Ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Usamah bin Rawiyah An-Nawawi
Di masa sekarang, anak yang benar-benar mau berbakti kepada orang tua jumlahnya sungguh sedikit. Yang sering dijumpai adalah sebaliknya, anak yang tidak tahu berterima kasih kepada orang yang telah membesarkannya. Ketika orang tua berusia lanjut dan sakit-sakitan, sang anak bukannya memberikan perawatan tapi malah memasukkan mereka ke panti jompo. Inilah realita yang banyak terjadi di sekitar kita.
Anak merupakan idaman setiap orang. Ia tidak hanya didamba oleh orang yang sudah berkeluarga, namun tak jarang juga oleh mereka yang masih melajang. Kehadiran anak merupakan penyemarak kehidupan sebuah keluarga. Tanpa mereka, hari-hari sebuah keluarga laksana sayur tanpa garam. Terasa hambar dan tidak lengkap.
Begitu berartinya anak bagi sebuah keluarga hingga terkadang orang-orang yang belum dikaruniai anak mau menempuh segala cara untuk mendapatkan harapannya itu. Mereka lupa bahwa anak adalah pemberian dari Allah, yang mestinya hanya kepada-Nya mereka meminta.
Bagi orang-orang yang beriman, mereka menyadari bahwa anak merupakan nikmat dari Allah sekaligus sebagai ujian. Dalam ruku’ dan sujud serta dalam segala munajat, mereka meminta agar dikaruniai keturunan yang baik, yaitu anak-anak yang shalih dan berbakti kepada orang tuanya.
Kehadiran anak akan menjadi penyejuk mata orang tua, menjadi penggembira ketika susah, menjadi penghangat ketika kedinginan, serta menjadi penghibur qalbu ketika gundah gulana. Kalimat “Anakku sayang,” akan senantiasa terucap meski sang ibu atau bapak sedang mengalami sakit yang parah. “Biar bapakmu susah asal kamu tetap senang,” demikian ucapan seorang bapak yang sangat sayang pada anaknya.
“Wahai Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami) dan jadikanlah kami sebagai imam bagi orang-orang yang bertakwa.” (Al-Furqan: 74)
Namun aduhai, tidak sedikit para bapak dan ibu memberikan cinta dan kasih sayang secara berlebihan hingga mencampakkan anaknya ke jurang kerugian hidup dunia dan akhirat. Semua keinginan anak berusaha untuk dipenuhi apapun bentuknya: televisi, gitar, dan alat-alat musik lainnya, gambar-gambar, dan segala bentuk permainan berusaha didapatkan, baik dengan cara menipu, menjilat, korupsi, mencuri, merampok dsb. Sungguh malang nasib kedua orang tua di dunia dan akhirat, dan betapa malang pula nasib anak yang tidak diikat dengan batasan syariat.
Di sisi lain terkadang ada seorang anak yang keadaannya bagai burung dalam sangkar. Keinginan anak untuk menjadi orang shalih dan menjadi seorang hamba yang mulia di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala, justru mendapatkan ancaman yang pahit dan lecutan cemeti caci maki serta olok-olok dari orang tuanya.
Semburan ludah, tamparan ke wajah sang anak, pemboikotan harus mengiringi kehidupan dan derap langkah serta kemerdekaannya. Apa yang diinginkan orang tuanya dari buah hatinya itu? Ternyata mereka menginginkan anaknya menyandang gelar keduniaan dengan menutup keinginannya mendapatkan gelar akhirat.
Orang tua itu berharap dengan gelar keduniaan yang diraih akan mendatangkan sesuap nasi dan bisa mengantarkan kepada kehidupan mewah. Walaupun untuk mendapatkan gelar itu harus berkecimpung dalam api neraka Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Wahai ibu dan bapak, akankah engkau menggiring dan memandu anakmu di atas duri-duri dan kaca-kaca tajam untuk meraih keinginanmu dan bukan keinginan anakmu?
