KRITIKAN ILMIYAH TERHADAP KITAB AL-IBANAH KARYA MUHAMMAD AL-IMAM
Asy-Syaikh Abu Ammar Ali Al-Hudzaify hafizhahullah
Saya menjumpai kesalahan-kesalahan dan celah-celah pada kitab Al-Ibanah tulisan Muhammad Al-Imam, sementara manusia banyak yang berdalil dengan apa yang dipaparkan oleh penulis dalam kitabnya tersebut, terlebih lagi ketika menghadapi perselisihan. Maka saya ingin menjelaskan issinya. Dan saya memulai menjelaskan kritikan-kritikan padanya maka saya ingin menyebutkan dua perkara, maka saya katakan dan hanya Allah saja yang memberi taufiq:
Pertama: Sesungguhnya kitab tersebut telah membuat senang sebagian orang-orang yang lembek manhajnya, diantara mereka adalah:
- Ali Al-Halaby.
Saya telah menulis surat kepada para ikhwah yang dekat dengan Asy-Syaikh Rabi’ hafizhahullah dengan mengatakan: “Mengapa Asy-Syaikh Rabi’ menyetujui kitab tersebut padahal seperti itu isinya?!” Maka mereka mengabarkan kepada saya bahwa Asy-Syaikh Rabi’ tidak ridha dengan kitab tersebut dan beliau menegaskan pendapat beliau dalam membantah kitab Manhajus Salafis Shalih tulisan Ali Al-Halaby yang dia ini dalam kitabnya ingin menghabisi jarh terhadap para pengekor hawa nafsu seandainya Asy-Syaikh Rabi’ tidak mengkritiknya dan membantahnya. Maka Al-Halaby berdalil bahwa Asy-Syaikh Rabi’ telah menyetujui kitab Al-Ibanah karena menurutnya kitab tersebut serupa dengan kitab Manhajus Salafis Shalih. Lalu Asy-Syaikh Rabi’ pun membantahnya dengan menyatakan bahwa beliau tidak menyetujui kesalahan-kesalahan yang terdapat dalam kitab Al-Ibanah. [1]
- Para pengikut Abul Hasan yang mereka mengatakan: “Apa bedanya antara kitab Al-Ibanah dengan kitab As-Sirajul Wahhaj karya Abul Hasan?!” [2]
Kedua: Telah nampak bagi saya dari cara penulis kitab ini bahwa dia –sadar atau tidak sadar– ingin sampai kepada beberapa perkara:
- Memperluas lingkup Ahlus Sunnah.
- Mempersempit kritikan terhadap ahli bid’ah, hal itu dengan cara meletakkan berbagai penghalang di hadapan jarh wa ta’dil.
- Mempersempit pintu vonis terhadap ahli bid’ah.
Adapun kritikan-kritikan terhadap kitab tersebut adalah sebagai berikut:
- Muhammad Al-Imam mengatakan dalam Al-Ibanah halaman 36 (cetakan baru hal. 47 –pent):
فاتضح من كلام أهل العلم أن السني: من عرف باتباع الأصول الثابتة: القرآن والسنة وما عليه سلف الأمة.
“Maka jelaslah berdasarkan perkataan para ulama bahwa seorang Ahlus Sunnah adalah seseorang yang dikenal mengikuti prinsip-prinsip pokok yang pasti yaitu Al-Qur’an, As-Sunnah, dan apa yang ditempuh oleh generasi Salaf dari ummat ini.”
Setelah ucapan yang panjang, dia menyimpulkan:
فعلى ما سبق ذكره لا يكون السني مبتدعا بسبب التساهل في بعض السنة، ولا يكون مبتدعا بسبب وجوده مع فرقة أو حزب لعمل دنيوي مع حبه لأهل السنة واعتقاده عقيدتهم.
“Jadi berdasarkan pemaparan yang telah lalu, seorang Ahlus Sunnah tidak akan menjadi seorang mubtadi’ hanya karena sikap meremehkan atau menggampangkan sebagian As-Sunnah, dan dia tidak menjadi mubtadi’ disebabkan keberadaannya bersama sebuah kelompok atau partai karena perkara dunia, selama dia masih mencintai Ahlus Sunnah dan tetap meyakini keyakinan mereka.”
