APABILA IMAM ADALAH AHLI BID’AH ATAU BEDA MAZAB
Ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Ubaidah Syafrudin
Al – Imam al – Bukhari rahimahullah menyebutkan bab “Imamatil Maftun wal Mubtadi’” (“Imam dari Seorang yang Terkena Fitnah dan Mubtadi’) lalu menyebutkan ucapan al-Hasan al-Bashrirahimahullah, “Shalatlah kalian (berjamaah dengannya) dan dia yang menanggung dosa kebid’ahannya.”
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Mubtadi’ adalah seorang yang meyakini suatu perkara yang menyelisihi Ahlus Sunnah wal Jamaah.”
Menurut asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah, “Mubtadi’ terbagi menjadi dua:
- Mubtadi’ yang kebid’ahannya sampai membuat pelakunya kafir keluar dari Islam. Jika demikian, dalam keadaan apa pun, seseorang tidak boleh shalat di belakangnya meskipun orang-orang mengatakan bahwa dia muslim, karena bid’ahnya mukaffirah (sampai tingkatan kufur). Bagaimana mungkin shalat di belakang seorang yang diyakini bahwa dia adalah kafir, padahal orang kafir tidak sah shalatnya.
- Mubtadi’ yang tidak sampai taraf kekafiran, meskipun bid’ahnya dipandang besar (berat).Seseorang boleh shalat di belakangnya(menjadi makmum). Hal ini selama tidakmengandung mafsadah di kemudianhari. Misalnya, manusia atau dia yang bermakmum teperdaya oleh ahli bid’ah tersebut. Terkadang, manusia mengira bahwa dia (imam tersebut) bukan mubtadi’ ketika mereka melihat ada si Fulan dan si Fulan shalat di belakangnya. Demikian pula seseorang yang shalat di belakangnya bisa jadi tertipu dan menganggap mubtadi’ itu berada di atas kebenaran. (al-Fath2/220, Syarh al- Bukhari Ibnu ‘Utsaimin 3/156)
Mengenai shalat di belakang seorang yang beda mazhab, Syaikhul Islam rahimahullah pernah ditanya tentang hal ini. Beliau menjawab, “Sah shalat sebagian mereka di belakang sebagian yang lain walau berbeda mazhab, sebagaimana yang dilakukan salaf dan imam mazhab yang empat. Meskipun terjadi perbedaan pendapat, tidak seorang pun di antara mereka yang berpendapat tidak bolehnya sebagian mereka shalat di belakang sebagian yang lain (yang berbeda mazhab). Barang siapa mengingkari hal ini, berarti dia adalah seorang mubtadi’ yang tersesat, menyelisihi al-Kitab dan as-Sunnah, serta kesepakatan salaf umat ini dan para pemimpinnya.
Yang menyelisihi pendapat ini hanyalah kalangan orang-orang belakangan yang sangat fanatik terhadap mazhabnya. Sebagian mereka menganggap bahwa shalat di belakang orang yang bermazhab Hanafi tidak sah, meskipun dia telah melaksanakan shalat berikut kewajiban-kewajibannya.”
[Majmu’ Fatawa 23/373]
Sumber: Majalah Asy Syaariah