Ditulis oleh: Al-Ustadz Abulfaruq Ayip Syafrudin
Pengertian as-safar السَّفَرُ yaitu memisahkan diri dari negeri. Seseorang keluar dari negerinya menuju ke negeri yang lain. Disebut safran سَفْرًا lantaran terambil dari makna al-isfar الْإِسْفَارُ yang mengandung pengertian keluar dan terang, nyata. Seperti disebutkan dalam ungkapan أَسْفَرَ الصُّبْحُ yang bermakna bersinar atau bercahaya. Ada yang menyebutkan pula bahwa secara makna disebut as-safaru–safran karena “membuka perihal akhlak seseorang.” Maksudnya, menjadikan jelas dan nyata keadaannya. Berapa banyak orang yang belum terkuak jati dirinya, bisa terungkap setelah melakukan safar (bepergian) bersamanya. Ketika dalam safar itulah jati diri senyatanya, yaitu perangai dan wataknya bisa diketahui.
Tak mengherankan bila kemudian Umar bin Al-Khaththab apabila ada seseorang yang merekomendasikan temannya, lantas Umar bertanya: “Apakah engkau pernah melakukan safar bersamanya? Apakah engkau telah bergaul dengannya?” jika jawabannya “Ya.” maka Umar radhiallahu ‘anhu pun menerimanya. Jika jawabannya “Belum pernah”, maka Umar akan mengatakan, “Engkau belum mengetahui jati diri senyatanya tentang orang itu.” (Syarh Riyadhish Shalihin, Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin, 2/1214)
Bagi sebagian orang, bepergian adalah satu aktivitas biasa. Bepergian dianggap sebagai bagian dari rutinitas dalam hidupnya. Ini bisa terjadi manakala skala aktivitasnya sudah tidak lagi pada tataran lokal, tapi mengglobal: lintas wilayah bahkan lintas mancanegara.
Namun demikian, perlu dipahami bahwa syariat telah memberi rambu terkait masalah bepergian ini. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam menuntunkan bahwa seseorang yang telah menyelesaikan urusan safarnya, hendaklah bersegera kembali pulang menemui keluarganya. Diriwayatkan dari Abu Hurairah, sungguh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:
السَّفَرُ قِطْعَةٌ مِنَ الْعَذَابِ يَمْنَعُ أَحَدَكُمْ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ وَنَوْمَهُ، فَإِذَا قَضَى أَحَدُكُمْ نَهْمَتَهُ مِنْ سَفَرِهِ فَلْيُعَجِّلْ إِلَى أَهْلِهِ
“Bepergian itu bagian dari azab. Seseorang akan terhalang (terganggu) makan, minum, dan tidurnya. Maka, bila seseorang telah menunaikan maksud safarnya, hendaklah ia menyegerakan diri kembali kepada keluarganya.” (Shahih Al-Bukhari no. 1804 dan Shahih Muslim no. 179)
Terkait hadits di atas, Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin mengungkapkan bahwa tatkala seseorang melakukan bepergian, sesungguhnya dia telah meninggalkan keluarganya. Kala itu, kadang keluarga membutuhkan kehadirannya. Keluarga yang di rumah membutuhkan bimbingan, pengarahan, pendidikannya, atau selainnya. Karenanya, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan sebagaimana disebutkan dalam hadits di atas.
Adapun maksud azab dalam hadits tersebut, meliputi azab berupa hal-hal yang bersifat fisik dan non fisik. Terutama keadaan orang-orang yang safar pada zaman dahulu. Di mana mereka menggunakan kendaraan unta, hingga mengalami kesukaran yang amat sangat. Mereka merasakan panas kala musim panas, juga merasakan dingin kala muslim dingin membalut alam. Mereka tak lagi bisa menikmati makan dan minum sebagaimana biasa di hari-hari saat tak bersafar. Begitu pun dengan istirahatnya, tak lagi bisa tidur senyaman kala di tempat mukimnya. Karenanya, diperintahkan bagi orang-orang yang safar untuk bersegera kembali pulang ke negerinya, menjumpai keluarganya serta beristirahat bersamanya. Menjaga dan mendidik mereka.
Hadits dari Abu Hurairah di atas menjadi dalil keutamaan untuk tinggal bersama keluarga dibanding melakukan safar, kecuali jika ada keperluan yang harus dipenuhi dengan safar. Dari sisi kebutuhan keluarga ini pula, maka ketika seorang sahabat bernama Malik bin Al-Huwairits tiba di Madinah bersama rombongan kaumnya yang berjumlah 20 orang guna menemui Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, di mana mereka tinggal (di Madinah) selama 20 hari. Saat terlihat di antara mereka rasa rindu kepada keluarganya, maka Rasulullah n bersabda:
ارْجِعُوا إِلَى أَهْلِيكُمْ فَأَقِيمُوا فِيْهِمْ وَعَلِّمُوهُمْ وَمُرُوهُمْ
“Kembalilah kepada keluarga kalian. Tinggallah bersama mereka. Ajarilah dan didiklah mereka.” (Shahih Al-Bukhari no. 631)
Ini menunjukkan betapa seseorang itu tidak semestinya meninggalkan keluarganya kecuali lantaran ada kebutuhan. Inilah yang lebih utama. (Syarh Riyadhi Ash-Shalihin, 2/1230)
Sungguh mulia ajaran Islam. Nuansa cinta dan kasih sayang begitu kukuh menyelimuti. Kelembutan begitu halus menyentuh kalbu. Melalui aktivitas safar, Islam mengajari pemeluknya untuk senantiasa bisa menabur cinta, kasih sayang, dan kelembutan.