Berkaitan dengan ucapannya: “Maka jelaslah berdasarkan perkataan para ulama bahwa seorang Ahlus Sunnah adalah seseorang yang dikenal mengikuti prinsip-prinsip pokok yang pasti yaitu Al-Qur’an, As-Sunnah, dan apa yang ditempuh oleh generasi Salaf dari ummat ini.”
Maka saya katakan: Prinsip-prinsip pokok ini saja tidak cukup, karena itu sifatnya umum yang belum bisa membedakan antara Ahlus Sunnah yang murni dengan selain mereka, hal ini berdasarkan kesimpulan dari penulis. Dan klaimnya bahwa ini berasal dari perkataan para ulama perlu diteliti lagi. Dan timbangan di sisi para ulama adalah sikap berpegang teguh dengan Islam yang murni.
Al-Barbahary rahimahullah berkata dalam Syarhus Sunnah:
وَلَا يَحِلُّ لِرَجُلٍ أَنْ يَقُوْلَ: فُلَانٌ صَاحِبُ سُنَّةٍ حَتَّى يَعْلَمَ أَنَّهُ قَدْ اجْتَمَعَتْ فِيْهِ خِصَالُ السُّنَّةِ، فَلَا يُقَالُ لَهُ: ” صَاحِبُ حَتَّى تَجْتَمِعَ فَيْهِ السُّنَّةُ كُلُّهَا.
“Tidak halal bagi seseorang untuk mengatakan bahwa si fulan adalah Shahibu Sunnah (Ahlus Sunnah) sampai dia mengetahui bahwa telah terkumpul pada orang tersebut sifat-sifat As-Sunnah. Jadi tidak boleh mengatakan bahwa dia adalah Shahibu Sunnah hingga pada dirinya terkumpul As-Sunnah secara menyeluruh.”
Syaikhul Islam rahimahullah berkata di dalam Al-Wasithiyah:
لَكِنْ لَمَّا أَخْبَرَ النَّبِيُّ أَنَّ أُمَّتَهُ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً كُلُّهَا فِيْ النَّارِ إِلَّا وَاحِدَةً صَارَ الْمُتَمَسِّكُوْنَ بِالْإِسْلَامِ الْمَحْضَ الْخَالِصِ عَنْ الشّوْبِ: هُمْ أَهْلُ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ.
“Hanya saja ketika Nabi shallallahu alaihi was sallam mengabarkan bahwa umat beliau akan berpecah menjadi 73 golongan yang semuanya akan masuk neraka kecuali satu golongan saja, maka jadilah orang-orang yang berpegang teguh dengan Islam yang murni dan bersih dari kotoran, mereka adalah Ahlus Sunnah wal Jama’ah.”
Jadi prinsip semacam ini lebih cermat dibandingkan prinsip-prinsip yang disebutkan oleh penulis, sedangkan penyebutan yang sifatnya global pada tempat ini tidaklah bermanfaat, karena hal itu akan menjadi rancu bagi banyak orang-orang awam. Juga karena bisa saja seseorang mengklaim mengikuti Al-Kitab, As-Sunnah, serta manhaj Salaf, lalu dia berdalil dengan sebagian riwayat dari Salaf untuk mendukung perkara-perkara nyleneh yang muncul dari dirinya.
Sedangkan berkaitan dengan ucapannya: “Jadi berdasarkan pemaparan yang telah lalu, seorang Ahlus Sunnah tidak akan menjadi seorang mubtadi’ hanya karena sikap meremehkan atau menggampangkan sebagian As-Sunnah, dan dia tidak menjadi mubtadi’ disebabkan keberadaannya bersama sebuah kelompok atau partai karena perkara dunia, selama dia masih mencintai Ahlus Sunnah dan tetap meyakini keyakinan mereka.”
