Saat Cinta Bersemi di Hati

Saat Cinta Bersemi di HatiSAAT CINTA BERSEMI DI HATI

Ditulis oleh: Al-Ustadz Abulfaruq Ayip Syafruddin

Ibnu Qayyim al-Jauziyah Rahimahullah berkata, “Cinta adalah kepergian hati mencari yang dicinta, seraya lisannya terus-menerus menyebut yang dicinta. Adapun lisan senantiasa menyebut yang dicinta, tak ragu lagi karena dirinya tengah dirundung cinta yang teramat sangat, maka ia akan banyak menyebutnya.” (Madariju as-Salikin, 3/15)

Cinta yang merasuk ke dalam diri akan mendorong seseorang berkiprah. Melangkah mencari yang dicinta. Berupaya untuk senantiasa memenuhi apa yang diinginkan oleh cintanya. Berusaha agar selalu menuai ridha dari kekasih.

Cinta mendorong seseorang untuk berbulat tekad mempersembahkan apa yang dimiliki. Apatah hendak dikata, kala cinta telah meluap di hati. Sikap dan perilaku pun akan terbingkai karenanya. Tanpa cinta, hidup terasa hambar. Tiada bermakna, bagai pohon yang tak pernah disirami air kehidupan. Cinta nan bertumpu kebenaran mengantarkan hidup seseorang pada jalan yang lurus.

Beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala harus dilandasi cinta (mahabbah) pula. Tentu pula selain itu, dilandasi dengan sikap takut (khauf) dan mengharap (raja’). Tiga hal ini harus terkumpul dan tak boleh sirna salah satu di antaranya. Karena, barang siapa yang beribadah hanya dengan dilandasi sikap takut, maka ia beribadah di atas jalan kaum Khawarij. Mereka beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala hanya dilandasi sikap khauf, mengambil nash-nash yang berisi ancaman, sedangkan nash-nash yang berisi janji, ampunan (maghfirah), dan rahmat ditinggalkan.

Adapun yang beribadah hanya dilandasi dengan sikap raja’, maka ia beribadah di atas jalan yang ditempuh oleh kaum Murji’ah. Mereka beribadah atas dasar mengharap tanpa ada landasan rasa takut dari berbuat dosa dan maksiat. Karena, bagi kalangan Murji’ah, iman cukup hanya di hati. Amal perbuatan tidak terangkum dalam iman.

Adapun orang yang beribadah hanya dilandasi dengan sikap cinta (mahabbah) saja, ia beribadah di atas landasan kaum Sufi. Tidak ada hakikat ibadah melainkan didasari oleh tiga hal di atas. Satu di antaranya adalah cinta.

Perlu ditelisik bahwa cinta (mahabbah) ada empat macam.

Pertama, mahabbah syirkiyah adalah cinta kepada berhala, patung, dan segala sesuatu yang disembah (diibadahi) selain Allah Subhanahu wa Ta’ala.

“Di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah. Mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Allah. Jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya dan bahwa Allah amat berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal).” (al-Baqarah: 165)

Kedua, mahabbah muharramah adalah mencintai sesuatu yang Allah Subhanahu wa Ta’ala memurkainya. Mencintai hal yang dicegah, dilarang, dan diharamkan, seperti mencintai orang musyrik dan kafir.

Ketiga, mahabbah thabi’iyah adalah cinta seseorang terhadap anak-anaknya, kedua orang tuanya, istrinya, dan teman-temannya.

Keempat, mahabbah wajibah adalah mencintai para wali Allah Subhanahu wa Ta’ala, mencintai karena Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan berloyalitas karena Allah Subhanahu wa Ta’ala. (Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan hafizhahullah, Ba’dhu Fawaid Surah al-Fatihah, hlm. 185—194)

Cinta nan tulus akan mengarahkan seorang hamba pada ibadah yang murni. Cinta nan tulus menjadi salah satu faktor yang mengantarkan seorang hamba meraih kelezatan manisnya iman. Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam bersabda:

ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيْهِ وَجَدَ حَلَاوَةَ الْإِيْمَانِ: أَنْ يَكُونَ اللهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا، وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لاَ يُحِبُّهُ إِلاَّ لِلهِ، وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ

“Tiga hal yang apabila ada pada diri seorang hamba, niscaya dia akan merasakan manisnya iman: barang siapa yang menjadikan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya lebih dicintai dari selain keduanya; seseorang yang mencintai saudaranya, tidaklah dia mencintai melainkan karena Allah Subhanahu wa Ta’ala; seseorang yang tidak suka kembali kepada kekufuran setelah Allah Subhanahu wa Ta’ala menyelamatkannya sebagaimana dia tidak suka jika dilemparkan ke dalam api neraka.” (HR. Muslim no. 43 dari Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu)

