Suatu ketika, saat Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam sedang buang hajat, beliau disapa oleh salah seorang sahabatnya dengan ucapan salam. Namun, beliau tidak menjawab salam tersebut.
Sahabat Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma menceritakan,
َ أَنَّ رَجُلًا مَرَّ، وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَبُولُ، فَسَلَّمَ، فَلَمْ يَرُدَّ عَلَيْهِ
Seorang laki-laki lewat saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang buang air kecil. Dia pun mengucapkan salam kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tetapi beliau tidak menjawab salam tersebut.” (HR. Muslim no. 370 dalam “Kitab al-Haidh“)
Pada riwayat lain disebutkan, setelah buang hajat, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab salam laki-laki tadi dan meminta uzur kepadanya.
عن المهاجر بن قنفذ أنه أتى النبيَّ صلّى الله عليه وسلّم وهو يبول، فسلَّم عليه فلم يرد عليه حتى توضَّأ، ثم اعتذر إِليه، فقال: «إِني كرهت أن أذكر الله إِلا على طُهر
Dari sahabat Muhajir bin Qunfudz radhiyallahu ‘anhu bahwasanya dia pernah mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ketika beliau sedang buang air kecil. Dia mengucapkan salam kepada beliau, tetapi Nabi tidak menjawab salamnya sampai beliau selesai berwudhu.
Kemudian beliau meminta uzur kepadanya,
“Sesungguhnya aku tidak ingin menyebut nama Allah kecuali dalam keadaan suci.”
(HR. Imam Ahmad [4/345] dan Abu Dawud pada “Kitab ath-Thaharah” no. 17)
Berdasarkan dua riwayat tersebut dan beberapa pendapat para ulama dalam permasalahan ini, Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah menyimpulkan bahwa orang yang sedang buang hajat tidak boleh berbicara, kecuali pada kondisi yang mengharuskan untuk berbicara. Di antara kondisi yang disebutkan oleh para ahli fikih adalah:
1. Mengarahkan atau memberi petunjuk kepada seseorang.
2. Dia sedang diajak bicara oleh seseorang dan harus menjawabnya.
3. Memiliki keperluan dengan seseorang dan takut atau khawatir orang tersebut akan pergi.
4. Saat memerlukan air untuk beristinja, maka tidak mengapa berbicara.
(Lihat asy-Syarhul Mumti’ 1/117-119)