Ditulis oleh: Al-Ustadz Abulfaruq Ayip Syafruddin
Ulama adalah sosok manusia yang memiliki rasa takut kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. Rasa takut yang lekat pada dirinya adalah rasa takut yang lahir dilatari oleh ilmu yang dimilikinya. Ulama adalah sosok manusia yang benar-benar mengetahui dan memahami siapa yang ditakuti. Allah Subhanahu wa ta’ala menyebutkan hal itu melalui firman-Nya,
إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah ulama.” (Fathir: 28)
Karena itu, ulama adalah sosok hamba Allah Subhanahu wata’ala yang senantiasa menerapkan ilmunya di dalam kehidupan sehari-hari. Tindak-tanduk, perbuatan, tutur kata, dan amaliah hatinya senantiasa bersendi pada apa yang telah difirmankan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala dan disabdakan oleh Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wasallam. Ilmu yang disandangnya tidak semata tecermin dari lisannya. Tak semata dari kefasihannya berbicara. Lebih dari itu, segenap amal perbuatan mencerminkan bahwa sosok hamba Allah Subhanahu wa ta’ala tersebut adalah seorang alim. Asy-Syaikh Abu Abdillah Muhammad bin Shalih bin Muhammad bin Sulaim bin Abdirrahman al-‘Utsaimin al-Wuhaibi at-Tamimi termasuk salah seorang ulama. Apa yang telah beliau rahimahullah perbuat, memberikan manfaat yang teramat banyak pada umat ini. Lebih dari 90 kitab, baik dalam bentuk risalah maupun yang berjilid, telah beliau rahimahullah wariskan kepada kaum muslimin. Kecintaan beliau rahimahullah terhadap ilmu telah tampak sejak usia pertumbuhan. Al-Qur’an telah dihafal pada usia dini.
Belum menginjak usia 15 tahun, beliau telah menyelesaikan hafalan kitab Zadul Mustaqni’ dan Alfiyah Ibn Malik. Beliau rahimahullah telah mendapat bimbingan dari para ulama sejak usia yang teramat muda. Meski hidup dalam kesederhanaan, beliau tetap bersemangat menuntut ilmu hingga menyelesaikan pendidikan di Universitas al-Imam Muhammad bin Su’ud, Saudi Arabia. Beliau adalah hamba Allah Subhanahu wa ta’ala yang hidup diselimuti kezuhudan. Meski demikian, sebagai seorang yang mencintai ilmu dan amal, beliau senantiasa menjaga kebersihan dan kesucian diri. Sikap zuhud beliau tergambar saat beliau menerima bantuan dari Raja Khalid bin Abdul Aziz. Setelah diterima, bantuan tersebut beliau wakafkan untuk kepentingan para penuntut ilmu syar’i.
Demikian pula saat diberi sesuatu dalam jumlah besar, beliau langsung mengumumkan bahwa pemberian itu digunakan untuk para penuntut ilmu syar’i. Pemberian itu tidak dijadikan sebagai milik pribadi, tetapi diserahkan kepada umat. Sikap zuhud yang sedemikian agung. Sikap zuhud demikian tertanam pada diri beliau rahimahullah. Sikap itu pula yang beliau ajarkan kepada umat. Kata asy- Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah, “Seseorang wajib menjadi manusia yang zuhud. Dia zuhud dalam urusan dunia dan lebih mencintai urusan akhirat. Apabila Allah Subhanahu wata’alamengaruniai harta, jadikanlah harta itu sebagai pembantu ketaatan kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. Hendaklah dia jadikan dunia sebatas di tangannya, tidak sampai merasuk ke dalam hati, sehingga dirinya meraup dua keberuntungan, yaitu keberuntungan dunia dan keberuntungan akhirat.” Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَالْعَصْرِ () إِنَّ الْإِنسَانَ لَفِي خُسْرٍ () إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ
“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, saling menasihati supaya menaati kebenaran, dan saling menasihati supaya menetapi kesabaran.” (al-‘Ashr: 1—3)
Zuhud, kata beliau rahimahullah adalah upaya meninggalkan sesuatu yang tidak membawa manfaat bagi kehidupan akhirat. (Syarhu Riyadhi ash-Shalihin I/790 dan 799, asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah) Suatu hari, asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin menyerahkan bantuan dalam jumlah yang besar. “Wahai Abdullah, aku dan engkau di sini hanya berdua. Tak ada yang melihat selain Allah Subhanahu wa ta’ala. Ambillah dana ini. Bantuan ini murni dari hartaku. Belikan mushaf al-Qur’an dan bagikan mushaf tersebut kepada orang-orang yang membutuhkan di penjara-penjara yang berada di Amerika,” ucap beliau kepada orang yang diamanati membagikan bantuan tersebut. Beliau berpesan, “Engkau yang bertanggung jawab membelikan dan membagikannya. Aku minta kepadamu, demi Allah, agar tidak menceritakan hal ini kepada siapa pun.” (Fath Dzi al-Jalal wa al-Ikram, hlm. 23)
Beliau zuhud, dermawan, suka membantu, dan rendah hati. Sedemikian kokoh ketawadhuan menyelimuti beliau hingga membentuk sikap tak suka memamerkan keadaan diri. Jauh dari publisitas, sebuah sikap terpuji nan luhur yang patut ditiru. Sebagai seorang ulama yang banyak dikenal masyarakat luas, beliau sangat dekat dengan umat. Kemasyhuran namanya tak lantas menjadikan dirinya tinggi hati. Kisah berikut menggambarkan sikap “hangat” beliau terhadap umat. Kejadian ini di kota Makkah sebelum asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah wafat. Setelah asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin menunaikan shalat di Masjidil Haram, Makkah, beliau hendak pergi ke satu tempat. Karena tempat yang dituju cukup jauh, beliau naik taksi. Di tengah perjalanan, sang pengemudi taksi menyapa dan ingin mengenal lebih dekat penumpangnya. Terjadilah obrolan di antara keduanya.
