KETIKA GHULUW MELANDA KEHIDUPAN
Ditulis oleh: Al-Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi, Lc.
Apa Itu Ghuluw?
Ghuluw, dalam bahasa Arab bermakna: berlebih, naik, dan melampaui batas. (Al-Mu’jamul Wasith, 2/232. Lihat pula Ash-Shihah, 2/24, dan Lisanul Arab, 15/131)
Dalam terminologi syariat, ghuluw bermakna berlebih-lebihan dalam suatu perkara dan bersikap ekstrem padanya dengan melampaui batas yang telah disyariatkan. (Lihat Fathul Bari karya Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah, 13/291 dan I’anatul Mustafid Bisyarhi Kitabit Tauhid karya Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah, 1/479) [1]
Ghuluw secara umum terbagi menjadi dua macam: ghuluw dalam hal aqidah (keyakinan) dan ghuluw dalam hal amalan. (Lihat Iqtidha’ Ash-Shirathil Mustaqim karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah, 1/253)
Rinciannya sangat banyak. Di antaranya ghuluw dalam hal aqidah, ibadah, muamalah, adat (kebiasaan), suluk (budi pekerti) [2], ghuluw terhadap sosok tertentu, terhadap pepohonan, bebatuan, tempat-tempat (yang dikeramatkan), kubur-kubur, dan lain sebagainya. (Lihat Al-Qaulul Mufid ‘ala Kitabit Tauhid karya Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah, 1/234, I’anatul Mustafid Bisyarhi Kitabit Tauhid, 1/480, Al-Qaulus Sadid fi Maqashidit Tauhid karya Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah dan Syarh Al-Aqidah Ath-Thahawiyyah karya Asy-Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Alusy Syaikh hafizhahullah, 1/734)
Adapun ijtihad yang bermakna bersungguh-sungguh untuk mendapatkan kebenaran, tidak termasuk dari ghuluw.[3] Kecuali jika maksud dari ijtihad tersebut adalah berbanyak-banyakan dalam ketaatan di luar batas yang telah disyariatkan, maka bisa termasuk ke dalam ghuluw.” (Al-Qaulul Mufid Ala Kitabit Tauhid, 1/244)
Ghuluw Dalam Kehidupan Umat Manusia
Sejak dahulu kala, ghuluw telah menjadi bagian dari realita kehidupan umat manusia. Keberadaannya, menjadikan umat tersebut tercoreng sebagai umat yang melampaui batas. Lebih dari itu, ghuluw merupakan sumber petaka dan penyebab kebinasaan dari masa ke masa. Tidaklah ia bercokol pada suatu umat melainkan kehancuranlah bagi umat tersebut. Binasa agamanya karena terjatuh dalam kekafiran, kesyirikan, atau kebid’ahan [4] dan juga binasa dunianya. Bahkan menurut Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah dalam kitab Lamhatun ‘Anil Firaqidh Dhallah, munculnya kelompok-kelompok sesat dalam kehidupan umat beragama, tak luput dari peran besar ghuluw tersebut.
Tak heran, jika setan menjadikannya sebagai senjata ampuh untuk menyesatkan umat manusia. Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Tidaklah ada suatu perkara yang Allah Subhanahu wa ta’ala perintahkan (kepada umat manusia, pen.) melainkan setan menebarkan dua jaring jeratnya: meremehkan dalam menjalankan perintah tersebut (tafrith & idha’ah) dan berlebih-lebihan padanya (ifrath & ghuluw). Padahal agama yang Allah Subhanahu wa ta’ala turunkan (kepada umat manusia) adalah agama pertengahan. Ia berada di antara orang-orang yang bermudah-mudahan dalam menjalankannya dan orang-orang yang berlebih-lebihan padanya. Ibarat satu lembah di antara dua gunung, satu petunjuk di antara dua kesesatan, dan satu poros di antara dua kutub yang tercela. Sebagaimana orang-orang yang bermudah-mudahan (dalam menjalankannya) termasuk menyia-nyiakan agama, demikian pula orang-orang yang berlebih-lebihan. Jenis pertama karena sikap bermudah-mudahannya, sedangkan jenis kedua karena sikap berlebihannya (melampaui batas) dari apa yang telah disyariatkan.” (Madarijus Salikin, 2/496)
