SIKAP SEORANG SALAFY MENGHADAPI PERSELISIHAN

SIKAP SEORANG SALAFY MENGHADAPI PERSELISIHAN

Asy-Syaikh Ubaid Al-Jabiry hafizhahullah

Pertanyaan:  Semoga Allah berbuat baik kepada Anda, penanya mengatakan: “Bagaimana pendapat Anda terhadap perselisihan yang terjadi diantara Salafiyun di hari-hari ini dan bagaimana sikap Salaf terhadap perselisihan semacam ini?

Jawaban:

Pertama: Sesungguhnya Ahlus Sunnah di masa lalu maupun yang di masa ini mereka tidak memutlakkan pembicaraan begitu saja dan tidak pula menyerang secara membabi buta, tetapi mereka terikat dengan timbangan syariat. Jadi mereka memperhatikan :
1. Perkara-perkara yang diperselisihkan.
2. Keadaan orang yang berselisih tersebut.

Jadi perkara-perkara yang diperselisihkan yang terjadi di dunia yaitu yang terjadi di medan ilmiah itu ada dua macam:

1. Yang berada pada lingkup ruang ijtihad dan boleh berpendapat dan berbeda pendapatnya. Ini terjadi pada ahkam (fikih ibadah –pent). Maka dalam hal ini kita memperhatikan dalil-dalil. Jika dua kelompok masing-masingnya memiliki dalil-dalil dari syariat yang membenarkan pendapat madzhabnya, maka salah satu dari keduanya tidak boleh mencela yang lain. Pada perbedaan pendapat semacam ini Salafiyun mendapatkan bagian darinya (terjadi di antara mereka –pent). Bahkan para Shahabat radhiyallahu anhum pun mengalaminya. Maka jika salah satu dari dua kelompok tersebut menyerang yang lain –saya katakan ini misalnya jika benar-benar terjadi– dan melancarkan peperangan yang sengit terhadapnya serta muncul sikap loyalitas dan permusuhan dalam rangka membela madzhabnya, maka dia keluar dari lingkup Ahlus Sunnah menuju lingkup ahli bid’ah. Kita mengetahui banyak kejadian yang padanya Ahlus Sunnah berbeda pendapat, namun kelompok yang satu tidak mencela kelompok yang lain.

Di sini saya mencukupkan dengan membuat dua contoh saja, yang pertama pada masalah cabang dalam bidang akidah dan yang kedua pada masalah cabang dalam bidang fikih:

Adapun pada permasalahan yang sifatnya cabang dalam bidang akidah maka contohnya para Shahabat radhiyallahu anhum tidak berbeda pendapat pada masalah Isra’ wal Mi’raj, bahkan mereka berijma’ (sepakat). Demikian juga para imam menerima keyakinan ini dan mereka juga berijma’. Jadi dalam hal apa perbedaan pendapatnya? Perbedaan pendapatnya pada masalah yang sifatnya cabang, yaitu: apakah Nabi shallallahu alaihi was sallam melihat Rabbnya ataukah tidak?

Ash-Shiddiqah (Aisyah –pent) bintu Ash-Shiddiq (Abu Bakr –pent) radhiyallahu anhuma mencela siapa yang mengatakan bahwa Nabi shallallahu alaihi was sallam telah melihat Rabbnya pada malam tersebut dengan mengatakan:

ﻣَﻦْ حَدَّﺛَﻚَ ﻫَﺬَﺍ ﻓَﻘَﺪْ ﻛَﺬَﺏَ.

“Siapa yang mengatakan hal ini kepadamu maka dia telah berdusta.”

Sedangkan Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma diriwayatkan darinya bahwa dia pernah mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu alaihi was sallam pernah melihat Rabbnya dengan ungkapan yang mutlak. Dan dia juga suatu kali pernah mengatakan:

ﺭَﺁﻩُ ﺑِﻔُﺆَﺍﺩِﻩِ ﻣَﺮَّﺗَﻴْﻦِ.

