Hukum Bekerja Dengan Orang Kafir

Hukum Bekerja Dengan Orang KafirHUKUM BEKERJA DENGAN ORANG KAFIR

Dijawab oleh al-Ustadz Qomar Suaidi

Tanya: Bolehkah bekerja dengan orang kafir dan apakah bekerja dengan orang kafir berarti berloyal dengan mereka?

Jawab:

Untuk menjawabnya, perlu dirinci perihal pekerjaan tersebut, yang terbagi menjadi dua, yaitu:

  1. Berserikat dengan orang nonmuslim (kafir) dalam suatu usaha.
  2. Orang kafir menyewa tenaga muslim.

Untuk yang kedua ini bisa dalam bentuk:

  1. Seorang muslim menjadi pembantu rumah tangga, yang bertugas menyiapkan makan, mencuci, menyapu, membersihkan kotoran, membukakan pintu, dsb.
  2. Seorang muslim menjadi tukang dalam suatu pekerjaan, seperti mengecat rumahnya, membuat pagar, dsb.
  3. Seorang muslim mendapat pesanan barang atau proyek tertentu, seperti membuat kursi, menjahit pakaian anak-anak, dsb.

Masing-masing gambaran di atas ada hukumnya. Namun, sebelum diterangkan, ada beberapa garis besar perihal bekerjanya seorang muslim untuk orang kafir.

  • Tidak diperbolehkan membantu orang kafir, baik secara sukarela (tanpa memungut bayaran) maupun dengan bayaran, dalam hal yang haram menurut agama. Misalnya, memelihara babi dan memasarkannya, memproduksi minuman keras (khamr) dan segala yang memabukkan, transaksi yang mengandung riba, pembangunan gereja, memata-matai muslimin, membantu penyerangan terhadap muslimin, serta yang sejenisnya. Allah subhanahuwata’ala telah berfirman:

“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (al-Maidah: 2)

  • Tidak boleh memudaratkan muslim itu sendiri atau merugikannya, seperti dilarang melakukan shalat. (Umdatul Qari, syarh Shahih al-Bukhari)
  • Tidak diperbolehkan melakukan pekerjaan yang mengandung kehinaan seorang muslim di hadapan orang kafir.

Selanjutnya mari kita simak ulasan hukum pada masalah-masalah di atas.

Berserikat dalam Usaha

Masalah ini diperbolehkan menurut pendapat yang rajih (kuat). Dalilnya, Nabi shalallahu’alaihi wa sallam pernah melakukan perjanjian dengan Yahudi Khaibar, agar mereka mengelola tanah Khaibar dengan ketentuan separuh hasilnya untuk mereka.

Dari Abdullah ibnu Umar, ia berkata:

أَعْطَى رَسُولُ اللهِ n خَيْبَرَ الْيَهُودَ أَنْ يَعْمَلُوهَا وَيَزْرَعُوهَا وَلَهُمْ شَطْرُ مَا يَخْرُجُ مِنْهَا

Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam memberikan Khaibar kepada Yahudi agar mereka mengelola dan menanaminya, serta mereka mendapat setengah dari hasilnya.” (Sahih, HR. al-Bukhari, dan beliau memberikan judul yang artinya “Berserikat dengan Orang Kafir Dzimmi dan Musyrik”)

Asy-Syaikh Shalih al-Fauzan mengatakan, “Seorang muslim diperbolehkan berserikat dengan orang kafir, dengan syarat orang kafir tersebut tidak berkuasa penuh mengaturnya. Bahkan, orang kafir tersebut harus berada di bawah pengawasan muslim agar tidak melakukan transaksi riba atau keharaman yang lain jika ia berkuasa penuh.” (al-Mulakhkhash al-Fiqhi)

Ishaq bin Mansur al-Marwazi bertanya kepada Sufyan, “Apa pandanganmu tentang berserikat dengan seorang Nasrani?”

Beliau menjawab,

“Adapun pada sesuatu yang kamu (muslim) tidak lihat, saya tidak menyukainya.”

Al-Imam Ahmad rahimahullah berkomentar,

“Pendapatnya bagus.” (Masail al-Imam Ahmad dan Ibnu Rahuyah)

Orang Kafir Menyewa Tenaga Muslim

Ada beberapa gambaran tentang hal ini.

