TIDAK SEMUA ORANG YANG MELAKUKAN SEBUAH DOSA BERARTI DIA TELAH MENGHALALKANNYA
Ini merupakan faedah dari perkataan asy-Syaikh al-Allamah al-Muhaddist Muhammad Nashiruddin al-Albany rahimahullah seputar fitnah takfir. Beliau berbicara tentang masalah yang sangat penting sekali, yaitu masalah berhukum dengan selain yang diturunkan oleh Allah, dan beliau menyebutkan rincian dalam hal tersebut. Kemudian beliau menyebutkan perbedaan antara penghalalan yang sifatnya keyakinan dengan penghalalan yang sifatnya perbuatan. Dalam hal ini sebagian da’i telah terjatuh kepada kesalahan yang menyebabkan mereka mengkafirkan sebagian kaum muslimin yang awam. Kita memohon keselamatan kepada Allah. Rekaman perkataan beliau ini terdapat pada kaset no. 170 tertanggal 12 Jumadal Ula 1413 H bertepatan dengan 7 November 1991 M. Di dalamnya beliau mengatakan:
“Kesimpulannya: Harus mengetahui bahwa kekafiran sebagaimana kefasikan dan kezhliman juga terbagi menjadi dua jenis:
(1) Kekafiran, kefasikan, dan kezhaliman yang mengeluarkan pelakunya dari agama. Semua itu kembalinya kepada penghalalan di dalam hati.
(2) Yang sifatnya tidak mengeluarkan pelakunya keluar dari agama, dan ini kembalinya kepada penghalalan dengan perbuatan.
Jadi kemaksiatan terkhusus yang menyebar dizaman ini berupa penghalalan dengan perbuatan, seperti melakukan riba’, zina, minum khamr, dan yang lainnya, ini termasuk kufur yang sifatnya perbuatan, sehingga kita tidak boleh mengkafirkan para pelaku maksiat yang melakukan sebagian kemaksiatan semata-mata karena mereka melakukannya dan penghalalan mereka terhadapnya dengan perbuatan. Kecuali jika nampak secara meyakinkan bagi kita dari mereka secara meyakinkan hal-hal yang menyingkap untuk kita dari lubuk hati mereka bahwa mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya yang memang berasal dari keyakinan. Maka jika kita telah mengetahui bahwa mereka telah terjatuh pada penyimpangan yang berasal dari hati ini, kita memvonis mereka bahwa mereka telah kafir karena murtad.[1]
Adapun jika kita tidak mengetahui hal itu, maka tidak ada jalan bagi kita untuk memvonis mereka dengan kekafiran, karena kita khawatir akan terjatuh kepada ancaman Nabi shallallahu alaihi was sallam:
ﺇِﺫَﺍ ﻗَﺎﻝَ ﺍﻟﺮَّﺟُﻞُ ﻟِﺄَﺧِﻴﻪِ: ﺃَﻧْﺖَ ﻛَﺎﻓِﺮٌ ﺃَﻭْ ﻳَﺎ ﻛَﺎﻓِﺮُ ﻓَﻘَﺪْ ﺑَﺎﺀَ ﺑِﻬَﺎ ﺃَﺣَﺪُﻫُﻤَﺎ.
“Jika seseorang mengatakan kepada saudaranya sesama muslim, “Wahai orang kafir,” maka ucapan itu kembali kepada salah seorang dari keduanya.”
Diriwayatkan oleh Al-Bukhary no. 6103 dan Muslim no. 158.
