HAL-HAL YANG MEMALINGKAN DARI KEBENARAN
Asy-Syaikh Hamad bin Ibrahim Al-Utsman hafizhahullah
Kedelapan ~ Ujub
Ujub atau merasa kagum dan bangga dengan diri sendiri menjadikan pelakunya memuliakan dirinya sendiri, sehingga dia merasa senang dan cukup dengan apa yang dia miliki, akibatnya dia menganggap bahwa kebenaran tidak muncul kecuali dari dirinya, seakan-akan dia memang diberi tugas khusus untuk membawanya. Ini merupakan sifat orang-orang kafir sebagaimana firman Allah Ta’ala:
فَلَمَّا جَاءَتْهُمْ رُسُلُهُمْ بِالْبَيِّنَاتِ فَرِحُوْا بِمَا عِنْدَهُمْ مِنَ الْعِلْمِ وَحَاقَ بِهِمْ مَا كَانُوا بِهِ يَسْتَهْزِئُوْنَ.
“Maka tatkala para rasul yang diutus kepada mereka membawa keterangan-keterangan yang jelas, orang-orang kafir itu merasa senang dengan ilmu yang mereka miliki, akibatnya mereka ditimpa apa yang dahulu selalu mereka jadikan sebagai bahan olok-olokan.” (QS. Ghafir: 83)
Jika seseorang merasa kagum dengan dirinya dan merasa cukup dengan apa yang dia miliki, maka sempurna sudah kerugiannya, karena dia tidak akan mungkin menoleh kepada perkataan orang lain, apalagi menerimanya jika itu merupakan kebenaran.
Nabi shallallahu alaihi was sallam bersabda:
إِذَا رَأَيْتَ هَوًى مُتَّبَعًا، وَشُحًّا مُطَاعًا، وَإِعْجَابَ كُلِّ ذِي رَأْيٍ بِرَأْيِهِ، فَعَلَيْكَ بِخَاصَّةِ نَفْسِكَ.
“Jika engkau melihat hawa nafsu diikuti, kekiriran ditaati, dan setiap orang yang punya pendapat merasa kagum dengan pendapatnya, maka hendaknya engkau mengurusi dirimu sendiri.” [1]
Orang yang kagum dengan dirinya sendiri hanya merasakan dirinya saja yang memiliki keuatamaan dan terus memperhatikannya, dan penilaian semacam ini mengakibatkan kekurangan dan tidak meraih keutamaan. Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. [2]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah juga berkata:
أَلَا تَرَى أَنَّ الَّذِيْ يُعَظِّمُ نَفْسَهُ بِالْبَاطِلِ يُرِيْدُ أَنْ يَنْصُرَ كُلَّ مَا قَالَهُ وَلَوْ كَانَ خَطَأً.
“Tidak engkau perhatikan bahwa orang yang memuliakan dirinya sendiri walaupun dengan kebathilan, dia ingin membela semua yang dia katakan walaupun salah.” [3]
Bahkan seandainya dia benar dan berani terang-terangan menampakkan kebenaran, maka hendaklah dia mewaspadai sifat ujub, karena seringnya hal itu akan merusak buah dari amal shalihnya.
Al-Hafizh Adz-Dzahaby rahimahullah berkata:
فَكَمْ مِنْ رَجُلٍ نَطَقَ بِالْحَقِّ وَأَمَرَ بِالمَعْرُوْفِ، فَيُسَلِّطُ اللهُ عَلَيْهِ مَنْ يُؤذِيْه لِسُوْءِ قَصْدِهِ وَحُبِّهِ لِلرِّئَاسَةِ الدِّيْنِيَّة، فَهَذَا دَاءٌ خَفِيٌّ سَارٍ فِيْ نُفُوْسِ الفُقَهَاءِ.
“Betapa banyak orang yang berbicara benar dan memerintahkan yang ma’ruf, namun Allah menguasakan atasnya orang yang menyakiti dirinya disebabkan buruknya niat dia dan senangnya dia terhadap kepemimpinan dalam urusan agama. Jadi semacam ini merupakan penyakit tersembunyi yang menjalar di hati para ulama.” [4]
Jiwa tabiatnya tidak mau tunduk dan mengikuti kebenaran dan tertanam padanya jenis kesombongan dan membela orang yang menyelisihi kebenaran, kecuali yang yang dilindungi oleh Allah. Terlebih lagi orang yang tidak pernah duduk bermajelis dengan orang-orang yang menjadi teladan dari orang-orang yang jika mereka diingatkan dengan ayat-ayat Allah mereka tidak menyikapinya seperti orang tuli dan buta.
Al-Fudhail bin Iyadh rahimahullah berkata:
لَوْ أَنَّ الْمُبْتَدِعَ تَوَاضَعَ لِكِتَابِ اللهِ وَسُنَّةِ نَبِيِّهِ لَاتَّبَعَ وَمَا ابْتَدَعَ، وَلَكِنَّهُ أُعْجِبَ بِرَأْيِهِ فَاقْتَدَى بِمَا اخْتَرَعَ.
