Sayyid Qutb Pencela Sahabat

Sayyid Qutb Pencela SahabatSAYYID QUTB PENCELA SHAHABAT

Ditulis oleh: Al-Ustadz Muslim Abu Ishaq Al-Atsari

Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahuanhu berkata:

Nabi Shalallau’alaihi wa sallam bersabda:

“Janganlah kalian mencela shahabat-shahabatku. Seandainya salah seorang dari kalian menginfaqkan emas semisal gunung Uhud, niscaya tidak mencapai (tidak bisa menyamai) infaq satu mud salah seorang dari mereka dan tidak pula setengahnya.”

Hadits yang mulia di atas diriwayatkan Al-Imam Al-Bukhari dalam Shahih-nya no. 3673, Al-Imam Muslim dalam Shahih-nya no. 2541, oleh Al-Imam An-Nawawi diberi nama bab-nya Tahrimu Sabbish Shahabah radhiyallahuanhum (Haramnya mencela shahabat Nabi Shalallau’alaihi wa sallam), Al-Imam Abu Dawud dalam Sunan-nya no. 4658, Al-Imam At-Tirmidzi dalam Sunan-nya no. 3861, dan Al-Imam Ahmad dalam Musnad-nya  3/11, 54, 63.

Sabda Nabi Shalallau’alaihi wa sallam:

“Seandainya salah seorang dari kalian menginfaqkan emas semisal gunung Uhud, niscaya tidak mencapai (menyamai) infaq satu mud salah seorang dari mereka dan tidak pula setengahnya.”

Menjelaskan bahwa apabila salah seorang dari kalian menginfaqkan semisal gunung Uhud berupa emas, niscaya pahala infaqnya itu tidak akan mencapai pahala dan keutamaan yang diperoleh shahabat dari infaq yang mereka berikan berupa satu mud makanan atau setengahnya,  karena infaq shahabat itu disertai dengan keikhlasan yang lebih dan baiknya niat. Juga karena infaq yang mereka keluarkan dalam keadaan mereka itu lebih membutuhkannya karena keadaan mereka yang serba kekurangan, banyak kebutuhan dan kepentingan yang darurat. (Aunul Ma‘bud, 12/269)

Al-Imam Al-Qadhi ‘Iyadh rahimahullah menyatakan, infaq para shahabat lebih utama karena infaq tersebut dikeluarkan pada saat darurat dan keadaan yang sempit, berbeda halnya dengan infaq selain mereka. Juga infaq mereka itu dikeluarkan untuk menolong dan melindungi Rasulullah Shalallau’alaihi wa sallam, yang perkara ini jelas tidak terjadi sepeninggal Rasulullah Shalallau’alaihi wa sallam. Demikian pula jihad mereka dan seluruh amalan ketaatan mereka.

Allah subhanahu wa ta’ala telah berfirman:

“Tidaklah sama di antara kalian, orang yang menginfaqkan hartanya dan berperang sebelum Al-Fathu [1] dengan orang yang selain mereka. Mereka itu lebih besar derajatnya di sisi Allah  daripada orang-orang yang berinfaq dan berjihad setelah itu….” (Al-Hadid: 10)

Hal ini juga disertai dengan apa yang ada dalam jiwa mereka berupa rasa kasih sayang, cinta, khusyu, tawadhu’, mengutamakan orang lain (daripada diri mereka sendiri) dan jihad fi sabilillah dengan sebenar-benarnya. Dan keutamaan/kemuliaan bersahabat dengan Rasulullah Shalallau’alaihi wa sallam walau hanya sebentar tidak dapat diimbangi oleh satu amalan pun. Derajat ini tidak dapat dicapai dengan sesuatu pun, dan keutamaan itu tidak dapat diambil dengan qiyas. Yang demikian itu adalah keutamaan dari Allah yang Dia berikan kepada siapa yang diinginkan-Nya. (Syarhu Shahih Muslim, 16/93)

Penjelasan Hadits

Tatkala terjadi perselisihan antara Khalid ibnul Walid dan Abdurrahman bin ‘Auf rhadiyallahuanhu, maka Khalid pun mencerca Abdurrahman. Sementara Abdurrahman lebih dahulu masuk Islam daripada Khalid, bahkan ia termasuk As-Sabiqunal Awwalun. Maka Rasulullah Shalallau’alaihi wa sallam menegur Khalid dengan sabda beliau di atas.