Demikianlah gambaran kehidupan anak yang harus menghadapi orang tua yang memiliki keinginan berbeda-beda dan begitu juga orang tua yang menghadapi anak-anak memiliki cita-cita yang berbeda. Wahai ibu, bapak, dan anak, dengarkanlah sabda Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam:
“Apabila anak Adam meninggal dunia terputuslah amalnya kecuali tiga perkara shadaqah jariyah atau ilmu yang diambil manfaatnya atau anak yang shalih yang akan mendoakan kedua orang tuanya.” (HR. Muslim no. 1631 dari shahabat Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu)
Dan dengarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
“Dan orang-orang yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka dan kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka, tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya.” (Ath-Thur: 21)
Peranan Orang Tua
Orang tua memiliki peranan besar dalam mengubah fitrah seorang anak. Dia bisa menjadi sebab bagi anak menjadi orang yang celaka di dunia dan akhirat, dan bisa pula menjadi sebab bagi anak menjadi orang yang selamat di dunia dan akhirat. Tentu semua itu tidak terlepas dari taqdir Allah Subhanahu wa Ta’ala.
a. Orang tua menyeru buah hatinya menuju kekufuran
Di antara orang tua ada yang dengan sengaja menyeru anaknya menuju kekufuran kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan menuju kesesatan dengan tidak sedikit disertakan ancaman-ancaman, pembunuhan, pengucilan, pengusiran, penyiksaan dan sebagainya.
Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam telah menggambarkan hal yang demikian di dalam sabdanya:
“Setiap anak dilahirkan di atas fitrah (kesucian) maka kedua orang tuanyalah yang menjadikan dia Yahudi atau Nasrani atau Majusi.” (HR. Al-Bukhari no. 1279, Muslim no. 2658, dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu)
Abu ‘Amr ‘Utsman bin Sa’id Ad-Dani Al-Qurthubi Rahimahullah mengatakan: “Makna ‘keduanya menjadikan Yahudi atau Nasrani’ adalah keduanya menghukumi anak itu sebagaimana hukum terhadap diri keduanya (dengan Yahudi, Nasrani, Majusi -pen). Dan ada yang mengatakan (bahwa maknanya) keduanya menyeru anaknya menuju agama yang dia berada di atasnya dari Yahudi atau Nasrani.” (Lihat Ar-Risalah Al-Wafiyah hal. 97)
Demikian Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam menjelaskan tentang orang tua yang memiliki pengaruh demikian besar dalam mengubah kesucian fitrah seorang anak.
Allah Subhanahu wa Ta’ala menceritakan di dalam Al Qur’an percakapan antara Ibrahim ‘alaihissalam dengan bapaknya:
“Ingatlah ketika Ia- (Ibrahim) berkata kepada bapaknya: ‘Wahai bapakku, mengapa kamu menyembah sesuatu yang tidak bisa mendengar, tidak melihat dan tidak bisa menolongmu sedikitpun? Wahai bapakku, sesungguhnya telah datang kepadaku sebahagian ilmu pengetahuan yang tidak datang kepadamu, maka ikutilah aku, niscaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus. Wahai bapakku janganlah kamu menyembah setan. Sesungguhnya setan itu durhaka kepada Tuhan Yang Maha Pemurah. Wahai bapakku sesungguhnya aku khawatir bahwa kamu akan ditimpa adzab dari Tuhan Yang Maha Pemurah, maka kamu menjadi kawan bagi setan.’ Berkata bapaknya: ‘Bencikah kamu kepada Tuhan-Tuhanku, hai Ibrahim? Jika kamu tidak berhenti, maka niscaya kamu akan kurajam dan tinggalkanlah aku dalam waktu yang lama’.” (Maryam: 42-46)
b. Sebagian orang tua menyeru menuju kebahagiaan hidup di atas iman
Inilah tentu yang dimaukan oleh Allah dan Rasul-Nya. Allah menceritakan di dalam Al Qur’an tentang Nabi Nuh ‘alaihissalam:
“Dan Nuh berkata: ‘Naiklah kamu sekalian ke dalamnya (perahu) dengan menyebut nama Allah di waktu berlayar dan berlabuhnya. Sesungguhnya Tuhanku benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang’. Dan bahtera itu berlayar dan membawa mereka dalam gelombang laksana gunung dan Nuh memanggil anaknya, sesungguhnya anaknya berada di tempat yang jauh terpencil, ‘Hai anakku naiklah ke (kapal) bersama kami dan janganlah kamu berada bersama orang-orang kafir’.” (Hud: 41-42)
Kedua jenis seruan di atas terkait dengan keputusan dan ketentuan Allah terhadap diri sang anak. Artinya, bahwa kedua orang tua bagaimanapun dia mengusahakan agar anaknya kafir, tetap dia tidak sanggup bila tidak ada ijin dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Begitu juga sebaliknya, setinggi apapun usaha keduanya agar anaknya menjadi orang yang shalih, bila tidak ada ijin dari Allah Subhanahu wa Ta’ala maka keduanya tidak akan sanggup.