  • Seorang muslim menjadi pembantu rumah tangga yang menyiapkan makan, mencuci, menyapu, membersihkan kotoran, membukakan pintu, dsb.

Menurut pendapat yang lebih kuat (rajih), tidak boleh karena mengandung kehinaan bagi seorang muslim, padahal Allah subhanahuwata’ala berfirman:

“Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.” (an-Nisa: 141)

Ini adalah pendapat pengikut mazhab Maliki, Syafi’i, dan Ahmad bin Hanbal (Hanbali) pada salah satu riwayat dari beliau. Namun, riwayat yang lain dari al-Imam Ahmad membolehkan. Adapun pendapat pengikut mazhab Hanafi mengatakan makruh karena mengandung penghinaan.

Al-Muhallab rahimahullah mengatakan, “Allah subhanahuwata’ala telah memerintahkan hamba-Nya yang beriman agar berada di atas orang-orang musyrik. Allah subhanahuwata’ala berfirman:

‘Janganlah kamu lemah dan meminta damai padahal kamulah yang di atas.’ (Muhammad: 35)

Oleh karena itu, tidak sah bagi seorang muslim untuk menghinakan dirinya dengan menjadi pelayan orang kafir kecuali dalam keadaan terpaksa, maka sah.” (Syarh al-Bukhari karya Ibnu Baththal)

  • Seorang muslim menjadi tukang dalam suatu pekerjaan, seperti mengecat rumahnya, membuat pagar, dsb.

Pekerjaan semacam ini diperbolehkan. Khabbab mengatakan:

“Aku dahulu bekerja sebagai pandai besi pada al-Ash bin Wail. Hingga terkumpullah gajiku dan tertahan pada dirinya. Aku pun mendatanginya untuk menagihnya. Dia justru menjawab, ‘Tidak, demi Allah. Aku tidak akan memberikan upahmu sampai kamu kafir terhadap Muhammad.’

Aku katakan,

‘Demi Allah sampai kamu mati lalu kamu dibangkitkan, aku tidak akan kafir.’ ‘Aku akan mati lalu aku akan dibangkitkan lagi?’ tukasnya.

Aku pun menjawab. ‘Ya.’ Dia pun berujar, ‘Kalau begitu nanti aku akan punya harta di sana dan punya anak. Aku akan memberi upahmu di sana.’ Allah subhanahuwata’ala lalu menurunkan ayat, ‘Kabarkan kepadaku tentang seorang yang kafir terhadap ayat-ayat Kami, lalu ia mengatakan, ‘Pasti aku akan diberi harta dan anak’. (Maryam: 77)”

Dalam hadits yang lain dari Ka’b bin Ujrah radhiyallahuanhu:

أَتَيْتُ النَّبِيَّnفَرَأَيْتُهُ مُتَغَيِّراً فَقُلْتُ: بِأَبِي أَنْتَ، مَا لِي أَرَاكَ مُتَغيِّراً؟ قَالَ: مَا دَخَلَ جَوْفِي مَا يَدْخُلُ جَوْفَ ذَاتِ كَبِدٍ مُنْذُ ثَلاَثٍ. قَالَ: فَذَهَبْتُ فَإِذَا يَهُوْدِيٌّ يَسْقِي إِبِلاً لَهُ فَسَقَيْتُ لَهُ عَلَى كُلِّ دَلْوٍ بِتَمْرَةٍ فَجَمَعْتُ تَمْراً فَأَتَيْتُ بِهِ النَّبِيَّnفَقَالَ: مِنْ أَيْنَ لَكَ، يَا كَعْبُ؟ فَأَخْبَرْتُهُ، فَقَالَ النَّبِيُّ n: أَتُحِبُّنِيْ يَا كَعْبُ؟ قُلْتُ: بِأَبِيْ أَنْتَ، نَعَمْ

Aku menghadap Nabi shalallahu’alaihi wa sallam, aku pun melihat beliau sudah berubah (tubuhnya). “Kutebus engkau dengan ayahku, mengapa kulihat Anda berubah?”

