ASY SYAIKH IBNU UTSAIMIN PELITA DI TENGAH UMAT
Ditulis oleh: Al-Ustadz Qomar Suaidi, Lc.
Wafatnya Ulama,Musibah Bagi Umat
Diriwayatkan dari Salman radhiyallahu ‘anhu, “Manusia senantiasa dalam kebaikan selama generasi awal masih ada sehingga generasi berikutnya belajar darinya. Jika generasi pertama mati sebelum yang berikutnya belajar, manusia akan hancur.” (Riwayat ad-Darimi dalam Sunan-nya) Saat Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu meninggal, Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu berkata, “Demikianlah hilangnya ilmu. Pada hari ini ilmu yang banyak telah dikubur.” (Riwayat al-Hakim dalam kitab al-Mustadrak) Abu ad-Darda’ radhiyallahu ‘anhu pernah berkata, “Pelajarilah ilmu oleh kalian sebelum ilmu itu dicabut. Dicabutnya itu dengan diwafatkannya para pemiliknya….” sampai beliau katakan, “Mengapa aku melihat kalian kenyang dengan makanan tetapi lapar dari ilmu?” (Jami Bayanil Ilmi wa Fadhlihi)
Al-Hasan rahimahullah mengatakan, “Wafatnya seorang ulama adalah celah dalam Islam yang tidak dapat ditutup oleh apa pun, selama malam dan siang silih berganti.” Ayyub as-Sikhtiani rahimahullah mengatakan, “Sungguh, apabila sampai kepadaku berita kematian seorang Ahlus Sunnah, seolah-olah satu bagian tubuhku terlepas.” (Riwayat Abu Nu’aim dalam al-Hilyah) Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan, “Alam ini menjadi baik dengan adanya ulama. Apabila tidak ada mereka, tentu manusia ibarat hewan ternak, bahkan lebih jelek. Maka dari itu, kematian seorang ulama adalah musibah, tidak ada yang menambalnya melainkan ada penggantinya yang lain. Demikian pula para ulama, merekalah yang mengatur manusia, negeri-negeri, dan budakbudak. Jadi, kematian mereka berarti kerusakan tatanan alam.
Oleh karena itu, Allah Subhanahu wa ta’ala senantiasa menancapkan para ulama dalam agama ini, yang belakangan menggantikan yang terdahulu. Dengan mereka, Allah Subhanahu wata’ala menjaga agama-Nya, kitab-Nya, dan para hamba-Nya. Renungkanlah, jika di alam ini ada seseorang yang mengungguli yang lain di dunia ini dalam hal kecukupan (harta) dan kedermawanan. Sementara itu, orang-orang sangat membutuhkannya dan dia selalu memberikan apa yang dia mampu. Lantas dia mati dan bantuan kepada mereka berhenti. Musibah kematian seorang ulama jauh lebih besar daripada kematian orang semacam itu. Padahal kematian orang yang semacam ini saja akan menyebabkan kematian banyak orang.” (Miftah Daris Sa’adah, dikutip dari buku asy-Syaikh Ibnu Utsaimin minal Ulama ar-Rabbaniyyin)
Nama dan Nasab Beliau
Beliau bernama Muhammad bin Shalih bin Sulaiman bin Abdurahman bin Utsman bin Abdullah bin Abdurrahman bin Ahmad bin Muqbil, dari keluarga besar al-Wahbah dari bani Tamim. Kakek beliau yang keempat, yaitu Utsman, biasa dipanggil dengan sebutan Utsaimin. Akhirnya, keluarga tersebut populer dengan sebutan al-Utsaimin. Jadi, Utsaimin terambil dari nama Utsman. Beliau sendiri lebih dikenal sebagai Ibnu Utsaimin, anak Utsaimin. Maksudnya, anak keturunan Utsaimin. Dalam adat Arab penasaban langsung kepada kakek dan melewati ayah adalah hal yang biasa. Kuniah beliau ialah Abu Abdillah.