وَكَانَ رَسُولُ اللهِ n رَحِيمًا رَفِيقًا
“Adalah Rasulullah begitu kasih dan lembut.” (Shahih Al-Bukhari no. 631)
Begitulah yang dinyatakan Malik bin Al-Huwairits kala rombongannya telah merasakan kerinduan kepada keluarga lantas Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan mereka pulang. Begitulah Islam, agama nan penuh rahmah, kasih sayang, dan kelembutan.
Dalam masalah safar, Islam memberi ketentuan yang tegas dan jelas terkait safar ke negeri-negeri kafir. Menurut Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan hafizhahullah, safar ke negeri-negeri kafir adalah haram, kecuali dalam keadaan darurat, seperti dalam rangka pengobatan, bisnis, studi bidang-bidang khusus yang bermanfaat yang tidak mungkin bisa diperoleh kecuali dengan melakukan safar ke negeri-negeri kafir. Maka safar semacam itu boleh, sekadar memenuhi kebutuhan semata. Bila telah selesai kebutuhannya, wajib kembali ke negeri kaum muslimin.
Boleh berkunjung ke negeri-negeri kafir ini disyaratkan dengan tetap menampilkan agamanya secara zhahir, tampil mulia dengan Islamnya, serta menjauhi tempat-tempat yang buruk. Tetap waspada dari infiltrasi (disusupi) dan tipu daya kaum kafir. Termasuk yang dibolehkan safar ke negeri-negeri kafir yaitu bila memiliki tujuan atau misi dakwah mengajak ke jalan Allah l serta menyebarkan Islam. (Al-Wala’ wal Bara’ fil Islam, hal. 8-9)
Ketentuan yang telah ditata dalam Islam sebagaimana di atas merupakan salah satu bentuk kasih sayang terhadap umatnya agar tidak terjatuh pada bentuk-bentuk penyerahan loyalitas kepada kaum kafir. Baik dalam bentuk senang menyerupai (tasyabbuh) kaum kafir, tumbuhnya rasa cinta kepada kaum kafir, dan lainnya. Bentuk peniruan secara zhahir merupakan wujud salah satu kasih sayang, cinta, dan loyalitas yang tersimpan dalam batin. Sebagaimana perasaan cinta yang ada dalam batin bisa dilihat dari bentuk penerimaan secara zhahir.
“Demikian pula orang-orang itu telah mengatakan seperti ucapan mereka itu, hati mereka serupa…” (Al-Baqarah: 118)
Sungguh, perbuatan orang-orang kafir dibangun di atas kesesatan dan kerusakan. Ini merupakan prinsip dasar dalam menilai perbuatan orang-orang kafir, sebagaimana firman-Nya:
“Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan lalu Kami jadikan amal itu bagai debu yang beterbangan.” (Al-Furqan: 23)
Demikianlah penjagaan Islam terhadap umatnya. Mereka dibimbing agar keyakinan yang dianutnya tetap terjaga dan selamat. Tidak teracuni oleh keyakinan-keyakinan kufur akibat dari safar yang dilakukannya.
Selain itu, penting untuk diketahui oleh mereka yang hendak melancong ke satu tempat yang di situ terdapat daerah bekas diazab Allah Subhanahu wa ta’ala. Sebagaimana disebutkan dalam hadits Abdullah bin Umar, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ تَدْخُلُوا عَلَى هَؤُلاَءِ الْقَوْمِ الْمُعَذَّبِينَ إِلاَّ أَنْ تَكُونُوا بَاكِينَ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا بَاكِينَ فَلَا تَدْخُلُوا عَلَيْهِمْ أَنْ يُصِيْبَكُمْ مِثْلُ مَا أَصَابَهُمْ
“Janganlah kalian masuk ke tempat satu kaum yang mendapat azab kecuali kalian dalam keadaan menangis (di tempat tersebut). Jika tidak bisa menangis, maka janganlah kamu masuk ke mereka. (Khawatir) musibah menimpa kalian seperti telah menimpa mereka (kaum Tsamud).” (Shahih Muslim, no. 2980)
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam beserta para sahabat ketika hendak menuju Tabuk guna berperang, melintasi Al-Hijr (sebuah lembah yang pernah didiami kaum Tsamud). Maka, beliau n memerintahkan kepada para sahabat untuk tidak minum dari air sumur yang berada di tempat itu. Beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan menumpahkan air yang telah terlanjur diambil. Juga membuang adonan (makanan) yang telah dicampur dengan air tersebut. (Shahih Al-Bukhari no. 3378 dan Shahih Muslim no. 2981)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menerangkan, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang memasuki tempat-tempat yang penduduknya diazab. Kecuali, jika masuk ke tempat tersebut dengan disertai tangisan. Demikian itu lantaran takut azab akan menimpanya sebagaimana telah menimpa kaum Tsamud. Rasulullah n pun melarang mengambil manfaat air yang ada di tempat tersebut. Padahal beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam beserta para sahabatnya g sangat membutuhkannya dalam rangka menghadapi peperangan yag sangat keras dan sulit, yaitu perang Tabuk. (Iqtidha’ Ash-Shirath Al-Mustaqim, hal. 95)
Demikianlah tuntunan Islam. Tak semata memerhatikan keselamatan secara fisik, lebih dari itu syariat menuntunkan kepada kaum muslimin untuk memperoleh keselamatan bagi keyakinan agamanya. Sehingga safar yang dilakukannya memberi manfaat dan keselamatan bagi dirinya.
Wallahu a’lam.
————————————————–
Sumber : Majalah Asy Syariah