Maka saya katakan: Seandainya orang tersebut meyakini aqidah Ahlus Sunnah tentu dia tidak akan ikut partai, dan siapa yang meyakini aqidah Ahlus Sunnah tetapi dia masuk ke dalam salah satu kelompok atau dia mengikuti salah satu partai, maka sesungguhnya kita akan menjelaskan penyimpangannya ini kepadanya. Jika dia tetap pada sikapnya, maka dia digabungkan dengan partai tersebut dan tidak ada kehormatan baginya. Dan keluar dari Ahlus Sunnah terkadang disebabkan oleh ucapan, terkadang karena perbuatan, dan terkadang dengan sebab keyakinan. Sedangkan Ahlus Sunnah selalu menjaga prinsip untuk menetapi jama’ah (persatuan) dan membuang perpecahan dengan segala macam bentuknya, karena hal itu termasuk prinsip pokok yang paling agung di sisi mereka, sebagaimana yang dikatakan oleh Ath-Thahawy rahimahullah:
وَنَرَى الْجَمَاعَةَ حَقًّا وَصَوَابًا، وَنَرَى الْفُرْقَةَ زَيْغًا وَعَذَابًا.
“Dan kita meyakini bahwa jama’ah merupakan perkara yang haq dan benar, sedangkan perpecahan merupakan penyimpangan dan adzab.
Syaikhul Islam rahimahullah berkata sebagaimana disebutkan dalam Majmu’ul Fatawa:
وتعلمون أن من القواعد العظيمة التي هي من جماع الدين: تأليف القلوب واجتماع الكلمة وصلاح ذات البين، فإن الله تعالى يقول: “فاتقوا الله وأصلحوا ذات بينكم” ويقول: “واعتصموا بحبل الله جميعا ولا تفرقوا” ويقول: “ولا تكونوا كالذين تفرقوا واختلفوا من بعد ما جاءهم البينات وأولئك لهم عذاب عظيم” وأمثال ذلك من النصوص التي تأمر بالجماعة والائتلاف وتنهى عن الفرقة والاختلاف. وأهل هذا الأصل: هم أهل الجماعة كما أن الخارجين عنه هم أهل الفرقة.
“Dan kalian mengetahui bahwa termasuk kaedah yang agung yang hal itu termasuk dari inti agama adalah menyatukan hati dan bersatunya kalimat serta memperbaiki hubungan, karena Allah Ta’ala berfirman:
فَاتَّقُوْا اللهَ وَأَصْلِحُوْا ذَاتَ بَيْنِكُمْ.
“Maka bertakwalah kalian kepada Allah dan perbaikilah hubungan diantara kalian.” (QS. Al-Anfal: 1)
Juga firman-Nya:
وَاعْتَصِمُوْا بِحَبْلِ اللهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوْا.
“Dan hendaknya kalian berpegang teguh dengan tali agama Allah secara keseluruhan dan janganlah kalian berpecah belah.” (QS. Ali Imran: 103)
Dia juga berfirman:
وَلَا تَكُوْنُوْا كَالَّذِيْنَ تَفَرَّقُوْا وَاخْتَلَفُوْا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْبَيِّنَاتُ وَأُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ عَظِيْمٌ.
“Dan janganlah kalian menjadi seperti orang-orang yang berpecah belah dan berselisih setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang jelas, dan mereka itulah orang-orang yang akan ditimpa oleh adzab yang besar.” (QS. Ali Imran: 104)
Nash-nash (dalil-dalil yang jelas dan tegas) yang semisalnya yang memerintahkan untuk berjama’ah dan bersatu serta melarang dari perpecahan dan perselisihan masih banyak. Dan orang-orang yang berpegang teguh dengan prinsip pokok ini mereka adalah Ahlul Jama’ah, sebagaimana orang-orang yang keluar dari prinsip ini mereka adalah ahlul furqah (orang-orang yang suka berpecah belah –pent).” –selesai nukilan perkataan Syaikhul Islam–
Jadi kaedah yang disebutkan oleh penulis (Muhammad Al-Imam) terlalu luas, dan yang semacam ini bisa diterapkan pada semua perkara yang menyelisihi kebenaran, sehingga seseorang bisa menjadi seorang mubtadi’ dalam sebuah bab padahal dia masih mencintai Ahlus Sunnah dan juga masih meyakini aqidah mereka. Dan tidak diragukan lagi bahwa semacam ini terlalu meluas yang tidak bisa diterima.