Tumbuh Kembang & Masa Belajar
Beliau terlahir di kota Unaizah, sebuah kota setingkat kabupaten (muhafazhah) yang termasuk dalam wilayah manthiqah (setingkat provinsi) al-Qashim. Unaizah termasuk kota tertua di manthiqah al- Qashim, kota yang sangat bersejarah bagi Kerajaan Saudi Arabia. Letaknya juga memiliki posisi strategis, yakni di tengah-tengah wilayah Kerajaan Saudi Arabia, tepatnya di sebelah timur laut pegunungan Najed. Beliau lahir pada 27 Ramadhan 1247 H. Beliau tumbuh dalam keluarga yang sederhana. Ayahnya bekerja sebagai pedagang yang menjalankan bisnisnya antara Unaizah dan Riyadh, lalu pekerjaannya menetap di Unaizah. Sebelum wafatnya, ayah beliau bekerja di Darul Aitam di Unaizah. Pernah asy-Syaikh Ibnu Utsaimin ditanya, “Apakah Anda berdagang di samping kegiatan belajar Anda?” Beliau menjawab, “Tidak, karena ayah dalam keadaan ekonomi yang lancar di Riyadh.” Suatu saat, beliau menyebutkan kondisi ruang belajarnya, “Sebuah kamar yang terbangun dari tanah dan dapat melihat langsung ke kandang sapi.” Di samping itu, keluarga tersebut dikenal dengan keistiqamahan dan perhatian mereka terhadap urusan agama. Keluarga besar Utsaimin adalah bibi asy-Syaikh Abdurahman as-Sa’di rahimahullah. Kakek beliau dari pihak ibu, yaitu asy-Syaikh Abdurahman bin Sulaiman al-Damigh t, adalah seorang guru dan imam masjid al-Khazirah di kota Unaizah.
Oleh karena itu, ayah asy-Syaikh Ibnu Utsaimin memercayakan pendidikan anaknya kepada sang kakek. Jadi, beliau terhitung sebagai guru pertama asy- Syaikh Ibnu Utsaimin. Dari sang kakek ini, beliau belajar al-Qur’an sampai selesai menghafalnya dalam usia yang sangat muda, sebelum genap 14 tahun. Dari beliau pula, Ibnu Utsaimin kecil belajar beberapa bidang ilmu yang lain, seperti menulis, berhitung, dan dasar-dasar bahasa. Semua itu terjadi sebelum beliau melanjutkan thalabul ilmi (menuntut ilmu) di madrasah asy-Syaikh Ali bin Abdullah asy-Syuhaitan. Allah Subhanahu wa ta’ala mengaruniai beliau kecerdasan, kesucian fitrah, dan semangat yang tinggi untuk mendapatkan ilmu dari para ahlinya. Dengan itu, ayahnya pun mengarahkan beliau untuk konsentrasi belajar agama. Beliau pun belajar langsung dari seorang ulama besar di negeri itu, yakni asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di, penulis kitab Taisir al-Karimir-rahman fi Tafsiri Kalamil- Mannan dan berbagai karya lain yang agung lagi bermanfaat.
Kegiatan belajar mengajar asy-Syaikh Abdurahman as-Sa’di dilakukan di masjid al-Jami’ al-Kabir di kota Unaizah dan perpustakaan. Beliau memercayakan pengajaran anak-anak kepada dua orang muridnya: asy-Syaikh Ali ash-Shalihi dan asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Aziz al-Muthawwa’. Dari keduanya, asy-Syaikh Utsaimin belajar kitab Mukhtashar al-Aqidah al-Wasithiyyah dan Minhajus Salikin— keduanya karya as-Sa’di—, kitab al- Ajurrumiyah dan al-Alfiyah dalam bidang nahwu, serta ilmu sharaf. Setelah itu, beliau mulai duduk di majelis asy-Syaikh Abdurrahman as- Sa’di dan belajar dari beliau beberapa bidang ilmu, di antaranya: tafsir, hadits, tauhid, fikih, ushul fiqih, sirah nabawiah, faraidh (ilmu waris), dan nahwu.
