Safar Duniawi Menuju Safar Ukhrawi

Safar duniawi Menuju Safar UkhrawiSAFAR DUNIAWI MENUJU SAFAR UKHRAWI

Ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Ubaidah Syafruddin hafizhahullah

“Maha Suci Allah yang telah menundukkan semua ini bagi kami padahal kami sebelumnya tidak mampu menguasainya. Dan sesungguhnya kami akan kembali kepada Rabb kami.” (Az-Zukhruf: 13-14)

Penjelasan Mufradat Ayat

Maha Suci Allah. Kata ini merupakan kata dasar (mashdar/maf’ul muthlaq) dalam kedudukan manshub (dengan alamat harakat fathah) disebabkan oleh sebuah fi’il (kata kerja) yang tersembunyi, yaitu:

أُسَبِّحُ اللهَ سُبْحَانًا أَيْ تَسْبِيحًا

(Saya benar-benar menyucikan Allah). Secara bahasa at-tasbih bermakna menjauhkan dari segala keburukan. Adapun secara syar’i bermakna menyucikan dari segala apa yang tidak layak bagi kebesaran Allah Subhanahuwata’ala dan kesempurnaan-Nya. (lihat Adhwa’ul Bayan tafsir Surat Al-Isra’ ayat 1)

“Yang telah menundukkan semua ini bagi kami.”

Bermakna ذَلَّلَ yaitu menundukkan. Adapun ﭺ merupakan isim isyarat/kata tunjuk yang kembali kepada lafadz مَا pada ayat sebelumnya (Az-Zukhruf: 12) yaitu     ﭨ  ﭩ   artinya apa-apa yang kamu tunggangi (kapal/perahu dan binatang ternak).

Bermakna مُطِيقِينَ, yaitu mampu menguasai, sebagaimana ditafsirkan oleh Ibnu Abbas  radhiyallahuanhu yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, Ibnul Mundzir, dan Ibnu Abi Hatim. Pendapat serupa juga diucapkan oleh Qatadah, Mujahid, dan As-Suddi. Mujahid -dalam riwayat lain yang dikeluarkan oleh Al-Firyabi, ‘Abd bin Humaid, dan Ibnu Jarir- juga berkata: “Makna ﭾ   adalah unta, kuda, bighal (peranakan kuda dan keledai), dan keledai.”

Kata ﭾ   diambil dari أَقْرَنَ لِلْأَمْرِ إِذَا أَطَاقَهُ وَقَوِيَ عَلَيْهِ artinya menguasai perkara apabila ia mampu dan kuat. Maknanya adalah kalau bukan karena Allah Subhanahuwata’ala yang menundukkan perahu dan binatang ternak sebagai tunggangan bagi kita, kita tidak mampu melakukannya. Akan tetapi karena kelembutan dan kemuliaan-Nya, Allah Subhanahuwata’ala tundukkan dan mudahkan sebab-sebabnya.

Dan sesungguhnya kami akan kembali kepada Rabb kami. Maknanya:

أَيْ لَصَائِرُونَ إِلَيْهِ بَعْدَ مَمَاتِنَا وَإِلَيْهِ سَيْرُنَا الْأَكْبَرُ

yaitu kita kembali kepada-Nya setelah kematian kita dan hanya kepada-Nya perjalanan kita yang terbesar (perjalanan menuju akhirat, pen.). Hal ini sebagai bentuk peringatan terhadap perjalanan dunia atas perjalanan akhirat. Sebagaimana yang Allah Subhanahuwata’ala peringatkan tentang bekal yang sifatnya duniawi atas bekal yang sifatnya ukhrawi, dalam surat Al-Baqarah ayat 197:

“Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa.”

Demikian pula terhadap pakaian yang sifatnya duniawi atas pakaian yang sifatnya ukhrawi, seperti pada surat Al-A’raf ayat 26:

“Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutupi auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian takwa itulah yang paling baik.”