“Beliau melihat Rabbnya dua kali.”

Maka para ulama menggabungkan dua riwayat ini dengan membawa penafian dalam riwayat Aisyah radhiyallahu anha kepada makna melihat dengan mata. Jadi maksudnya Rasulullah shallallahu alaihi was sallam tidak melihat Rabbnya dengan matanya. Sedangkan riwayat yang menetapkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma mereka bawa kepada makna melihat dengan ilmu, yaitu melihat dengan hatinya.
Sedangkan pada permasalahan yang sifatnya cabang dalam bidang fikih maka yang saya pilih di sini contohnya satu saja, yaitu cara turun ke sujud yang dinamakan juga menyungkur sujud setelah bangkit dari ruku’, apakah caranya dengan mendahulukan kedua tangan ataukah kedua lutut?

Dalam hal ini terdapat dua pendapat ulama, yang pertama dengan mendahulukan kedua tangan, dan yang kedua dengan mendahulukan kedua lutut.

Dan kita tidak melihat sekelompok dari mereka mencela kelompok yang lain, demikian juga orang-orang yang berbeda pendapat pada contoh sebelumnya salah seorang dari mereka sama sekali tidak pernah mencela yang lain. Hanya saja bagi seorang mujtahid yang punya kapasitas untuk berdalil, jika dalam bentuk diskusi atau menjawab pertanyaan maka boleh baginya untuk menjelaskan pendapat yang rajih menurutnya dengan menyebutkan dalilnya. Demikian ini yang kami hafal dari metode Al-Imam Al-Mujtahid Al-Allamah Al-Faqih Al-Atsary Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah. Yaitu dengan beliau menyebutkan dua pendapat yang berbeda secara ringkas lalu beliau mengatakan: “Yang paling shahih dari dua pendapat ini, atau yang paling rajih dari dua pendapat ini, atau yang paling benar dari dua pendapat ini demikia…” dan beliau sebutkan dalilnya.

2. Yang kedua dari macam perbedaan pendapat yaitu pada perkara-perkara yang padanya tidak ada ruang ijtihad, baik dalam ushuluddin (prinsip-prinsip pokok agama –pent) maupun perkara furu’ (fikih) yang hukumnya tetap berdasarkan nash atau nash dan ijma’, padanya tidak ada ruang ijtihad. Dalam perkara semacam ini barangsiapa yang dirinya seorang salafy, kedua dia benar-benar murni sejati, dan ketiga dia seorang yang kokoh ilmunya, maka dia tidak akan menyelisihi saudara-saudaranya dalam masalah semacam ini. Bahkan seandainya muncul ketergelinciran darinya lalu kebenaran sampai kepadanya maka dia akan segera rujuk. Adapun peletakan kaedah yang aneh dan menyendiri serta penetapan prinsip yang berbeda dengan jalan yang ditempuh oleh Salaf, maka ini merupakan jalan yang tidak akan ditempuh oleh seorang salafy sama sekali, selama-lamanya dia tidak akan menempuhnya. Jadi seorang salafy kenapa dia dinamakan salafy? Karena dia tidak datang kepada manusia dengan membawa hal-hal yang aneh, menyendiri dan nyleneh, serta tidak membuat kaedah-kaedah dari dirinya sendiri. Tidak demikian, tetapi dia selalu berhenti pada riwayat dari Salafus Shalih yang membangun hukum-hukum mereka berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Ini perkara pertama.