Hadits di atas menunjukkan kepada kita semua tentang haramnya mencela para shahabat Nabi Shalallau’alaihi wa sallam, sebagaimana hal ini telah dikemukakan sebagai penamaan bab di dalam Shahih Muslim oleh Al-Imam An-Nawawi rahimahullah.

Oleh karena itu, tidak ada alasan sedikit pun bagi kita untuk memperbolehkan pencelaan terhadap mereka radhiyallahuanhum. Karena apabila larangan mencela ini ditujukan kepada shahabat yang belakangan masuk Islam terhadap shahabat yang terdahulu dalam keimanan, sementara kedua-duanya memiliki keutamaan shuhbah (bershahabat dengan Rasulullah Shalallau’alaihi wa sallam) kita dapati perkataan Rasulullah Shalallau’alaihi wa sallam yang menunjukkan kejelekan pelakunya dan jeleknya hasil dari perbuatan ini.

Dan bila sesama shahabat saja dilarang saling mencela, lalu bagaimana kiranya bila yang mencela itu bukan shahabat? Atau malah orang yang tidak mempunyai keutamaan sama sekali dari kalangan Zanadiqah (kelompok zindiq), Rawafidh (Syi’ah), serta para pengekor hawa nafsu dan ahlul bid’ah? Kira-kira apa gerangan yang akan diucapkan dan dihukumkan Rasulullah Shalallau’alaihi wa sallam terhadap orang-orang tersebut, dan bagaimana besarnya sanksi serta ‘iqab (hukuman) beliau Shalallau’alaihi wa sallam terhadap pelaku perbuatan tersebut?

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Mengapa Rasulullah Shalallau’alaihi wa sallam melarang Khalid radhiyallahuanhu mencela shahabat-shahabat beliau sementara Khalid radhiyallahuanhu juga termasuk shahabat beliau? Dan akhirnya beliau menyatakan demikian:

Hal ini karena Abdurrahman bin ‘Auf radhiyallahuanhu dan yang semisalnya adalah termasuk As-Sabiqunal Awwalun (orang-orang yang pertama kali masuk Islam) yang menjadi shahabat beliau Shalallau’alaihi wa sallam, di mana pada saat itu Khalid radhiyallahuanhu dan semisalnya masih memusuhi beliau.

Mereka, para As-Sabiqunal Awwalun, menginfaqkan harta mereka dan berjihad sebelum Fathu (perjanjian Hudaibiyyah). Dan mereka ini lebih tinggi derajatnya daripada shahabat yang berinfaq dan berjihad setelah Fathu. Namun masing-masing Allah berikan kebaikan. Sehingga shahabat seperti Abdurrahman radhiyallahuanhu dan semisalnya memiliki kelebihan dalam hubungan persahabatannya dengan Rasulullah Shalallau’alaihi wa sallam yang tidak dimiliki oleh Khalid radhiyallahuanhu dan shahabat semisalnya dari kalangan mereka yang ber-Islam dan berperang setelah Fathu. Maka Rasulullah  Shalallau’alaihi wa sallam pun melarang  mencela mereka yang bersahabat dengan Nabi Shalallau’alaihi wa sallam sebelum Fathu.

Siapa saja yang sama sekali tidak pernah menjadi shahabat Rasulullah Shalallau’alaihi wa sallam maka perbandingan dia dengan orang yang menjadi shahabat Rasulullah seperti perbandingan Khalid radhiyallahuanhu dengan para shahabat yang terdahulu masuk Islam, bahkan orang tersebut tidak ada kadarnya bila dibandingkan dengan kemuliaan Khalid radhiyallahuanhu dan para shahabatnya radhiyallahuanhum.” (Ash-Asharimul Maslul `ala Syatimir Rasul, hal. 576)

Al-Imam ‘Ali Al-Qari rahimahullah menyatakan sangat dimungkinkan pembicaraan dalam hadits ini ditujukan untuk umat secara  umum, tidak dibatasi hanya shahabat yang berselisih tersebut. Yang dengan cahaya nubuwwah, Rasulullah Shalallau’alaihi wa sallam mengetahui bahwa perbuatan semisal ini akan terjadi pada ahlul bid‘ah. Maka beliaupun melarang mereka dengan hadits ini. (Tuhfatul Ahwadzi, 10/246)

Keutamaan Shahabat tidak Bisa Dicapai oleh Siapapun

Sebagaimana telah dijelaskan oleh Al-Imam Al-Qadhi ‘Iyadh rahimahullah bahwa keutamaan bersahabat dengan Rasulullah Shalallau’alaihi wa sallam meski hanya sebentar tidak bisa dibandingkan dengan satu amalan pun. Tidak dapat dicapai derajat ini dengan sesuatu pun dan keutamaan itu tidak dapat diambil dengan qiyas, yang demikian itu merupakan keutamaan dari Allah yang Dia berikan kepada siapa yang diinginkan-Nya. (Syarhu Shahih Muslim, 16/93)

