PERISTIWA MATA AIR RAJI’’
Ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Muhammad Harits Abrar
Sebuah tragedi terjadi atas kaum muslimin. Sejumlah utusan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dibantai musuh-musuh Islam akibat pengkhianatan yang dilakukan sekelompok kaum yang mengaku-aku telah berIslam.
Setelah perang Uhud usai, kaum musyrikin Quraisy tetap bertahan sehingga dikira akan bersiap menyerang Madinah. Hal ini dirasa cukup menyulitkan posisi kaum muslimin. Maka Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam pun mengutus pasukan untuk mengintai gerak-gerik musyrikin Quraisy.
Di kalangan musyrikin sendiri, mereka justru saling mencela dan meminta Abu Sufyan kembali menyiapkan pasukan untuk menyerang Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabatnya. Ketika berita ini sampai kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabat, mereka mengucapkan kalimat yang menunjukkan besarnya keimanan dan keyakinan mereka kepada Allah subhanahu wa ta’ala, sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala:
“(Yaitu) orang-orang (yang menaati Allah dan Rasul) yang kepada mereka ada orang-orang yang mengatakan: ‘Sesungguh-nya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka’. Perkataan itu justru menambah keimanan mereka dan mereka menjawab: “Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung.” (Ali ‘Imran: 173)
Pada bulan Shafar, datanglah utusan dari masyarakat ‘Adlal dan Al-Qarah yang mengaku telah masuk Islam. Mereka meminta agar diutus orang-orang yang bisa mengajarkan Islam dan membacakan Al-Qur`an untuk mereka. Al-Imam Al-Bukhari meriwayatkan bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam me-ngirim sepuluh orang dengan dipimpin Martsad bin Abi Martsad Al-Ghanawi [1], disertai pula Khubaib bin ‘Adi.
Setibanya di Ar-Raji’, sebuah perairan milik kabilah Hudzail, di pinggiran Hijaz, kaum ‘Adlal dan Al-Qarah malah berkhianat. Mereka berteriak memanggil orang-orang Hudzail yang akhirnya datang mengepung mereka kemudian membantai sebagian besar utusan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. Tinggallah Khubaib dan Zaid bin Datsinah menjadi tawanan. Keduanya dibawa ke Makkah dan dijual kepada orang-orang Quraisy yang para pemimpin mereka banyak terbunuh oleh keduanya di Badr.
Al-Imam Al-Bukhari mengisahkan dalam Shahih-nya (dalam Fathul Bari 7/473) dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:
Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam mengirim satu pasukan mata-mata dan mengangkat ‘Ashim bin Tsabit sebagai pimpinan. Dia adalah kakek ‘Ashim bin ‘Umar bin Al-Khaththab. Merekapun berangkat hingga tiba di antara ‘Usfan dan Makkah. Ternyata berita ini dibocorkan kepada Bani Lihyan, yang lantas membuntuti mereka dengan seratus pasukan panah. Hingga ketika mereka tiba di satu tempat, mereka dapati pada bekas rombongan ‘Ashim biji-biji kurma yang dibawa dari Madinah. Kata mereka: “Ini adalah kurma Madinah.” Merekapun mengejar hingga berhasil menemukan rombongan ‘Ashim.
Sementara rombongan ‘Ashim berlin-dung di Fadfad. Akhirnya datanglah pasukan Bani Lihyan mengepung mereka dan berkata: “Kalian berhak membuat kesepakat-an dan perjanjian. Jika kalian turuti kami maka kami tidak akan membunuh seorang-pun dari kalian.”
Kata ‘Ashim: “Adapun aku, tidak akan menerima perlindungan orang kafir. Ya Allah, sampaikan tentang kami kepada Nabi-Mu.”
Maka merekapun memerangi rombong-an ‘Ashim hingga dia terbunuh dari tujuh korban yang ada, akibat serangan panah. Tinggallah Khubaib dan Zaid serta seorang lagi. Lalu merekapun menerima kesepakatan dan perjanjian, setelah itu merekapun ikut dengan pasukan Bani Lihyan.
Setelah pasukan itu menguasai Khu-baib dan teman-temannya, mereka melepas tali busur mereka, mengikat Khubaib dan dua temannya. Shahabat yang ketiga tadi berkata: “Ini adalah pengkhianatan pertama.” Dan dia menolak ikut mereka. Akhirnya pasukan itu menyeretnya namun dia tetap menolak. Maka merekapun membunuhnya.
Pasukan itu akhirnya membawa Khu-baib dan Zaid kemudian menjualnya di Makkah. Khubaib dibeli Bani Al-Harits bin ‘Amir bin Naufal di mana Khubaib pernah membunuh Al-Harits pada waktu perang Badr. Akhirnya dia tinggal bersama mereka sebagai tawanan, sampai mereka sepakat untuk membunuhnya. (Ketika ditawan), Khubaib meminjam pisau cukur kepada salah satu anak perempuan Al-Harits untuk membersihkan diri. Wanita itu pun meminjamkannya.