Beliau pun menghafal matan-matan dalam bidang-bidang ilmu tersebut. As-Sa’di dianggap sebagai syaikh besar pertama yang berpengaruh pada manhaj (metode) beliau dalam hal mengikuti dalil dan tata cara mengajar. Beliau juga sempat belajar dari asy-Syaikh Abdurrahman bin Ali bin ‘Udan dalam bidang faraidh, yaitu saat asy-Syaikh Abdurrahman bin Ali bin ‘Udan menjabat sebagai qadhi (hakim) di Unaizah. Selain itu, beliau juga pernah menimba ilmu nahwu dan balaghah dari asy-Syaikh Abdurrazzaq Afifi—kelak menjadi wakil mufti di masa asy-Syaikh bin Baz—yaitu saat asy-Syaikh Abdurrazzaq berada di kota Unaizah sebagai guru. Ketika dibuka al-ma’hadul ilmi— jenjang setara SMA—di kota Riyadh, beliau melanjutkan thalabul ilmi di sana pada 1372 H, tentu setelah mendapat izin dari sang guru, asy-Syaikh Abdurahman as-Sa’di. Beliau berkisah, “Aku masuk ke al-ma’had al-ilmi langsung di kelas dua. Aku melanjutkan belajar di sana setelah bermusyawarah dengan asy- Syaikh Ali ash-Shalihi dan setelah memohon izin dari guruku, asy-Syaikh Abdurahman as-Sa’di rahimahullah. Saat itu, al-ma’had al-ilmi dibagi menjadi dua, bagian umum dan bagian khusus. Aku saat itu berada di bagian khusus. Saat itu juga, bagi siapa yang ingin melompat (ke jenjang berikutnya), dipersilakan. Artinya, dia diperbolehkan mempelajari kurikulum tahun berikutnya pada saat liburan, lalu mengikuti ujian pada awal tahun berikutnya. Apabila lulus, dia bisa mengikuti kelas berikutnya lagi.
Dengan demikian, aku mempersingkat waktu. Setelah itu, aku melanjutkan di jurusan syariah di Riyadh dengan sistem intisab, sampai lulus.” Dengan demikian, beliau belajar di kelas dua, lalu pada liburan musim panas mempelajari kurikulum kelas tiga, kemudian diuji pada awal tahun, dan beliau lulus. Kemudian pada tahun ajaran baru, beliau sudah masuk ke kelas empat. Keberadaan beliau di al-ma’had al-ilmi memberikan kesempatan bagi beliau untuk menimba ilmu dari sebagian ulama terkemuka yang mengajar di sana, di antaranya asy-Syaikh Muhammad al-Amin asy-Syinqithi, penulis kitab tafsir Adhwa’ul Bayan. Beliau mengisahkan perjumpaan awalnya dengan asy – Syaikh Muhammad al-Amin asy-Syinqithi yang berpenampilan tidak meyakinkan. Ibnu Utsaimin bergumam, “Aku tinggalkan guruku, as-Sa’di, lalu aku duduk di depan Arab badui ini?” Akan tetapi, ketika beliau memulai pelajaran, bertaburanlah mutiara-mutiara faedah ilmiah dari lautan ilmunya yang dalam. Saat itulah kami tahu, kami sedang berada di hadapan salah seorang dari ulama besar dan jantan. Kami pun dapat mengambil manfaat dari ilmu, penampilan, akhlak, kezuhudan, dan sifat wara’ beliau.”