Perkara yang lain yaitu: menyelisihi pendapat yang tetap berdasarkan nash atau ijma’ tidak diterima oleh Ahlus Sunnah bagaimanapun keadaannya, karena Ahlus Sunnah tidak menimbang perkara-perkara yang sampai kepada mereka dari pendapat dan perbuatan manusia dengan menggunakan timbangan akal, tetapi dengan timbangan syariat berupa nash dan juga ijma’. Maka yang sesuai dengan nash atau ijma’ mereka terima, sedangkan yang menyelisihi nash atau ijma’ maka mereka tolak, betapapun tingginya kedudukan orangnya.
Kemudian orang yang menyelisihi kebenaran tersebut jika dia dari ahlul ahwa’ (para pengekor hawa nafsu) maka Ahlus Sunnah mencelanya dan bersikap keras terhadapnya serta berusaha sekuat tenaga untuk menghalanginya dari ummat agar tidak merusak agama mereka. Ini dilakukan jika Ahlus Sunnah memiliki kekuatan dan dalam posisi yang dominan dan berkuasa. Adapun dalam keadaan lemah maka mereka tetap membantah perkara-perkara yang menyelisihi kebenaran, namun tidak membicarakan orang yang menyelisihinya sebagai bentuk siasat. Misalnya karena dia adalah seorang menteri urusan agama Islam di negara, atau seorang hakim di sebuah negeri, atau jabatan yang lainnya. Adapun bid’ah maka Ahlus Sunnah tidak akan menerimanya bagaimanapun keadaannya.

Di sini saya ingin mengingatkan sebuah hal, yaitu bagaimana Ahlus Sunnah menempuh cara dalam membantah hal-hal yang menyelisihi kebenaran?

Ahlus Sunnah adalah orang-orang pertengahan dan adil, sebagaimana yang disifati oleh Ibnu Taimiyah rahimahullah: “Mereka adalah manusia yang paling mengetahui kebenaran dan paling penyayang terhadap hamba-hamba Allah.”

Maka mereka menempuh jalan yang sama yang melalui jalan itulah sampai kepada mereka perkara yang menyelisihi kebenaran itu, jadi mereka tidak melampaui batas jika perkara yang menyelisihi kebenaran itu terjadi di sebuah majelis, maka di sini ada dua keadaan:
Keadaan pertama: pihak yang membantah dan menghadapinya hadir di situ. Maka dia jelaskan dengan dalil disertai hikmah. Dia jelaskan kepada manusia dengan dalil agar manusia tidak terpecah belah karenanya.

Keadaan kedua: Ada orang yang menukil atau menyampaikan perkara yang menyelisihi kebenaran itu. Maka orang yang menukil ini bisa jadi dia orang yang terpercaya atau tidak terpercaya.

Jika dia orang yang tidak terpercaya maka ucapannya dianggap tidak ada harganya, dilempar dan dibuang.
Namun jia dia adalah orang yang terpercaya maka tidak ada yang melarang untuk engkau meminta tambahan penjelasan dan bertanya kepadanya, seperti dengan mengatakan: “Apakah engkau mendengarnya sendiri?” Maksudnya untuk memastikan.
Jika dia menjawab: “Tidak, itu cuma berita yang disampaikan kepada saya.” Maka ditanya: “Siapa yang menukil berita tersebut kepadamu?” Jika dia menjawab: “Si fulan.” Dan si fulan tersebut adalah orang yang terpercaya menurutmu, selama yang menukil itu juga terpercaya menurut saya, maka saya terima.

Maka saya (misalnya saya mendapat berita tersebut –pent) katakan: “Telah menceritakan kepadaku si A dari B yang terpercaya dan dikenal.” Jika si B tersebut tidak dikenal maka saya katakan (kepada sia A): “Dia tidak dikenal, saya tidak mengenalnya, siapa yang mentazkiyah orang itu untukmu?” Jika tidak ada tazkiyah maka ditinggalkan.

Jika sebuah perkara yang menyelisihi kebenaran itu dipastikan ada melalui penukilan di sebuah majelis, maka orang yang membantahnya mengatakan: “Ini salah, yang benar demikian, sampaikan kepada si fulan yang salah itu.” Dan tidak ada yang melarang dengan mengatakan: “Sampaikan salam kepadanya dari saya, dan sampaikan juga bahwa apa yang dia katakan itu salah, jadi jangan dia sebarkan. Ini salah dan menyelisihi yang benar.” Dia jelaskan.

