KOLABORASI HALABIYUN: KUMPULAN THULLABUL HAWA’ DAN SYUHADA AL ISKANDAR
Alhamdulillah was Sholatu was Salamu ‘ala Rasulillah wa ‘Ala Alihi wa Ashabihi Waman Tabi’a Hudahu Ila Yaumil Qiyamah. Wa Asyhadu Alla Ilaha Illallah Wahdahu Laa Syarika Lah Wa Asyhadu Anna Muhammadan ‘Abduhu Wa Rasuluhu, Amma Ba’du :
Dalam Rangka mengamalkan ayat :
وَذَكِّرْ فَإِنَّ الذِّكْرَىٰ تَنْفَعُ الْمُؤْمِنِينَ
“Dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman” (Adz Dzariyyat :55).
Dan juga mengamalkan ayat :
إِنَّ الَّذِينَ يَكْتُمُونَ مَا أَنْزَلْنَا مِنَ الْبَيِّنَاتِ وَالْهُدَى مِنْ بَعْدِ مَا بَيَّنَّاهُ لِلنَّاسِ فِي الْكِتَابِ أُولَئِكَ يَلْعَنُهُمُ اللَّهُ وَيَلْعَنُهُمُ اللاعِنُونَ
إِلا الَّذِينَ تَابُوا وَأَصْلَحُوا وَبَيَّنُوا فَأُولَئِكَ أَتُوبُ عَلَيْهِمْ وَأَنَا التَّوَّابُ الرَّحِيمُ
“Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan, berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam Al Kitab, mereka itu dilaknat Allah dan dilaknati (pula) oleh semua (mahluk) yang dapat melaknati.
“Kecuali mereka yang telah taubat dan mengadakan perbaikan, dan menerangkan (kebenaran). Maka terhadap mereka itulah aku menerima taubatnya dan Akulah yang Maha menerima taubat lagi Maha Penyayang”. (Al Baqarah :159-160)
Alhamdulillah telah dipersaksikan oleh segenap Salafiyyin Ahlus Sunnah Wal Jama’ah atas Bayan Rujuk (Penjelasan Rujuk) yang disampaikan oleh Ust.Saifuddin Zuhri di Masjid Agung Baitussalam Purwokerto pada hari Sabtu tanggal 20 shafar 1436 H bertepatan tanggal 13 Desember 2014. Dan Allah Mengetahui apa yang akan terjadi setelahnya dari Ust.Saifuddin Zuhri atas kebenaran rujuknya kepada al-Haq.
Dikala Salafiyyin berbahagia dengan Sunnah Muthahharah tersebut, ternyata di sebagian qalbu-qalbu Ahlu at-Takhdzil justru merasa gerah dan tidak nyaman dengan amalan shalih tersebut. Bingung, tergesa-gesa untuk bisa mendapatkan dalil yang bisa menunjukkan ‘kebathilan’ taubat dan rujuk tersebut. Entah karena kebetulan ataukah karena dicari-cari, ditemukanlah sebuah Fatwa Kalimat Ilmiyyah dalam Tanya jawab yang terangkum dalam risalah Maratibul Hidayah wa Mafasidul Kadzib oleh as-Syaikh al-Walid Rabi’ bin Hadi Umair al-Madkhaly hafidzahullahu ta’ala.
Gambar 1. MLM mendidih dengan bayan rujuknya Al ustadz Saifuddin Zuhri yang beliau sampaikan di depan umat
Datanglah kegembiraan ahlul ahwa’ karena sebab itu, kebahagiaan yang beriring bersahutan antara satu sama lainnya. Seakan itu menjadi pelita yang akan menyinari Sunnah Nabawiyyah. Disebarkanlah fatwa itu seluas-luasnya sampai ke pelosok bumi yang Allah Maha Mengetahuinya.
Ternyata, itu adalah al-Haq namun mereka inginkan dengan itu adalah kebathilan. Mereka selewengkan al-Haq tersebut kedalam makna yang mengikuti hawa nafsu mereka. Taubat dan rujuk yang sesuai dengan Sunnah Muthahharah mereka katakan sebagai Bid’ah. Maha Suci Allah atas apa yang mereka sifatkan pada Dienn-Nya.
Berikut fatwa as-Syaikh Rabi’ bin Hadi al-Madkhaly hafidzahullahu ta’ala:
Gambar 2. Fatwa Asy Syaikh Rabi’ hafizhahullah
Pertanyaan : Apakah menegakkan Jalsah Taubat atas sebagian orang yang jatuh kedalam sebagian kesalahan/dosa-dosa termasuk dalam Manhaj Salaf ?
