Jangan Kau Duakan Ibadahmu

Jangan Kau Duakan IbadahmuJANGAN KAU DUAKAN IBADAHMU

Ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Usamah Abdurrahman bin Rawiyah

Kesyirikan tidak hanya terjadi pada zaman jahiliah saat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam belum diutus. Kesyirikan juga merebak di masa kini meski dikemas dengan bungkus baru. Kehati-hatian agar tidak terjatuh pada perbuatan syirik sangatlah penting karena Allah Subhanahu wa ta’ala menyebut perbuatan ini sebagai dosa besar yang paling besar dan tidak akan memberi ampunan bagi pelakunya kecuali jika ia telah bertaubat.

Dalam beberapa edisi yang telah lalu, telah dibahas permasalahan seputar akidah, terutama kaitannya dengan pembahasan bagaimana seseorang bisa memperbaiki hubungannya dengan Allah Subhanahu wa ta’ala atau yang diistilahkan dengan ibadah. Pada edisi mendatang insya Allah, akan dibahas suatu permasalahan yang sangat besar yang bisa menjadikan peribadatan seseorang menjadi amalan yang sia-sia bahkan bisa menjadi azab baginya. Itulah lawan dari ibadah yaitu syirik.

Untuk mengawali pembahasan seputar syirik, pada edisi ini akan dipaparkan sejarah kemunculan syirik yang terjadi pada umat manusia. Adapun hakikat kesyirikan itu sendiri, jenis-jenisnya, serta pengaruhnya dalam kehidupan sebagai individu, masyarakat, dan bernegara, akan dibahas pada edisi mendatang, insya Allah. Selain itu, kajian mendatang juga akan membongkar praktik syirik yang berkembang di masyarakat.

Awal Terjadinya Kesyirikan

Allah Subhanahu wa ta’ala menciptakan jin dan manusia dengan suatu tujuan, yang dengannya Allah Subhanahu wa ta’ala mempersiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan manusia dalam mewujudkan tujuan tersebut. Dalam Al-Qur’an, Allah Subhanahu wa ta’ala menyebut tujuan penciptaan jin dan manusia:

“Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku. Aku tidak menginginkan dari mereka sedikit pun dari rezeki. Dan Aku tidak menginginkan sedikit pun dari mereka untuk memberi-Ku makan. Sesungguhnya Dia, Allah Maha Pemberi rezeki, Pemilik kekuatan lagi sangat kokoh.” (adz-Dzariyat: 56—58)

Sesungguhnya, tugas yang diemban jin dan manusia sangatlah ringan bila dibandingkan dengan segala jenis kenikmatan yang telah Allah Subhanahu wa ta’ala limpahkan. Akan tetapi untuk mewujudkan perkara yang ringan ini, butuh pengorbanan dan perjuangan yang sangat besar, karena rintangan dan penghalang di jalan ini juga sangatlah besar.

Dengan tugas ini, bukan berarti Allah Subhanahu wa ta’ala butuh kepada hamba sehingga kita diperintah untuk sujud dan ruku’ di hadapan-Nya. Akan tetapi sebagai perwujudan semata-mata kebutuhan kita kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. Karena kita sadar bahwa setiap saat, tidak ada satu makhluk pun yang tidak membutuhkan-Nya. Oleh karena itu, Allah Subhanahu wa ta’ala menetapkan bahwa di sana ada tali penghubung antara diri hamba-Nya dengan Allah Subhanahu wa ta’ala. Itulah ibadah.

Amanat ibadah ini diakui oleh semua orang. Namun dalam praktiknya sangat terkait dengan fitrah yang diberikan Allah Subhanahu wa ta’ala kepada setiap manusia. Artinya, apabila fitrahnya belum disentuh oleh penyimpangan dan segala bentuk noda yang mengotori, tentu dia akan menyambut tugas tersebut sesuai dengan apa yang dimaukan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala. Sebaliknya, bila fitrah itu rusak maka perwujudan ibadah akan bisa diarahkan kepada selain Pemiliknya. Allah Subhanahu wa ta’ala menjelaskan keberadaan fitrah ini dalam firman-Nya:

“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah). (Tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah.” (ar-Rum: 30)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ، أَوْ يُمَجِّسَانِهِ

“Setiap anak dilahirkan di atas kesucian, kedua orang tuanyalah yang menjadikan ia Yahudi, Nasrani, atau Majusi.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 1278 dan Muslim no. 2658 dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)

Ayat dan hadits di atas, secara gamblang menjelaskan bahwa asal kehidupan seseorang di muka bumi ini adalah kesucian fitrah yaitu Islam. Ini sebagai bantahan untuk kelompok Mu’tazilah yang mengatakan bahwa asal kehidupan manusia adalah kufur.