Jika perkara yang menyelisihi kebenaran itu ada dalam sebuah kitab dan kitab tersebut telah tersebar di tengah-tengah manusia, maka bantahlah semampunya dengan rekaman suara atau tulisan agar menghilangkan pengaruh buruk dari kesalah tersebut.
Namun jika perkara yang menyelisihi kebenaran itu terdapat dalam kaset dari rekaman yang terpercaya dan dinukil oleh orang-orang yang tsiqah dan terpercaya, maka wajib membantahnya. Maka jika ada para ulama yang telah sampai kepada mereka kesalahan tersebut namun dia tidak mau membantahnya, berarti mereka menyerupai Ahli Kitab dalam hal menyembunyikan kebenaran. Allah Ta’ala berfirman:

وَإِذْ أَخَذَ اللهُ مِيْثَاقَ الَّذِينَ أُوْتُوْا الْكِتَابَ لَتُبَيِّنُنَّهُ لِلنَّاسِ وَلَا تَكْتُمُوْنَهُ فَنَبَذُوْهُ وَرَاءَ ظُهُوْرِهِمْ وَاشْتَرَوْا بِهِ ثَمَنًا قَلِيلًا فَبِئْسَ مَا يَشْتَرُوْنَ.

“Dan ingatlah ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi Al-Kitab (yaitu): “Hendaklah kalian menerangkan isi kitab itu kepada manusia, dan janganlah kalian menyembunyikannya,” lalu mereka melemparkan janji itu ke belakang punggung mereka dan mereka menjualnya dengan harga yang rendah. Maka alangkah buruknya apa yang mereka dapatkan.” (QS. Ali Imran: 187)

Jadi harus ada upaya membantah yang bisa menghilangkan pengaruh buruk dari kesalahan tersebut.

Kesimpulannya buat kalian:

Pertama: Kepastian adanya perkara yang menyelisihi kebenaran tersebut. Untuk memastikannya ini bagaimana caranya? Caranya ada tiga perkara menurut kami:

1. Kesahihan penukilan, yaitu kesahihan sanad.
2. Tulisannya tangannya (maksudnya karyanya –pent) di sebuah kitab, yang seperti ini tidak mungkin dipungkiri.
3. Rekaman yang terpercaya.

Jadi jika dipastikan adanya kesalahan pada perkara-perkara yang tidak ada ruang ijtihad, perbedaan pendapat dan hasil pemikiran padanya, maka wajib membantahnya.

Dalam hal ini banyak dalilnya, diantaranya perkataan Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma:

ﺗَﺤْﺪُﺙُ ﺍﻟْﺒِﺪْﻋَﺔُ ﻓِﻲْ ﺍﻟْﻤَﺸْﺮِﻕِ ﺃَﻭْ ﺍﻟْﻤَﻐْﺮِﺏِ ﻓَﻴَﺤْﻤِﻠُﻬَﺎ ﺍلرَّﺟَﻞُ ﺇليَّ، ﻓَﺈِﺫَﺍ ﺍﻧْﺘَﻬَﺖْ ﺇِلَيَّ ﻗَﻤَﻌْﺘُﻬَﺎ ﺑﺎلسُّنَّةِ.

“Muncul bid’ah di timur atau barat lalu dibawa oleh seseorang kepadaku, jika telah sampai kepadaku maka aku hancurkan bid’ah itu dengan As-Sunnah.”
(Lihat: Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah, karya Al-Laalika’iy, tahqiq Dr. Ahmad bin Sa’ad Al-Ghamidy, 1/61 –pent)

Umar radhiyallahu anhu berkata:

إِيَّاكُمْ وَأَصْحَابَ الرَّأْيِ أَعْدَاءُ السُّنَنِ أَعْيَتْهُمُ ﺃَﺣَﺎﺩِﻳْﺚُ ﺭَﺳُﻮْﻝِ اللهِ  أَنْ يَحْفَظُوْهَا فَقَالُوا بِالرَّأْيِ فَضَلُّوْا وَأَضَلُّوْا.