Dalam kalam ilahi, Allah Subhanahu wa ta’ala memperingatkan umat manusia dari perbuatan ghuluw dengan segala bentuknya. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Wahai ahli kitab, janganlah kalian berlebih-lebihan (melampaui batas) dalam agama kalian, dan janganlah kalian mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar.” (An-Nisa’: 171)
“Katakanlah: ‘Hai ahli kitab, janganlah kalian berlebih-lebihan (melampaui batas) dengan cara tidak benar dalam agama kalian. Dan janganlah kalian mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah sesat dahulunya (sebelum kedatangan Muhammad) dan mereka telah menyesatkan kebanyakan (manusia), dan mereka tersesat dari jalan yang lurus’.” (Al-Ma’idah: 77)
Dalam mutiara kenabian pun terdapat peringatan keras dari perbuatan ghuluw tersebut. Sebagaimana sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam:
إِيَّاكُمْ وَالْغُلُوَّ فِي الدِّينِ، فَإِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِالْغُلُوِّ فِي الدِّينِ
“Hati-hatilah kalian dari perbuatan ghuluw dalam menjalankan agama ini, sesungguhnya kebinasaan umat sebelum kalian disebabkan ghuluw dalam menjalankan agama.” (HR. An-Nasa’i 2/49, Ibnu Majah 2/242, Ibnu Khuzaimah 1/282/2, Ibnu Hibban no. 1011, Al-Hakim 1/466, Al-Baihaqi 5/127, dan Ahmad 1/215, 347, dari sahabat Abdullah bin Abbas Radhiyallahu ‘anhuma. Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah no. 1283)
Asy-Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Alusy Syaikh hafizhahullah berkata: “Ini merupakan larangan dari segala bentuk ghuluw. Sungguh ia penyebab kebinasaan umat sebelum kita, binasa dari sisi agama dan juga dari sisi dunia. Demikian pula, ia adalah sumber petaka. Adapun sikap pertengahan merupakan pangkal keberhasilan dan kebaikan. Ghuluw dengan segala bentuknya dilarang, baik dalam perkataan maupun perbuatan; yakni perkataan hati dan perbuatannya, juga perkataan lisan serta perbuatan anggota tubuh. Bahkan ia adalah sumber petaka seorang hamba, baik pada agama maupun dunianya.” (At-Tamhid Lisyarhi Kitabit Tauhid, 1/345)
Ibrah Di Balik Realita Ghuluw
Para pembaca yang semoga dirahmati Allah Subhanahu wa ta’ala, bila menelisik sejarah niscaya akan dijumpai aneka ragam ghuluw dengan bobot dan kadarnya yang berbeda-beda. Mengingat suatu sejarah akan terus berulang walaupun dengan pelaku yang berbeda, maka penting bagi kita untuk mengetahui fakta tersebut serta mengambil ibrah (pelajaran berharga) darinya. Agar kita berhati-hati dalam menjalankan agama Islam yang lurus ini dan tidak terperangkap dalam jaring jerat ghuluw yang membinasakan. Di antara fenomena ghuluw yang layak dikaji dan penting untuk dijadikan bahan refleksi adalah:
1. Kasus Ghuluw Pada Kaum Nabi Nuh ‘alaihissalam
Kaum Nabi Nuh ‘alaihissalam terjerat perkara ghuluw terhadap orang-orang shalih yang bernama Wadd, Suwa’, Yaghuts, Ya’uq, dan Nasr. Sahabat Abdullah bin Abbas Radhiyallahu ‘anhuma ketika menafsirkan firman Allah Subhanahu wa ta’ala:
“Dan mereka berkata: ‘Jangan sekali-kali kalian meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kalian dan jangan sekali-kali kalian meninggalkan (penyembahan) Wadd, Suwa’, Yaghuts, Ya’uq, dan Nasr’.” (Nuh: 23)
mengatakan: “Mereka (Wadd, Suwa’, Yaghuts, Ya’uq, dan Nasr, pen.) adalah nama orang-orang shalih dari kaum Nabi Nuh ‘alaihissalam. Ketika mereka meninggal dunia, setan membisikkan kepada kaum Nabi Nuh ‘alaihissalam agar membuat patung-patung (berbentuk orang-orang shalih tersebut) di mana mereka biasa duduk beribadah. Kemudian setan pun memerintahkan mereka agar menamai patung-patung tersebut dengan nama-nama mereka. Kaum Nabi Nuh ‘alaihissalam pun mengikuti perintah setan, namun (ketika itu) belum disembah. Tatkala generasi pembuat patung tersebut meninggal dunia, sementara ilmu agama telah sirna, maka dijadikanlah patung orang-orang shalih tersebut sesembahan selain Allah Subhanahu wa ta’ala.” (Lihat Shahih Al-Bukhari no. 4920)
Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan versi lain bahwa ketika mereka meninggal dunia, para pengikutnya pun beri’tikaf (berdiam diri untuk beribadah) di sisi kubur mereka. Kemudian mereka membuat patung-patung monumen berbentuk patung orang-orang shalih tersebut. Setelah berlalu masa, disembahlah patung-patung tersebut.” (Ighatsatul Lahafan, 1/184)
Para pembaca yang semoga dirahmati Allah Subhanahu wa ta’ala, ghuluw terhadap orang shalih, benar-benar telah mengotori lembaran sejarah umat manusia dari masa ke masa. Diawali dengan beribadah kepada Allah Subhanahu wa ta’ala di sisi kubur mereka. Kemudian membuat patung-patung monumen berbentuk orang-orang shalih tersebut dan dinamai dengan nama-nama mereka. Hingga akhirnya diibadahi dan disembah, sebagai sekutu bagi Allah Subhanahu wa ta’ala. Sehingga tidaklah berlebihan jika Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah menyebutkan dalam Kitabut Tauhid sebuah bab ‘Bahwasanya Sebab Kekafiran Bani Adam dan Ditinggalkannya Agama Mereka Adalah Ghuluw Terhadap Orang-orang Shalih.’
Ghuluw inilah yang menjadikan Yahudi berkeyakinan bahwa Uzair adalah putra Allah Subhanahu wa ta’ala, berhak disembah dan diibadahi. Demikian pula Nasrani berkeyakinan bahwa Nabi Isa ‘alaihissalam adalah putra Allah Subhanahu wa ta’ala, berhak disembah dan diibadahi. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Orang-orang Yahudi berkata: ‘Uzair itu putra Allah’ dan orang-orang Nasrani berkata: ‘Al-Masih itu putra Allah.’ Demikian itulah ucapan mereka dengan mulut mereka. Mereka meniru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu. Dilaknati Allah mereka, bagaimana mereka sampai berpaling?” (At-Taubah: 30)
Sebagaimana pula menyeret mereka untuk memosisikan orang-orang alim dan rahib-rahib mereka sebagai Rabb (tuhan) selain Allah Subhanahu wa ta’ala. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Mereka menjadikan orang-orang alim dan rahib-rahib mereka sebagai Rabb selain Allah.” (At-Taubah: 31)
Ghuluw terhadap orang shalih yang mengantarkan kaum Nabi Nuh ‘alaihissalam dan umat terdahulu kepada kesyirikan tersebut, ternyata juga menimpa umat Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam. Padahal tiada henti-hentinya Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam memperingatkannya.
Dalam momentum hajjatul wada’ (haji terakhir), beliau Shalallahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan umat dari perbuatan ghuluw (secara umum) dan menyampaikan bahwa ia penyebab kebinasaan umat terdahulu. Sebagaimana dalam riwayat Abdullah bin Abbas Radhiyallahu ‘anhuma yang telah lalu.
Lima hari sebelum meninggal dunia, secara khusus Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam melarang umat dari perbuatan ghuluw terhadap orang-orang shalih. Sebagaimana dalam sabda beliau Shalallahu ‘alaihi wa sallam: “Ingatlah, sesungguhnya umat terdahulu seringkali menjadikan kubur orang-orang shalih sebagai masjid (tempat ibadah). Ingatlah, jangan kalian menjadikan kubur-kubur sebagai masjid (tempat ibadah). Sungguh aku melarang kalian dari yang demikian itu.” (HR. Muslim no. 532, dari sahabat Jundub bin Abdillah Radhiyallahu ‘anhu)
Bahkan pada detik-detik terakhir menjelang wafatnya, dengan tegas Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Laknat Allah atas orang-orang Yahudi dan Nasrani. Mereka menjadikan kubur para Nabi mereka sebagai masjid (tempat ibadah).”