Jawaban : “Hendaknya seseorang itu menasehati orang yang berbuat salah secara rahasia antara dia dengan dirinya. Dan nasehat itu tidaklah dalam rangka disebarluaskan (kesalahannya, pent). Hendaknya dia katakan kepadanya : “Bertaqwalah kepada Allah wahai saudaraku. Aku ini adalah saudaramu yang mengharapkan kebaikan bagimu”. Dan dia mengingatkannya kembali kepada Allah. Adapun metode yang disebutkan ini, saya menilainya sebagai Thariqahnya ahlul bid’ah. Wallahu a’lam”. (Maratibul Hidayah wa Mafasidul Kadzib, Daarul Mirats al-Anbiya’, hal 27)
Dengan memohon pertolongan dan keridhaan dari Allah, berikut sedikit kami rangkumkan tentang sebagian dari perbedaan antara Taubat yang Sunnah dengan Taubat yang Bid’ah. Allahu Al Muwaffiq Ila Sabil ar-Rasyad
CONTOH JALSAH TAUBAT YANG BID’AH DAN MENYELISIHI SUNNAH (JALSAH AT TAUBAH ASH SHUFFIYAH)
Disebutkan dalam kitab Al Marja’ Ma’alimul Masyru’ wal Mamnu’ min Mumarasati At Tashawwuf Al Mu’ashir hal.29, karya Seorang Shufi, Ibrahim bin Khalil bin Ali as-Syazdhili :
“Dan tata cara taubat di tengah-tengah kami bagi yang laki-laki adalah sebagai berikut : “Seorang pelaku dosa duduk dihadapan seorang Syaikh (shufi) sebagaimana tatacara duduknya dalam shalat, dalam kondisi suci tubuh dan pakaiannya. Kemudian ia laporkan kepada syaikhnya bahwa dia bertaubat dari dosanya (dengan menyebutkan langsung dosa apa yang dikerjakan olehnya). Setelah itu Syaikhnya berkata : “ Berjanjilah untuk meninggalkan kemaksiatan, dan hendaknya engkau mengerjakan ketaatan sesuai kadar kemampuan. Sehingga Allah tidak melihatmu sebagai seorang yang melanggar larangannya. Tidak pula sebagai seorang yang meninggalkan perintah-Nya. Dan wajib atasmu untuk tetap di atas dakwah (shufiyah) ini dan Tarekat ini”.
Kemudian Syaikhnya tersebut yang menentukan apakah taubatnya diterima ataukah tidak. Dan masih berlanjut lagi ritual jalsah taubat tersebut sampai selesai. Jalsah taubat itu dihadiri sekumpulan jama’ah tarekat untuk menyaksikan acara taubat.
Diantara sifat taubat shufiyyah dan rafidhah yang juga masyhur adalah mereka berkumpul dalam suatu majelis kemudian mereka menangis, meneriakkan dosa-dosa mereka, dan menyakiti tubuh-tubuh mereka sebagai bentuk taubat kepada Allah. Wallahu a’lam
(Dari contoh di atas, lebih dekat dan sesuai dengan fatwa as-Syaikh Rabi’ hafidzahullah tentang makna jalsah taubah bid’iyyah yang dimaksudkan oleh Beliau dalam Kitab Maratibul Hidayah wa Mafasidul Kadzib hal,27 yang dinukilsebar oleh Syuhada al Iskandar , disebarluaskan pula oleh pelita sunnah yang mengambil dari status Halabiyun Abdul Aziz Subagya dan diposting juga oleh group wa almultaqa assalafy)
BAGAIMANAKAH THARIQAH DALAM BERTAUBAT YANG BENAR DAN SESUAI SUNNAH ?
As Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin berkata (Syarh Riyadhus Shalihin, Bab ke 28. Menutupi aib muslimin dan larangan menyebar luaskannya tanpa adanya kebutuhan darurat) : “ … Apabila seseorang diantara tabiatnya adalah memiliki kekurangan, cacat, dan aib. Maka sikap yang seharusnya adalah ia menutupi aib saudaranya dan janganlah ia mengumbar aib dan kekurangannya kecuali karena sebab yang darurat. Jika ternyata ada suatu perkara darurat, maka haruslah ia menceritakannya kepada manusia (tentang keburukan-keburukannya tersebut). Namun, jika ternyata tidak ada perkara yang darurat untuk ia sebarkan, tentu yang sebaiknya adalah ia tutupi aib saudaranya. Dikarenakan kita adalah manusia biasa yang terkadang salah karena syahwat (yaitu karena keinginan buruk) ataupun karena suatu hal yang samar. Lalu karena samarnya hal tersebut, dia menganggap itu adalah al haq yang ternyata adalah suatu hal yang bathil lalu dia mengucapkannya ataupun mengerjakannya. Maka seorang mukmin diperintahkan untuk menutupi aib saudaranya.
Misalnya engkau mengetahui ada seseorang yang yang suka berdusta dan menipu dalam jual beli, janganlah engkau langsung menyebarkan keadaannya di khalayak umum. Bahkan semestinya adalah engkau menasehatinya dan menutupinya. Jika ia mendapatkan taufiq dan hidayah lalu ia tinggalkan kesalahan-kesalahannya, itulah tujuan yang dikehendaki. Namun, jika ternyata ia masih terus menerus di atas kesalahannya, maka wajib bagimu untuk menyebarkan di tengah khalayak umum tentang keadaannya agar manusia tidak tertipu olehnya”.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam: “Tidaklah seorang hamba menutupi aib seorang hamba lainnya, kecuali pasti Allah akan menutup aibnya pada hari kiamat” (HR.Muslim 6686)
As Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin rahimahullah berkata : “ Menutupi aib/dosa/kesalahan seseorang tidaklah terpuji (secara mutlak) dalam semua kondisi, dan tidak pula tercela dalam semua kondisi. Bahkan perkara ini terbagi menjadi 2 macam :
Pertama : Menutupi aib/dosa/kesalahan seseorang yang senang menutupi atas diri pribadinya. Yaitu suatu kesalahan yang sifatnya tidak menyeretnya pada kekejian (di tengah muslimin). Maka yang demikian ini semestinya untuk ditutupi, dinasehati, dan dijelaskan kepadanya bahwa dia telah keliru. Ini merupakan jenis perbuatan ‘menutupi kesalahan’ yang terpuji.