Beliau pun bisa belajar kepada asy- Syaikh Abdul Aziz bin Nashir ar-Rasyid, penulis at-Tanbihat as-Saniyyah Syarah al-Aqidah al-Washitiyyah, yang juga seorang qadhi, dan seorang syaikh ahli hadits, Abdurrahman al-Ifriqi. Di saat itu pula beliau berkesempatan menjalin hubungan dengan asy-Syaikh bin Baz sehingga beliau berkesempatan besar menimba ilmu dari beliau di masjid. Beliau pun belajar dari asy-Syaikh bin Baz tentang kitab Shahih al-Bukhari, bukubuku karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, kitab-kitab hadits dan pendapat-pendapat para ahli fikih serta perbandingan mazhab. Karena begitu besarnya pengaruh asy-Syaikh bin Baz terhadap diri beliau, asy-Syaikh bin Baz dianggap sebagai syaikh besar kedua yang berpengaruh terhadap beliau dalam bidang ilmu agama dan manhaj. Beliau membenarkan hal itu, “Sungguh, aku sangat terpengaruh oleh asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz hafizhahullah dalam hal perhatian terhadap hadits, akhlak, dan kelapangan dadanya terhadap orang lain.” Setelah itu, beliau pulang ke Unaizah dan kembali berguru dengan syaikh beliau, asy-Syaikh Abdurahman as- Sa’di. Di saat yang sama dibuka al- Ma’hadul Ilmi di Unaizah pada 1373 H. Beliau ikut mengajar di ma’had tersebut. Di saat yang sama pula beliau melanjutkan belajar di jurusan syariah di Fakultas Syariah di Riyadh—kelak menjadi bagian dari Universitas Islam al-Imam Muhammad bin Suud—dengan sistem intisab, semacam sistem kejar paket, yakni hanya mengikuti ujian saat diadakannya ujian, sampai beliau lulus dan mendapatkan ijazah aliyah.
Terjun Berdakwah
Sang guru, asy-Syaikh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah, menangkap kecerdasan beliau dan perolehan yang besar dalam mencari ilmu, sehingga beliau memotivasi sang murid, Ibnu Utsaimin, untuk mulai mengajar. Beliau pun mulai mengajar di masjid al-Jami’ al-Kabir di Unaizah pada 1370 H, walaupun beliau masih berstatus sebagai murid as-Sa’di, di masjid yang sama. Setelah beliau lulus dari al-Ma’hadul Ilmi Riyadh, beliau ditunjuk menjadi pengajar di al-Ma’hadul Ilmi di Unaizah pada 1374 H. Pekerjaan ini terus berlangsung sampai 1398 H. Saat itulah beliau pindah mengajar di Fakultas Syariah dan Ushuluddin di kota al-Qashim, cabang Universitas Islam Muhammad bin Su’ud. Beliau menjadi dosen di universitas tersebut sampai wafat. Pada 1376 H, sang guru besar, asy-Syaikh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah, meninggal. Setelah itu, beberapa syaikh dicalonkan untuk menggantikan asy- Syaikh as-Sa’di mengimami masjid. Namun, hal itu berjalan sangat singkat. Akhirnya, ditunjuklah beliau sebagai pengganti asy-Syaikh di masjid tersebut, sebagai imam dan khatibnya. Selain itu, beliau juga menggantikan posisi as-Sa’di sebagai pengajar di perpustakaan al-Wathaniyah yang secara struktural masuk ke dalam kepengurusan masjid. Perpustakaan tersebut didirikan oleh asy-Syaikh as-Sa’di pada 1359 H. Ketika para penuntut ilmu semakin banyak, perpustakaan tidak lagi menampung mereka. Beliau memindahkan pelajarannya di masjid sehingga terkumpullah banyak penuntut ilmu. Jumlah mereka semakin banyak dengan datangnya para penuntut ilmu dari dalam Kerajaan Saudi Arabia dan mancanegara. Duduklah ratusan orang di majelis ilmu tersebut.
