WAHABI DAN PAHAM RADIKALISME AGAMA
Ditulis oleh: Ustadz Qomar ZA, Lc
Istilah wahabi kerap terdengar oleh telinga kita, terlebih dengan maraknya isu terorisme yang mendunia. Tidak jarang pula terorisme dikaitkan erat dengan wahabi.
Ada apa dengan wahabi? Siapa sebenarnya wahabi? Pertanyaan tersebut mesti terlontar di dalam pikiran banyak kalangan. Sebenarnya, definisi wahabi sendiri masih bias, tarik ulur masih terjadi. Karena itu, pengaitan paham terorisme dengan wahabi menjadi samar; wahabi yang mana yang dimaksud?
Anggaplah yang dimaksud adalah suatu paham yang dibawa oleh seorang syekh bernama Muhammad bin Abdul Wahab. Nama yang tidak asing dalam sejarah berdirinya Kerajaan Arab Saudi. Beliau menjadi salah satu tonggak berdirinya Kerajaan Arab Saudi yang dipimpin oleh Muhammad bin Suud.
Paham wahabi dengan pembawanya, yaitu Syekh Muhammad bin Abdul Wahab, diklaim sebagai sumber paham radikalisme-terorisme pada masa ini. Benarkah demikian?
Masyarakat yang berpendidikan dan memiliki intelektualitas tentu akan berpikir secara ilmiah menanggapi berbagai masalah, termasuk klaim di atas. Bagi mereka, sebuah vonis mesti berdasarkan bukti ilmiah yang akurat. Tanpa bukti, vonis menjadi tidak berarti.
Apabila wahabi adalah paham yang diajarkan oleh Muhammad bin Abdul Wahab, tentu yang menjadi bukti ilmiah adalah ucapan dan pendapat beliau yang terambil dari karya-karya beliau.
Nah, apakah dalam karyanya, beliau menanamkan paham radikalisme-terorisme? Perlu pembuktian. Dalam buku-buku beliau, penulis justru mendapatkan fakta-fakta yang menunjukkan bahwa Muhammad bin Abdul Wahab justru antipati terhadap paham radikalisme-terorisme. Ciri utama paham radikalisme adalah takfir, yakni pengafiran terhadap individu atau sekelompok kaum muslimin hanya karena dinilai tidak sepaham dengan kelompoknya.
Dalam surat yang beliau layangkan kepada penduduk kota Qashim, yang menanyakan tentang akidahnya, beliau menegaskan, “Saya tidak mengafirkan seorang pun dari kaum muslimin dengan sebab ia melakukan dosa. Saya tidak pula menganggapnya keluar dari lingkup Islam.” (Kitab al-Jami’ al-Farid hlm. 353)
Beliau juga mengatakan, “Tuduhan dusta (terhadap kami), di antaranya adalah ucapan mereka bahwa kami mengafirkan kaum muslimin secara menyeluruh, kami mewajibkan hijrah untuk bergabung bersama kami bagi yang mampu menampakkan agamanya, dan kami mengafirkan orang yang belum kafir dan yang tidak ikut berperang. Kedustaan semacam ini banyak dan berlipat-lipat. Semua ini adalah kedustaan yang dibuat-buat. Dengan kedustaan tersebut, para pembuat kedustaan ingin menghalangi manusia dari agama Allah dan Rasul-Nya.
“Kami tidak menvonis kafir orang yang mengibadahi berhala yang berada di atas kuburan Abdul Qadir dan berhala yang berada di atas kuburan Ahmad al-Badawi serta yang semisal keduanya, karena ketidaktahuan mereka dan tidak adanya orang yang mengingatkan mereka. Lantas, bagaimana bisa kami mengafirkan orang yang tidak menyekutukan Allah hanya karena tidak berhijrah dan bergabung bersama kami? Atau mengafirkan orang yang tidak berbuat syirik dan tidak berperang? Mahasuci Engkau, ya Allah. Ini adalah kedustaan yang besar.” (Kitab ad-Durar as-Saniyyah 1/104)
Seain itu, beliau berpandangan wajibnya menaati para pemimpin muslimin. Beliau berkata, “Saya berkeyakinan wajibnya patuh dan taat kepada para pemimpin muslimin yang saleh maupun yang zalim, bila tidak memerintahkan berbuat maksiat.” (Kitab al-Jami’ al-Farid hlm. 353)
Keyakinan seperti di atas jelas anti-paham radikalisme-terorisme.
Keyakinan tersebut lalu terekspresikan oleh Kerajaan Arab Saudi hingga masa kini dalam berbagai kebijakannya. Lihat saja, Kerajaan Arab Saudi termasuk yang paling getol berkampanye antiterorisme, bahkan turun tangan langsung memerangi terorisme lokal dan internasional. Andil Arab Saudi dalam hal ini sangat nyata bagi siapa saja yang mengikuti kiprahnya dalam bidang ini. Bahkan, hal ini diakui oleh para tokoh dunia. Pada Februari 2017, Central Intelligence Agency (CIA) memberikan medali George Tenet kepada Putra Mahkota Arab Saudi Mohammed bin Nayef. Medali tersebut adalah penghargaan atas upayanya memerangi terorisme. Ini hanya salah satu dari beberapa contoh pengakuan internasional terhadap kiprah Arab Saudi.
Memang, upaya Arab Saudi sangat konkret dalam hal ini. Sebagai contoh, Arab Saudi pernah menyumbang USD 100 juta untuk Badan Kontraterorisme PBB pada 2014 lalu. Dana tersebut untuk memperkuat kemampuan lembaga itu dalam memerangi radikalisme agama dan terorisme.
Bahkan, Kerajaan Arab Saudi pernah melakukan latihan militer besar-besaran bersama 20 negara yang dikenal dengan Exercise North Thunder, sejak 26 Februari hingga 11 Maret 2016. Di antara tujuannya adalah sebagai persiapan menghadapi ancaman-ancaman teror di kawasan tersebut.
Perang melawan terorisme-radikalisme telah menjadi komitmen Kerajaan Arab Saudi. Hal ini ditegaskan kembali oleh Raja Salman dalam pertemuan dengan para tokoh agama yang berlangsung di Hotel Raffles, Kuningan, Jakarta Selatan, Maret 2017. Raja Salman berkata, “Semua agama harus berusaha untuk menjaga hak-hak manusia dan kebahagiaan mereka. Karena itu, penting untuk memerangi radikalisme dan ekstremisme.”
Kerja sama di bidang penanganan kejahatan antarnegara (transnational crime) antara Indonesia dan Arab Saudi pun ditandatangani oleh Kapolri Jenderal Tito Karnavian dan Kepala Kepolisian Arab Saudi. Kerja sama ini merupakan salah satu dari sebelas MOU antara kedua negara.
Apa yang disebutkan di atas baru sebagian kecil dari upaya konkret Arab Saudi dalam upaya memerangi terorisme-radikalisme.
Apakah Arab Saudi yang mengekspresikan paham wahabi yang dianutnya dalam berbagai kebijakan antiterorisme baik di dalam maupun di luar negeri, tetap divonis sebagai biang aksi-aksi teror? ‘Berbau busuk, tiada berbangkai.’ Sebuah tuduhan tanpa bukti.