Kedua : Menutupi kesalahan seseorang yang mengikuti hawa nafsunya, suka meremehkan dalam banyak hal, senang melampaui batas terhadap hamba-hamba Allah, dan suka berbuat kejelekan. Maka jenis orang seperti ini tidaklah ditutup tutupi kesalahannya. Bahkan yang disyariatkan adalah dijelaskan keburukan-keburukannya kepada waliyyul amr sehingga ia diberikan sangsi karenanya. Dan agar supaya menjadi peringatan bagi yang lainnya. (Syarhu Riyadh ash Shalihin Bab 28)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, aku mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berkata : “ Semua Ummatku akan termaafkan kecuali orang yang terang-terangan dengan dosanya. Diantara bentuk terang-terangan berbuat dosa adalah seseorang yang berbuat suatu dosa di malam harinya, kemudian sampai masuk waktu pagi dalam keadaan Allah telah menutupinya. Namun justru ia bercerita kepada orang lain, “Wahai fulan, tadi malam aku berbuat dosa ini dan itu”. Ia telah tidur di malam harinya dalam keadaan Allah tutupi dosanya, tapi esoknya justru ia buka tabir yang telah Allah tutupkan pada dirinya” (Muttafaq Alaih, Al Bukhari 6069, dan Muslim 8/224)
CONTOH RUJUK DAN TAUBAT YANG BENAR DARI KESALAHAN YANG TELAH TERSEBAR DALAM MASALAH ILMIYYAH
As Syaikkh Rabi’ bin Hadi al Madkhaly hafidzahullahu Ta’ala pernah MENYAMPAIKAN BAYAN RUJUKNYA DARI KESALAHAN BELIAU DALAM SUATU MAJELIS. Yaitu ketergelinciran lisan yang beliau ucapkan dalam salah satu pelajaran yang beliau ampu. Bayan rujuknya Syaikh Rabi’ pada saat itu mengambil tema “ MENERIMA NASEHAT DAN TUNDUK KEPADA AL HAQ MERUPAKAN KEWAJIBAN BESAR SELURUH KAUM MUSLIMIN”.
Berikut teks terjemah dari bayan rujuknya beliau hafidzahullahu ta’ala :
Segala puji bagi Allah, shalawat serta salam semoga tercurahkan kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, keluarga, para sahabatnya dan kepada siapa saja yang mengikuti petunjuk Beliau. Amma ba’du “
Sungguh aku telah membaca sebagian kabar yang disebarkan oleh media atas sebuah ucapan yang disandarkan kepadaku. Yaitu telah terucap oleh lisanku salah satu ucapan yang aku sampaikan dalam salah satu muhadharah, “ Jika Rasulullah berlepas diri darimu MELALUI LISAN Rabb kita”. Aku mengucapkan perkataan itu saat sedang berdalil dengan firman Allah Ta’ala, “ Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agama mereka, dan mereka dalam kondisi bercerai berai. Tidaklah engkau (Muhammad) termasuk dari bagian mereka sedikitpun”. Aku bawakan ayat ini untuk menunjukkan diharamkannya bercerai berai. Kemudian aku katakan selanjutnya, “Bagaimana mungkin kita tidak takut wahai saudara sekalian, jika kita justru memilih percerai beraian lalu kita hidup dalam kondisi demikian itu selama ratusan tahun dan berabad abad lamanya…”
Aku memohon ampun kepada Allah atas ucapan buruk dan bathil ini beratus-ratus kali. Aku juga meminta untuk dihapus semua rekaman yang ada kalimat tersebut. Dan saya ingatkan dengan keras bagi siapa saja yang masih menyimpannya untuk segera menghapusnya.
Aku nyatakan bahwa kalimat ini adalah kalimat yang rusak dan bathil. Maha Tinggi dan Maha Suci Allah dari sifat yang demikian tersebut. Maka sungguh Dialah Allah Ta’ala Yang Suci dari segala sifat yang menyerupai makhluknya.
Beliau juga menyatakan, …Aku memohon kepada Allah Al karim Rabbal Arsyil Adzhim agar mengampuni semua dosa dan kesalahanku, yang aku sembunyikan ataupun yang aku tampakkan. Dan semoga Allah mengampuni semua ketergelinciran dan kesalahan-kesalahanku. Ketergelinciran tulisan, lisan, perbuatan ataupun keyakinan.
Setiap hamba itu banyak kesalahannya, dan sebaik-baik orang yang berbuat salah adalah orang yang banyak bertaubat. Aku memohon kepada Allah agar menjadikanku sebagai salah seorang hamba yang banyak bertaubat lagi mensucikan diri.
Menerima nasehat dan mengikuti al-Haq adalah diantara kewajiban yang paling wajib atas seluruh kaum muslimin, dari arah manapun nasehat itu datang kepadanya. Tidak boleh seorang muslim merendahkan dan meremehkan seseorang yang menasehati bagaimanapun keadaan waktu itu.
Aku berlindung kepada Allah dari sikap penolakan terhadap nasehat, ataupun sikap pembelaan terhadap kesalahan dan kebathilan yang muncul dariku. Karena yang demikian ini adalah metode mungkar, yaitu suatu metode yang dilakukan oleh orang-orang yang berbuat kerusakan, kesombongan dan penentangan terhadap al-Haq. Demikian ini juga merupakan kriteria orang-orang yang diberikan peringatan namun tidak mau menerima peringatan. Maka aku berlindung kepada Allah dari sifat-sifat buruk ini. Dan aku memohon kepada Allah agar tidak Menjadikanku diantara orang yang Allah sebutkan dalam ayat berikut (artinya), “ Dan orang-orang yang apabila diingatkan ayat-ayat Rabb mereka kepadanya, mereka tidak tunduk, dan jadilah mereka orang yang tuli lagi buta”.