“Waspadailah orang-orang yang suka menggunakan akal mereka karena sesungguhnya mereka adalah musuh-musuh As-Sunnah, mereka tidak mampu menghafal hadits-hadits Rasulullah shallallahu alaihi was sallam sehingga mereka berkata dengan akal mereka yang akibatnya mereka sesat dan menyesatkan.”
(Lihat: Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah, karya Al-Laalika’iy, tahqiq Dr. Ahmad bin Sa’ad Al-Ghamidy, 1/139 –pent)

Dan tidaklah pendapat-pendapat yang menyendiri, aneh dan nyleneh berupa kaedah-kaedah dan prinsip-prinsip itu muncul kecuali berasal dari akal yang rusak.

Cukuplah teladan dan pendahulu mereka Rasulullah shallallahu alaihi was sallam, dan yang termasuk terjaga dari sunnah beliau adalah:

يَحْمِلُ هَذَا الْعِلْمَ مِنْ كُلِّ خَلَفٍ عُدُوْلُهُ يَنْفُوْنَ عَنْهُ تَحْرِيْفَ الْغَالِيْنَ وَانْتِحَالَ الْمُبْطِلِيْنَ وَتَأْوِيْلَ الْجَاهِليْنَ.

“Ilmu ini akan dibawa pada setiap generasi oleh orang-orang yang adil, merekalah yang akan membantah penyimpangan makna yang dilakukan oleh orang-orang yang melampaui batas, keyakinan para pengusung kebathilan serta penafsiran orang-orang yang bodoh.”
(Lihat: Misykaatul Mashaabiih, karya Al-Albany, no. 248 –pent)

Beliau shallallahu alaihi was sallam juga bersabda:

سَيَكُوْنُ فِيْ آخِرِ أُمَّتِيْ أُنَاسٌ يُحَدِّثُونَكُمْ مَا لَمْ تَسْمَعُوا أَنْتُمْ، وَلَا آبَاؤُكُمْ، فَإِيَّاكُمْ وَإِيَّاهُمْ.

“Kelak di masa akhir umatku akan muncul orang-orang yang akan berbicara kepada kalian dengan hal-hal yang tidak pernah didengar oleh kalian dan tidak pula oleh ayah-ayah kalian, maka waspadailah mereka.”

Diriwayatkan oleh Muslim dari hadits Abu Hurairah dalam muqaddimah Shahihnya, dan dinilai hasan oleh Al-Baghawy, semoga Allah merahmati semuanya.

Beliau shallallahu alaihi was sallam juga bersabda:

الْمَرْءُ عَلَى دِيْنِ خَلِيْلِهِ، فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ.

“Seseorang akan mengikuti agama teman dekatnya, maka hendaklah salah seorang dari kalian meneliti siapa yang akan dia jadikan sebagai teman.”
(Lihat: Silsilah Ash-Shahihah no. 927 –pent)

Hendaknya seseorang meneliti siapa yang berada di atas As-Sunnah secara ucapan, perbuatan, keyakinan, pernyataan dan cara menyampaikan ilmu, agar dia bisa meneladani Ahlus Sunnah, melalui teman dan shahabat.

Muhammad bin Sirin rahimahullah berkata:

إِنَّ هَذَا الْعِلْمَ دِيْنٌ، فَانْظُرُوْا عَمَّنْ تَأْخُذُوْنَ دِيْنَكُمْ

“Sesungguhnya ilmu ini merupakan agama, maka telitilah dari siapa kalian mengambil agama kalian.”
(Lihat: Muqaddimah Shahih Muslim no. 26 –pent)

Berdasarkan nukilan riwayat ini maka tetaplah:
Pertama: Dalil bagi orang-orang yang membantah siapa saja yang menyelisihi kebenaran di masa ini.
Kedua: Hal ini didukung oleh Al-Qur’an, As-Sunnah, ijma’ para imam dan wasiat-wasiat mereka. Namun faktanya di sana ada orang-orang yang merasa gelisah dengan adanya berbagai bantahan ilmiyah, walaupun dibangun di atas dalil dari Al-Qur’an, As-Sunnah dan penjelasan para imam.