Beliau menjawab, “Tidak masuk dalam perutku sesuatu yang masuk ke perut makhluk yang memiliki hati (makhluk hidup) sejak tiga hari.” (Ka’b berkata) Aku pun pergi. Ternyata ada seorang Yahudi yang sedang memberi minum seekor unta miliknya. Aku pun membantunya memberi minum dengan upah satu butir kurma setiap satu timba, hingga aku berhasil mengumpulkan beberapa butir kurma. Lantas aku datang kepada Nabi shalallahu’alaihi wa sallam.

Beliau pun mengatakan, “Dari mana kurma ini, wahai Ka’b?” Aku pun memberitahukan asalnya kepada beliau. Kemudian beliau mengatakan, “Apakah kamu mencintai aku, wahai Ka’b?” “Iya, kutebus engkau dengan ayahku….” (Hasan, HR. ath-Thabarani. Dihasankan oleh asy-Syaikh al-Albani dalam kitab Shahih at-Targhib 3/150 no. 3271)

Nabi shalallahu’alaihi wa sallam tidak mengingkari pekerjaan Ka’b.

Demikian pula ayat:

Yusuf berkata, “Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir), sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga lagi berpengetahuan.” (Yusuf: 55)

Al-Qurthubi rahimahullah mengatakan, “Dengan ayat ini, para ulama berdalil diperbolehkan bagi orang yang punya keutamaan untuk bekerja pada seorang yang tidak baik serta pada seorang kafir. Dengan syarat, dia mengetahui bahwa akan diserahkan kepadanya pekerjaan yang ia tidak ditentang sehingga ia bisa berbuat baik sekehendaknya. Namun, apabila pekerjaannya itu harus menuruti kemauan orang yang tidak baik tersebut dan seleranya, maka tidak boleh.” (Tafsir al-Qurthubi)

Nabi shalallahu’alaihi wa sallam juga penah menggembalakan kambing milik orang-orang musyrik. Dari Abu Hurairah radhiyallahuanhu, ia berkata, “Dari Nabi shalallahu’alaihi wa sallam, beliau bersabda,

مَا بَعَثَ اللهُ نَبِيًّا إِلاَّ رَعَى الْغَنَمَ. فَقَالَ أَصْحَابُهُ: وَأَنْتَ؟ فَقَالَ: نَعَمْ، كُنْتُ أَرْعَاهَا عَلَى قَرَارِيطَ لِأَهْلِ مَكَّةَ

“Tidaklah Allah mengutus seorang nabi melainkan ia pernah menggembala kambing.” Para sahabat beliau bertanya, “Anda juga?” Beliau menjawab, “Ya. Aku dahulu menggembala kambing milik orang Makkah dengan upah beberapa karat emas (dinar)’.” (Sahih, HR. al-Bukhari)

  • Seorang muslim mendapat pesanan barang atau proyek tertentu, seperti membuat kursi, menjahit pakaian anak-anak, dsb.

Yang seperti ini lebih diperbolehkan oleh para ulama, karena ini pekerjaan yang lepas (tidak terikat) dan tidak mengandung kerendahan sama sekali dari seorang muslim terhadap orang kafir.

Ibnul Munayyir rahimahullah mengatakan, “Mazhab-mazhab menetapkan, para produsen di toko-toko boleh memproduksi sesuatu untuk ahlu dzimmah (orang kafir) yang tinggal bersama muslimin di negeri muslimin. Ini tidak termasuk kerendahan. Berbeda halnya bilamana dia melayaninya di rumahnya dan bergantung kepadanya.” (Umdatul Qari syarh Shahih al-Bukhari)

Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan, “Adapun jika ia menyewakan dirinya pada seorang kafir dalam sebuah pekerjaan tertentu dalam tanggungannya, semacam menjahitkan baju dan memotongnya, hal itu diperbolehkan tanpa adanya perbedaan pendapat yang kami ketahui.” (al-Mughni)

Dari keterangan di atas, tampak bahwa pekerjaan-pekerjaan yang diperbolehkan tersebut tidak termasuk berloyal kepada orang kafir.

Sumber: Majalah Asy Syariah 

© 1446 / 2024 Forum Salafy Indonesia. All Rights Reserved.