Wanita itu mengatakan: “Aku sempat lupa dengan anakku yang masih kecil. Dia (anak si wanita itu, red.) masuk mendekati Khubaib dan oleh Khubaib diletakkan di atas pahanya. Ketika aku melihatnya, aku sangat ketakutan dan ini diketahui Khubaib, sedangkan di tangannya tergenggam pisau cukur itu. Diapun berkata: “Apakah engkau takut kalau aku membunuh anak ini? Tidak mungkin aku melakukannya, Insya Allah.”
Wanita itu setelah itu selalu berkata: “Aku belum pernah melihat tawanan yang lebih baik dari Khubaib. Aku pernah melihat-nya memakan segenggam anggur, padahal ketika itu di Makkah tidak ada buah-buahan, sedangkan dia terbelenggu dengan rantai besi. Ternyata itu tidak lain adalah rizki yang Allah berikan kepadanya.
Kemudian mereka keluar menjauhi daerah Al-Haram (Makkah) untuk membu-nuh Khubaib.
Khubaib berkata: “Biarkan aku mengerjakan shalat dua rakaat.” Setelah itu dia menoleh kepada mereka, dan berkata: “Kalau bukan karena khawatir kalian meng-anggap aku takut mati, tentu aku tambah lagi.” Dialah yang pertama memberikan contoh (sunnah) shalat dua rakaat sebelum dibunuh. Kemudian dia berkata: “Ya Allah, hitunglah jumlah mereka.” Lalu dia berkata lagi:
Aku tidak pernah peduli ketika aku terbunuh sebagai muslim
Di bagian manapun tubuhku jatuh terbunuh karena Allah
Itu untuk membela Dzat Allah [2], dan kalau Dia kehendaki
Tentu Dia berkahi salah satu anggota tubuhku yang terputus
Kemudian bangkitlah ‘Uqbah bin Al-Harits lalu membunuhnya. Kemudian orang-orang Quraisy mengirim utusan untuk men-cari satu bagian tubuh ‘Ashim yang mereka ketahui bahwa ia yang membunuh pembesar mereka di Badr. Kemudian Allah mengirim-kan serombongan lalat atau lebah seperti naungan yang melindungi ‘Ashim dari utusan-utusan tersebut sehingga mereka tidak dapat mendekatinya.”
Ibnu Hajar rahimahullah menerangkan, ketika Khubaib berdoa dengan kalimat tersebut, tidak ada yang selamat dari mereka kecuali orang yang menjatuhkan dirinya tiarap di atas tanah. Beliau nukil dari Ibnu Ishaq dari Mu’awiyah bin Abi Sufyan yang menyertai ayahnya Abu Sufyan ketika itu, bahwa beliau mengatakan: “Ayahku melempar-kanku ke atas tanah, khawatir terkena doa itu.”
Dan beliau nukilkan pula dari riwayat Abil Aswad bahwa Jibril datang kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan keadaan mereka. Lalu beliaupun menyampaikannya kepada para shahabat.
Ibnul Qayyim menceritakan bahwa ketika itu Abu Sufyan menawarkan kepada Khubaib, katanya: “Bagai-mana, apakah engkau senang kalau Muhammad yang kami tawan dan lehernya ditebas sedangkan engkau tinggal di tengah-tengah keluargamu?” Kata Khubaib: “Tidak, demi Allah. Tidaklah aku senang meskipun aku bersama keluargaku namun Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam ada di tempat lain dan dia tertusuk duri.”
Beberapa Faedah Kisah Ini
Ibnu Hajar menerangkan beberapa faedah dari kisah yang ada dalam hadits ini, di antaranya:
- Bolehnya menepati perjanjian kesepakatan dengan kaum musyrikin
- Menahan diri tidak membunuh anak-anak mereka
- Adanya karamah para wali
- Bolehnya mendoakan kejelekan untuk kaum musyrikin secara umum
- Bolehnya shalat ketika akan dibunuh
- Bolehnya mendendangkan syair ketika akan dibunuh.
Dan ini menunjukkan kekuatan keyakinan Khubaib dan keteguhannya terhadap Islam.
Dari sini kita lihat pula bagaimana kaum musyrikin sangat menghormati dan mengagungkan tanah haram (Makkah), semoga Allah tetap menjaga dan memulia-kannya. Wallahu a’lam.
Catatan Kaki:
- Demikian Ibnul Qayyim menyebutkan bahwa yang diangkat menjadi pimpinan adalah Martsad bin Abi Martsad Al-Ghanawi radhiyallahu ‘anhu, namun wallahu a’lam yang lebih tepat adalah seperti yang tersebut dalam hadits berikutnya.
- Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah menerangkan dalam Bada`i’ul Fawa`id (2/7-8) bahwa konteks seperti maknanya adalah , yaitu hal itu kutempuh di jalan Allah (dalam ketaatan dan keridhaan-Nya). Demikian pula kata Al-’Allamah Ibnu ‘Utsaimin dalam Syarah Bulughul Maram ketika menjelaskan hadits ‘Aisyah (no. 6770) dari Kitabush Shiyam, lafadz . (ed)
————————————————–
Sumber : Majalah Asy Syariah