Hak Asasi Manusia (HAM) Di Depan Pencipta

HAK ASASI MANUSIA (HAM) DIDEPAN PENCIPTA

Ditulis oleh: Al-Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi

Upaya-upaya pemberangusan syariat Islam terus dilakukan dengan berbagai cara. Kini dengan bertameng HAM, syariat dan aturan agama diupayakan untuk diabaikan. Bimbingan dan petunjuk ilahi pun hendak dikesampingkan. Isu-isu tentang Hak Asasi Manusia (HAM) terus marak diusung. Tampilannya pun telah direkayasa sedemikian rupa. Hingga berujung pada opini bahwa HAM adalah kekuatan yang layak ditakuti.

Dampaknya, “orang-orang kuat” dunia pun “grogi” bila harus berurusan dengan perkara yang satu ini. Aparat keamanan, baik militer maupun kepolisian yang notabene pegang senjata pun “amat takut” bila dikasuskan perihal HAM. Tak heran, bila HAM kemudian sering dijadikan senjata yang ditunggangi kepentingan pihak-pihak yang tengah berupaya menjatuhkan rival politiknya.

HAM itu sendiri sejatinya merupakan produk musuh-musuh Islam. Tujuannya adalah pendangkalan keimanan umat dan pembentukan karakter mereka agar menjadi orang-orang bebas, berani melawan, memberontak dan menentang segala sesuatu yang tidak sesuai pikiran dan hawa nafsunya, dengan dalih hak asasi. Tanpa memedulikan siapa yang dilawan dan ditentangnya itu. Akhirnya, hawa nafsu diperturutkan dan syariat pun ditanggalkan.

Namun anehnya, wacana HAM yang bergulir bak bola api di tengah umat ini, justru disambut dan diperjuangkan oleh “umat Islam”. HAM pun diundangkan. Pemerintah sering kali dihujat dan dikasuskan dengan alasan pelanggaran hak asasi. Di lain pihak, dengan alasan hak asasi pula, terkadang syariat dan aturan agama diabaikan. Bimbingan dan petunjuk ilahi pun dikesampingkan. Padahal, siapakah makhluk yang bernama manusia itu? Sejauh itukah keberaniannya kepada Allah Subhanahuwata’ala Yang Maha Kuasa sang Pencipta?!

Manusia Makhluk yang Dilingkupi Segala Keterbatasan

Manusia merupakan salah satu makhluk ciptaan Allah Subhanahuwata’ala yang menjalani roda kehidupan di dunia fana ini. Dengan segala hikmah dan keadilan-Nya, Allah Subhanahuwata’ala jadikan mereka sebagai makhluk yang dilingkupi segala keterbatasan. Allah Subhanahuwata’ala menciptakan moyang mereka (Adam alaihissalam) dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk. Sebagaimana firman Allah Subhanahuwata’ala:

“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia (Adam) dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk.” (Al-Hijr: 26)

Sedangkan keturunannya, Allah Subhanahuwata’ala ciptakan mereka dari percampuran setetes air mani suami dan istri. Kemudian Allah Subhanahuwata’ala menjadikannya mendengar dan melihat, untuk diuji oleh-Nya dengan berbagai perintah dan larangan. Sebagaimana firman Allah Subhanahuwata’ala:

“Bukankah telah datang atas manusia satu waktu dari masa, sedang dia ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut? Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu Kami jadikan dia mendengar dan melihat.” (Al-Insan: 1-2)

Tak ubahnya makhluk hidup lainnya, manusia pun mengalami sekian fase dalam kehidupannya. Tercipta sebagai hamba yang lemah, kemudian menjadi kuat (fisiknya) dan mengakhiri kehidupannya pun dalam keadaan lemah. Allah Subhanahuwata’ala berfirman:

“Allah, Dialah yang menciptakan kalian dari keadaan lemah, kemudian Dia menjadikan (kalian) sesudah keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia menjadikan (kalian) sesudah kuat itu lemah (kembali) dan beruban. Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya dan Dialah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa.” (Ar-Rum: 54)

Demikianlah manusia dengan segala keterbatasannya. Semua (hakikatnya) dalam perjalanan menuju Rabb-nya. Kemudian setelah meninggal dunia, akan bertemu dengan Allah Subhanahuwata’ala untuk melihat segala kebaikan ataupun kejelekan yang dikerjakannya, kemudian menerima balasan dari perbuatannya yang baik maupun yang buruk itu. Allah Subhanahuwata’ala berfirman:

“Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah (semut yang amat kecil) pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejelekan seberat dzarrah (semut yang amat kecil) pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya.” (Az-Zalzalah: 7-8)