Dan aku nasehatkan kepada diriku sendiri dan seluruh kaum muslimin untuk mengikuti manhaj ini dan tegar di atasnya. Menerima nasehat orang-orang yang memberi nasehat, dan meniti jalannya salafus shalih dalam saling menasehati dan mewasiatkan. Yaitu dengan al-Haq dan menerima nasehat. Dalam rangka mengamalkan firman Allah Ta’ala (artinya), “Demi masa. Sesungguhnya manusia dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal shalih. Dan mereka saling mewasiatkan dengan Al Haq dan dengan kesabaran”
Demikian pula dalam rangka mengamalkan firman Allah Ta’ala (artinya), “ Orang-orang yang beriman laki-laki maupun perempuan. Sebagian mereka menjadi pelindung sebagian yang lain. Mereka memerintahkan yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar”.
Dan diantara tanda petunjuk, istiqamah, kelurusan, dan keberuntungan dalam kehidupan dunia dan akhirat adalah ketegaran di atas Kitabullah dan as-Sunnah. Demikian pula senantiasa meniti Manhaj ini dari segi aqidah, amal, akhlaq, amar ma’ruf nahi munkar, demikian pula menutup semua celah keburukan dengan hikmah dan dengan cara-cara yang mulia.
Dan aku berdoa kepada Allah Azza Wa Jalla agar melimpahkan taufiq kepada Ummat ini. Terlebih lagi kepada Ahlus Sunnah Wal Jama’ah agar terus bangkit berjuang dengan Manhaj yang agung ini. Dan semoga Allah menyatukan kalimat mereka. Dan menjadikan mereka terpuji dan mulia di dunia. Dan menjadikan mereka sukses lagi beruntung di akhirat karena sebab mengikuti manhaj ini. Sesungguhnya Rabbku adalah Maha Mendengar doa.
Wa Shallallahu ala nabiyyina Muhammad wa Ala Alihi Wa Sahbihi wa Sallam
Ditulis oleh : Rabi’ bin Hadi al Madkhaly 8/07/1425 H. Mekkah Al Mukarramah.
(Penjelasan Syaikh Rabi’ di atas sebagai penerang atas fatwa beliau dalam Kitab Maratibul Hidayah wa Mafasidul Kadzib hal.27. yang dinukil oleh Abu Syakir Syuhada dan kumpulan thullabul hawa’ pelita sunnah)
CONTOH MENEGUR KESALAHAN BUKAN DENGAN CARA RAHASIA
Abu Nashr al Hasan bin Muhammad bin Ibrahim meriwayatkan dengan sanadnya, dari Abbas bin Muhammad ad Daury berkata : Aku mendengar Yahya bin Ma’in bercerita : “Suatu waktu kami hadir dalam majelisnya Nu’aim bin Hammad di Mesir, kemudian beliau bacakan Kitab susunannya. Beliau bacakan darinya beberapa saat, sampai kemudian beliau bacakan hadits, “Ibnul Mubarok telah menceritakan kepada kami dari Ibnu Aun dengan beberapa hadits”.
Yahya bin Ma’in kemudian berkata kepadanya : “Hadits ini bukan melalui Ibnul Mubarak”.
Nu’aim pun marah karenanya dan mengatakan : “Kamu membantahku?”.
Yahya bin Ma’in kemudian menimpali : “Demi Allah, aku membantahmu karena aku memuliakanmu”. Maka Nu’aim tetap bersikukuh dan enggan rujuk.
Yahya berkata: “Setelah aku melihatnya enggan untuk rujuk, maka aku katakan kepadanya : “Demi Allah, engkau sama sekali tidak pernah mendengar ini dari Ibnul Mubarak, dan Ibnul Mubarak sama sekali tidak pernah mendengarnya dari Ibnu ‘Aun”.
Maka Nu’aim bin Hammad bertambah kemarahannya, dan ahlul hadits yang ada dalam majelis tersebut juga turut marah karenanya. Nu’aim kemudian bangkit berdiri dan masuk ke dalam rumahnya , tak lama kemudian beliau keluar lagi dengan membawa beberapa kitab lembaran hadits, seraya berkata (dan kitab tetap dipegangnya) : “Dimanakah orang-orang yang mengatakan bahwa Yahya bin Ma’in bukanlah Amirul Mukminin dalam Ilmu hadits ?, benar engkau wahai Abu Zakaria (Yahya bin Ma’in), dan aku telah salah”.
Ternyata kitab lembaran hadits tersebut menjadi bukti bahwa Nu’aim tidak meriwayatkan dari Ibnul Mubarak dari Ibnu ‘Aun. Bahkan Nu’aim meriwayatkan langsung dari Ibnu Aun tanpa melalui Ibnul Mubarak. (Tahdzibul Kamal, al imam Al Mizzy, tarjamah Nu’aim bin Hammad)
SALAFUS SHALIH TEGAS DALAM MENJELASKAN KESALAHAN DAN RUJUK DARI KESALAHAN
As Syaikh Rabi bin Hady al Madkhaly berkata dalam kitab ( an Naqdu manhaj syar’i ta’liq ala kitab ibn rajab al farqu baina an nashihah wa at ta’yir) :
“…Para Imam Ahlus Sunnah sepeninggal mereka (Para shahabat) dari kalangan Tabi’in, Atba’ At Tabi’in dan seterusnya sampai hari kita sekarang ini, selalu dalam Bayan (penjelasan atas kesalahan). Para Ahli Fiqih, Ahli Tafsir semuanya mereka menjelaskan kesalahan. Seandainya ada seseorang yang salah, maka mereka katakana “salah”. Jika ada yang sesat dalam tafsirnya, mereka katakan “sesat”, atau “berbuat bid’ah”…”
APAKAH DIPERSYARATKAN MENASEHATI SECARA RAHASIA SEBELUM MENGKRITIK KESALAHAN SESEORANG YANG TELAH TERSEBAR ?