Bersambung in Syaa Allah
Sumber:
http://www.sahab.net/forums/index.php?showtopic=148992
http://www.albaidha.net/vb/showthread.php?t=55246
**************
Catatan kaki:
[1] Ali Al-Halaby telah mempersaksikan bahwa kitab Al-Ibanah tulisan Muhammad Al-Imam menyerupai kitabnya yang dia tulis. Al-Halaby mengatakan tentang dirinya di dalam kitab Manhajus Salafi Shalih hal. 1: “Hanya saja mayoritas masalah-masalah yang dipaparkan oleh Asy-Syaikh Al-Halaby dalam kitabnya disepakati oleh Asy-Syaikh Muhammad Al-Imam dalam kitabnya yang berjudul Al-Ibanah ‘an Kaifiyyatil Ta’amul ma’al Khilaf Baina Ahlis Sunnah wal Jama’ah.”
Maka Asy-Syaikh Rabi’ hafizhahullah menyanggahnya dengan mengatakan:
أقول: لقد أخطأ الشيخ الإمام في موافقته لأصول الحلبي. فاستشهادك بالخطأ يدل على أنك غارق في الهوى، ثم مَنْ مِنْ علماء السلف مَنْ شهد لك ولكتابك القائم على محاربة المنهج السلفي؟ أليس فقدانك لشهادات العلماء من أوضح الأدلة على بطلان ما حواه هذا الكتاب وعلى مضادته لمنهج السلف؟
“Saya katakan: Asy-Syaikh Al-Imam telah salah dalam menyetujui prinsip-prinsip Al-Halaby. Jadi pendalilanmu dengan sebuah kesalahan hal ini menunjukkan bahwa engkau tenggelam dalam hawa nafsu. Kemudian siapakah diantara para ulama Salaf yang mempersaksikan bagimu dan bagi kitabmu yang berdiri untuk memerangi manhaj Salaf?! Bukankah dengan engkau tidak mendapatkan persaksian para ulama termasuk bukti yang paling jelas yang menunjukkan kebathilan kandungan kitab ini dan permusuhannya terhadap manhaj Salaf?!”
Asy-Syaikh Rabi’ hafizhahullah juga mengatakan:
ربيع لم يقرظ كتاب “الإبانة” للإمام، ولقد تصفحه في أول الأمر تصفحاً سريعاً، ومع ذلك استنكر بعض الأمور فيه، وعلّق على هذا الكتاب بتنبيهات لمحمد الإمام ليرجع عن أخطائه، ثم قرأه مرة ثانية وأبدى ملاحظات على بعض الأخطاء في هذا الكتاب، وطلب من الإمام أن يرجع عنها، وأن يعيد النظر في كتابه، فإذا وجد في كتابه مخالفة لمنهج السلف فعليه أن يرجع عنها، ولا أزال على هذا الموقف البعيد عن المحاباة.
“Rabi’ tidak pernah memberi taqridh (pengantar) bagi kitab Al-Imam tulisan Al-Imam. Dia telah menelaah halamannya pada pertama kali dengan cepat, dan bersamaan itu dia mengingkari sebagian perkara yang ada padanya, dan dia memberikan catatan terhadap kitab ini dengan beberapa peringatan terhadap Muhammad Al-Imam agar dia rujuk dari kesalahan-kesalahannya. Kemudian dia membacanya untuk kali kedua dan menampakkan kritikan-kritikan terhadap sebagian kesalahan dalam kitab ini, dan dia telah meminta kepada Al-Imam agar dia rujuk dari kesalahan-kesalahan tersebut, dan hendaknya dia meneliti kembali kitabnya. Lalu jika dia menjumpai dalam kitabnya penyelisihan terhadap manhaj Salaf, maka dia wajib untuk rujuk darinya. Dan saya masih terus di atas sikap ini yang jauh dari basa-basi.”
Lihat: http://www.sahab.net/forums/index.php?showtopic=137517
dan http://www.sahab.net/forums/index.php?showtopic=137476 (pent)
[2] Waqafaat ma’a Kitab Al-Ibanah, tulisan Adnan Al-Maqthary, sebagaimana terdapat dalam forum internet Muntadayaat Ma’rib.
Lihat: http://www.mareeb.net/vb/showpost.php?p=90357&postcount=1 (pent)
[3] Majmu’ul Fatawa, XXVIII/51.