Ummul Mukminin Aisyah Radhiyallahu ‘anha berkata: ”Beliau memperingatkan umat dari perbuatan orang-orang Yahudi dan Nasrani tersebut. Kalau bukan karena khawatir kubur beliau Shalallahu ‘alaihi wa sallam dijadikan tempat ibadah, niscaya kubur beliau ditampakkan (dikubur di pekuburan umum [Baqi’], pen.).” (HR. Al-Bukhari no. 435, 436 dan Muslim no. 531, dari Ummul Mukminin Aisyah Radhiyallahu ‘anha)
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata: “Nampaknya beliau telah merasakan dekatnya ajal, sehingga mengkhawatirkan bila kuburnya diagungkan sebagaimana yang terjadi pada umat terdahulu. Maka laknat beliau terhadap Yahudi dan Nasrani tersebut sebagai isyarat tercelanya orang-orang yang melakukan perbuatan ghuluw terhadap orang shalih (dari umat ini).” (Fathul Bari, 1/634) [5]
Tahukah anda, siapakah biang keladi atas terjadinya kesyirikan dan peribadatan terhadap kubur pada umat ini? Biang keladinya adalah kelompok sesat Syi’ah Rafidhah. Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah dalam Kitabut Tauhid [6] berkata: “Dengan sebab kelompok sesat Syi’ah Rafidhah lah, kesyirikan dan peribadatan terhadap kubur terjadi. Merekalah orang-orang yang pertama kali membangun tempat ibadah di atas kubur.”
Bahkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam Iqtidha’ Ash-Shirathil Mustaqim (1/41) menegaskan bahwa Syi’ah Rafidhah lah yang banyak merusak negeri-negeri muslimin dengan membangun/menfasilitasi tempat-tempat ibadah (masyahid) dan kubah-kubah di atas kubur, pengeramatan terhadap kubur dan penghuninya, serta penyebaran bid’ah (hal-hal baru dalam agama yang tidak ada tuntunannya).
Para pembaca yang semoga dirahmati Allah Subhanahu wa ta’ala, ghuluw terhadap orang shalih baik ia seorang nabi, rasul, wali, ataupun selainnya dari orang-orang yang dikenal keshalihannya merupakan sebab terkuat binasanya suatu umat dari masa ke masa. Karena memang fitrah manusia secara umum condong untuk mencintai dan mengagungkan orang-orang shalih. Ditambah lagi adanya bisikan setan bahwa itulah hakikat kecintaan, pengagungan, dan pemberian hak kemuliaan kepada mereka.
Asy-Syaikh Sulaiman bin Abdullah Alusy Syaikh berkata: “Sesungguhnya ghuluw terhadap orang shalih merupakan akar kesyirikan dari masa ke masa. [7] Mengingat menyekutukan Allah Subhanahu wa ta’ala dengan orang shalih tersebut mudah diterima oleh jiwa, maka setan pun menampakkannya sebagai bentuk kecintaan dan pengagungan terhadap orang shalih (dan bukan bagian dari kesyirikan, pen.).” (Taisir Al-Azizil Hamid, hal. 305)
Maka dari itu, ketika ghuluw terhadap orang shalih tersebut membelenggu suatu umat atau pribadi tertentu, sangatlah sulit bagi mereka untuk bisa lepas darinya. Tengoklah kaum Nabi Nuh ‘alaihissalam di atas. Hidup mereka berkisar dari satu bentuk ghuluw kepada bentuk ghuluw berikutnya. Hingga pada puncaknya terjerumus ke dalam kesyirikan. Tatkala datang kepada mereka Nabi Nuh ‘alaihissalam menyampaikan peringatannya selama ratusan tahun, dan dilakukannya siang malam, baik dengan sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan. Sama sekali mereka tak bergeming dari kesesatannya. Bahkan mereka memusuhi Nabi Nuh ‘alaihissalam karenanya, dan saling berwasiat sesama mereka dengan wasiat batil: “Jangan sekali-kali kalian meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kalian dan jangan sekali-kali kalian meninggalkan (penyembahan) Wadd, Suwa’, Yaghuts, Ya’uq, dan Nasr.”