As Syaikh Rabi’ bin Hadi al Madkhaly.
Pertanyaan : “Wahai Syaikh kami, diantara perkara yang beredar dan sudah menjadi sandaran atas salafiyyin. Yaitu, adanya sebagian orang yang menganggap wajibnya memberikan nasehat sebelum ditahdzir. Apakah ada catatan darimu wahai syaikh kami dalam persoalan ini ?
Jawaban : Aku telah menjawab pertanyaan ini pada waktu yang telah lalu barakallahu fiik. Dan adanya sekelompok orang ini telah menjadi musibah atas kita. Engkau dapatkan pada mereka menyebarluaskan kebathilan-kebathilan, kedustaan-kedustaan, kebohongan-kebohongan secara personal ataupun secara umum.
Ketika engkau arahkan kepadanya nasehat, kritikan atau yang semisalnya, dia berkata : “Mengapa mereka tidak memperingatkanku terlebih dahulu ? mengapa mereka tidak menasehati terlebih dahulu ? mengapa mereka tidak menjelaskan kepadaku terlebih dahulu ? ini adalah alasan-alasan yang rusak.
Kami hanyalah meminta dari mereka untuk bertaubat kepada Allah. Kembali kepada kebenaran dengan segala bentuk adab dan kerendahhatian. Dan hendaknya mereka tinggalkan semua alasan-alasan yang rusak ini.
Taruhlah (misalnya), bahwa orang ini telah salah, dia tidak berbicara (kepadamu terlebih dahulu) dan tidak pula menasehatimu. Kembalilah kamu kepada Al Haq dan setelahnya tegurlah dia. Adapun jika ternyata kamu sebarkan luaskan (kebathilan) ditengah manusia dan engkau bertahan di atas kebathilanmu dan kesalahan-kesalahanmu, lalu kamu katakan, “Kenapa mereka begitu (padaku), mengapa mereka lakukan itu atasku”, ini adalah omong kosong belaka.
Wajib atas setiap mukmin untuk rujuk kepada Allah Tabaraka wa Ta’ala (Al Haq), menerima nasehat yang sifatnya rahasia ataupun nasehat terang-terangan.
Kenyataannya, engkau sebarkan kesalahan-kesalahanmu dalam kitab-kitab dan dalam rekaman-rekaman, dan…dan… dan seterusnya. Iya kalau misalnya engkau sembunyikan kesalahan-kesalahanmu dan engkau perbuat di tengah kegelapan, rahasia antara dirimu dengan Allah. Lalu ada seorang yang mengetahuinya, kemudian dia menasehatimu secara rahasia antara dirimu dengan dirinya (itu wajar).
Adapun jika ternyata engkau sebarluaskan ucapan-ucapanmu, perbuatan-perbuatanmu di muka umum (di alam ini). Kemudian datang seorang muslim menyebarluaskan pula bantahannya kepadamu, maka yang demikian tidaklah mengapa.
Tinggalkanlah alasan-alasan yang datang dari ahlul bathil, yaitu orang-orang yang menginginkan kebathilan dan penentangan (terhadap al haq)”. (Kaset Liqa’ Ma’a as Syaikh Rabi’ 1422H. Pertanyaan ke-5)
(Penjelasan Syaikh Rabi’ di atas sebagai penerang atas fatwa beliau dalam kitab Maratibul Hidayah wa Mafasidul Kadzib hal.27. yang dinukil oleh Abu Syakir Syuhada dan kumpulan thullabul hawa’ pelita sunnah)
LANGKAH DALAM MENASEHATI SESEORANG DARI KESALAHAN DAN PENYIMPANGAN
As Syaikh Ubaid bin Abdillah Al Jabiry
Pertanyaan : “Ini adalah sebuah pertanyaan terkait dengan mekanisme dalam memberikan nasehat kepada seseorang yang melakukan kesalahan. Apakah dipersyaratkan baginya untuk secara kontinyu dan berkesinambungan dalam menasehatinya dan duduk bersamanya ?
Jawaban : “ Nasehat itu ada dua keadaan.
Pertama, jika perkaranya terkait langsung dengan pribadi orang yang sedang dinasehati. Maka hendaknya ia dinasehati secara rahasia antara dirimu dengan dirinya. Berusaha keraslah untuk menasehatinya dan berilah keterangan yang jelas. Dan secara kontinyu jika engkau masih melihat padanya kelembutan, kecenderungan (pada al-Haq), dan sambutan yang baik, berbuat lembutlah kepadanya dalam penyampaian. Bersungguh sungguhlah dalam menasehatinya, dan terangkanlah bahwa kamu hanyalah menginginkan untuknya nasehat.
Kedua, terkait dengan kemaksiatan yang dilakukan terang-terangan. Kemaksiatan yang terang-terangan ini wajib atasnya untuk bertaubat darinya. Misalnya dia mencuri dan membahayakan orang lain. Seorang yang berbuat kemaksiatan dan merugikan orang lain dalam agama ataupun dunia mereka, orang seperti ini pantas untuk ditahdzir secara umum darinya. Sehingga dengan itu orang-orang mengerti bahayanya. Kecuali jika statusnya adalah sebagai waliyyul amr, maka ia dinasehati secara rahasia. Perkara ini telah kami paparkan dalam banyak tempat.