Sehingga apapun amalan yang dilakukan oleh orang-orang yang datang setelah para shahabat, tidaklah dapat mencapai derajat para shahabat dari sisi shuhbah (persahabatan) mereka dengan Rasulullah Shalallau’alaihi wa sallam dan keutamaan mereka pernah bergaul dengan beliau Shalallau’alaihi wa sallam, hadir di majelisnya, mendengarkan wejangannya dan pengajarannya dalam waktu lama ataupun sebentar, apalagi menyertai beliau dalam berjihad meninggikan kalimat Allah subhanahuwata’ala, menolong dakwah beliau dengan pengorbanan jiwa dan harta. Jelas keutamaan seperti ini tidak dapat diraih oleh selain shahabat, sampai pun derajat shahabat yang paling rendah [2]  tidak akan bisa diraih atau shahabat yang hanya sesaat melihat Nabi Shalallau’alaihi wa sallam, beriman kepada beliau dan meninggal dalam keadaan beriman.

Ibnu ‘Abbas radhiyallahuanhu berkata: “Janganlah kalian mencela shahabat Muhammad Shalallau’alaihi wa sallam. Sungguh, kedudukan salah seorang dari mereka sesaat bersama Nabi Shalallau’alaihi wa sallam lebih baik daripada amalan salah seorang kalian selama 40 tahun.”
Dalam lafadz yang lain: “Lebih baik daripada  ibadah salah seorang dari kalian sepanjang hidup.” (Riwayat Ibnu Abi ‘Ashim dalam As Sunnah no. 1006 dan atsar ini dishahihkan oleh Asy-Syaikh Albani dalam Tahqiq Syarhul ‘Aqidah Ath-Thahawiyyah hal. 469)

Ibnu Mas‘ud radhiyallahuanhu berkata: “Sesungguhnya Allah melihat ke hati-hati hamba-Nya, maka Allah dapatkan hati Muhammad adalah sebaik-baik hati para hamba. Allah pun memilihnya untuk diri-Nya dan mengutusnya dengan risalah-Nya. Kemudian Allah melihat hati-hati hamba setelah hati Muhammad, maka Allah dapatkan hati-hati para shahabatnya adalah sebaik-baik hati para hamba. Allah pun menjadikan mereka sebagai penolong nabi-Nya, mereka berperang membela agama-Nya. Apa yang dipandang oleh kaum muslimin (para shahabat) baik maka itu baik di sisi Allah dan apa yang mereka pandang jelek maka itu jelek di sisi Allah.” (Riwayat Ahmad, 1/380 dan atsar ini dihasankan oleh Asy-Syaikh Albani dalam Tahqiq Syarhul ‘Aqidah Ath-Thahawiyyah hal. 470)

Asy-Syaikh Muhammad Khalil Harras rahimahullah berkata: “Para shahabat itu pantas untuk  mendapatkan kecintaan dan pemuliaan karena keutamaan mereka, terdepannya mereka dalam beriman dan kekhususan mereka  menjadi shahabat Rasulullah Shalallau’alaihi wa sallam. Bersamaan dengan itu, mereka telah berbuat baik kepada umat ini karena merekalah yang menyampaikan seluruh apa yang datang dari Rasul mereka. Tidak sampai pada seseorang satu ilmu pun atau satu berita pun melainkan dengan perantaraan para shahabat.” (Syarhul ‘Aqidah Al-Wasithiyyah, hal. 166)

Al-Hafizh Abu Bakr Al-Khathib Al-Baghdadi rahimahullah setelah membawakan ayat-ayat Al Qur`an dan hadits-hadits nabawiyyah tentang kedudukan dan keutamaan shahabat, beliau berkata: “Berita-berita yang semakna dengan ini begitu luas, seluruhnya bercocokan dengan berita yang ada dalam nash Al Qur`an. Semua itu mengandung konsekuensi kesucian shahabat dan kepastian tentang kebaikan serta kebersihan mereka. Sehingga tidak ada seorang pun dari mereka yang membutuhkan pengakuan dari satu makhluk pun berkenaan tentang kebaikan mereka ketika Allah subhanahuwata’ala  telah menetapkan hal tersebut terhadap mereka karena Dia jua-lah yang mengetahui apa yang tersembunyi dalam batin mereka.”