Pengemudi taksi itu bertanya, “Siapakah Anda, wahai syaikh (panggilan akrab untuk orang yang telah tua, red.)?” Jawab asy-Syaikh, “Muhammad bin ‘Utsaimin.” Mendengar nama tersebut, sang pengemudi taksi heran dan bertanya, “Syaikh (Ibnu Utsaimin yang itu)?” Pengemudi taksi menyangka bahwa penumpangnya membohonginya. “Ya, saya asy-Syaikh,” kata asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin menegaskan guna meyakinkannya. Namun, pengemudi taksi itu justru menggeleng-gelengkan kepalanya lantaran heran dan tidak percaya. Dalam keadaan seperti itu, asy-Syaikh berbalik tanya kepada pengemudi taksi, “Siapakah Saudara?” Pengemudi taksi menjawab, “Asy- Syaikh Abdul Aziz bin Baz!” Mendengar jawaban tersebut, asy- Syaikh ‘Utsaimin tertawa. “Engkau asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz?” tanya asy-Syaikh. Sang pengemudi berbalik tanya, “Apakah engkau juga asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin?” Kata asy-Syaikh, “Akan tetapi, asy- Syaikh bin Baz memiliki keterbatasan fisik (buta). Beliau tentu tidak mampu mengemudikan mobil.” (Fath Dzi al-Jalal wa al-Ikram, hlm. 39—40)
Dialog ringan di atas begitu cair mengalir bagaikan air, menggambarkan salah satu akhlak beliau. Kesabaran beliau teramat kental kala menghadapi orang awam. Dengan santun penuh rahmat dan ramah, ungkapan-ungkapan polos itu ditanggapi dengan bijak. Tidak ada ketersinggungan apalagi amarah. Semua dihadapi secara wajar. Saat menjelaskan firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
قُلْ هَٰذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ ۚ عَلَىٰ بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي ۖ وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ
Katakanlah, “Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku “Wahai mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujah yang nyata. Mahasuci Allah, dan aku tidak termasuk orang-orang yang musyrik.” (Yusuf: 108)
Beliau sebutkan bahwa ‘ala bashirah bermakna ‘ilmu’. Dakwah ini harus diliputi keikhlasan dan ilmu. Sungguh, kebanyakan dakwah ini hancur berderai lantaran hampa dari keikhlasan dan ilmu. Yang dimaksud ‘ala bashirah adalah ilmu, bukan semata ilmu syar’i. Namun, meliputi pula ilmu tentang mad’u (orang yang didakwahi). Ilmu yang mengantarkan pada keberhasilan meraih yang dituju, yaitu hikmah. Karena itulah, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda saat hendak mengutus Abu Musa al- Asy’ari dan Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhuma ke negeri Yaman,
إِنَّكَ تَأْتِي قَوْمًا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ
“Sesungguhnya engkau akan mendatangi satu kaum dari kalangan ahli kitab.” (HR. al-Bukhari, Kitab al-Maghazi dan HR. Muslim, Kitab al-Iman, dari Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma. Lihat kitab karya beliau al-Qaulul Mufid ‘ala Kitabi at-Tauhid, hlm. 85)
Keutamaan asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin terekam pula dari kebiasaannya dalam beribadah. Beliau rahimahullah senantiasa menegakkan ibadah yang bersifat fardhu, sunnah, dan ketaatan lainnya. Hal itu tergambar di antaranya dari amalan haji yang dilakukannya setiap tahun dalam jangka waktu yang panjang. Demikian pula umrah, beliau selalu berumrah saat Ramadhan atau waktu lainnya saat musim liburan. Bagaimana dengan shalat malam? Tentu, shalat malam selalu beliau tunaikan walau saat kelelahan mendera. Asy- Syaikh Hamd al-‘Utsman, salah seorang murid beliau bertutur, bahwa saat safar bersama asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin ke Riyadh, mereka menyempatkan singgah ke Jeddah untuk selanjutnya menunaikan umrah di Makkah (sekadar diketahui, jarak Riyadh-Jeddah sekitar 851 km, dan Jeddah-Makkah sekitar 66 km, -red.).