Demikian pula, keimanan seorang hamba tidak akan bisa sempurna dan baik manakala tidak melebihkan takaran cintanya kepada Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam. Cinta kepada Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam harus lebih tinggi dibandingkan dengan cinta yang diberikan kepada keluarga, harta, dan segenap manusia. Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam bersabda:

لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ

“Tidaklah seorang di antara kalian beriman hingga dia menjadikan aku lebih dia cintai dari keluarganya, hartanya, dan segenap manusia.” (HR. Muslim no. 44 dari Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu)

Al-Qadhi bin ‘Iyadh Rahimahullah mengatakan bahwa termasuk mencintai Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam adalah menolong sunnahnya, membela syariat (yang dibawanya). Tidaklah sempurna iman seseorang melainkan dengan hal itu. Tidak sah pula cinta seseorang kecuali dengan meninggikan kedudukan Nabi Shallallahu `alaihi wa sallam atas orang tua dan anak. (al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, 2/205)

Dalam kerangka cinta itu pula, sahabat bertanya kepada Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam mengenai amalan apa saja yang paling dicintai Allah ‘azza wa jalla. Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu bertanya kepada Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam:

أَيُّ الْعَمَلِ أَحَبُّ إِلَى اللهِ؟ قَالَ: الصَّلَاةُ عَلَى وَقْتِهَا. قَالَ: ثُمَّ أَيٌّ؟ قَالَ: بِرُّ الْوَالِدَيْنِ. قَالَ: ثُمَّ أَيٌّ؟ قَالَ: الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللهِ.

“Amalan apakah yang paling dicintai Allah ‘azza wa jalla?” Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam menjawab, “Shalat pada waktunya.” “Kemudian apa?” “Berbuat baik kepada kedua orang tua.” “Kemudian apa?” Beliau Shallallahu `alaihi wa sallam menjawab, “Jihad di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (HR. al-Bukhari no. 5970)

Dorongan cinta telah melambungkan semangat beramal untuk sesuatu yang lebih baik, lebih dicintai, dan lebih utama. Saat cinta bersemi di hati, hasrat untuk meraup pahala sedemikian membumbung tinggi. Cinta telah membasuh hati dan menjadikannya jernih saat menatap hidup, karena cinta telah melumpuhkan gejolak syahwat nan membinasakan. Akhirnya, yang ada hanyalah menghaturkan segenap amal hanya bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala semata. Tiada bagi selain-Nya. Yang ada hanyalah bagi-Nya. Seraya amal itu dititi di atas ittiba’ terhadap Rasul-Nya Shallallahu `alaihi wa sallam.

Ibnu Katsir Rahimahullah menuturkan perihal sifat orang yang memiliki kedudukan tertinggi dengan firman-Nya:

“Mereka memberikan makanan yang disukainya….” (al-Insan: 8)

“… dan memberikan harta yang dicintainya….” (al-Baqarah: 177)

Sungguh, mereka adalah orang-orang yang menyedekahkan sesuatu yang mereka cintai. Walaupun kadang mereka membutuhkannya, tetapi hal itu tidak dipentingkannya. Mereka lebih mengutamakan orang lain dibandingkan dengan diri mereka sendiri. Yang termasuk dalam kedudukan tertinggi ini adalah Abu Bakr ash-Shiddiq Radhiyallahu ‘anhu. Beliau menyerahkan segenap harta yang dimilikinya. Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam bertanya kepadanya, “Apakah yang telah engkau sisakan untuk keluargamu?” Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu menjawab, “Aku tinggalkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya untuk mereka.” (HR. at-Tirmidzi no. 3675)

Begitu pula dengan air minum yang ditawarkan kepada ‘Ikrimah dan para sahabatnya saat Perang Yarmuk. Masing-masing lebih mendahulukan teman lainnya padahal mereka dalam keadaan terluka. Mereka sangat memerlukan air, semuanya. Saat air minum tersebut diserahkan kepada salah satu dari mereka, lantas orang ini melihat temannya yang membutuhkan air. Air itu lalu diberikan kepada teman lainnya. Saat teman yang membawa air ingin meminumnya, dia melihat ada teman lainnya yang membutuhkan air pula hingga dia memberikan air tersebut kepada teman yang lainnya. Sampai akhirnya, air minum tersebut hendak disampaikan kepada yang lain, tetapi orang tersebut telah meninggal. Ketiga orang yang terluka tersebut seluruhnya meninggal dunia dan tidak ada seorang pun yang sempat meminum air tersebut.