Beliau juga mengatakan: “Seandainya  tidak datang satu keterangan dari Allah subhanahuwata’ala dan Rasul-Nya tentang para shahabat dari apa yang telah kami sebutkan, niscaya keadaan yang mereka alami dan hadapi berupa hijrah, jihad, menolong agama Allah dan Rasul-Nya, pengorbanan darah dan harta (untuk membela agama Allah, pen.), membunuh bapak dan anak-anak mereka (yang masih kafir ketika berhadapan di medan laga, pen.), saling menasehati dalam agama, kekuatan iman dan yakin, cukuplah semua itu sebagai kepastian tentang kelurusan mereka dan untuk meyakini kesucian mereka. Mereka itu lebih utama selama-lamanya dari seluruh orang yang dianggap baik dan seluruh orang yang disucikan, dari kalangan orang-orang yang datang setelah mereka.” (Al-Kifayah fi ‘Ilmir Riwayah hal. 48-49)

Hukum Mencela Shahabat

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Mencela shahabat Rasulullah Shalallau’alaihi wa sallam adalah haram hukumnya dengan dalil Al Kitab dan As Sunnah.” (Ash-Asharimul Maslul ‘ala Syatimir Rasul, hal. 571)

Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata: “Mencela shahabat radhiyallahuanhum adalah haram, termasuk perkara keji (buruk) yang diharamkan, baik yang dicela itu dari kalangan shahabat yang terlibat dalam fitnah (peperangan antara sesama muslimin, pen.) ataupun selain mereka, karena mereka itu berijtihad dalam peperangan tersebut dan melakukan penafsiran dalam perkara-perkara yang terjadi.” Al-Qadhi ‘Iyadh berkata: “Mencela salah seorang shahabat termasuk perbuatan maksiat yang termasuk dosa-dosa besar.” (Syarhu Shahih Muslim, 16/93)

Abu Zur‘ah rahimahullah berkata: “Apabila engkau melihat seseorang mencela salah seorang shahabat Rasulullah Shalallau’alaihi wa sallam, maka ketahuilah orang itu adalah zindiq. Karena keberadaan Rasulullah Shalallau’alaihi wa sallam itu haq di sisi kita, demikian pula Al Qur`an. Dan hanya para shahabat Nabi saja yang menyampaikan Al Qur`an dan Sunnah-sunnah beliau kepada kita. Sementara para zindiq tersebut ingin mencacati persaksian kita terhadap mereka -para shahabat- agar mereka dapat membatilkan Al Qur`an dan As Sunnah yang kita ambil dari para shahabat beliau Shalallau’alaihi wa sallam. Justru mereka itulah orang yang lebih pantas dicacatkan keberadaannya, mereka itulah para zindiq.” (Al-Kifayah fi ‘Ilmir Riwayah hal. 49)

Adapun bentuk sanksi ataupun ‘iqab yang diberikan bagi orang yang mencela shahabat, diperselisihkan para ulama. Ada yang menvonis  harus dibunuh, ada yang tidak. Jumhur ulama sendiri berpandangan orang yang berbuat demikian diberi hukuman ta`zir [3] dan tidak dibunuh. Sementara sebagian Malikiyyah berpendapat orang itu dibunuh. (Syarhu Shahih Muslim, 16/93)

Al-Imam Ahmad rahimahullah berpendapat orang yang mencela salah seorang dari shahabat Rasulullah Shalallau’alaihi wa sallam, baik dari kalangan ahlul bait ataupun selain mereka, maka hukumannya dengan dipukul keras, dan beliau tawaqquf [4] dalam masalah membunuh dan mengkafirkan orang yang berbuat demikian. Ada yang berpendapat bahwa siapa yang melakukan hal itu maka  ia harus diberikan “pelajaran”, dihukum dan diminta bertaubat.

Bila ia bertaubat maka diterima taubatnya, namun bila ia mengulangi maka diberikan hukuman dan dipenjara selama-lamanya sampai mati atau bertaubat. Demikian dihikayatkan hal ini oleh Al-Imam Ahmad dari ahlul ilmi yang pernah beliau jumpai. Dan Al-Kirmani menghikayatkannya dari Al-Imam Ahmad, Ishaq, Al-Humaidi, Sa’id bin Manshur dan selain mereka.

Al-Harits bin ‘Utbah berkata:

“Didatangkan ke hadapan ‘Umar bin Abdil ‘Aziz seorang lelaki yang mencela ‘Utsman radhiyallahuanhu.