Bermakna رَاجِعُونَ artinya kembali, sebagaimana disebutkan oleh jumhur (kebanyakan) ahli tafsir seperti Ibnu Katsir, Al-Alusi, Al-Baidhawi, Ath-Thabari, Ibnul Jauzi, Abu Hayyan, Asy-Syaukani, dan Asy-Syinqithi dalam kitab tafsir mereka.

Asy-Syinqithi rahimahullah dalam tafsir surat Al-Mulk ayat 15 berkata: “Ayat Allah Subhanahuwata’ala:

‘Dan hanya kepada-Nyalah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.’ Allah Subhanahuwata’ala sebutkan ayat ini setelah adanya perintah (kepada manusia) untuk melakukan perjalanan di segala penjuru bumi, mencari rezeki, melihat dan mencermati akibat dari suatu sebab serta ditundukkannya bumi. Ayat ini seperti ayat:

“Dan sesungguhnya kami akan kembali kepada Rabb kami.” (Az-Zukhruf: 14)

setelah ayat:

“(Yaitu) Yang Menciptakan seluruh yang berpasang-pasangan serta menundukkan kapal dan binatang ternak sebagai kendaraan.” (Az-Zukhruf: 12)

Pada ayat ini terdapat kandungan makna yang menetapkan adanya kekuasaan Allah Subhanahuwata’ala atas hari kebangkitan (menghidupkan orang mati), sehingga seseorang dapat melakukan perjalanan di segala penjuru bumi, menggunakan dan memanfaatkan kebaikan darinya. Semua itu bukan semata-mata untuk mencari rezeki, namun dalam rangka menjalani sebab dan melihat kepada akibat, serta mengambil pelajaran terhadap seluruh ciptaan(Nya). Yang terpenting (dari semua itu) adalah mencari bekal untuk kehidupan akhirat.”

Abu Hayyan rahimahullah berkata dalam kitabnya Al-Bahrul Muhith ketika menafsirkan surat Az-Zukhruf ayat 14: “Makna ayat ‘Dan sesungguhnya kami akan kembali kepada Rabb kami,’ adalah ikrar (pengakuan) untuk kembali kepada Allah Subhanahuwata’ala dan adanya hari kebangkitan. Karena tatkala seorang penumpang menaiki kapal (dalam pelayarannya) berisiko binasa karena tenggelam. Menunggangi hewan juga berisiko tergelincir, membahayakan dan tidak menjamin keselamatannya. Oleh karenanya, ayat ini mengingatkan kepada seseorang untuk senantiasa merasa (ingat/sadar) bahwa kembalinya hanya kepada Allah Subhanahuwata’ala, siap untuk berjumpa dengan-Nya, dalam keadaan ia tidak melupakan perkara itu baik dalam hati maupun lisan (dengan cara berdoa).”

Penjelasan Ayat dan Faedahnya

Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah berkata: “Ayat ini menjelaskan bahwa Rabb yang disifati dengan sifat-sifat ini (sebagaimana yang telah disebutkan dalam ayat sebelumnya seperti Pencipta langit dan bumi, Dzat Yang menurunkan air hujan dari langit menurut kadar yang diperlukan, Dzat Yang menciptakan segala yang berpasangan, Yang menjadikan kapal dan binatang ternak yang dapat ditunggangi, dst, lihat Az-Zukhruf: 9-11, pen.), semua itu termasuk bagian dari limpahan nikmat Allah Subhanahuwata’ala kepada hamba-Nya. Sehingga, hanya Dia-lah yang paling berhak untuk diibadahi, dan hanya kepada-Nya lah dilakukan doa dan sujud.” (Taisir Al-Karimir Rahman).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata dalam Majmu Al-Fatawa (4/462): “Termasuk perkara Sunnah Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam (yang beliau ajarkan) adalah memakan makanan yang dijumpai (yang ada) di negeri tempat ia tinggal, memakai pakaian serta mengendarai kendaraan yang dijumpai (yang ada) yang Allah Subhanahuwata’ala bolehkan. Barangsiapa menggunakan apa yang ia jumpai di negerinya (tempat ia tinggal), maka ia telah mengikuti sunnah. Sebagaimana beliau Shalallahu’alaihi wa sallam menunaikan ibadah haji dari kota Madinah. Barangsiapa menunaikan haji dari kota asalnya, ia telah mengikuti sunnah, walaupun kota-kota lain itu tidak sama dengan kota Madinah Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam.