Hadist-hadist yang semakna dengannya sangat banyak, saya akan sebutkan sebagiannya sebuah hadist yang menunjukkan dengan jelas, yaitu hadist tentang kisah shahabat yang membunuh salah seorang musyrik. Ketika dia melihat orang musyrik ini di bawah pedang, orang musyrik itu mengatakan la ilaha ilallah, namun shahabat tersebut tidak memperdulikannya dan tetap membunuhnya. Maka ketika hal itu sampai kepada Nabi shallallahu alaihi was sallam, beliau mengingkarinya dengan keras, lalu shahabat tersebut beralasan bahwa orang musyrik tersebut tidaklah mengucapkan la ilaha ilallah kecuali karena takut dibunuh, maka beliau shallallahu alaihi was sallam bersabda:
هَلا ﺷَﻘَﻘﺖَ ﻋَﻦْ ﻗَﻠْﺒﻪِ.
“Mengapa engkau tidak membelah hatinya.”
Diriwayatkan oleh Al-Bukhary no. 4269 dan Muslim no. 96 dari hadist Usamah bin Zaid radhiyallahu anhuma.
Jadi kekafiran yang muncul dari keyakinan tidak memiliki hubungan sama sekali dengan semata-mata perbuatan,[2] hubungannya terbesar adalah dengan hati.
Dan kita tidak bisa mengetahui apa yang ada di dalam hati orang yang fasik, fajir, pencuri, dan orang yang memakan riba, dan yang semisalnya, kecuali jika dia mengungkapkan apa yang ada di dalam hatinya dengan ucapannya. Adapun perbuatan dia maka itu hanya menunjukkan bahwa dia telah menyelisihi syariat dengan perbuatan.
Jadi kita boleh mengatakan: “Engkau telah menyelisihi, engkau telah berbuat fasik, engkau telah berbuat fajir.” Tetapi kita tidak boleh mengatakan: “Engkau telah kafir dan murtad dari agamamu.” Sampai nampak jelas darinya sesuatu yang akan menjadi alasan bagi kita di sisi Allah Azza wa Jalla untuk memvonisnya dengan kemurtadan, kemudian melaksanakan hukum yang telah dikenal dalam Islam sebagai konsekuensi darinya, yaitu sabda Nabi shallallahu alaihi was sallam:
ﻣَﻦْ ﺑَﺪَّﻝَ ﺩِﻳﻨَﻪُ ﻓَﺎﻗْﺘُﻠُﻮﻩُ.
“Siapa saja yang mengganti agamanya, maka bunuhlah dia.”
Diriwayatkan oleh al-Bukhary no. 3017 dari hadist Abdullah bin Abbas radhiyallahu anhuma.
Catatan kaki:
[1] Saya katakan: perkataan beliau ini merupakan madzhab Ahlus Sunnah wal Jama’ah tetang penghalalan dengan perbuatan dengan rincian semacam ini yang disebutkan oleh beliau, dan padanya terdapat bantahan terhadap Abu Ishaq al-Huwainy yang mengatakan: “Adapun orang yang terus menerus melakukan kemaksiatan dalam keadaan dia mengetahui bahwa hal itu merupakan kemaksiatan, maka ini adalah orang yang menghalalkan, ini adalah orang yang menghalalkan, dan kekafiran dia ini sangat jelas. Seperti dengan mengatakan, “Saya mengetahui bahwa riba itu haram, tetapi saya akan tetap memakannya, saya mengetahui bahwwa zina itu haram, tetapi saya akan tetap melakukannya.” Orang semacam ini adalah orang yang menghalalkan dengan penghalalan yang jelas, sehingga tidak ada keraguan tentang kafirnya orang semacam ini.”
Sumber: Bagian akhir kaset yang berjudul “Syuruthul Amalis Shalih.”
[2] Asy-Syaikh al-Albany rahimahullah memberi catatan: “Sebagian amal terkadang menyebabkan pelakunya menjadi kafir secara keyakinan, karena perbuatannya tersebut menunjukkan atas kekafirannya secara pasti dan meyakinkan, karena perbuatannya tersebut kedudukannya seperti ungkapan lisannya bahwa dia kafir, misalnya orang yang menginjak mushaf Al-Qur’an dalam keadaan dia mengetahuinya dan sengaja melakukannya.”
? http://www.sahab.net/forums/?showtopic=122508