‘Umar bin Abdul ‘Aziz bertanya:

 “Apa yang mendorongmu untuk mencercanya?”

“Aku membencinya,” jawab si pencerca.

“Apakah jika engkau membenci seseorang, engkau akan mencelanya?” tanya ‘Umar lagi.

Lalu ia memerintahkan agar si pencerca itu dicambuk 30 kali.

Ibrahim bin Maisarah berkata:

“Aku belum pernah sama sekali melihat ‘Umar bin Abdil ‘Aziz  memukul seseorang, kecuali seorang laki-laki yang mencerca Mu’awiyah, maka ‘Umar memukulnya dengan beberapa kali cambukan.”

Al-Imam Malik berkata:

“Siapa yang mencerca Nabi Shalallau’alaihi wa sallam maka ia dibunuh dan siapa yang mencerca shahabat maka ia diberi “pelajaran”. (Semua atsar kami nukilkan dari kitab Ash-Sharimul Maslul, hal. 567, 568, 569,  karya  Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah)

Sebagai kesimpulannya, mencela shahabat itu ada tiga macam:

Pertama:  Mencela para shahabat Nabi Shalallau’alaihi wa sallam dengan mengkafirkan mayoritas mereka atau menyatakan kebanyakan mereka itu fasik. Maka hukum orang yang berbuat seperti ini kafir karena ia telah mendustakan Allah dan Rasul-Nya yang telah memberikan pujian kepada para shahabat dan ridha terhadap mereka. Bahkan siapa yang ragu tentang kekufuran orang yang semisal ini maka ia pun kafir, karena kandungan dari pencelaan tersebut berarti para shahabat Nabi Shalallau’alaihi wa sallam yang menyampaikan Al Qur`an dan As Sunnah kepada umat ini adalah orang-orang kafir dan orang-orang fasiq.

Dalam Al Qur`an Allah subhanahuwata’ala berfirman:

“Kalian adalah sebaik-baik umat yang dikeluarkan untuk manusia.” (Ali ‘Imran: 110)

Sementara sebaik-baik umat ini adalah generasi pertamanya (generasi para shahabat). Namun dengan adanya celaan yang ditujukan kepada generasi pertama ini berarti mayoritas mereka para shahabat Nabi Shalallau’alaihi wa sallam adalah orang-orang kafir atau fasiq. Konsekuensinya, umat ini adalah sejelek-jelek umat dan pendahulu umat ini adalah orang-orang yang paling jelek.

Kedua:  Mencela  shahabat dengan melaknat dan menjelekkan mereka. Maka ada dua pendapat di kalangan ahlul ilmi, yang satu mengkafirkan pelakunya, adapun yang lain menyatakan pelakunya tidak kafir tapi ia harus dicambuk dan dipenjara sampai mati atau bertaubat dari apa yang diucapkannya.

Ketiga:  Mencela shahabat dengan perkara yang tidak berkaitan dengan agama mereka seperti mengatakan mereka penakut atau pelit. Maka pelakunya tidak dikafirkan namun diberi hukuman ta`zir yang bisa membuat dia jera dari perbuatannya. (Ash-Sharimul Maslul  hal. 586-587, Syarh Lum‘atil I‘tiqad, Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin, hal. 152)

Sosok Sayyid Quthb sebagai Pencela Shahabat

Kita telah mengetahui betapa tinggi dan mulianya kedudukan para shahabat dengan persaksian Allah subhanahuwata’ala dan Rasul-Nya n sehingga tidak boleh mengarahkan celaan kepada mereka, bahkan wajib bagi kita untuk tidak membicarakan kejelekan mereka. Kita harus menyakini bahwa sekalipun mereka punya kesalahan maka kesalahan itu terlalu kecil bila dibandingkan dengan kebaikan yang ada pada mereka.

Bila salah seorang dari mereka punya satu dosa maka ia mungkin sudah bertaubat dari dosa tersebut, atau ia telah melakukan kebaikan yang banyak yang dengan itu akan menghapuskan kesalahan-kesalahannya, atau ia telah diampuni oleh Allah dengan keutamaannya terdahulu masuk Islam atau dengan syafaat Nabi Shalallau’alaihi wa sallam dan para shahabat adalah orang-orang yang paling berhak mendapatkan syafaat beliau Shalallau’alaihi wa sallam, atau ia telah ditimpa  ujian dan cobaan ketika di dunia yang dengan itu akan menjadi kaffarah bagi dosanya. (Al-’Aqidah Al-Wasithiyyah dengan syarahnya, hal. 175)

Namun lihatlah seorang yang bernama Sayyid Quthub yang mencela para shahabat Nabi Shalallau’alaihi wa sallam, buta mata hatinya dari melihat keutamaan dan kemuliaan yang dimiliki oleh para shahabat, sehingga dengan berani dan lancangnya Sayyid mencerca dan mencela mereka radhiyallahuanhum.