Setelah selesai menunaikan umrah, keadaan fisik diliputi kelelahan yang sangat sehingga mereka tertidur pulas. Namun, tengah malam asy-Syaikh Hamd al-‘Utsman terbangun karena ada keperluan ke kamar kecil. Saat itulah beliau melihat asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin tengah menegakkan shalat malam. Melihat peristiwa tersebut, asy- Syaikh Hamd al-Utsman berkata, “Subhanallah, saya masih muda, tetapi justru tidur nyenyak. Sementara itu, beliau adalah orang yang telah lanjut usia. Dalam keadaan fisik kepayahan, beliau tetap menegakkan shalat malam.” Apa yang dilakukan oleh asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin malam itu memberi dorongan kepada teman seperjalanannya untuk menunaikan shalat malam. Dia pun bersegera mengambil air wudhu, lantas berusaha untuk shalat malam walau kantuk hebat menerpanya. (Fath Dzi al-Jalal wa al-Ikram, hlm. 29—30)
Prinsip untuk senantiasa mengerjakan amal kebaikan secara berkesinambungan termasuk nasihat emas beliau rahimahullah. Kata asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, “Hendaklah seseorang senantiasa mengerjakan kebaikan.” (Syarhu Riyadhi as-Shalihin, hlm. 403) Dari Abdullah bin Amr bin al-‘Ashradhiyallahu ‘anhuma, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepadaku,
يَا عَبْدَ اللهِ، لاَ تَكُنْ مِثْلَ فُلَانٍ، كَانَ يَقُومُ اللَّيْلَ فَتَرَكَ قِيَامَ اللَّيْلِ
‘Wahai Abdullah, janganlah engkau seperti fulan. Dahulu ia senantiasa shalat malam, lantas ia tinggalkan kebiasaannya’.” (HR. al-Bukhari no. 1152 dan Muslim no. 185)
Yang diperbuat oleh asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin adalah dakwah berupa keteladanan. Beliau memberi contoh dengan landasan ikhlas hanya karena Allah Subhanahu wata’ala. Keteladanan beliau, dengan izin Allah Subhanahu wata’ala, telah mampu menyadarkan hamba Allah Subhanahu wata’ala yang terlelap. Membangunkan jiwa yang tertidur untuk kemudian bangkit menegakkan ketaatan. Betapa dalam dampak keteladanan pada umat. Tak bisa dibayangkan apa yang akan terjadi dalam dakwah ini manakala para pendakwah hanya mampu menyampaikan pada tataran lisan atau yang diserukan oleh lisan tidak diikuti oleh amalan. Tak ada kesesuaian antara kata dan amal nyata. Padahal Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ () كَبُرَ مَقْتًا عِندَ اللَّهِ أَن تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” (ash-Shaf: 2—3)
Dalam menyikapi ahlul bid’ah, asy- Syaikh bin ‘Utsaimin memiliki pandangan bahwa ahlul bid’ah wajib di-hajr. Makna hajr menurut beliau adalah menjauhi mereka, tidak mencintai, tidak berloyalitas, tidak memberi salam, mengunjungi, menengok mereka, dan lainnya. Menghajr ahlul bid’ah wajib berdasarkan firman Allah Subhanahu wata’ala,
لَّا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ
“Kamu tidak akan mendapati satu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhir, saling menyayangi dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya.” (al-Mujadilah: 22)
Kepada yang bukan ahli bid’ah pun, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah menerapkan hajrterhadap sahabat Ka’b bin Malik radhiyallahu ‘anhu dan dua orang temannya tatkala mereka enggan mengikuti Perang Tabuk. (HR. al-Bukhari no. 4418 dan HR. Muslim no. 2869 dan no. 53) Termasuk dalam kerangka hajr pula, asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin berpandangan bahwa seseorang dilarang menelaah bukubuku ahlul bid’ah. Sebab, dikhawatirkan akan terpengaruh dengan buku-buku tersebut. Terlarang pula menyebarkan dan mengedarkan buku ahlul bid’ah. Akan tetapi, manakala dibaca untuk dibantah dan diluruskan ke arah pemahaman yang benar, selama pelakunya mampu, tidak mengapa buku tersebut diteliti. Sebab, bagaimana pun, membantah kebid’ahan itu adalah kewajiban. (Lum’atul I’tiqad al-Hadi ila Sabili ar-Rasyad, disyarah oleh asy-Syaikh Ibn ‘Utsaimin, hlm. 157—158)
Sikap ini diajarkan kepada umat, tak lain demi menjaga umat dari berbagai penyimpangan dalam memahami Islam. Beliau menghendaki agar umat berada di atas pemahaman salafus shalih, pemahaman yang telah diajarkan dan diamalkan oleh para imam terdahulu. Inilah tugas ulama. Kini, beliau telah tiada di tengah umat. Namun, karya-karya beliau tetap menjadi rujukan. Karya-karya beliau memberi pencerahan terhadap umat, mengalir tiada henti. Sudah sepantasnya apabila kita berkaca pada ulama. Wallahu a’lam.
————————————————–
Sumber : Majalah Asy Syariah