Pelajarannya berlangsung pada waktu pagi, setelah asar, dan setelah maghrib. Pelajaran setelah maghrib terus berlangsung dan tidak pernah berhenti sepanjang tahun, kecuali saat beliau safar. Keistimewaan dari pelajaran beliau adalah pembekalan ilmu yang serius, bukan sekadar mendengar uraian mauizhah. Asy-Syaikh al-Abbad mengatakan, “Total masa mengajar beliau di masjid al-Jami’ al-Kabir ialah 45 tahun. Adapun total masa mengajar beliau di al-ma’hadul ilmi dan universitas ialah 47 tahun.” Di sela-sela kegiatan beliau, ketika datang bulan Ramadhan, beliau menyempatkan diri untuk menghabiskan mayoritas waktu Ramadhan di Makkah, yaitu mengajar di Masjidil Haram. Asy-Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad berkisah, “Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin sering pergi ke Makkah pada beberapa kesempatan yang berbeda dan mengajar di Masjidil Haram, lebih-lebih pada bulan Ramadhan. Di antara kebiasaan beliau setelah berlalu sebagian dari bulan Ramadhan, beliau pergi ke Makkah dan mengajar di sana. Beliau banyak dikerumuni oleh para penuntut ilmu yang bersemangat mengambil ilmu beliau secara langsung. Apabila datang ke Madinah untuk memberikan ceramah atau keperluan yang lain, beliau juga mengajar di Masjid Nabawi. Para penuntut ilmu pun senang dengan kehadiran beliau di Madinah. Mereka menghadiri pelajaran dan mengambil faedah dari ilmu beliau. Saya sendiri adalah salah seorang pengajar di Masjid Nabawi, maka para penuntut ilmu meminta saya untuk meliburkan pelajaran saya supaya mereka bisa mengikuti pelajaran beliau.
Saya pun meliburkan pelajaran saya agar para pelajar dapat mengambil faedah dari beliau. Saya sendiri terkadang ikut menghadiri pelajaran beliau bersama para penuntut ilmu tersebut.” Beliau mulai mengajar di al-Masjidil Haram dalam kesempatan-kesempatan tersebut sejak 1402 H sampai meninggal, yaitu bulan Ramadhan yang Syawwalnya beliau meninggal dunia. Saat itu kaum muslimin hanya mendengar suaranya karena beliau dalam keadaan sakit dan berceramah dalam ruangan tertutup. Penulis pun mengetahui hal itu hanya dari suaranya. Saat penulis mengikuti pelajaranpelajaran beliau—alhamdulillah—baik di Madinah maupun di Masjidil Haram, ada ciri khas yang jarang penulis dapati pada ulama yang lain:
1. Majelis yang sangat hidup
Pelajaran beliau tidak terlepas dari pertanyaan-pertanyaan beliau kepada pada pendengar di sela-sela pelajaran. Hal ini tentu menggugah konsentrasi para penunut ilmu terhadap pelajaran yang beliau sampaikan dan membuat mereka bersiap menjadi sasaran pertanyaan.
2. Membahas sebagian ayat yang dibaca oleh imam dalam shalat.
Sebagaimana diketahui, di Masjidil Haram beliau memberikan pelajaran usai shalat tarawih dan usai shalat subuh. Bacaan surat imam menjadi bahan pembahasan. Biasanya beliau memulai pelajaran setelah pembukaan dengan mengatakan, “Qara’a imamuna….” (Imam kita membaca…) lalu beliau membahasnya. Hal ini tentu menunjukkan beberapa hal. Paling tidak, konsentrasi dalam shalat terhadap bacaan imam dan keluasan ilmu beliau, karena beliau bisa menjabarkan ayat-ayat secara langsung tanpa persiapan. Hal ini karena ilmu sudah berada di dada beliau sehingga tinggal menyampaikan. Di samping kegiatan dakwah tersebut, beliau juga memberikan ceramahceramah di beberapa kota dan beberapa negara Eropa dan AS melalui telepon. Di antara lahan dakwah yang beliau terjuni—sebagaimana diungkapkan oleh asy-Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad, “Ikut serta dalam muktamar-muktamar di Saudi Arabia dalam tau’iyatul (bimbingan) para jamaah haji.