Di antara cercaan Sayyid kepada para shahabat Rasulullah Shalallau’alaihi wa sallam, sebagaimana yang dapat kami sebutkan berikut ini:

  1. Ia menjelekkan shahabat yang mulia, menantu Rasulullah Shalallau’alaihi wa sallam yang digelari Dzun Nuraini (karena pernah mempersunting dua putri beliau Shalallau’alaihi wa sallam) Amirul Mukminin ‘Utsman radhiyallahuanhu, dengan tidak menganggap masa kekhilafahannya.

Ia menyatakan dengan lisannya yang buruk:

“Kami cenderung menganggap khilafah ‘Ali sebagai kepanjangan yang alami bagi khilafah Syaikhain sebelumnya (yakni Abu Bakar dan ‘Umar radhiyallahuanhum, -pen.) dan sesungguhnya masa ‘Utsman merupakan celah di antara keduanya.” (Al-’Adalah Al-Ijtima’iyyah, hal. 206)

Ia menuduh bahwa gambaran tentang hakikat hukum Islam mengalami perubahan pada masa pemerintah ‘Utsman.

Ia berkata:

“Sungguh termasuk aspek yang buruk, ‘Utsman menemui masa khilafahnya dalam keadaan ia telah tua renta, lemah semangatnya untuk meneguhkan Islam dan lemah keinginannya untuk menyumbat makar Marwan dan makar Umayyah yang datang dari belakangnya.” (hal. 186)

Dituduhnya pula ‘Utsman dengan tuduhan dusta bahwa beliau tidak baik pengaturannya dalam masalah harta kaum muslimin, mengutamakan keluarganya untuk memimpin manusia dengan pernyataannya:

“Utsman rahimahullah memahami bahwa keberadaannya sebagai imam menganugerahkannya kebebasan dalam mengatur  harta kaum muslimin, ia bebas memberi dan menghadiahkan. Sehingga di kebanyakan kesempatan ia memberikan harta tersebut kepada orang yang dijadikannya sebagai pimpinan dalam perpolitikan. Bila tidak demikian, maka dalam perkara apa engkau menjadi imam/ pimpinan? Sebagaimana ‘Utsman dianugerahi kebebasan untuk membawa Bani Mu’ith dan Bani Umayyah dari kalangan kerabatnya untuk memimpin manusia, dan di kalangan keluarganya ini ada Al-Hakam (ibnul ‘Ash) yang pernah diusir oleh Rasulullah. Hal itu semata-mata dilakukannya karena ia menganggap bahwa termasuk kewajibannya adalah memuliakan keluarganya, berbuat baik pada mereka dan menjaga/ memperhatikan mereka.”  (hal. 186)

Sebagaimana ia menuduh ‘Utsman telah menyimpang dari ruh Islam dengan pernyataannya:

“Sungguh para shahabat (ketika itu) memandang bahwa (apa yang terjadi di masa ‘Utsman) merupakan penyimpangan dari ruh Islam, maka mereka pun saling memanggil kembali ke Madinah untuk menyelamatkan Islam dan menyelamatkan khalifah (yakni ‘Utsman radhiyallahuanhu,,,, pen) dari ujian. Sementara khalifah dalam ketuaan dan kerentaannya tidak dapat menguasai perkaranya dari Marwan. Sungguh termasuk perkara yang sulit bagi kita untuk menjelekkan ruh Islam pada diri ‘Utsman, namun termasuk perkara yang sulit juga bagi kita untuk memaafkannya dari kesalahan, yang kesalahannya ini bertemu dengan kejelekan dalam kepemimpinan khilafahnya, sementara dia adalah orang  tua yang tidak berdaya yang diliputi oleh keburukan Umayyah.” (hal. 187)  [5]

Bahkan Sayyid Quthb ini memuji pemberontakan yang dilakukan terhadap Khalifah ‘Utsman dengan menyatakan:

“Pada akhirnya meletuslah pemberontakan terhadap ‘Utsman. Tercampurlah dalam pemberontakan itu Al-Haq dengan Al-Bathil, kebaikan dengan kejelekan. Namun orang yang melihat perkara dengan mata Islam dan merasakan perkara dengan ruh Islam, mau tidak mau akan menetapkan bahwa pemberontakan itu dalam keumumannya lebih dekat kepada ruh Islam dan mengarah pada ruh Islam daripada tindakan ‘Utsman, atau lebih lembut dan halus daripada tindakan Marwan dan Bani Umayyah yang ada di belakangnya.” (hal. 189)  [6]

  1. Orang ini tidak berhenti sampai di situ, ia juga mencela para shahabat Muhajirin dan Anshar dari kalangan Ahli Badr, Bai’atur Ridhwan dan ahlu syura.