Demikian pula ayat (pada surat Az-Zukhruf ayat 12-13), (mengajarkan) etika apabila seseorang menaiki kendaraan di atas lautan (kapal), daratan (binatang ternak/kendaraan), dan udara (pesawat terbang, pen.). Meskipun Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam, demikian pula Abu Bakr dan Umar radhiyallahuanhu, belum pernah berlayar di atas lautan (menaiki kapal laut). Akan tetapi beliau Shalallahu’alaihi wa sallam pernah mengabarkan kepada Ummu Haram bintu Milhan radhiyallahuanha tentang sekelompok orang dari umatnya yang berperang di jalan Allah Subhanahhuwata’ala, mereka menaiki kapal laut layaknya raja-raja di atas singgasana. Lalu Ummu Haram berkata: “Berdoalah kepada Allah Subhanahuwata’ala agar menjadikanku termasuk mereka.” Beliau bersabda: “Engkau termasuk mereka.”

Ayat ini termasuk bagian dari rangkaian doa ketika seseorang menaiki kendaraan baik di darat, di udara maupun di lautan dalam rangka safar (bepergian). Ada beberapa hadits yang dibawakan oleh para ulama dalam bab adab ketika seseorang menaiki kendaraan untuk safar. Di antaranya hadits Ibnu ‘Umar radhiyallahuanhu, apabila Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam telah berada di atas unta/kendaraannya bermaksud untuk safar, beliau bertakbir tiga kali kemudian membaca:

ﭶ   ﭷ  ﭸ   ﭹ  ﭺ  ﭻ  ﭼ  ﭽ    ﭾ  ﭿ  ﮀ  ﮁ       ﮂ   ﮃ  ﮄ اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ فِي سَفَرِنَا هَذَا الْبِرَّ وَالتَّقْوَى وَمِنَ الْعَمَلِ مَا تَرْضَى، اللَّهُمَّ هَوِّنْ عَلَيْنَا سَفَرَنَا هَذَا وَاطْوِ عَنَّا بُعْدَهُ، اللَّهُمَّ أَنْتَ الصَّاحِبُ فِي السَّفَرِ وَالْخَلِيفَةُ فِي الْأَهْلِ، اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ وَعْثَاءِ السَّفَرِ وَكَآبَةِ الْمَنْظَرِ وَسُوءِ الْمُنْقَلَبِ فِي الْمَالِ وَالْأَهْلِ. وَإِذَا رَجَعَ قَالَهُنَّ وَزَادَ فِيهِنَّ: آيِبُونَ تَائِبُونَ عَابِدُونَ لِرَبِّنَا حَامِدُونَ

“Maha Suci Allah yang telah menundukkan semua ini bagi kami padahal kami sebelumnya tidak mampu menguasainya, dan sesungguhnya kami akan kembali kepada Rabb kami. Ya Allah, sesungguhnya kami memohon kepada-Mu dalam safar kami ini kebaikan, ketakwaan, dan amal perbuatan yang Engkau ridhai. Ya Allah, mudahkanlah dalam safar kami ini dan dekatkanlah jauhnya jarak bepergian. Ya Allah, Engkaulah Dzat yang menyertai dalam safar dan pengganti keluarga yang kami tinggalkan. Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kepayahan/kesukaran dalam safar, jeleknya pandangan dan jeleknya kembali, baik pada harta maupun keluarga.”