Terkadang kesalahan yang terjadi adalah berupa bid’ah, yaitu penyelisihan dalam bentuk bid’ah. Sudah bertebaran dan tersebar kemana-mana ditengah manusia. Demikian ini haruslah segera dibantah dengan dalil, dengan itu akan tersingkap keadaan sebenarnya dan dijelaskan bahwa itu adalah bid’ah yang menyelisihi sunnah Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Seperti inilah dahulu para Imam-imam dari kalangan para sahabat dan orang-orang yang setelahnya sampai hari kita sekarang ini. Para Ulama muslimin mereka di atas (manhaj) ini.
Sampai kemudian dia berlepas diri dari penyimpangan yang dibantah secara umum, sampai dia lepaskan penyimpangan tersebut dari benak manusia, dan dia jelaskan al-Haq kepada orang-orang yang mencari al-Haq.
Adapun jika bid’ah itu terkait dengan diri pribadi seseorang, ia tidak menyerukan bid’ah tersebut, tidak pula mengikrarkannya, tidak pula menyebarluaskannya. Maka hendaknya dia dinasehati secara pribadi. Iya, maka permasalahan seperti ini butuh perincian. (Muhadharah dengan tema “ Min Asbabi Mahabbatillah Lil Abdi”. Dalam rangkaian Al Liqaat As Salafiyyah Al Qathriyyah Tanggal 14/12/2011)
TATACARA RUJUK YANG BENAR DARI KESALAHAN YANG TERKAIT DENGAN MASALAH ILMIYYAH
As Syaikh Muhammad bin Hadi al Madkhaly hafidzahullahu Ta’ala :
Pertanyaan : “Seseorang yang salah dalam satu masalah ilmiyah, kemudian dijelaskan kepadanya kesalahannya, maka bagaimanakah cara untuk rujuk?”
Jawaban: “Misalnya dia mengatakan sesuatu yang salah, maka dia mencabut kesalahannya dengan mengatakan, “Saya telah salah.”
Kalau itu terjadi pada sekumpulan orang yang dia datangi maka dia menyatakannya di kumpulan tersebut dengan mengatakan, “Saya telah salah.”
Jika kesalahan tersebut terjadi secara tertulis, maka dia harus menulis (penjelasan kesalahan tersebut) dan menyebarkannya sebagaimana dia telah menyebarkan kesalahannya.
Kalau kesalahan tersebut berupa rekaman suara, maka dia harus merekam (penjelasan kesalahan tersebut) dan menyebarkannya. Hal itu tidak akan merugikanmu.
Aku, orang-orang yang mengatakan kepadaku pada daurah yang lalu, tentang ucapan Syaikhul Islam, aku telah mengatakan (sesuatu) yang berbeda dengannya. Maka keesokan harinya, langsung aku katakan kepada mereka, “Saya telah salah.” Karena perkataan tersebut terjadi pada daurah tersebut. Sedangkan pada majelis inilah orang-orang yang menghadirinya mendengar perkataan saya, (Aku katakan) “Muhammad bin Hadi telah salah.”
Alangkah dinginnya kalimat tersebut pada hatiku, dan alangkah baiknya untuk tanggung jawabku, dalam rangka melepaskan diri darinya (tuntutan tanggung jawab tersebut).
Sikap semacam ini –demi Allah– akan menambah manusia semakin percaya kepada dirimu. Karena engkau tidak takut kepada mereka, engkau hanya takut kepada Allah Jalla wa ‘Ala. Karena jika engkau membiarkan manusia membawa kesalahanmu, maka mereka akan tersesat dengan sebab dirimu, sementara engkau sendiri –demi Allah– juga harus memikul kesalahan-kesalahanmu sendiri, kita memohon ampunan dan maaf kepada Allah.
Jadi tidak akan merugikanmu wahai anakku (panggilan kecintaan dari beliau –pent) sang penanya apabila engkau mengatakan, “Saya telah salah.” Walhamdulillah.
Jika engkau juga bertanya tentang bagaimana cara rujuk (mencabut kesalahan), maka tentunya engkau mengetahui bagaimana engkau telah salah, kapan kesalahan tersebut, dan di mana kesalahan. Maka engkau memperbaiki kesalahan tersebut dengan yang serupa,
Dalam hal tempatnya; Jika terjadi pada kumpulan manusia seperti ini, maka besok engkau datang untuk mengatakan, “Saya telah salah dalam masalah ini.”
Jika kesalahan tersebut terjadi pada sebuah pelajaran maka engkau katakan, “Saya telah salah dalam masalah ini.”
Jika kesalahan tersebut terekam, maka engkau pun harus merekam (pernyataan rujukmu).
Jika kesalahan tersebut terjadi pada media (seperti website, whatsApp dan lain sebagainya –pent) maka engkau juga harus menyebarkan (pernyataan rujuk tersebut) seperti itu juga.
Dengan cara semacam inilah engkau membebaskan dirimu dari tanggung jawab dan manusia akan mengetahui kejujuranmu.
Dan –insya Allah– engkau akan semakin bertambah mulia di sisi Allah, kemudian setelah itu Allah akan mengangkat kedudukanmu di tengah-tengah manusia.
Kita memohon kepada Allah agar memberikan taufik kepada kami dan kalian semuanya agar bisa bersikap demikian. (Lihat : http://tukpencarialhaq.wordpress.com/2014/02/08/cara-bertaubat-dari-kesalahan )
MENGAMBIL PELAJARAN DARI TAUBATNYA ABUL HASAN AL ASY’ARI rahimahullahu ta’ala
Muhammad bin Muhammad Al Husainy berkata : “ Dahulu Abul Hasan Al Asy’ari mengambil ilmu kalam dari Abu Ali Al Juba’i seorang Syaikhnya Mu’tazilah. Kemudian Abul Hasan meninggalkannya karena sebuah mimpi yang dilihatnya, lalu dengan sebab itu dia rujuk dan berlepas diri dari sekte Mu’tazilah dan dia tampakkan terang-terangan hal itu dihadapan manusia. Abul Hasan naik ke atas mimbar di Bashrah pada hari jum’at dan mengangkat suaranya tinggi-tinggi seraya berkata, “Barangsiapa mengenaliku, pastilah dia telah kenal siapa aku. Dan barangsiapa yang belum mengenaliku, ketahuilah bahwa aku adalah Ali bin Ismail bin Ishaq Al Asy’ari (Abul Hasan).