 Ia berkata:

“Sungguh termasuk perkara yang sudah menjadi kodrat bahwasanya orang-orang yang mencari manfaat ini tidaklah ridha terhadap ‘Ali radhiyallahuanhu dan mereka tidak rela dengan syariat persamaan hak (yang ia maksudkan adalah kaum Muhajirin, -pen.) Demikian pula orang-orang yang melanggar keutamaan dan menginginkan monopoli (yang dimaksudkannya adalah kaum Anshar, –pen.). Mereka ini pun pada akhirnya bergabung dengan kelompok yang lain, kelompok Umayyah, di mana di dalamnya mereka bisa mencari muka untuk memenuhi ambisi mereka.” (hal. 193).

  1. Ia menukil berita dusta dan mengada-ada yang disandarkan oleh seorang Syi’ah Rafidhah  kepada  para shahabat Rasulullah Shalallau’alaihi wa sallam.

Sayyid berkata:

“Cukuplah bagi kami untuk  menampilkan contoh kemewahan yang sangat yang dibawakan oleh Al-Mas’udi  [7] (seorang Syi’ah yang hasad kepada para shahabat Rasulullah Shalallau’alaihi wa sallam,, pen).

Al-Mas’udi berkata:

“Pada masa ‘Utsman, para shahabat mengumpulkan sawah ladang dan harta. ‘Utsman pada hari terbunuhnya, didapatkan dalam simpanan hartanya ada sekitar 150 ribu dinar dan ribuan dirham. Sementara nilai sawah ladangnya yang ada di Wadi Al-Qura, Hunain dan selainnya sekitar 100 ribu dinar. Dia juga meninggalkan unta dan kuda yang banyak. Adapun Az-Zubair, harta peninggalannya setelah wafatnya mencapai harga 50 ribu dinar dan ia meninggalkan 1.000 ekor kuda dan 1.000 budak perempuan. Adapun Thalhah maka hasil buminya dari negeri Iraq mencapai 1.000 dinar setiap hari dan dari Nahiyatus Sarah lebih banyak lagi. Sedangkan Abdurrahman bin ‘Auf di tempat pertambatannya ada 1.000 ekor kuda, ia juga punya 1.000 ekor unta, 10 ribu ekor kambing, dan seperempat dari peninggalan hartanya setelah wafatnya mencapai 84 ribu. Lain lagi Zaid bin Tsabit, ia meninggalkan emas dan perak yang bisa memecahkan kapak-kapak. Di samping itu ia juga meninggalkan harta yang lain dan sawah ladang. Az-Zubair membangun rumahnya di Bashrah, juga di Mesir, Kufah dan Iskandariyah. Thalhah juga demikian, ia membangun rumahnya di Kufah dan memperindah rumahnya di Madinah dengan membangunnya dengan kapur, batu bata dan pohon jati. Sa’d bin Abi Waqqash membangun rumahnya di ‘Aqiq, meninggikan atap/tiangnya dan meluaskan halamannya…” (Al-’Adalah Al-Ijtima’iyyah hal.  209-210) dan seterusnya dari ucapan Syi’i yang  penuh kedustaan.

Asy-Syaikh Rabi’ hafizhahullah berkata:

“Orang yang memikirkan dengan mendetail tindakan-tindakan Sayyid Quthub dan tata caranya serta mengetahui madzhabnya niscaya akan tahu bahwa Sayyid Quthub ini seorang pencela, sehingga ‘Umar radhiyallahuanhu pun akan terkena celaannya, karena sepanjang hidupnya ‘Umar melebihkan (sebagian muslimin) dalam pemberian. Melebihkan satu dari yang lain yang dijalankan oleh ‘Umar ini, merupakan kezaliman dalam pandangan Sayyid Quthub. Hanya saja ia meninggalkan cercaan kepada ‘Umar sebagai penyamaran dari satu sisi dan agar bisa menjalankan doktrin sosialis pada sisi yang lain. Orang yang memikirkan dengan teliti dan memahami ucapan Sayyid Quthub akan tahu  bahwa ia mengharuskan pemerintah/ penguasa untuk merampas/ mengambil dengan paksa harta-harta umat dan membaginya dengan cara sosialis-marxis.”  [8]