“Seandainya seorang mubtadi’ tawadhu’ kepada Kitab Allah dan Sunnah Nabi-Nya, niscaya dia akan mengikuti kebenaran dan tidak akan mengada-adakan bid’ah, tetapi dia merasa kagum dengan pendapatnya sehingga lebih mengikuti apa yang dia buat-buat.” [5]
Beliau juga mengatakan tentang tawadhu’:
أَنْ تَخْضَعَ لِلْحَقِّ وَتَنْقَادَ لَهُ مِمَّنْ سَمِعْتَهُ وَلَوْ كَانَ أَجْهَلَ النَّاسِ لَزِمَكَ أَنْ تَقْبَلَهُ مِنْهُ.
“Yaitu dengan engkau tunduk kepada kebenaran dan menerimanya dari siapa saja yang engkau dengar, walaupun dia adalah manusia yang paling bodoh maka kebenaran itu wajib engkau terima darinya.” [6]
Sifat ujub akan menyebabkan pemiliknya tidak mau meminta pertolongan kepada Rabbnya, hal itu karena dia mengandalkan dirinya sendiri.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata:
وَالْعُجْبُ مِنْ بَابِ الْإِشْرَاكِ بِالنَّفْسِ وَهَذَا حَالُ الْمُسْتَكْبِرِ، فَالْمُرَائِي لَا يُحَقِّقُ قَوْلَهُ: {إِيَّاكَ نَعْبُدُ} وَالْمُعْجَبُ لَا يُحَقِّقُ قَوْلَهُ: {وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ}
“Ujub termasuk perbuatan menyekutukan Allah dengan diri sendiri, dan ini merupakan keadaan orang yang sombong. Jadi kalau orang yang beramal karena riya’ dia tidak merealisasikan firman Allah: “Hanya kepada-Mu kami beribadah”, sedangkan orang yang ujub tidak merealisasikan firman-Nya: “Hanya kepada-Mu memohon pertolongan.” [7]
Sifat ujub dan sombong saling berkaitan erat, jadi tidaklah ditimpa sifat ujub kecuali orang yang sombong.
Ibnu Hibban rahimahullah berkata:
إِنَّهُ لَا يَتَكَّبَرُ عَلَى أَحَدٍ حَتَّى يُعْجَبَ بِنَفْسِهِ وَيَرَى لَهَا عَلَى غَيْرِهَا الْفَضْلَ.
“Sesungguhnya seseorang tidak akan menyombongkan diri kepada seorang pun hingga dia merasa kagum dengan dirinya dan menganggap dirinya memiliki keutamaan atas orang lain.” [8]
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata:
وَأَمَّا الْكِبْرُ فَأَثَرٌ مِنْ آثَارِ الْعُجْبِ وَالْبَغْيِ مِنْ قَلْبٍ قَدْ امْتَلَأَ بِالْجَهْلِ وَالظُّلْمِ وَتَرَحَّلَتْ مِنْهُ الْعُبُوْدِيَّةُ وَنَزَلَ عَلَيْهِ الْمَقْتُ فَنَظَرُهُ إِلَى النَّاسِ شَزْرٌ وَمَشْيُهُ بَيْنَهُمْ تَبَخْتُرٌ وَمُعَامَلُتُهُ لَهُمْ مُعَاملَةُ الْإِسْتِئْثَارِ لَا الْإِيْثَارِ وَلَا الْإِنْصَافِ.
“Adapun kesombongan maka hal itu termasuk salah satu pengaruh dari sifat ujub dan melanggar hak orang lain yang muncul dari hati yang penuh kebodohan dan kezhaliman, sifat sebagai seorang hamba telah meninggalkan hati tersebut dan kemurkaan telah menimpanya, akibatnya pandangan dia kepada manusia adalah pandangan merendahkan, cara berjalan dia di tengah-tengah mereka penuh kecongkakan, dan cara bermuamalah dengan mereka seperti orang yang mementingkan diri sendiri dan tidak mementingkan orang lain serta tidak bersikap adil.” [9]
Seorang hamba tabi’at dasarnya mencintai dirinya dan merasa kagum dengan dirinya, maka jika seorang hamba tidak bersikap adil dalam menilai dirinya, hal itu akan menjerumuskannya ke dalam berbagai kesesatan.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata:
وَحُبُّكُ الشَّيْءَ يُعْمِيْ وَيُصِمُّ، وَالْإِنْسَانُ مَجْبُوْلٌ عَلَى مَحَبَّةِ نَفْسِهِ فَهُوَ لَا يَرَى إِلَّا مَحَاسِنَهَا، وَمُبْغِضٌ لِخَصْمِهِ فَلَا يَرَى إِلَّا مَسَاوِئَهُ.