Apabila beliau kembali (hendak pulang), beliau juga membaca doa dengan diberi tambahan: “Kami orang-orang yang akan kembali, orang yang taat, bertaubat, beribadah dan hanya untuk Rabb kami, kami memuji.” (HR. Muslim, Abu Dawud, dan At-Tirmidzi)

Hadits lain adalah hadits yang diriwayatkan Al-Imam Abu Dawud dan At-Tirmidzi dari jalan Ali bin Rabi’ah, ia berkata: Aku menyaksikan Ali radhiyallahuanhu, didatangkan kepada beliau tunggangan agar (beliau) menungganginya. Ketika akan menaiki tunggangan itu, beliau membaca: بِسْمِ اللهِ. Ketika sudah berada di atas punggungnya (duduk di atas kendaraan) beliau membaca: الْحَمْدُ لِلهِ. Lalu membaca الْحَمْدُ لِلهِ tiga kali, اللهُ أَكْبَرُ tiga kali, lalu membaca:

سُبْحَانَكَ إِنِّي قَدْ ظَلَمْتُ نَفْسِي فَاغْفِرْ لِي فَإِنَّهُ لَا يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا أَنْتَ

“Maha Suci Engkau ya Allah, sesungguhnya aku telah menzalimi diriku sendiri. Ampunilah aku, karena tidak ada yang akan mengampuni dosa-dosa kecuali Engkau.”

Lalu beliau tertawa. Aku (Ali bin Rabi’ah) bertanya: “Mengapa engkau tertawa, wahai Amirul Mu’minin?” Beliau berkata: “Aku melihat Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam berbuat sebagaimana aku berbuat, kemudian beliau Shalallahu’alaihi wa sallam tertawa. Akupun bertanya: ‘Mengapa engkau tertawa, wahai Rasulullah?’ Beliau bersabda: ‘Sesungguhnya Rabbmu sungguh merasa takjub dengan hamba-Nya apabila dia berdoa:

رَبِّ اغْفِرْ لِي ذُنُوبِي إِنَّهُ لَا يَغْفِرُ الذُّنُوبَ غَيْرُكَ

‘Wahai Rabbku, ampunilah aku atas dosa-dosaku, sesungguhnya tidak ada yang akan mengampuni dosa-dosa kecuali Engkau’.”

Adapun doa menaiki kendaraan yang tersebut pada surat Hud ayat 41:

“Nuh berkata: ‘Naiklah kamu sekalian ke dalamnya dengan menyebut nama Allah di waktu berlayar dan berlabuhnya. Sesungguhnya Rabbku benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang’.”

Juga dalam surat Al-Mu’minun ayat 29:

“Dan berdoalah: ‘Wahai Rabbku, tempatkanlah aku pada tempat yang diberkahi dan Engkau adalah sebaik-baik yang memberi tempat’.”

Al-Imam As-Suyuthi rahimahullah dalam tafsirnya Ad-Durrul Mantsur ketika menafsirkan ayat ini menyebutkan riwayat dari Mujahid rahimahullah, yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, ‘Abd bin Humaid, Ibnu Jarir, Ibnu Mundzir, dan Ibnu Abi Hatim: “Ayat:

Dan berdoalah: ‘Wahai Rabbku, tempatkanlah aku pada tempat yang diberkahi dan Engkau adalah sebaik-baik yang memberi tempat.’ adalah doa yang Allah Subhanahuwata’ala perintahkan kepada Nabi Nuh alaihissalam ketika turun dari perahunya.”

Kemudian beliau menyebutkan juga riwayat ‘Abd bin Humaid, Ibnul Mundzir, dan Ibnu Abi Hatim dari Qatadah, beliau berkata: “Allah Subhanahuwata’ala mengajari kalian cara kalian berdoa ketika menaiki kendaraan dan ketika turun dari kendaraan. Ketika menaiki kendaraan, doa yang dibaca adalah ayat:

dan ayat:

Adapun ketika turun:

Asy-Syaikh Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi rahimahullah dalam tafsirnya Adhwa’ul Bayan, pada tafsir surat Hud ayat 41 berkata: “Allah Subhanahuwata’ala menyebutkan dalam ayat yang mulia ini bahwa Nabi-Nya Nuh -semoga shalawat dan salam atas beliau serta atas Nabi kita Muhammad Shalallahu’alaihi wa sallam – memerintahkan para sahabatnya, yaitu orang-orang yang telah dikatakan kepada mereka: ‘Bawalah mereka dalam bahtera’ supaya mereka naik ke dalamnya sambil berdoa. Pada surat Al-Falah (Al-Mu’minun, pen.) menerangkan bahwa Allah Subhanahuwata’ala memerintahkan apabila Nabi Nuh alaihissalam dan orang-orang yang bersamanya telah berada di atas perahu agar memuji Allah Subhanahuwata’ala, yang telah menyelamatkan mereka dari orang-orang kafir yang zalim.