Semakin mengherankan manakala peribadatan kepada Wadd, Suwa’, Yaghuts, Ya’uq, dan Nasr secara estafet dilanjutkan oleh bangsa Arab. Wadd diibadahi oleh kabilah Kalb di Daumatul Jandal, Suwa’ diibadahi oleh kabilah Hudzail, Yaghuts diibadahi oleh kabilah Murad kemudian bani Ghuthaif di Jauf Saba’, Ya’uq diibadahi oleh kabilah Hamdan, dan Nasr oleh Alu Dzul Kila’ dari kabilah Himyar. (Lihat Shahih Al-Bukhari no. 4920, dari sahabat Abdullah bin Abbas c)
Tak beda jauh kiranya dengan keadaan para pemuja kubur dan pengultus sosok panutan dari umat ini. [8] Tatkala datang kepada mereka penyampai kebenaran dan tauhid, mereka pun memusuhinya. Bahkan tak jarang laqab (julukan) buruk pun disematkan kepada penyampai kebenaran dan tauhid tersebut. Semoga Allah Subhanahu wa ta’ala menjauhkan kita dari segala jenis ghuluw, terkhusus ghuluw terhadap orang-orang shalih yang membinasakan umat manusia dari masa ke masa. Wallahul musta’an.
2. Kasus Ghuluw Kaum Khawarij
Kaum Khawarij adalah kelompok sesat dalam agama ini. [9] Menurut Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan, tidaklah kaum Khawarij itu tersesat melainkan karena perbuatan ghuluw dalam menjalankan agama ini. [10] Apalagi tak hanya satu jenis ghuluw yang membelenggu mereka. Cukuplah sejarah menjadi saksi atas itu semua.
Asy-Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Alusy Syaikh berkata: “Mereka berbuat ghuluw dalam hal aqidah, di mana telah tersesat (dari jalan kebenaran, pen.), mengafirkan (orang-orang yang tidak berhak dikafirkan, pen.), dan meninggalkan manhaj para sahabat Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka juga ghuluw dalam hal berbanyak-banyakan ibadah, sampai-sampai seseorang dari sahabat Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam merasa bahwa shalat dan shiyam (puasa)nya tidak ada apa-apanya dibandingkan shalat dan shiyam mereka, sebagaimana disebutkan dalam hadits Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam. [11] Sebagaimana pula ghuluw mereka dalam hal jihad dan amar ma’ruf nahi munkar. Dengan klaim jihad, mereka memerangi orang-orang yang secara syar’i tidak berhak –bahkan haram– untuk diperangi. Hingga pada klimaksnya, mereka memerangi para sahabat Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam, manusia-manusia pilihan Allah Subhanahu wa ta’ala. Mereka bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah Subhanahu wa ta’ala dengan membunuh Khalifah Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu, sahabat termulia di masa itu. Bahkan pembunuhan terhadap Khalifah Utsman bin bin Affan Radhiyallahu ‘anhu juga bagian dari ulah orang-orang Khawarij tersebut.” (Lihat Syarh Al-Aqidah Ath-Thahawiyyah, 1/734)
Kaum Khawarij amat berlebihan (ghuluw) dalam memegang prinsip keyakinannya (aqidah) yang dibangun di atas akal dan hawa nafsu. Mereka campakkan manhaj (metode pemahaman) para sahabat Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia dalam memahami agama ini. Sehingga jauhlah mereka dari ilmu yang bersumber dari cahaya kenabian. Akibatnya, mereka kafirkan orang-orang yang tidak berhak –bahkan diharamkan– untuk dikafirkan. Mereka perangi para sahabat Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam, manusia-manusia pilihan Allah Subhanahu wa ta’ala, dengan klaim jihad dan amar ma’ruf nahi munkar. Bahkan bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah Subhanahu wa ta’ala dengan membunuh Khalifah Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu, sahabat termulia di masa itu. Termasuk pula pembunuhan terhadap Khalifah Utsman bin bin Affan Radhiyallahu ‘anhu.
Dengan tegasnya Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan umat dari mereka:
لَئِنْ أَدْرَكْتُهُمْ لَأَقْتُلَنَّهُمْ قَتْلَ عَادٍ
“Jika aku mendapati mereka (Khawarij), benar-benar aku akan perangi mereka seperti memerangi kaum ‘Aad (yakni; hingga tidak tersisa sedikitpun, pen.).” (HR. Muslim no. 1064, dari sahabat Abu Sa’id Al-Khudri Radhiyallahu ‘anhu)
Padahal mereka adalah ahli ibadah, ahli baca Al-Qur’an, ahli shalat dan puasa, serta wara’ terhadap dunia. Bukan para preman pasar ataupun para koruptor yang gila dunia.