Yang mendorong mereka bersikap demikian itu karena salah satu dari dua perkara:

1. Perasaan yang mengalahkan akal yang tidak memiliki pijakan dan menjadi sesuatu yang menutupi akal, hingga seseorang dari jenis mereka ini menjadi bingung dan buta, yaitu buta mata hatinya. Jadi mereka meyakini bahwa bantahan maknanya otomatis memvonis pihak yang dibantah sebagai seorang mubtadi’ dan pihak yang membantah memvonisnya sebagai mubtadi’.
Oleh karena inilah mereka mengatakan: “Kenapa mentahdzirnya?!”
Anggapan semacam ini tidak benar, karena dahulu Salaf mentahdzir orang-orang yang masih di atas As-Sunnah namun mereka memiliki keyakinan yang bercampur aduk dengan kebathilan dan kengawuran serta perkara-perkara yang tidak mereka ridhai, karena itulah Salaf mentahdzir mereka.

2. Hizbiyah, jadi tentu hizbiyah yang tercela ini tidak akan pernah ridha terhadap bantahan.
Di sini saya membagi menjadi beberapa macam orang-orang yang merasa terganggu dengan adanya bantahan-bantahan ini, berusaha melemahkannya, berupaya menjadikan manusia memandang sebelah mata terhadapnya dan tidak mau memperhatikan kandungannya berupa dalil ilmiah:

Pertama: Orang yang meninggalkan pihak-pihak yang membantah dan mendiamkannya, jadi dia memutus hubungan setelah sebelumnya memiliki hubungan dengan mereka. Sebagian mereka ada yang dibisiki was-was oleh syetan dengan mengatakan: “Bagaimana saya mengetahui, jika mereka semua saya tinggalkan sementara ini salafy dan ini juga masih salafy, bagaimana kok mereka membantah sebagian yang lain (sesama salafy –pent)

Maka syubhat mereka ini bisa dijawab: Aneh, kenapa demikian?! Kami akan memberikan beberapa contoh kepada kalian sebagai tambahan dari apa yang telah lalu: Asy-Syaikh Sulaiman bin Samhan rahimahullah pernah membantah salah seorang dari keturunan Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, seingat saya dia dikirim ke Amman untuk berdakwah dan dia terjatuh pada sebagian pemikiran Jahm bin Shafwan, maka ayahnya atau pamannya memberi kata pengantar terhadap bantahan tersebut. Perhatikanlah bagaimana anak mereka dibantah dan mereka justru mendukung bantahan tersebut.

Demikian juga Ibnu Qudamah rahimahullah pernah membantah Ibnu Aqil rahimahullah pada kesalahan yang beliau telah bertaubat darinya. Tetapi tatkala kesalahan beliau telah terlanjur menyebar, maka Ibnu Qudamah memandang harus tetap membantahnya.
Demikianlah jalan yang ditempuh oleh pihak-pihak yang melakukan bantahan, karena orang yang duduk mengambil ilmu kepada orang yang membawa keanehan dan kaedah-kaedah yang nyleneh menerima darinya, karena menganggap bahwa itu termasuk dari agama Allah dan meyakininya termasuk prinsip-prinsip Ahlus Sunnah yang dengannya mereka menjalankan agama Allah dan memandangnya sebagai akidah. Maka harus dilenyapkan. Jadi jelaslah –walhamdulillah– bahwa manhaj Salaf adalah berdasarkan Al-Qur’an, As-Sunnah dan penjelasan ulama.

Kedua: Orang yang meremehkan bantahan dan dia mengatakan: “Kalian jangan disibukkan oleh bantahan dan tinggalkan bantahan-bantahan ini!”

