahari dan janganlah (pula) kepada bulan, tetapi bersujudlah kepada Allah yang menciptakannya, jika kamu hanya kepada-Nya saja menyembah.” (Fushshilat: 37)
Ada pula di antara manusia yang menyembah pohon dan batu. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Maka apakah patut kamu (hai orang-orang musyrik) menganggap al-Lata, al-‘Uzza, dan Manah yang ketiga, yang paling terkemudian (sebagai anak perempuan Allah)?” (an-Najm: 19—20)
Bahkan, manusia yang menyembah jin pun ada. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Bahkan mereka telah menyembah jin; kebanyakan mereka beriman kepada jin itu.” (Saba: 41)
“Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan.” (al-Jin: 6)
Terhadap segala bentuk penyembahan walau yang disembah berbeda satu dengan yang lain, Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam tidak membedakannya. Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam memerangi segala bentuk kesyirikan. Firman-Nya:
“Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah.” (al-Anfal: 39)
Menurut Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz t, yang dimaksud fitnah dalam ayat ini adalah kesyirikan. Dengan demikian, maksud ayat tersebut:
“Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah….”
adalah sampai tidak ada lagi perbuatan syirik kepada Allah Subhanahu wa ta’ala, dan menjadikan agama itu semata-mata hanya bagi Allah Subhanahu wa ta’ala. (Lihat Syarh al-Qawa’id al-Arba’, asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz, hlm. 21)
Sungguh tingkat kesyirikan yang diperbuat oleh orang-orang pada masa ini lebih rusak dan dahsyat. Kesyirikan yang dilakukan oleh orang-orang zaman sekarang lebih berat dibandingkan dengan kesyirikan musyrikin Quraisy dahulu. Orang-orang musyrik pada masa dahulu melakukan perbuatan syirik ketika dalam keadaan lapang dan tidak ditimpa oleh kesusahan. Adapun jika ditimpa oleh kesusahan, mereka mengikhlaskan peribadahan (doa) hanya kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. Berbeda halnya dengan orang-orang musyrik masa kini. Mereka berbuat syirik, beribadah, berdoa kepada selain Allah Subhanahu wa ta’ala kala ditimpa oleh kesulitan ataupun dalam keadaan lapang, tidak ada kesusahan yang menimpanya.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Maka apabila mereka naik kapal mereka berdoa kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya; maka tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai ke darat, tiba-tiba mereka (kembali) mempersekutukan (Allah).” (al-Ankabut: 65) (Lihat Syarh al-Qawa’id al-Arba’, asy-Syaikh Shalih bin Fauzan, hlm. 41)
Bagaimana pula dengan orang-orang yang melakukan kesyirikan sekaligus melakukan pula zina, yang termasuk dosa-dosa yang paling besar? Lihat, kasus kesyirikan yang berpadu dengan kabair (dosa-dosa besar) sebagaimana terjadi di Gunung Kemukus, Sragen. Sungguh, keadaan orang-orang musyrikin sekarang lebih parah dan lebih rusak daripada musyrikin zaman dahulu. Allahul musta’an.
Dari tradisi sesajen, nyata terlihat betapa prosesi ritual sesajen telah menyelisihi sendi-sendi tauhid. Penyembelihan hewan yang disajikan kepada yang mbaurekso tempat tertentu adalah tindakan yang menyelisihi tauhid. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:
Katakanlah, “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah).” (al-An’am: 162—163)
“Maka dirikanlah shalat karena Rabbmu dan berkorbanlah.” (al-Kautsar: 2)
Dari Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam berbicara kepadaku tentang empat hal:
لَعَنَ اللهُ مَنْ ذَبَحَ لِغَيْرِ اللهِ، وَلَعَنَ اللهُ مَنْ آوَى مُحْدِثًا، وَلَعَنَ اللهُ مَنْ لَعَنَ وَالِدَيْهِ، وَلَعَنَ اللهُ مَنْ غَيَّرَ الْمَنَارَ
Allah Subhanahu wa ta’ala melaknat orang yang menyembelih karena selain Allah Subhanahu wa ta’ala, Allah Subhanahu wa ta’ala melaknat orang yang memberi perlindungan kepada pelaku kriminal, Allah Subhanahu wa ta’ala melaknat orang yang melaknat kedua orang tuanya, dan Allah Subhanahu wa ta’ala melaknat orang yang mengubah batas tanah.” (HR. Muslim, 3/1567)
Umat pun melakukan tabarruk yang menyelisihi syariat. Dari Abi Waqid al-Laitsi Radhiyallahu ‘anhu, dia menyatakan, “Kami keluar (pergi) bersama Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam ke Hunain. Kami berbincang-bincang (tentang keadaan kami) semasa masih kafir (karena baru masuk Islam). Orang-orang musyrik memiliki pohon sidr (bidara) yang mereka biasa menetap dan menggantungkan senjata-senjata mereka di pohon tersebut. Pohon tersebut disebut sebagai Dzatu Anwath (yang memiliki gantungan). Tatkala kami melewati pohon sidr itu, kami berkata, ‘Wahai Rasulullah, buatkan bagi kami dzatu anwath sebagaimana orang-orang musyrik memilikinya.’ Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda, ‘Allahu akbar. Itulah tradisi (orang-orang sebelum kalian). Kalian telah mengatakan—demi Dzat yang diriku ada di tangan-Nya—sebagaimana Bani Israil telah mengatakan kepada Musa, ‘Buatkan untuk kami sesembahan sebagaimana mereka memiliki sesembahan.’ Lantas Musa berkata, ‘Sesungguhnya kalian adalah kaum yang tidak mengerti.’ (al-A’raf: 138) Sungguh kalian akan mengikuti jejak orang-orang sebelum kalian’.” (HR. at-Tirmidzi, 6/343)
Tujuan menggantungkan senjata-senjata tersebut adalah untuk tabarruk (mencari keberkahan) dari pohon tersebut. Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam pun mengingkari apa yang mereka inginkan. (al-Qaulul Mufid Syarh Kitabit Tauhid, asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, hlm. 130)
Lalu, bagaimana pula dengan orang-orang yang berniat ngalap berkah ke tempat-tempat yang dianggap sakral? Sungguh, ini adalah tipudaya setan yang menggiring orang jahil (tidak mengerti al-haq) ke tempat yang nista.
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersikap keras terhadap orang-orang yang melakukan ibadah yang disyariatkan seperti shalat, sedekah, dan sebagainya, di seputar kuburan orang-orang saleh. Hal ini sebagaimana diriwayatkan dari Aisyah Radhiyallahu ‘anha:
لَعَنَ اللهُ الْيَهُودَ اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ
“Laknat Allah atas orang-orang Yahudi dan Nasrani. Mereka menjadikan kubur para nabi mereka sebagai tempat-tempat ibadah (masjid).” (HR. al-Bukhari 1/155 dan Muslim 1/375)
Lalu bagaimana dengan orang-orang yang datang ke kuburan bukan orang saleh dan di sana ia melakukan kemaksiatan, menebar sesajen, melakukan perzinaan, atau kemaksiatan lainnya dengan keyakinan hal itu bisa mendatangkan keberuntungan? Sungguh, ini adalah tindakan yang paling dungu dan teramat dungu.
Melakukan ibadah yang disyariatkan, tetapi di seputar kuburan orang yang saleh saja mendapat laknat, apatah lagi bagi orang yang melakukan maksiat di seputar kuburan bukan orang saleh. Hanya orang-orang yang berakal yang akan mengambil pelajaran ini.
Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.
—————————————-
Sumber: Majalah Asy Syariah