“Kecintaanmu kepada sesuatu bisa membuatmu buta dan tuli, dan manusia tabiat dasarnya mencintai dirinya sehingga dia tidak melihat kecuali kebaikan-kebaikan dirinya, dan tabiat dasarnya membenci musuhnya sehingga dia tidak melihat kecuali keburukan-keburukan musuhnya.” [10]
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata ketika menjelaskan tawadhu’:
أَنْ يَتَلَقَّى سُلْطَانَ الْحَقِّ بِالْخُضُوْعِ لَهُ وَالذُّلِّ وَالْإِنْقِيَادِ وَالدُّخُوْلِ تَحْتَ رِقِّهِ. بِحَيْثُ يَكُوْنُ الْحَقُّ مُتَصَرِّفًا فِيْهِ تَصَرُّفَ الْمَالِكِ فِيْ مَمْلُوْكِهِ. فَبِهَذَا يَحْصُلُ لِلْعَبْدِ خُلُقُ التَّوَاضُعِ. وَلِهَذَا فَسَّرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْكِبْرَ بِضِدِّهِ. فَقَالَ: «الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ» فَبَطْرُ الْحَقِّ: رَدُّهُ وَجَحْدُهُ، وَالدَّفْعُ فِي صَدْرِهِ. كَدَفْعِ الصَّائِلِ. وَغَمْطُ النَّاسِ: احْتِقَارُهُمْ وَازْدِرَاؤُهُمْ. وَمَتَى احْتَقَرَهُمْ وَازْدَرَاهُمْ: دَفَعَ حُقُوقَهُمْ. وَجَحَدَهَا، وَاسْتَهَانَ بِهَا. وَلَمَّا كَانَ لِصَاحِبِ الْحَقِّ مَقَالٌ وَصَوْلَةٌ: كَانَتِ النُّفُوْسُ الْمُتَكَبِّرَةُ لَا تَقَرُّ لَهُ بِالصَّوْلَةِ عَلَى تِلْكَ الصَّوْلَةِ الَّتِيْ فِيْهَا، وَلَا سِيَّمَا النُّفُوْسَ الْمُبْطِلَةَ. فَتَصُوْلُ عَلَى صَوْلَةِ الْحَقِّ بِكِبْرِهَا وَبَاطِلِهَا. فَكَانَ حَقِيْقَةُ التَّوَاضُعِ: خُضُوْعَ الْعَبْدِ لِصَوْلَةِ الْحَقِّ، وَانْقِيَادَهُ لَهَا. فَلَا يُقَابِلُهَا بِصَوْلَتِهِ عَلَيْهَا.
“Menerima kekuatan kebenaran dengan penuh ketundukan, merendahkan diri, patuh, dan masuk di bawah kendalinya, yaitu dengan cara kebenaran mengatur dirinya seperti seorang raja yang mengatur kerajaannya. Dengan inilah seorang hamba bisa meraih akhlak tawadhu’. Oleh karena inilah Nabi shallallahu alaihi was sallam menjelaskan bahwa kesombongan dengan sesuatu yang menjadi lawannya, yaitu dalam sabda beliau: “Sombong adalah menolak kebenaran dan merendahkan manusia.”
Makna (بَطَرُ الْحَقِّ) adalah menolak kebenaran, menentangnya, dan mengusirnya seperti mengusir orang yang hendak berbuat jahat.
Sedangkan makna (غَمْطُ النَّاسِ) adalah merendahkan manusia dan meremehkan mereka. Dan kapan saja seseorang merendahkan manusia dan meremehkan mereka, maka dia akan menolak hak-hak mereka, menentangnya, dan menghinanya.
Tatkala seseorang yang di atas kebenaran memiliki kemampuan menyampaikan argumentasi dan kekuatan, maka jiwa-jiwa yang sombong tidak mau mengakui kekuatannya terhadap kekuatan yang dia miliki, terlebih lagi jiwa-jiwa pengusung kebathilan, mereka akan menyerang kekuatan kebenaran dengan kesombongan dan kebathilannya.
Maka hakikat tawadhu’ adalah ketundukan seorang hamba terhadap kekuatan kebenaran dan patuh kepadanya, jadi dia tidak akan melawannya dengan kekuatan yang dia miliki.
–selesai perkataan Ibnul Qayyim–
Bersambung In Syaa Allah
Jum’at, 14 Muharram 1436 H
****************************
Catatan kaki:
- Diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam kitab Al-Malahim (IV/512 no. 4341), At-Tirmidzy dalam kitab At-Tafsir (V/257-258), dan Al-Hakim (IV/322) dan dinilai shahih olehnya dan disepakati oleh Adz-Dzahaby, dari hadits Abu Tsa’labah Al-Khusyany.
(Asy-Syaikh Al-Albany rahimahullah menilai hadits ini lemah dalam Silsilah Adh-Dhai’ifah no. 1025 –pent) - Iqtidhaa’us Shiraathil Mustaqiim (I/453).
- Majmuu’ul Fataawaa (X/292).
- Siyar A’laamin Nubalaa’ (XVIII/192).
- At-Tadzkirah fil Wa’zhi, hal. 97.
- Jaami’ Bayaaninil ‘Ilmi wa Fadhlih, hal. 226.
- Al-Fataawaa Al-Kubraa, V/247-248.
- Raudhatul ‘Uqalaa’, hal. 61.
- Ar-Ruuh, II/703.
- Qaa’idah Fil Mahabbah (II/328).
- Madaarijus Saalikin (II/246).