Di atas kemurnian fitrah inilah, Allah Subhanahu wa ta’ala menurunkan kemurnian agama-Nya yang meliputi ajaran dan aturan, perintah dan larangan, keterangan tentang tauhid dan syirik, serta sunnah dan bid’ah. Di atas kesucian fitrah ini pula, setiap orang akan menyambut seruan syariat tersebut.

Adapun orang yang telah ternodai fitrahnya, ia akan mengelak dengan berbagai cara untuk bisa keluar dari larangan, ancaman, dan perintah sehingga bebas merdeka tanpa ada aturan yang mengikat. Berjalan sekehendaknya, melakukan apa yang diinginkan tanpa mengindahkan aturan-aturan yang ada.

Siapakah yang menjadi dalang kerusakan ini? Kapankah kerusakan itu mulai terjadi? Kerusakan terbesar apakah yang menimpa fitrah seseorang?
Dalang kerusakan fitrah manusia itu adalah iblis dan bala tentaranya dari kalangan jin dan manusia. Allah Subhanahu wa ta’ala menerangkan dalam firman-Nya:

“Demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh yaitu setan-setan (dari jenis) manusia dan jin. Sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan-perkataan yang indah untuk menipu manusia.” (al-An’am: 112)

“Demikianlah Kami jadikan bagi setiap nabi itu musuh dari orang-orang yang berdosa.” (al-Furqan: 31)

Kesyirikan di Masa Nabi Nuh ‘alaihissalam

Usaha iblis dan tentaranya untuk merusak fitrah manusia dimulai ketika dia dijauhkan dari rahmat Allah Subhanahu wa ta’ala menjadi terkutuk dan terlaknat, serta divonis menjadi calon penghuni neraka. Keberhasilan yang “gemilang” adalah pada kurun kesepuluh masa Nabi Nuh ‘alaihissalam. Dengan kata lain, terjadinya penyimpangan fitrah besar-besaran adalah pada generasi Nabi Nuh ‘alaihissalam.

Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu berkata ketika menafsirkan firman Allah Subhanahu wa ta’ala:

“Dan mereka berkata, ‘Jangan sekali-kali kalian meninggalkan penyembahan tuhan-tuhan kalian dan jangan sekali-kali kalian meninggalkan Wadd, Suwa’, Yaghuts, Ya’uq, dan Nasr’.” (Nuh: 23)

“Berhala-berhala yang dulu disembah oleh kaum Nabi Nuh ‘alaihissalam telah menjadi (sesembahan) di negeri Arab setelahnya. Wadd adalah (sesembahan) Bani Kalb di Daumatul Jandal, Suwa’ adalah (sesembahan) Bani Hudzail, Yaghuts adalah sesembahan Bani Murad dan Bani Guthaif di Jauf (negeri Saba’), Ya’uq (sesembahan) Bani Hamdan, dan Nasr (sesembahan) Bani Himyar pada keluarga Dzil Kala’. Mereka adalah nama orang-orang saleh pada kaum Nabi Nuh ‘alaihissalam. Ketika mereka meninggal, setan membisikkan kepada orang-orang agar membuat berhala/gambar di majelis-majelis mereka dan memerintahkan, ‘Namakanlah dengan nama-nama mereka (orang-orang saleh tersebut).’

Mereka melakukannya dan (pada waktu itu berhala tersebut) belum disembah hingga mereka (para pembuat berhala) binasa dan ilmu terlupakan (dihapus), maka berhala itu menjadi sesembahan.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 4599)

Inilah kerusakan paling besar dan  yang pertama kali menimpa fitrah manusia di masa Nabi Nuh ‘alaihissalam. Yaitu kerusakan i’tiqad (keyakinan) yang berwujud kesyirikan kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. Kerusakan ini pula yang menimpa umat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam sampai hari kiamat. Pada akhirnya, di atas kerusakan ini mereka mendapat kehinaan dan penghinaan, kerendahan dan perendahan, malapetaka demi malapetaka, kehancuran, kerusakan, kemunduran, dan sebagainya. Sunnatullah ini telah menimpa umat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam sehingga hidup mereka harus terwarnai dengan kesyirikan di dunia. Bahkan apa yang mereka lakukan telah mencapai puncaknya di mana menjadikan kesyirikan sebagai wujud ketauhidan kepada Allah Subhanahu wa ta’ala dan kecintaan kepada wali-wali Allah Subhanahu wa ta’ala.