Manusia Amat Bergantung kepada Allah Subhanahuwata’ala

Keberadaan manusia sebagai makhluk, sangatlah bergantung kepada Allah sang Penciptanya (Al-Khaliq). Kebutuhan mereka kepada Allah Subhanahuwata’ala amatlah besar. Tanpa pertolongan dan kekuatan dari-Nya, tak akan mungkin bisa menjalani pahit getirnya kehidupan ini. Allah Subhanahuwata’ala berfirman:

“Hai sekalian manusia, kalianlah yang amat butuh kepada Allah, dan Allah Dia-lah Yang Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji.” (Fathir: 15)

Ketergantungan manusia terhadap sang Khaliq (Allah Subhanahuwata’ala) semakin besar, manakala mereka telah menyanggupi untuk memikul amanat ibadah dengan menjalankan segala perintah Allah Subhanahuwata’ala dan menjauhi segala yang diharamkan-Nya, yang tak disanggupi oleh makhluk-makhluk besar seperti langit, bumi, dan gunung-gunung. Allah Subhanahuwata’ala berfirman:

“Sesungguhnya Kami telah tawarkan amanat kepada langit, bumi, dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh.” (Al-Ahzab: 72)

Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah berkata: “Allah Subhanahuwata’ala mengangkat permasalahan amanat yang diamanatkan-Nya kepada para mukallaf, yaitu amanat menjalankan segala yang diperintahkan dan menjauhi segala yang diharamkan, baik dalam keadaan tampak maupun tidak. Dia tawarkan amanat itu kepada makhluk-makhluk besar; langit, bumi, dan gunung-gunung sebagai tawaran pilihan bukan keharusan, ‘Bila engkau menjalankan dan melaksanakannya niscaya bagimu pahala, dan bila tidak, niscaya kamu akan dihukum.’ Maka makhluk-makhluk itu enggan untuk memikulnya karena khawatir akan mengkhianatinya, bukan karena menentang Rabb mereka dan bukan pula karena tidak butuh pahala-Nya. Kemudian Allah Subhanahuwata’ala tawarkan kepada manusia. Ia pun siap menerima amanat itu dan siap memikulnya dengan segala kezaliman dan kebodohan yang ada pada dirinya. Maka amanat berat itu pun akhirnya dibebankan kepadanya.” (Taisirul Karimir Rahman, hal. 620)

Karunia Allah Subhanahuwata’ala yang Tak Terhingga terhadap Umat Manusia

Manusia dengan segala keterbatasan dan ketergantungannya kepada Allah Subhanahuwata’ala, amatlah membutuhkan pertolongan dan kekuatan dari Allah Subhanahuwata’ala. Terlebih dalam mengemban amanat berat yang tak dimampui oleh makhluk-makhluk besar itu. Maka Allah Subhanahuwata’ala Yang Maha Rahman pun, memberikan nikmat dan karunia-Nya yang tak terhingga kepada mereka untuk bisa menjalankan segala tugas dan kepentingannya. Allah Subhanahuwata’ala ciptakan mereka dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Allah Subhanahuwata’ala berfirman:

“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.” (At-Tin: 4)

Kemudian Allah Subhanahuwata’ala kuatkan persendian tubuhnya, sehingga mampu bergerak untuk memenuhi segala kebutuhan hidupnya. Allah Subhanahuwata’ala berfirman:

“Kami telah menciptakan mereka dan menguatkan persendian tubuh mereka.” (Al-Insan: 28)

Sebagaimana pula Allah Subhanahuwata’ala menjadikannya pandai berbicara, bisa mendengar dan melihat, sehingga dapat berkomunikasi dan berinteraksi dengan sesamanya. Allah Subhanahuwata’ala berfirman:

“Dia menciptakan manusia. Mengajarnya pandai berbicara.” (Ar-Rahman: 3-4)

“Kami jadikan dia mendengar dan melihat.” (Al-Insan: 2)

Segala sarana kehidupan mereka pun telah dicukupi dan dimudahkan-Nya. Allah Subhanahuwata’ala berfirman:

“Bukankah Kami telah menjadikan bumi sebagai hamparan dan gunung-gunung sebagai pasak? Dan Kami jadikan kalian berpasang-pasangan, dan Kami jadikan tidur kalian untuk istirahat, dan Kami jadikan malam sebagai pakaian, dan Kami jadikan siang untuk mencari penghidupan, dan Kami bangun di atas kalian tujuh buah (langit) yang kokoh, dan Kami jadikan pelita yang amat terang (matahari), dan Kami turunkan dari awan air yang banyak tercurah, supaya Kami tumbuhkan dengan air itu biji-bijan, tumbuh-tumbuhan, dan kebun-kebun yang lebat?” (An-Naba`: 6-16)

Allah Subhanahuwata’ala pun telah tentukan untuk mereka rezeki dengan segala hikmah dan keilmuan-Nya. Masing-masing mendapatkannya sesuai dengan bagian dan porsi yang semestinya. Allah Subhanahuwata’ala berfirman:

“Dan Allah melebihkan sebagian kalian atas sebagian yang lain dalam hal rezeki.” (An-Nahl: 71)

Lebih dari itu, Allah Subhanahuwata’ala utus para nabi dan rasul kepada tiap-tiap umat (dari mereka) sebagai pembimbing mereka ke jalan yang lurus. Sebagaimana pula Dia turunkan kitab suci sebagai pedoman hidup mereka menuju kehidupan yang terang benderang. Allah Subhanahuwata’ala berfirman:

“Sungguh Kami telah mengutus Rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata, dan Kami turunkan bersama mereka Kitab Suci dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan.” (Al-Hadid: 25)

“Hai Ahli Kitab, telah datang kepada kalian Rasul Kami, menjelaskan kepada kalian banyak dari Al-Kitab yang kalian sembunyikan dan banyak pula yang dibiarkannya. Sesungguhnya telah datang kepada kalian cahaya dari Allah dan kitab yang menerangkan (Al-Qur`an). Dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridhaan-Nya kepada jalan keselamatan. Dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari kegelapan menuju cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus.” (Al-Ma`idah: 15-16)

Demikianlah nikmat dan karunia Allah Subhanahuwata’ala yang dicurahkan kepada umat manusia. Walaupun kebanyakan dari mereka sangat zalim dan ingkar terhadap nikmat-nikmat tersebut. Allah Subhanahuwata’ala berfirman:

“Dan Dia telah mengaruniakan kepada kalian (keperluan) dari segala apa yang kalian minta. Dan jika kalian menghitung nikmat Allah, tidaklah mungkin kalian mampu menghitungnya. Sesungguhnya manusia itu sangat zalim dan sangat ingkar (terhadap nikmat Allah).” (Ibrahim: 34)

Apalah Arti Hak Asasi Manusia di Hadapan Penciptanya?

Posisi manusia dengan segala keterbatasan dan ketergantungannya kepada Allah Subhanahuwata’ala, menunjukkan bahwa mereka benar-benar sebagai hamba Allah Subhanahuwata’ala. Terlebih, ketika predikat mukallaf (yang berkewajiban menjalankan segala yang diperintahkan dan menjauhi segala yang diharamkan Allah Subhanahuwata’ala) disandangnya.

Semakin jelas bahwa manusia itu hakikatnya adalah para hamba yang harus mengikuti segala aturan dan rambu-rambu Ilahi di muka bumi ini. Tak sepantasnya baginya untuk memosisikan diri sebagai penentang bagi segala hikmah dan keputusan sang Penciptanya. Karena apapun kondisinya, ia adalah makhluk yang lemah. Meskipun segudang harta dan setumpuk gelar duniawi telah disandangnya. Tanpa nikmat, karunia, pertolongan dan kekuatan dari Allah Subhanahuwata’ala, tak akan mungkin manusia bisa menjalani pahit getirnya kehidupan ini dengan penuh keselamatan. Allah Subhanahuwata’ala berfirman:

“Dan manusia diciptakan dalam keadaan (bersifat) lemah.” (An-Nisa`: 28)

Berangkat dari sini, betapa naifnya bagi manusia (siapapun dia) untuk menyoal hak asasinya di hadapan Penciptanya Yang Maha Kuasa. Sementara Allah Subhanahuwata’ala telah menegaskan dalam firman-Nya:

“Dan Rabb-mu menciptakan segala apa yang Dia kehendaki dan memilihnya. Sekali-kali tidak ada pilihan bagi mereka.” (Al-Qashash: 68)

Apalagi bila istilah hak asasi manusia itu hanyalah kamuflase untuk memperturutkan hawa nafsu dan bebas dari syariat Allah Subhanahuwata’ala. Apalah arti hak asasi manusia di hadapan Penciptanya Yang Maha Kuasa, bila senyatanya adalah belenggu hawa nafsu yang mengantarkan kepada kebebasan yang kebablasan (melampaui batas). Allah Subhanahuwata’ala berfirman:

“Tidakkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya. Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya? Atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami. Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu).” (Al-Furqan: 43-44)

Hai manusia, ke mana engkau hendak pergi? Hidupmu di dunia ini amatlah sementara. Sedangkan kemampuan berkaryamu amat terbatas pada umur yang diberikan Allah Subhanahuwata’ala kepadamu. Dan ketika kematian menghampiri… layaknya makhluk bernyawa, tak seorang pun yang terluput atau tertangguhkan darinya. Allah Subhanahuwata’ala berfirman:

“Dan Allah sekali-kali tidak akan menangguhkan (kematian) seseorang apabila datang waktu kematiannya. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan.” (Al-Munafiqun: 11)

Kehidupan duniamu pun bukanlah akhir dari perjalananmu. Masih tersisa dua kehidupan berikutnya; kehidupan di alam barzah (kubur) dan kehidupan di alam akhirat. Dua kehidupan yang amat menentukan akan posisimu, apakah termasuk orang-orang yang berbahagia ataukah orang-orang yang merugi?! Sementara kesempatan untuk beramal shalih sudah tertutup dalam dua kehidupan itu.