Mereka juga diperintahkan untuk memohon kepada-Nya agar menempatkan mereka pada tempat yang diberkahi. Hal itu sebagaimana yang tersebut pada ayat:

“Apabila kamu dan orang-orang yang bersamamu telah berada di atas bahtera  (kapal) itu maka ucapkanlah: ‘Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkan kami dari orang-orang yang zalim’, dan berdoalah: ‘Wahai Rabbku, tempatkanlah aku pada tempat yang diberkahi dan Engkau adalah sebaik-baik yang memberi tempat.” (Al-Mu’minun: 28-29)

Adapun dalam surat Az-Zukhruf ayat 12-14, Allah Subhanahuwata’ala menerangkan apa yang seharusnya diucapkan ketika menaiki perahu dan kendaraan lainnya, dengan membaca:

Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata dalam Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim ibnul Hajjaj: “Bab: Disunnahkan berdoa apabila menaiki tunggangan (kendaraan) dalam rangka safar untuk ibadah haji atau yang lainnya, dan penjelasan yang paling utama dari doa tersebut.” Kemudian beliau menyebutkan hadits Ibnu ‘Umar radhiyallahuanhu di atas, yang menyebutkan doa bagi seorang yang menaiki kendaraan.

Asy-Syaikh As-Sa’di rahimahullah berkata dalam kitabnya Bahjah Qulubil Abrar pada hadits yang ke-85: “Hadits ini (hadits Abdullah bin Umar radhiyallahuanhu riwayat Muslim, pen.) mengandung faedah-faedah yang agung berkaitan dengan safar. Doa yang tersebut dalam hadits ini mencakup permohonan dalam hal kemaslahatan agama (yang merupakan perkara paling penting) dan kemaslahatan dunia, tercapainya perkara yang disenangi serta terhindarnya dari perkara yang buruk serta tidak disukai, mensyukuri nikmat-nikmat Allah Subhanahuwata’ala, mengingat kebesaran dan kemuliaan-Nya. Doa ini mencakup pula safar yang berada di atas ketaatan Allah  Subhanahuwata’ala dan dalam perkara yang dapat mendekatkan diri kepada-Nya.

Di akhir doa ini terdapat bentuk pengakuan terhadap nikmat Allah Subhanahuwata’ala, sebagaimana yang terdapat di awal doa. Maka sebagaimana wajib bagi seorang hamba untuk memuji Allah Subhanahuwata’ala atas dimudahkannya melakukan ibadah dan dalam memulai hajatnya, wajib pula bagi hamba tadi untuk memuji Allah  Subhanahuwata’ala atas disempurnakan dan dicukupkannya hajatnya, serta setelah selesai darinya. Karena sesungguhnya keutamaan, kebaikan, dan sebab itu semua adalah milik-Nya semata, dan Allah Subhanahuwata’ala adalah pemilik keutamaan yang mulia. Beliau pun memulai dan mengakhiri safarnya dengan doa, yang dimulai dengan membesarkan Allah Subhanahuwata’ala dan memuji-Nya.”

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan: “Sebagaimana yang diketahui dalam doa-doa Nabi Shalallahu’alaihi wa sallam bahwa kalimat tahmid (Alhamdulillah) seiring dengan kalimat tasbih (Subhanallah), sedangkan kalimat tahlil seiring dengan kalimat takbir. Namun pada sebagian keadaan, beliau Shalallahu’alaihi wa sallam mengumpulkan takbir dengan tahlil, dan takbir dengan tahmid, sebagaimana yang beliau lakukan dalam doa beliau ketika menaiki kendaraan, seperti dalam hadits Ibnu Umar  radhiyallahuanhu riwayat Al-Imam Muslim dan hadits ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahuanhu riwayat Abu Dawud dan At-Tirmidzi.