Subhanallah…luar biasa fakta sejarah yang memaparkan perjalanan kaum Khawarij tersebut. Mereka mengafirkan kaum muslimin bahkan manusia-manusia pilihan Allah Subhanahu wa ta’ala, karena perasaan takutnya yang berlebihan terhadap dosa besar. Mereka memerangi para sahabat Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam, membunuh Khalifah Ali bin Abi Thalib dan juga Khalifah Utsman bin Affan Radhiyallahu ‘anhuma, dengan keyakinan jihad dan amar ma’ruf nahi munkar. Padahal mereka adalah ahli ibadah, ahli baca Al-Qur’an, ahli shalat dan puasa, serta wara’ terhadap dunia. Namun ternyata, kesudahannya adalah petaka dan binasa. Bahkan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam ber-’azam (berkemauan kuat) untuk menghabisi mereka, jika Allah Subhanahu wa ta’ala pertemukan dengan mereka.
Para pembaca yang semoga dirahmati Allah Subhanahu wa ta’ala, dari sini dapatlah diambil ibrah (pelajaran berharga) bahwa ghuluw dalam agama ini benar-benar sumber petaka dan penyebab kebinasaan, walaupun disertai niat yang baik, amalan yang banyak, dan wara’ terhadap dunia sekalipun. Maka dari itu, Allah Subhanahu wa ta’ala peringatkan Rasul-Nya Shalallahu ‘alaihi wa sallam dan orang-orang beriman yang bersamanya dari perbuatan ghuluw tersebut. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang telah bertaubat beserta kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia (Allah Subhanahu wa ta’ala) Maha melihat apa yang kalian kerjakan.” (Hud: 112)
Berikutnya, betapa besar peran ilmu agama yang diwariskan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya dalam kehidupan ini. Tengoklah kembali sejarah kaum Khawarij, manakala mereka campakkan manhaj (metode pemahaman) para sahabat Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia dalam memahami agama ini, tersesatlah mereka dari kebenaran dan terjerumus dalam kesesatan demi kesesatan. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Dan barangsiapa menentang Rasul setelah jelas baginya kebenaran dan mengikuti selain jalannya orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa bergelimang dalam kesesatan dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (An-Nisa’: 115)
Menurut Al-Imam Ibnu Abi Jamrah Al-Andalusi rahimahullah –menukil perkataan para ulama– bahwa yang dimaksud dengan orang-orang mukmin di sini adalah para sahabat Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam dan generasi pertama dari umat ini. (Lihat Al-Mirqat fi Nahjis Salaf Sabilun Najah, hal. 36)
Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah berkata: “Dari sini banyak sekali kelompok-kelompok yang tersesat sejak dahulu hingga kini. Karena mereka tidak mengikuti jalan orang-orang mukmin (para sahabat Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam dan generasi pertama dari umat ini, pen.) dan semata-mata mengandalkan akal, bahkan mengikuti hawa nafsu dalam menafsirkan Al-Qur’an dan As-Sunnah, yang kemudian membuahkan kesimpulan-kesimpulan yang sangat berbahaya, hingga akhirnya menyimpang dari jalan As-Salafush Shalih.” (Fitnatut Takfir, hal. 13)
Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah berkata: “Hal itu disebabkan kebodohan mereka (kaum Khawarij) tentang agama Islam, meskipun mereka memiliki wara’, ibadah, dan kesungguhan. Namun tatkala semua itu (wara’, ibadah, dan kesungguhan) tidak berdasarkan ilmu yang benar, akhirnya menjadi petaka bagi mereka.” (Lamhatun ‘Anil Firaqidh Dhallah, hal. 35)
Para pembaca yang semoga dirahmati Allah Subhanahu wa ta’ala, dengan demikian betapa bahayanya orang-orang yang mengikuti jejak kaum Khawarij. Orang-orang yang memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah semata-mata mengandalkan akal, bahkan mengikuti hawa nafsunya tanpa merujuk kepada pemahaman para sahabat Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam. Orang-orang yang bermudah-mudahan mengafirkan pemerintah kaum muslimin, bahkan semua orang yang di luar kelompoknya. Memerangi penguasa muslim, dengan memberontak terhadapnya atau menggoyangnya dengan demonstrasi, agitasi, dan penyebaran berbagai opini buruk, baik berkaitan dengan ekonomi, keamanan, maupun yang lainnya. Orang-orang yang berbanyak-banyakan ibadah dengan melampaui batas yang telah disyariatkan. Semua ini merupakan sumber petaka dan penyebab kebinasaan dari masa ke masa.