Masihkah engkau enggan untuk shalat, ruku’, dan sujud, menghambakan diri kepada Penciptamu Yang Maha Kuasa?! Masihkah kesibukan duniamu membuatmu lupa akan ayat-ayat Allah Subhanahuwata’ala dan negeri akhirat?! Sudah saatnya bagimu untuk memahami hakikat hidup ini dengan arif dan bijaksana. Jangan engkau menjadi orang yang berpaling dari peringatan Allah Subhanahuwata’ala. Karena kesudahannya adalah petaka. Allah Subhanahuwata’ala berfirman:

“Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunnya pada hari kiamat dalam keadaan buta. Berkatalah ia: ‘Wahai Rabb-ku, mengapa Engkau menghimpun aku dalam keadaan buta, padahal aku dahulunya adalah orang yang (dapat) melihat?’

Allah berfirman:

‘Demikianlah, telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, maka kamu melupakannya, dan begitu (pula) pada hari ini kamupun dilupakan.’ Dan demikianlah Kami membalas orang yang melampaui batas dan tidak percaya kepada ayat-ayat Rabb-nya. Dan sesungguhnya azab di akhirat itu lebih berat dan lebih kekal.” (Thaha: 124-127)

 

Hai manusia, lihatlah dirimu bila berada di liang kubur. Engkau akan menghuninya seorang diri. Tak ditemani oleh kawan dan orang yang dicinta. Tak ditemani pula oleh segudang harta yang ditimbun sebanyak-banyaknya di dunia. Pakaianmu hanyalah kain kafan yang melilit tubuh. Ruanganmu hanyalah liang lahat yang amat terbatas. Tempat pembaringanmu adalah tanah yang tak beralaskan suatu apa. Sementara azab kubur akan diberikan kepada mereka yang berhak mendapatkannya, demikian pula nikmat kubur pun akan diberikan kepada mereka yang berhak mendapatkannya.

 

Perjalananmu tak berhenti sampai di situ. Manakala kiamat tiba, semuanya akan dibangkitkan dari kuburnya. Engkau pun akan menghadap Allah Subhanahuwata’ala seorang diri, untuk mempertanggungjawabkan segala perbuatan yang dilakukan selama di dunia. Allah Subhanahuwata’ala berfirman:

“Dan tiap-tiap mereka akan datang kepada Allah pada hari kiamat dengan sendiri-sendiri.” (Maryam: 95)

“Hai manusia, sesungguhnya kamu telah bekerja (berbuat) dengan penuh kesungguhan menuju Rabb-mu, maka pasti kamu akan menemui-Nya (untuk mempertanggungjawabkan segala perbuatan yang dilakukan).” (Al-Insyiqaq: 6)

Bila engkau telah memahami hakikat perjalanan hidupmu dalam tiga fase kehidupan itu, maka sudah saatnya bagimu untuk kembali kepada Allah Subhanahuwata’ala. Menghambakan diri kepada-Nya bukan kepada dirimu. Menjalankan segala yang diperintahkan-Nya dan meninggalkan segala yang dilarang-Nya. Duduk bersimpuh di hadapan-Nya, menengadahkan tangan permohonan kepada-Nya dengan penuh harap. Bertauhid dan tak menduakan-Nya (syirik) dalam ibadah. Meniti jejak Rasul-Nya dan jauh dari perkara baru yang diada-adakan dalam agama (bid’ah). Berpegang teguh dengan kitab suci-Nya (Al-Qur’an) dan Sunnah Rasul-Nya Shalallahu’alaihi wa sallam, serta bersatu di atasnya. Menjadikan Islam yang murni sebagai pedoman dalam kehidupan ini.

Jauh dari sikap ego dan sombong, dengan dalih hak asasi. Dengan suatu harapan, bisa bertemu dengan Allah Subhanahuwata’ala dengan qalbu yang suci, di hari yang tak lagi bermanfaat harta dan anak-anak (kiamat). Mudah-mudahan Allah Subhanahuwata’ala menjadikan kita semua sebagai hamba-hamba-Nya yang shalih, yang selalu sadar diri akan posisinya yang lemah di hadapan Allah Subhanahuwata’ala. Tunduk dan patuh kepada-Nya dengan penuh ketulusan. Amin Ya Rabbal ‘Alamin…

Sumber: Majalah Asy Syariah

© 1446 / 2024 Forum Salafy Indonesia. All Rights Reserved.