Gambar 3. Contoh fattan jahat kadzdzab, Lisannya mendahului ilmunya
Dahulu aku adalah orang yang mengucapkan bahwa Al Qur’an adalah makhluk ciptaan. Aku juga berkata bahwa Allah tidaklah melihat dengan pandangan pada hari akhirat. Aku juga berkata bahwa hamba itu menciptakan perbuatannya sendiri”. Adapun sekarang ini, inilah aku seorang yang bertaubat dari paham mu’tazilah dengan keyakinan, dan sebagai bantahan terhadap mu’tazilah”. (Ittihaf as Saadah al Muttaqin bi Syarh Asrar ihya’ ulumuddin 2/3)
Al Hafidz Abul Qasim Ali bin Al Hasan bin Hibatullah berkata, Abu Bakr Ismail Al Azdy berkata : “ Sesungguhnya Abul Hasan dahulu seorang tokoh mu’tazilah, dan ia berpendirian dengan madzhab mu’tazilah selama 40 tahun. Dan ia merupakan salah seorang Imam sekte mu’tazilah. Hingga suatu hari dia bersembunyi dan tak terlihat dihadapan manusia selama 15 hari. Lalu Abul Hasan keluar dari rumahnya menuju Masjid Jami’ di Bashrah, beliau naik keatas mimbar setelah shalat jum’at seraya berkata : “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya aku menghilang dari tengah-tengah kalian karena sebab aku sedang melihat keadaan diriku. Bertumpuk-tumpuk dalil ada pada diriku, namun belum tampak mana yang lebih kuat padaku antara yang Haq atas kebathilan, dan antara kebathilan atas al-Haq. Maka aku pun bergegas untuk memohon petunjuk kepada Allah Tabaraka Wa Ta’ala, kemudian Allah memberikan petunjuk kepadaku terkait apa yang telah aku torehkan di dalam kitab-kitabku ini. Dan aku tanggalkan semua yang telah menjadi keyakinanku, sebagaimana sekarang aku tanggalkan bajuku ini (kemudian seketika itu beliau lepaskan bajunya dan beliau melemparkannya)”.
Berkata Ibnu Katsir atas taubatnya Abul Hasan Al Asy’ari rahimahullah ta’ala : “ Sesungguhnya Al Asy’ari dahulu adalah seorang berpaham mu’tazilah kemudian dia bertaubat dari paham tersebut di kota Bashrah di atas mimbar. Lalu beliau singkap borok-borok dan kerusakan-kerusakan mu’tazilah”. (al bidayah wa an nihayah 11/187)
IBNU AQIL SALAH SEORANG DIANTARA ULAMA YANG MENGUMUMKAN TAUBATNYA DI MASJID DAN DIHADIRI OLEH KAUM MUSLIMIN
Berkata al Imam Abu Hafs Umar bin Muhammad al Baghdady kepada Ibnu Qudamah al Maqdisy : “Aku telah hadir pada hari senin, tanggal 8 Muharram, tahun 465 H dalam majelis pernyataan taubatnya as Syaikh Abul Wafa’ Ibnu Aqil di Masjid as Syarif Abu Ja’far di Nahr Mu’alla. Dan hadir pada saat itu sejumlah besar kaum muslimin”. (ar Radd ala Ibni Aqil, Ibnu Qudamah)
KOLABORASI HALABIYUN, IMAM SYUHADA AL ISKANDAR (BANDUNG), GROUP WA ALMULTAQA ASSALAFY INDONESIA DAN KUMPULAN THULLABUL HAWA PELITA SUNNAH
Dari semua keterangan di atas, apakah yang dikehendaki oleh kumpulan Thalibul Hawa’ dalam situs laba-labanya pelita sunnah (baca:pelita bid’ah) ?
Gambar 4. Abu Syakir Syuhada aktif menyebar syubhat majelis taubat bid’ah
Gayung bersambut dari Syuhada Bandung, lalu tak berselang lama juga tampil mempesona di halaman depan website takhdzilnya yang mengambil dari narasumber Halabiyun Abdul Aziz Subagya.
Gambar 5. Pelita Sunnah berkolaborasi bersama Halabiyun Rodja untuk menebar tuduhan dusta dan fitnah. Nampak Haris Aceh menjadi propaganda situs ini
Demikian cepat menyebar penukilan pula dari daratan Riau juga tak kalah tertinggal dari teman-temannya.
WA Almultaqa Assalafy yang dimandori oleh Dzulakmal menjadi media jembatan penyebar syubhat di tengah-tengah mereka.
Gambar 6. Kawan Tedo Hartono cs juga sebar syubhat dari rujukan grup Multaqa Indonesia Pekanbaru
Lebih seru lagi dengan sambutan para Juhhal fesbuker yang menjadikannya bahan perbincangan dalam status dan komentar-komentar miringnya.
Tidaklah tampak dari kalian kecuali hawa nafsu. Hendak menyebarkan kerancuan, kesamaran, ta’wil-ta’wil yang bathil, dan membenturkan antara satu hukum dengan hukum yang lain.