Di Jami’ah Islamiyyah (Universitas Islam Madinah) sendiri telah dilangsungkan tiga muktamar: dua muktamar dengan tema bimbingan dakwah dan persiapan para dai; satu muktamar lagi dengan tema memerangi narkoba. Beliau menghadirinya dan memberi banyak faedah dengan pembahasanpembahasan dan diskusinya. Di antara lahan dakwahnya juga adalah keikutsertaan beliau dalam tau’iyatul haj di musim haji dengan berfatwa, memberikan kajian, dan ceramah-cermah. Terkadang beliau memimpin para dai dalam kegiatan tau’iyatul haj di beberapa tahun yang asy-Syaikh Ibnu Utsaimin termasuk di dalam kepanitiaannya. Aku sendiri saat itu juga masuk dalam kepanitiaan itu. Para anggota berkumpul untuk mempelajari permasalahan-permasalahan seputar urusan haji sehingga syaikh memberikan faedah dengan pandangan-pandangan beliau dan ilmunya. Di antara lahan dakwah beliau adalah memberikan faedah kepada kaum muslimin berupa fatwa terhadap pertanyaan-pertanyaan yang sampai kepada beliau, baik dari dalam maupun dari luar Saudi Arabia, baik dengan suratmenyurat, bertemu langsung, maupun melalui telepon. Beliau memberikan waktu khusus untuk berfatwa lewat telepon dan disiplin dengan jadwal tersebut untuk memberikan fatwa sedangkan beliau berada di kotanya, Unaizah.
Apabila beliau keluar kota, beliau meninggalkan pesan pada pesawat teleponnya untuk menyambungkan ke nomer telepon di kota tempat beliau berada. Di antara lahan dakwahnya juga adalah keikutsertaannya yang banyak dan bermanfaat dalam acara radio (Idza’atul Qur’an al-Karim), yaitu dalam acara “Nurun’Ala Darb” (yang berisi jawaban atas pertanyaan pendengar melalui surat), “Su’al ala Hatif” (Tanya Jawab Interaktif), dan “Min Ahkamil Qur’anil Karim” (Tafsir al-Qur’an). Beliau juga memiliki jadwal acara yang tidak tetap di radio dalam beragam tema. Acara “Min Ahkamil Qur’an” sendiri sangat penting dan berfaedah besar. Acara tersebut sangat menitikberatkan pada kandungankandungan al-Qur’an dan mengungkap berbagai hikmah dan hukumnya. Ini menunjukkan kekokohan pemahaman beliau pemahaman terhadap agama. (Untuk acara ini) beliau telah sampai pada akhir juz ke-3 dari al-Qur’anil Karim. (Lihat asy-Syaikh Ibnu Utsaimin minal Ulama ar-Rabbaniyyin)
Jasa dan Jabatan
Selama kiprahnya dalam berkhidmah kepada Islam dan muslimin, beliau sempat menduduki beberapa jabatan penting:
1. Anggota Hai’ah Kibar Ulama (badan ulama ulama besar) di Kerajaan Arab Saudi di Saudi Arabia sejak 1407 H sampai wafatnya.
2. Anggota al-Majlisul Ilmi di Universitas Islam al-Imam Muhammad bin Su’ud selama dua tahun akademik, 1398—1400 H.
3. Anggota Majlis Fakultas Syariah dan Ushuluddin, Universitas Islam Muhammad bin Su’ud cabang al-Qashim, sekaligus sebagai Dekan Fakultas Akidah.
3. Di akhir masa mengajar di alma’hadul ilmi, beliau ikut menjadi anggota panitia penyusunan kurikulum al-Ma’had al-Ilmi dan sempat menulis beberapa buku paket.