Ini merupakan ucapan yang global yang tidak muncul kecuali dari dua jenis manusia:

– Seorang pengekor hawa nafsu, karena dia mengetahui bahwa bantahan-bantahan ini akan menyingkap boroknya, menelanjangi dan membongkar kedoknya, yang hal itu akan menyebabkan manusia membencinya.
– Seorang penggembos, dan manusia jenis ini dia merupakan jembatan penghubung bagi para mubtadi’ tanpa dia sadari. Dia merupakan jembatan bagi para mubtadi’ dan penggembos. Seharusnya dia mengatakan: “Alangkah baiknya si fulan, karena dia telah membantah, dia saudara kita. Sungguh bantahannya sangat bermanfaat.”

Tetapi jika kita melihat manusia melalaikan ilmu dan hanya membaca kitab-kitab bantahan saja, maka boleh baginya untuk menegur mereka dengan mengatakan: “Tinggalkan sementara dan sibukkan dengan ilmu!” Jadi kalau terus-menerus tidak. Hal semacam ini tidak pernah dilakukan oleh seorang imam pun, dan yang muncul dari mereka adalah berupa nasehat temporer dan tidak terus menerus.
Ketiga: Orang yang bersikap loyalitas dan memusuhi demi membela pihak yang dibantah, dia membenci pihak-pihak yang membantah dan menyebarkan celaan terhadapnya serta melancarkan berbagai makar dan mentahdzir mereka.
Jenis ini tepat seperti yang dikatakan oleh Ibnu Taimiyah rahimahullah: “Siapa yang menjadikan seseorang sebagai ukuran loyalitas dan permusuhan, maka dia termasuk orang-orang yang memecah belah agama mereka menjadi berkelompok-kelompok.” Demikian perkataannya atau yang semakna.

Jika demikian maka dia adalah seorang hizbi menurut istilah di masa ini, yaitu istilah kita. Karena dia mengikuti kelompok pihak yang dibantah dan menjadikan mereka sebagai sumber wala’ wal bara’.
Keempat: Orang yang terang-terangan melemparkan celaan dan cacian serta peperangan yang sengit terhadap pihak-pihak yang membantah. Hampir-hampir dia menyebutkan nama-nama mereka, dia menyebutkan dengan ungkapan-ungkapan isyarat, siapa yang membaca bantahan-bantahan tentu dia memahami yang dimaksud. Maka orang semacam ini dia orang yang rendah dan tertipu.

Ini jawaban yang dimudahkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan saya mohon maaf karena telah sedikit panjang menjelaskannya kepada kalian.

Sumber: ﻮﺟﻴﻪ ﻣﻤﺘﻊ ﻣﻦ ﺷﻴﺨﻨﺎ ﻋﺒﻴﺪ ﺍﻟﺠﺎﺑﺮﻱ ﺣﻔﻈﻪ ﺍﻟﻠﻪ ) ﻣﺎ ﻗﻮﻟﻜﻢ ﻓﻴﻤﺎ ﻳﺠﺮﻱ ﻣﻦ ﺧﻼﻑ ﺑﻴﻦ ﺍﻟﺴﻠﻔﻴﻴﻦ ﻫﺬﻩ ﺍﻷﻳﺎﻡ؟ – ﺍﻟﻤﻨﺒﺮ ﺍﻹﺳﻼﻣﻲ – ﺷﺒﻜﺔ … –

http://www.sahab.net/forums/index.php?showtopic=138989#entry686800

* Alih bahasa: Abu Almass
Rabu, 2 Jumaadat Tsaniyah 1435 H

Download
Judul: SIKAP SEORANG SALAFY MENGHADAPI PERSELISIHAN Pembicara: Asy-Syaikh Ubaid Al-Jabiry hafizhahullah Tanggal: 2 Jumada II 1435
© 1446 / 2024 Forum Salafy Indonesia. All Rights Reserved.