Anak yang Baik
Birrul Walidain (berbuat baik kepada kedua orang tua) dan tidak durhaka adalah wajib, bahkan Allah gandengkan perintah berbuat baik kepada kedua orang tua dengan perintah menyembah-Nya semata. Hal ini menunjukkan besarnya kedudukan Birrul walidain.
a. Bentuk-bentuk Birrul Walidain
1. Menaati perintah keduanya serta menjauhi larangannya selama tidak dalam rangka bermaksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebab tidak ada kewajiban taat kepada siapapun dalam bermaksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Dan jika keduanya memaksamu untuk kamu menyekutukan Aku dan kamu tidak memiliki ilmu tentangnya maka janganlah kamu menaati keduanya dan pergaulilah mereka di dunia dengan cara yang baik.” (Luqman: 15)
Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam bersabda:
“Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Allah, sesungguhnya ketaatan itu dalam kebaikan.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari shahabat ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu)
2. Memuliakan keduanya dan merendah di hadapannya, berucap dengan ucapan yang baik serta tidak membentaknya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Jika salah seorang dari keduanya atau kedua-duanya telah lanjut usia dalam pemeliharaanmu maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’ dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik, dan rendahkan dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan.” (Al-Isra: 23-24)
3. Tidak melakukan safar (perjalanan) jauh melainkan dengan seijin keduanya begitu juga jihad yang hukumnya fardhu kifayah.
Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash Radhiyallahu ‘anhuma berkata:
“Seseorang menghadap Nabi Allah Shallallahu `alaihi wa sallam lalu berkata: ‘Aku memba’iatmu di atas hijrah dan jihad untuk mencari pahala dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.’ Rasulullah berkata: ‘Apakah salah seorang dari kedua orang tuamu masih hidup?’ Dia menjawab: ‘Ya, bahkan keduanya.’ Dan beliau bersabda: ‘Kamu ingin mencari pahala dari Allah?’ Dia menjawab: ‘Ya.’ Rasulullah bersabda: ‘Kembalilah kepada kedua orang tuamu dan berbuat baiklah kepada keduanya’.” (HR. Al-Bukhari, 6/97, 98, dan Muslim no. 2549)
4. Tidak boleh mendahulukan istri dan anaknya atas hak kedua orang tua, berdasarkan hadits tentang tiga orang yang masuk ke dalam gua lalu gua tersebut tertutup dengan batu sehingga tidak bisa keluar darinya. Lalu ketiga orang tersebut berdoa kepada Allah dengan cara bertawassul dengan amal-amal mereka yang shalih. Salah satu di antara mereka bertawassul dengan amal mengutamakan hak kedua orang tuanya dari hak anak-anak dan istrinya. (HR. Al-Bukhari no. 2272 dan Muslim no. 2743 dari shahabat Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu ‘anhuma)
5. Bersyukur terhadap segala bentuk pengorbanannya dengan melaksanakan segala wujud kebaikan seperti memberi keduanya makan dan pakaian jika membutuhkan, mengobati bila keduanya sakit, menghilangkan segala macam gangguan dan berkhidmat terhadap segala sesuatu yang dibutuhkannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Dan Kami telah memerintahkan kepada manusia untuk (berbuat baik) kepada kedua orang tuanya, karena ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah di atas kelemahan dan menyapihnya selama dua tahun maka bersyukurlah kamu kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu.” (Luqman: 14)
6. Menyambung silaturahmi yang berasal dari keduanya dan mendoakan keduanya dengan segala ampunan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Dan katakanlah: Ya Allah rahmatilah keduanya sebagaimana keduanya telah mendidikku semasa kecilku.” (Al-Isra: 24)
b. Bentuk-bentuk kedurhakaan kepada keduanya
Hal ini merupakan lawan dari hal yang disebutkan sebelumnya. Mencaci maki keduanya, membentak dan menghardik, memukul, memperbudak, mengkhianati, mendustakannya, menipu, tidak taat kepada perintah keduanya dan sebagainya merupakan beberapa bentuk kedurhakaan kepada kedua orang tua. Jadikanlah kedua orang tuamu sebagai ladangmu untuk mempersiapkan diri dan tempat bercocok tanam untuk akhiratmu! Jadikanlah keduanya sebagai jembatan pengantar dirimu menuju surga Allah! Nabi Shallallahu `alaihi wa sallam bersabda:
“Nista dan hinanya, nista dan hinanya, nista dan hinanya.” Lalu ditanyakan: “Siapa wahai Rasulullah?” Beliau berkata: “Yaitu yang menjumpai kedua orang tua lalu tidak menyebabkan dia masuk ke dalam surga.” (HR. Muslim no. 2551 dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu)
Wallahu a’lam.
Sumber: Majalah Asy Syariah