Perpaduan ini mengingatkan kepada kenikmatan Allah Subhanahuwata’ala, yang mengharuskan kita untuk mensyukuri-Nya disertai memuji-Nya. Karena menunggangi kendaraan termasuk keutamaan dari sekian keutamaan dan merupakan bagian nikmat, maka Nabi Shalallahu’alaihi wa sallam menggabungkan dalam doa tersebut antara dua perkara, sebagaimana firman Allah Subhanahuwata’ala: “Supaya kamu duduk di atas punggungnya kemudian kamu ingat nikmat Rabbmu apabila telah duduk di atasnya dan supaya kamu mengucapkan: ‘Maha Suci Allah yang telah menundukkan semua ini bagi kami padahal kami sebelumnya tidak mampu menguasainya’.” (Az-Zukhruf: 14)

Pada ayat ini Allah Subhanahuwata’ala memerintahkan untuk mengingat nikmat Allah Subhanahuwata’ala dan mengingat-Nya, yaitu dengan cara memuji-Nya (mengucapkan Alhamdulillah). Allah Subhanahuwata’ala perintahkan untuk bertasbih, dan tasbih adalah kalimat yang seiring dengan pujian. Ketika didatangkan tunggangan (kendaraan) kepada Nabi Shalallahu’alaihi wa sallam, saat akan menaiki beliau membaca Bismillah. Ketika sudah duduk berada di atas punggungnya, beliau membaca Alhamdulillah. Kemudian beliau Shalallahu’alaihi wa sallam membaca:

Kemudian beliau membaca الْحَمْدُ لِلهِ tiga kali dan اللهُ أَكْبَرُ tiga kali, lalu membaca:

لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ سُبْحَانَكَ ظَلَمْتُ نَفْسِي فَاغْفِرْلِي

“Tiada ilah yang berhak disembah selain-Mu, Maha Suci Engkau, aku telah berbuat zalim terhadap diriku, maka ampunilah aku.”

Setelah beliau Shalallahu’alaihi wa sallam menyebutkan kemuliaan-kemuliaan Allah Subhanahuwata’ala berupa takbir dan tahlil, beliau menutup dengan istighfar, karena seiring dengan tauhid. Sehingga doa yang dibaca di atas kendaraan mencakup empat kalimat (tahmid, tasbih, tahlil, dan takbir) dan disertai dengan istighfar.” (Diringkas dari Majmu’ Al-Fatawa, 24/240-241)

Wallahu a’lam bish-shawab.

Sumber: Majalah Asy Syariah

********************************

  1. Kisah ini diriwayatkan Al-Imam Al-Bukhari rahimahullah dalam hadits no. 6272 dari Anas bin Malik radhiyallahuanhu, beliau berkata: “Jika Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam pergi ke Quba, beliau singgah di tempat Ummu Haram bintu Milhan radhiyallahuanha. Dia pun menjamu beliau, dan Ummu Haram ketika itu adalah istri Ubadah bin Ash-Shamit radhiyallahuanhu. Pada suatu hari beliau Shalallahu’alaihi wa sallam masuk ke rumahnya dan ia pun menjamunya. Kemudian Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam tidur, lalu terbangun sambil tertawa. Ummu Haram bertanya: “Apa yang membuatmu tertawa, ya Rasulullah?” Beliau menjawab: “Ada sekelompok orang dari umatku, mereka ditampakkan kepadaku sedang berperang di jalan Allah Subhanahuwata’ala. Mereka menaiki kapal laut layaknya raja-raja di atas singgasana.” Ummu Haram berkata: “Berdoalah kepada Allah agar menjadikanku termasuk bagian dari mereka….” Kemudian beliau tidur kembali. Di akhir hadits beliau Shalallahu’alaihi wa sallam bersabda: “Engkau termasuk golongan yang pertama (dari mereka).” Maka Ummu Haram ikut mengarungi lautan pada masa (pemerintahan) Mu’awiyah, namun beliau terjatuh dari kendaraannya ketika berlabuh dan meninggal dunia.
© 1446 / 2024 Forum Salafy Indonesia. All Rights Reserved.