4. Anggota panitia tau’iyatul haj pada tahun 1392 H sampai wafatnya.
5. Pimpinan Jum’iyyah (organisasi) Tahfidzul Qur’an al-Khairiyyah di kota Unaizah sejak didirikannya pada 1405 H sampai wafatnya.
Kedudukan Ilmiah
Satu hal yang tidak diragukan adalah kedudukan ilmiah beliau. Para ulama abad ini, baik yang lebih tinggi dari beliau, sepadan, ataupun yang di bawah beliau, sangat mengakui keilmuan beliau. Asy-Syaikh al-Albani dalam salah satu majelisnya menyebut beliau sebagai salah seorang faqih yang langka pada abad ini. Beliau mengatakan, “Bumi kosong dari ulama sehingga aku tidak tahu dari ulama tersebut kecuali beberapa orang yang sedikit jumlahnya. Aku sebut secara khusus di antara mereka adalah al-Allamah Abdul Aziz bin Baz dan al-Allamah Muhammad bin Shalih al-Utsaimin.” (Fatawa Ulama al-Akabir hlm. 6) Bahkan Mufti Umum Kerajaan Arab Saudi, asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim t, berulang kali meminta beliau untuk menjabat sebagai qadhi (hakim), namun beliau menolaknya. Bahkan, sempat terbit surat keputusan yang menetapkan beliau sebagai pimpinan mahkamah di wilayah al-Ahsa’. Namun, beliau momohon agar surat keputusan tersebut dibatalkan. Setelah melalui beberapa proses, akhirnya permohonan beliau dikabulkan. Ini menujukkan sikap wara’ yang tinggi pada beliau. Di kemudian hari, beliau memperoleh kehormatan dengan diberikan kepada beliau Jaizah Malik Faishal al-Alamiyah (Penghargaan Internasional Raja Faishal) untuk khidmat terhadap Islam pada 1414 H. Disebutkan padanya prestasi-prestasi sebagai berikut.
1. Berhias dengan akhlak ulama yang mulia, yang paling menonjol adalah sifat wara’, kelapangan dada, menyuarakan kebenaran, bekerja demi maslahat kaum muslimin, dan keinginan baiknya terhadap orang-orang khususnya serta muslimin pada umumnya.
2. Banyakmya orang yang mengambil manfaat dari ilmunya, baik dari pelajaran yang disampaikan, fatwa atau buku yang ditulis.
3. Penyampaian ceramah-ceramah umum yang bermanfaat di berbagai wilayah Saudi Arabia.
4. Keikutsertaan beliau yang sangat bermanfaat dalam banyak muktamar Islami.
5. Memiliki ciri yang khas dalam metode berdakwah menuju jalan Allah Subhanahu wa ta’ala dengan hikmah dan mauizhah alhasanah, serta mempersembahkan teladan hidup bagi manhaj as-salafus shalih, dalam bentuk pemikiran dan perilaku. Asy-Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad pernah menyampaikan sebuah ceramah di Universitas Islam Madinah yang kemudian dibukukan dengan judul asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin minal Ulama ar-Rabbaniyyin. Di antara yang beliau sampaikan, “Beliau adalah seorang ulama besar dan seorang ahli fikih yang mapan, seorang yang dihormati oleh para penguasa dan para ulama serta para penuntut ilmu. Di antara penghormatan para penguasa di negeri ini kepada beliau, ketika melakukan kunjungan ke kota al-Qashim, mereka mengunjungi beliau di rumahnya. Raja Khalid dahulu pernah mengunjunginya, demikian pula Raja Fahd, Putra Mahkota Pangeran Abdullah, dan Pangeran Sulthan. Beliau sendiri memang pantas untuk dihormati dan dihargai. Namun, beliau orang yang sangat tawadhu’, mencintai kebaikan dan manfaat untuk manusia, serta orang yang penuh kasih sayang kepada para penuntut ilmu, bersemangat memberi mereka faedah, ilmu, serta menggabungkan antara ilmu dan amal.”