Tentang kebenaran sunnatullah ini, dijelaskan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam di dalam haditsnya:

لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ دَخَلُوا جُحْرَ ضَبٍّ لَدَخَلْتُمُوهُ

“Kalian benar-benar akan mengikuti langkah umat-umat sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta. Kalaupun seandainya mereka masuk ke lubang binatang dhab (semacam biawak), niscaya kalian akan memasukinya.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 3456, Muslim no. 2669 dari sahabat Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu)

Kesyirikan Sebelum Diutusnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam

Sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta, umat ini akan terus mengikuti langkah umat sebelumnya. Tentunya juga tidak terlepas dari mengikuti mereka dalam peribadatan kepada selain Allah Subhanahu wa ta’ala. Hal yang demikian ini akan terjadi sampai hari kiamat. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

وَلَا تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى تَلْحَقَ قَبَائِلُ مِنْ أُمَّتِي بِالْمُشْرِكِينَ

“Tidak akan terjadi hari kiamat sampai kabilah-kabilah dari umatku mengikuti orang-orang musyrik.” (HR. Abu Dawud no. 4252, Ibnu Majah no. 3952, serta disahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud, 3/801 no. 3577 dan dalam Shahih Ibnu Majah, 2/352 no. 3192 dari sahabat Tsauban radhiyallahu ‘anhu)

Sebelum Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam diutus, bangsa Arab terbagi menjadi dua. Satu kelompok mengikuti agama-agama terdahulu seperti agama Yahudi, Nasrani, dan Majusi. Sedangkan satu kelompok lagi mengikuti agama Nabi Ibrahim ‘alaihissalam yang lurus, terlebih di negeri Hijaz, Makkah al-Mukarramah. Sampai pada akhirnya muncul seseorang yang bernama ‘Amr bin Luhai al-Khuza’i, seorang pemuka di negeri Hijaz. Dia dikenal sebagai ahli ibadah, saleh, dan sebagainya.

Suatu waktu, ia pergi ke negeri Syam untuk berobat. ‘Amr bin Luhai melihat penduduk negeri Syam menyembah berhala dan dia menganggap baik perbuatan tersebut. Pulang dari Syam, ‘Amr bin Luhai membawa patung, lantas setelahnya juga membawa patung yang digali dari peninggalan kaum Nuh ‘alaihissalam. Lalu dia membagikannya kepada kabilah Arab dan memerintahkan untuk menyembahnya. Orang-orang pun menyambut dan menerima seruan tersebut hingga akhirnya kesyirikan memasuki negeri Hijaz dan negeri lainnya.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda tentang ‘Amr bin Luhai al-Khuza’i,

رَأَيْتُ عَمْرَو بْنَ لُحَيٍّ الْخُزَاعِي يَجُرُّ قَصَبَهُ فِي النَّارِ

“Aku menyaksikan ‘Amr bin Luhai al-Khuza’i menarik isi perutnya di dalam neraka.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 3521 dan Muslim no. 2856 dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, lihat Syarah Masa’il al-Jahiliah karya asy-Syaikh Shalih Fauzan dan Mukhtashar Sirah karya asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, hlm. 12)

Islam dan Syirik

Syirik merupakan suatu praktik ibadah kepada selain Allah Subhanahu wa ta’ala. Dengan kata lain, menjadikan tandingan bagi Allah Subhanahu wa ta’ala dalam sebuah wujud peribadatan. Atau memalingkan peribadatan yang semestinya diberikan kepada Allah Subhanahu wa ta’ala kepada selain-Nya. Ini merupakan wujud kezaliman dan kegelapan karena memberikan hak peribadatan kepada selain Allah Subhanahu wa ta’ala.

Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:

“Sesungguhnya kesyirikan adalah kezaliman yang besar.” (Luqman: 13)

Islam adalah agama rahmat, agama keselamatan, dan agama yang terang-benderang, malamnya seperti siangnya. Diturunkan Allah Subhanahu wa ta’ala sebagai agama nikmat yang telah diridhai-Nya.

“Pada hari ini Aku sempurnakan agama kalian dan Aku cukupkan atas kalian nikmat-Ku, dan Aku ridha Islam sebagai agama kalian.” (al-Maidah: 3)

“Sesungguhnya agama yang benar di sisi Allah adalah Islam.” (Ali ‘Imran: 19)

“Barang siapa mencari selain Islam sebagai agama maka tidak akan diterima oleh Allah dan dia termasuk orang-orang yang merugi.” (Ali ‘Imran: 85)

Islam sangat menentang segala bentuk kesyirikan, memerangi segala bentuk kezaliman, dan menyinari kegelapan hidup dengan lentera wahyu Al-Qur’an dan As-Sunnah. Kesyirikan bukan dari Islam sedikit pun sehingga (tidak pantas) dihidupkan. Kesyirikan bukan lambang tauhid yang harus diperjuangkan. Kesyirikan adalah agama iblis dan tentara-tentaranya. Kesyirikan adalah kesesatan, kehinaan, kerendahan, kegelapan, kezaliman, kegagalan, dan kehancuran dunia akhirat.

Wallahu a’lam.

Sumber:  Majalah Asy Syariah Online

© 1446 / 2024 Forum Salafy Indonesia. All Rights Reserved.