Seseorang datang kepada Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam dan berkata, “Wahai Rasulullah, berilah saya makanan.” Beliau kemudian mengutusnya ke rumah istrinya, tetapi di rumah ternyata tidak ditemukan makanan. Nabi Shallallahu `alaihi wa sallam bersabda, “Adakah seseorang yang mau menjamu tamu pada malam ini? Semoga Allah merahmatinya.” Seseorang dari kalangan Anshar berdiri kemudian ia menjawab, “Saya, wahai Rasulullah.”

Laki-laki Anshar itu pulang dan menemui istrinya seraya berkata, “Ini adalah tamu Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam. Jangan remehkan dia.”

Istrinya menukas, “Demi Allah, aku tidak memiliki makanan selain yang tersisa untuk anak-anak.”

Suaminya berkata, “Jika anak-anak menginginkan makan malam, tidurkanlah mereka. Kemarilah, padamkan lampu. Biarkan perut-perut kita tak terisi makanan pada malam ini.”

Malam itu mereka tak menyantap makanan untuk makan malam.

Keesokan harinya, laki-laki itu menjumpai Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam. Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh Allah ‘azza wa jalla telah takjub—atau tertawa—terhadap fulan dan fulanah.” Kemudian turunlah ayat:

“Dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan ini). Barang siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (al-Hasyr: 9) (HR. al-Bukhari no. 4889. Lihat Tafsir Ibnu Katsir, VII/42—43)
Dalam riwayat Muslim, laki-laki Anshar yang dimaksud adalah Abu Thalhah Radhiyallahu ‘anhu.

Di zaman yang telah dipengaruhi pemahaman individualis ini, masih adakah bentuk perilaku di atas? Perilaku para sahabat yang mulia yang senantiasa mendahulukan teman, meski mereka sendiri membutuhkannya, tidak berarti harus memelihara sikap kikir. Sungguh beruntung orang yang terjaga dari sikap kikir dan bakhil. Firman-Nya:

“Dan barang siapa yang dipelihara dari kekikiran, mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (al-Hasyr: 9)

Cinta juga mendorong seseorang untuk menggerus sifat individualis dan menunjukkan sikap kebersamaan. Hadits Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu menggambarkan hal ini.

أَنَّ رَجُلًا زَارَ أَخًا لَهُ فِي قَرْيَةٍ أُخْرَى فَأَرْصَدَ اللهُ تَعَالَى عَلَى مَدْرَجَتِهِ مَلَكًا فَلَمَّا أَتَى عَلَيْهِ قَالَ: أَيْنَ تُرِيدُ؟ قَالَ: أُرِيدُ أَخًا لِي فِي هَذِهِ الْقَرْيَةِ. قَالَ: هَلْ لَكَ عَلَيْهِ مِنْ نِعْمَةٍ تَرُبُّهَا عَلَيْهِ؟ قَالَ: لاَ، غَيْرَ أَنِّي أَحْبَبْتُهُ فِي اللهِ تَعَالىَ. قَالَ: فَإِنِّي رَسُولُ اللهِ إِلَيْكَ بِأَنَّ اللهَ قَدْ أَحَبَّكَ كَمَا أَحْبَبْتُهُ فِيْهِ

Ada seorang lelaki mengunjungi temannya di satu desa. Allah lalu memerintahkan malaikat mendatangi lelaki tersebut di tengah perjalanannya. Saat bertemu, malaikat itu bertanya kepada si lelaki, “Kemana engkau hendak pergi?” Jawab lelaki itu, “Aku akan mengunjungi saudaraku di jalan Allah di desa ini.” Malaikat bertanya lagi, “Apakah engkau merasa berutang budi atas kebaikannya?” Lelaki itu menjawab, “Tidak. Aku berkunjung semata-mata lantaran mencintainya karena Allah.” Malaikat pun berkata, “Sesungguhnya, aku adalah utusan Allah kepadamu bahwa Allah mencintaimu seperti halnya engkau mencintai saudaramu itu karena Allah.” (HR. Muslim)

Oleh karena itu, Islam mendorong setiap pemeluknya untuk senantiasa memerhatikan keadaan orang-orang yang kurang mampu. Tidak luput pula, setiap muslimah hendaknya membelanjakan harta yang dimilikinya. Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam bersabda:

يَا مَعْشَرَ النِّسَاءِ، تَصَدَّقْنَ وَأَكْثِرْنَ مِنَ الْإِسْتِغْفَارِ، فَإِنِّي رَأَيْتُكُنَّ أَكْثَرَ أَهْلِ النَّارِ. قَالَتِ امْرَأَةٌ مِنْهُنَّ: مَا لَنَا أَكْثَرُ أَهْلِ النَّارِ؟ قَالَ: تُكْثِرْنَ اللَّعْنَ وَتَكْفُرْنَ الْعَشِيرَ

“Wahai kaum wanita, bersedekahlah dan perbanyaklah istighfar (memohon ampun kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala). Sungguh, aku telah melihat kebanyakan dari kalian adalah penghuni neraka. Lantas, ada seorang wanita menukas dengan bertanya, ‘Mengapa kami (kaum wanita) kebanyakan menghuni neraka?’ Nabi Shallallahu `alaihi wa sallam menjawab, ‘Kalian banyak melaknat dan mengingkari (kebaikan) suami’.” (HR. Muslim no. 79)

Islam adalah agama yang menebar rahmat. Hak-hak individu tetap dijaga, tetapi tidak lantas menjadi individualis. Kepekaan terhadap fenomena sosial tetap ditumbuhkan pada diri seorang muslim. Kepedulian terhadap fakir, miskin, dan anak-anak yatim menjadi barometer kualitas keagamaan. Semakin tajam seseorang menghayati dan memahami Islam, semakin tajam pula tingkat kepedulian sosialnya. Hal ini karena ajaran agama Islam tidak hanya dalam tataran teori, lebih dari itu harus diawalkan dalam kehidupan nyata. Memberi sedekah, menyantuni anak yatim, dan memberi makan orang miskin merupakan amalan yang dijunjung tinggi dalam Islam. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

“Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan untuk memberi makan orang miskin.” (al-Ma’un: 1—3)

Firman-Nya:

“Adapun terhadap anak yatim, janganlah kamu berlaku sewenang-wenang. Sedangkan terhadap orang yang meminta-minta, janganlah kamu menghardik.” (adh-Dhuha: 9—10)

Oleh karena itu, sangat tidak terpuji sekali apabila ada seseorang yang memupuk sikap ego yang tinggi. Hanya mementingkan diri sendiri tanpa mau peduli terhadap sesama. Memupuk egoisme akan merusak tatanan sosial, bisa menimbulkan kecemburuan sosial, dan kehidupan bermasyarakat. Akhirnya, kriminalitas yang membahayakan merajalela. Lantaran terjadi ketimpangan sosial, tidak mustahil terlahirlah dunia hitam: premanisme, pelacuran, dan kejahatan lainnya, wal ‘iyyadzubillah. Mendistribusikan sesuatu yang bernilai kepada sekelompok masyarakat yang tidak mampu merupakan langkah bijak memupus kesenjangan sosial.

Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam dan para sahabat yang mulia telah memberikan teladan perihal tersebut.

Dalam sebuah hadits Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu ‘anhuma disebutkan bahwa ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu ‘anhu mendapatkan sebidang tanah di Khaibar. Kemudian ‘Umar Radhiyallahu ‘anhu mendatangi Nabi Shallallahu `alaihi wa sallam. ‘Umar hendak meminta pendapat perihal tanah tersebut kepada Nabi Shallallahu `alaihi wa sallam. ‘Umar berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku mendapatkan bagian tanah di Khaibar. Tidaklah aku dapati harta yang lebih berharga darinya, menurutku. Saran apa yang engkau berikan terkait tanah ini?”

Nabi Shallallahu `alaihi wa sallam bersabda, “Jika engkau mau, tetapkanlah tanah tersebut sebagai barang sedekah.”

‘Umar Radhiyallahu ‘anhu lalu menyedekahkan tanah tersebut dengan status tanah itu tidak boleh diperjualbelikan, tidak boleh dihibahkan, dan tidak boleh diwariskan. ‘Umar bin Khaththab Radhiyallahu ‘anhu menyedekahkan tanah tersebut (yang hasilnya) diperuntukkan bagi orang-orang fakir, karib kerabat, para budak sahaya, orang yang berada di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala, ibnu sabil, dan tamu. (HR. al-Bukhari no. 2737)

Apa yang diperbuat ‘Umar bin Khaththab Radhiyallahu ‘anhu merupakan langkah nyata memupus egoisme dan sikap bakhil. Tindakan ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu ‘anhu merupakan teladan dalam menumbuhkan kepedulian sosial. Para ulama menjadikan hadits ‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu ‘anhuma di atas sebagai landasan wakaf. Barang yang disedekahkan ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu ‘anhu adalah jenis barang yang bisa dimanfaatkan dalam kurun waktu yang lama. Ini tergambar dalam hadits Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, sesungguhnya Nabi Shallallahu `alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلَاثٍ: صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ

“Jika seseorang meninggal dunia, terputuslah seluruh amalnya kecuali tiga perkara: sedekah yang terus mengalir (pahalanya), ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang mendoakan orang tuanya.” (HR. Muslim no. 4199)

Karena itu, yang menjadi salah satu syarat sah wakaf, barang yang diwakafkan tergolong yang bisa dimanfaatkan secara terus-menerus dan tahan lama (baqa’). Wakaf menjadi tidak sah manakala barang yang diwakafkan tersebut musnah/habis setelah diambil manfaatnya seperti makanan. (Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah al-Fauzan, Mulakhkhas al-Fiqhi, hlm. 165)

Memberikan sesuatu yang berharga yang menjadi milik sendiri adalah termasuk prinsip kebaikan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan. Akan tetapi, sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi, dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan salat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan, dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (al-Baqarah: 177)

Agar apa yang disedekahkan benar-benar menjadi kebaikan yang bernilai guna, syariat membimbing seseorang untuk tidak mengungkit-ungkit sedekah yang telah diberikan. Hal ini bisa melenyapkan pahala sedekahnya. Apalagi diiringi dengan menyakiti perasaan penerima. Sungguh, hal seperti ini merupakan tindakan yang tidak terpuji. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memperingatkan melalui firman-Nya:

“Hai orang-orang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya’ kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatu pun dari apa yang mereka usahakan. Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.” (al-Baqarah: 264)

Dari Abi Dzar Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam bersabda:

ثَلَاثَةٌ لَا يُكَلِّمُهُمْ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلَا يَنْظُرُ إِلَيْهِمْ وَلَا يُزَكِّيهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ : الْمُسْبِلُ وَالْمَنَّانُ وَالْمُنَفِّقُ سِلْعَتَهُ بِالْحَلِفِ الْكَاذِبِ

“Tiga macam orang yang Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan berbicara dengannya pada hari kiamat, tak akan melihat mereka dan membersihkannya. Mereka mendapatkan siksa yang pedih. Yaitu, orang yang mengungkit-ungkit apa yang telah diberikan, orang yang memanjangkan kainnya hingga melebihi mata kaki, dan orang yang menuntut tambahan harga (dari) barang dagangannya dengan mengucapkan sumpah dusta.” (HR. Muslim no. 171)

Sedekah yang diiringi dengan mengungkit-ungkit apa yang telah diberikan akan sangat mengerikan. Sedekah yang telah dilakukan menjadi batal, pahala yang hendak dituai pun menjadi sirna. Bahkan, di akhirat kelak Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan berbicara dengannya, melihat, dan membersihkannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menghukumnya dengan siksa yang pedih. Wal ‘iyadzu billah.

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin Rahimahullah menjelaskan bahwa yang dimaksud ‘Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan berbicara pada mereka’ adalah berbicara dalam rangka keridhaan. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala pun berbicara dengan para penghuni neraka—dan mereka sudah berada di neraka—sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

“Allah berfirman, ‘Tinggallah dengan hina di dalamnya, dan janganlah kamu berbicara dengan-Ku’.” (al-Mu’minun: 108)

Ini ditujukan pada mereka (penduduk neraka), akan tetapi bukan dalam kerangka jalan yang diridhai. Adapun ‘Allah tidak akan melihat mereka’, maksudnya tidak melihat kepada mereka dengan pandangan khusus, yaitu pandangan penuh rahmat. Adapun memandang secara umum, maka sesungguhnya Allah Maha Melihat terhadap segala sesuatu. Sedangkan ‘Allah tidak membersihkan mereka’, maksudnya tidak membersihkannya dan memuji mereka dalam kebaikan. Bahkan, Allah Subhanahu wa Ta’ala berbuat yang sebaliknya pada mereka. Nas’alullaha al-‘afiyah. (at-Ta’liq ‘ala Shahih Muslim, 1/349—350)

Karenanya, ikhlaskanlah segala sesuatu yang telah diserahkan di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dengan itu, diharapkan Allah Subhanahu wa Ta’ala membalas segenap kebaikan yang telah diamalkan. Tanpa harus mengungkit-ungkit dan menyakiti orang yang menerima pemberian sedekah tersebut.

Wallahu a’lam.

Sumber: Majalah Asy Syariah

© 1446 / 2024 Forum Salafy Indonesia. All Rights Reserved.
Enable Notifications OK No thanks