Cukuplah kasus kerusakan pemahaman kalian ini menjadi bukti.
Lebih tepatnya adalah kalian digolongkan termasuk dalam ayat berikut :
… فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ …
“Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyabihat daripadanya untuk menimbulkan fitnah dan mencari-cari takwilnya” (Ali Imran : 7)
Diperjelas oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam : “Jika engkau melihat orang-orang yang mengikuti perkara yang mutasyabihat, maka mereka itulah orang-orang yang Allah maksudkan dalam ayat ini (Ali Imran ayat 7), tahdzirlah mereka”
Indah nian kalian sok tampakkan kecintaan dan kerendahhatian kepada Syaikh Rabi’ dengan mencomot salah satu fatwa beliau hafidzahullah. Namun dari arah depan dan belakang kalian tikam beliau.
Apa tujuan kalian tampilkan fatwa Syaikh Rabi’ tersebut ? Bukankah dalam rangka untuk membela Dzulqarnain Sunusi yang juga ditahdzir oleh Syaikh Rabi’ itu sendiri ? Karena sudah jamak diketahui bahwa Ust.Saifuddin Zuhri telah rujuk dari kesalahannya, dan diantara kesalahannya adalah pembelaan dan kebersamaan dengan Dzulqarnain Sunusi.
Tidakkah kalian buka dan lapangkan qalbu kalian sebagaimana juga dicontohkan oleh Para Ulama Ar rasikhin yang rujuk dari kesalahan dan tidak membangkang dari nasehat. Sampai sebegitu nafsunya Syuhada al Iskandar gayung bersambut dengan kumpulan thalibul hawa’ pelita sunnah bersama Halabiyunnya untuk berusaha menjatuhkan alhaq dan ahlul haq.
Menjadi buta, bisu lagi tuli. Bayan rujuk dan taubat dari kesalahan yang merupakan thariqah salaf dan termasuk sunnah muthahharah kalian katakan sebagai bid’ah.
Jika bayan rujuk dari kesalahan di majlis umum itu adalah bid’ah, apakah makna yang kalian inginkan adalah pembangkangan dari nasehat dan menyelisihi taubat itu adalah sunnah ? Ataukah upaya kalian untuk menyembunyikan kesalahan-kesalahan kalian yang telah tersebar sampai ke ufuk itu adalah sunnah ?
Status, mengaku sebagai Ahlussunnah, sebagai Salafy. Tapi kalian runtuhkan setengah dari prinsip Sunnah yaitu Hukum-hukum taubat dan kaifiyahnya.
Taubat merupakan setengah dari amalan seorang hamba. Karena seorang hamba haruslah mengumpulkan kebaikan-kebaikan dan meminta kepada Allah untuk dihapuskan dosa dan kesalahannya. Dengan prinsip kalian dalam hukum taubat yang terbolak balik, tentu akibat yang ditimbulkan adalah rusaknya prinsip-prinsip Islam dan Sunnah.
Jika kalian taruhlah (misal) sebagai orang-orang Rafidhah, itu hal yang umum datang dari mereka. Namun, berkacalah, kalian mengaku sebagai Salafy dan berpakaian Salafy. Bahkan mengaku sebagai thalibul ilmi. Lalu, sepanjang belajar aqidah, dimanakah ilmu tentang hukum-hukum taubat dan kaifiyahnya ?
Jangan kalian samakan antara jenis tatacara taubat yang bid’ah dan taubat yang sunnah. Kami adalah salafiyyin, bukan shufiyyin, mempelajari dan mengerti bagaimanakah taubat yang shahihah.
Adapun kalian, mengapakah bersikeras dan berkaku hati untuk menerima nasehat ? Semestinya kalian ikuti jejak salaf, bersegera dalam bertaubat. Kami adalah saudara-saudara kalian salafiyyin, menginginkan kebaikan pada kalian.
Saya ingatkan juga kepada kawan-kawan dekatnya Syuhada, saudaraku Abu Ibrahim Mundzir. Akhi, kenapa antum biarkan dia dalam kesalahan ? Tidakkah kamu semestinya orang yang pertama kali menegurnya ? Jangan beralasan tidak tahu hukumnya. Jangan beralasan tidak tahu statusnya. Bahkan ia adalah diantara orang yang terdekatmu. Jangan juga beralasan sudah menasehatinya diam-diam. Dia dengan bangganya menyebarluaskan, dan engkau diam ? Allahu Akbar.
Dan dimanakah keberadaan Dzulakmal ? Anda melihat dan menyaksikan kerusakan ini. Mengapakah diam saja ? Muridmu-muridmu, teman-temanmu dengan santai, tanpa beban, menyebarkan kerusakan ini.
TAUBAT YANG TERPUJI DAN BERJALAN DI ATAS SUNNAH LALU KALIAN KATAKAN BID’AH DENGAN BERDASAR FATWA SYAIKH RABI’ HAFIDZAHULLAH YANG KALIAN LETAKKAN BUKAN PADA TEMPATNYA.
Demi Allah, seandainya kita diam dari kebathilan, maka sungguh akan rusaklah agama Islam ini, dan akan binasalah kita karenanya. Allahu Al Musta’an.
Contoh contoh rujuk dan taubatnya para Ulama Sunnah yang ditampilkan di atas, menjadi hujjah betapa mulianya rujuk kepada kebenaran.
Wa Shallallahu ala Muhammad Wa Ala Alihi Wa Sahbihi Wa Sallam Tasliman Katsira.
Ditulis oleh : al Faqir Ila Afwi Rabbihi, Saudara kalian Hamzah Rifa’i,
Yogyakarta, Selasa 23 Shofar 1436 H / 16 Desember 2014