Akhir kata, demikianlah paparan tentang beberapa realita ghuluw yang melanda kehidupan umat manusia dari masa ke masa. Semoga bermanfaat bagi kita semua dan menjadi embun penyejuk bagi para pencari kebenaran. Terkhusus orang-orang yang sedang terperangkap dalam jaring jerat ghuluw yang membinasakan.
Amin, ya Rabbal ‘Alamin…
Catatan Kaki:
[1] Sikap berlebih-lebihan atau melampaui batas ini diistilahkan juga dengan ifrath atau tanaththu’. (Lihat Al-Ghuluw, karya Ali bin Abdul Aziz bin Ali Asy-Syibl hal. 22, dan Al-Qaulul Mufid ala Kitabit Tauhid, 1/244)
[2] Di antara contohnya adalah berwudhu ketika mengucapkan perkataan yang haram/kotor. (Lihat Silsilah Al-Ahadits Adh-Dha’ifah karya Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah, 2/334)
[3] Demikian pula berpegang teguh dengan agama Islam sesuai apa yang disyariatkan Allah Subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya Shalallahu ‘alaihi wa sallam, serta istiqamah di atasnya dalam segenap sendi kehidupan, tidaklah termasuk dari ghuluw. (Lihat Al-Ghuluw hal. 23)
[4] Lihat Syarah Shahih Muslim juz 16, Kitabul ‘Ilmi.
[5] Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan menyebutkan bahwa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan beberapa kaidah penting dalam menyikapi kubur dan penghuninya. Di antaranya:
a. Tidak boleh ghuluw terhadap para wali dan orang shalih.
b. Tidak boleh mendirikan bangunan, terlebih tempat ibadah (masyahid) di atas kubur.
c. Tidak boleh shalat/ibadah di sisi kubur atau menghadap kubur. (Diringkas dari Kitabut Tauhid, hal. 38-39)
[6] Masalah ke-11 dari bab ‘Larangan Keras Bagi Seorang yang Beribadah kepada Allah Subhanahu wa ta’ala di Sisi Kubur Orang Shalih.’
[7] Bahkan ia adalah akar kesyirikan yang pertama kali di muka bumi ini. (Lihat Ighatsatul Lahafan, juz 1 hal. 183)
[8] Termasuk ghuluw terhadap Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam. Seperti apa yang ditorehkan Al-Bushiri dalam qasidah Burdahnya:
Wahai makhluk termulia, tiada tempat berlindung bagiku, manakala datang problem pelik selain engkau
Jika di hari kiamat engkau tak mengambil tanganku (menyelamatkanku), niscaya aku akan tergelincir (ke dalam api neraka)
Sesungguhnya di antara kedermawananmu adalah (adanya) dunia dan akhirat, dan di antara ilmumu adalah ilmu yang di Lauhul Mahfuzh dan dicatat oleh pena taqdir. (Lihat I’anatul Mustafid Bisyarhi Kitabit Tauhid, juz 1 hal. 500)
Pada bait ke-1 terdapat penyejajaran Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam dengan Allah Subhanahu wa ta’ala dalam hal uluhiyyah (yakni sebagai tempat berlindung dan meminta pertolongan), bahkan ia melupakan Allah Subhanahu wa ta’ala. Pada bait ke-2 dan awal dari bait ke-3 terdapat penyejajaran beliau Shalallahu ‘alaihi wa sallam dengan Allah Subhanahu wa ta’ala dalam hal rububiyyah, di mana diyakini bahwa yang menyelamatkan dari azab api neraka adalah Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian adanya dunia dan akhirat ini karena kedermawanan Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam. Pada bagian akhir dari bait ke-3 terdapat penyejajaran beliau Shalallahu ‘alaihi wa sallam dengan Allah Subhanahu wa ta’ala dalam hal asma wa shifat, di mana ia sandangkan keluasan ilmu yang meliputi segala sesuatu kepada Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam. (Lihat Tadzkiratul Mu’tasi Syarh Aqidah Al-Hafizh Abdil Ghani Al-Maqdisi, hal. 371 dan I’anatul Mustafid Bisyarhi Kitabit Tauhid, juz 1 hal. 500)
[9] Untuk mengetahui lebih rinci siapa Khawarij, lihat Majalah Asy Syari’ah, no. 04/1/Syawwal 1424 H/Desember 2003.
[10] Lihat I’anatul Mustafid Bisyarhi Kitabit Tauhid, juz 2 hal.3.
[11] Lihat Shahih Muslim juz 2 hal. 744 dan 748.
Sumber: Majalah Asy Syariah