Wafat Beliau
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ
“Tiap-tiap jiwa pasti merasakan kematian.” (Ali Imran: 185)
Apabila saatnya ajal datang, Allah Subhanahu wa ta’ala pun menyiapkan sebab-sebabnya. “Sakit kronis menimpa beliau sehingga beliau pergi ke AS untuk berobat selama beberapa hari saja. Itulah satu-satunya safar beliau ke luar Saudi Arabia. Beliau pun memanfatkan keberadaannya di AS untuk berdakwah ke jalan Allah Subhanahu wa ta’ala. Beliau menyampaikan khutbah jumat di sana. Sesampainya di kerajaan Saudi Arabia, beliau langsung menjalani perawatan di Rumah Sakit Khusus di Riyadh. Namun, sakit beliau semakin parah. Setelah lewat beberapa hari di bulan Ramadhan, beliau ingin pergi ke Makkah untuk kembali mengajar di Masjidil Haram, sebagaimana kebiasaan beliau sebelumnya. Dipersiapkanlah ruang khusus di masjid untuk beliau. Beliau pun menyampaikan pelajaran dengan berbaring di atas kasurnya menggunakan pengeras suara.
Orang-orang pun mendengar suaranya yang tampak berubah karena sakit tanpa melihat beliau. Usai Ramadhan, beliau dipindahkan ke sebuah rumah sakit di Jeddah dan meninggal di sana, saat senja hari Rabu, 25 Syawwal 1421 H. Beliau dishalatkan pada hari Kamis selepas shalat ashar, lalu dimakamkan di permakaman al-Adl, Makkah. Telah menyalatkan dan mengiringi jenazah beliau—semoga Allah Subhanahu wa ta’ala merahmatinya— sejumlah besar manusia. Saya termasuk orang yang berkesempatan ikut menyalati dan mengiringi jenazah beliau. Saya melihat banyak orang saat menyalatinya dan saat di permakaman. Sungguh, banyak orang merasa sedih dengan wafat beliau karena tingginya kedudukan dan besarnya manfaat ilmu beliau bagi muslimin,” demikian tutur asy-Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad. Beliau meninggalkan seorang istri, 5 anak laki-laki, dan 3 anak perempuan. Kelima anak laki-lakinya adalah Abdullah, Abdurrahman, Ibrahim, Abdul Aziz, dan Abdurrahim.
Karya Ilmiah
Beliau meninggalkan karya ilmiah yang cukup banyak, baik dalam bentuk buku kecil maupun karya besar yang berjilid-jilid, baik dalam bidang akidah, hukum fikih, tafsir, musthalah hadits, akhlak, dakwah, maupun lainnya. Karyakarya beliau sangat bermanfaat karena beliau sampaikan dengan bahasa yang mudah dipahami dan sangat jelas, mudah dinalar, di samping bobot ilmiah yang sangat kuat dan menggabungkan antara manqul dan ma’qul. Secara garis besar, karya beliau ada dua macam: hasil tulisan beliau sendiri dan hasil transkrip dari pelajaran-pelajaran beliau yang terekam. Di antaranya adalah:
1. Fathu Rabbil Bariyyah ringkasan dari kitab al-Hamawiyyah, dan ini adalah karya pertama beliau.
2. Asy-Syarhul Mumti’ syarah Zadul Mustaqni’, terdiri dari beberapa jilid.
3. Al-Qaulul Mufid syarh Kitab at-Tauhid.
4. Syarh al-Aqidah al-Wasithiyah.
5. Al-Ushul min Ilmil Ushul. Masih banyak lagi karya beliau. Dalam kitab yang berjudul Ibnu Utsaimin, al-Imam az-Zahid disebutkan sampai 56 karya. Sementara itu, dalam situs Maktabah asy-Syamilah disebutkan mencapai angka 78.
———————————————-
Sumber : Majalah Asy Syariah