  1. Ia mencela  Mu’awiyah dan  ‘Amr ibnul ‘Ash radhiyallahuanhuma, dan bersikap ghuluw terhadap ‘Ali radhiyallahuanhu. Ia berkata dalam kitabnya Kutub wa Syakhshiyyat (hal. 242-243):

“Mu’awiyah dan temannya yang bernama ‘Amr tidaklah mengalahkan ‘Ali dikarenakan keduanya lebih mengetahui apa yang diinginkan oleh jiwa-jiwa manusia dan lebih memahami untuk bertindak dengan tindakan yang bermanfaat yang sesuai sikon daripada ‘Ali. Akan tetapi mereka berdua bisa memerangi dan mengalahkan ‘Ali dikarenakan bebasnya mereka menggunakan setiap kotoran dan makar, sementara ‘Ali terikat dengan akhlaknya dalam memilih sarana-sarana bergumul. Tatkala Mu’awiyah dan temannya ini cenderung kepada dusta, tipu daya, nifaq, sogok menyogok dan jual beli hak/ kehormatan, ‘Ali pun tidak dapat turun mengikuti mereka ke derajat yang paling rendah ini. Maka tidaklah heran keduanya sukses sedangkan ‘Ali gagal, namun kegagalan itu lebih mulia dari seluruh kesuksesan.”  [9]

Masih banyak lagi cercaan, tuduhan dan dugaan jelek yang dilemparkan Sayyid Quthub terhadap para shahabat Rasulullah Shalallau’alaihi wa sallam. Namun pemaparan di atas cukuplah sebagai gambaran bagi kaum muslimin akan kejahatan Sayyid Quthub terhadap para shahabat radhiyallahuanhum.

Asy-Syaikh Rabi‘ hafizhahullah berkata:

“Demikianlah Sayyid Quthub mengarahkan cercaan yang zalim dan tuduhan yang penuh dosa kepada para shahabat tanpa hujjah, bukti, petunjuk dan ilmu serta tanpa sumber terpercaya kecuali sekedar khayalannya yang tumbuh dari aqidah sosialisnya yang ghuluw dan kecuali dari racun-racun yang diminumnya sampai puas dari sumber-sumber Rafidhah dan pengajaran-pengajaran  orang-orang sosialis.” (Adhwa’u Islamiyyah ‘ala Aqidah Sayyid Quthb wa Fikrihi pasal ke-2 Mauqif Sayyid min ‘Utsman wa mu‘zhamis shahabah radhiyallahuanhum)

Dan tentunya akan lebih adil kalau kita juga melihat bagaimana aqidah Sayyid dan pemikirannya, agar menjadi jelas bagi kita siapa sebenarnya dia dan apa bandingannya dengan para shahabat  mulia yang dicercanya?

  1. Aqidah wihdatul wujud dan hululiyyah Dalam kitab tafsirnya Fi Zhilalil Qur`an (6/4003-4004) tentang tafsir surat Al-Ikhlas, ia berkata:

“Sesungguhnya alam ini adalah kesatuan wujud. Tidak ada di sana hakikat kecuali hakikat-Nya. Dan tidak ada di sana wujud yang hakiki kecuali wujud-Nya. Maka seluruh wujud yang lain hanyalah bersandar wujudnya kepada Wujud yang hakiki itu.” Ucapannya ini, jelas sekali menunjukkan pemahaman wihdatul wujud.

Demikian pula ucapannya:

“Islam menginginkan agar manusia menempuh jalan menuju hakikat ini. Manusia itu merasakan penderitaan dalam menjalani kenyataan hidup, namun bersamaan dengan itu mereka mestinya merasakan bahwasanya tidak ada hakikat kecuali Allah dan tidak ada wujud kecuali wujud-Nya.”
Ia juga membela aqidah Nirwana  [10] yang dianut oleh pemeluk Hindu Budha. [11]

  1. Meremehkan dakwah para rasul yang hanya berpusat pada larangan beribadah kepada berhala (Fi Zhilalil Qur`an, 4/2114), sementara ia sendiri tidak mengingkari kesyirikan yang dilakukan di kuburan-kuburan  [12].
  2. Menolak sifat-sifat Allah subhanahuwata’ala sebagaimana kelompok bid‘ah Jahmiyyah, seperti ketika ia menolak sifat istiwa` Allah di atas ‘Arsy-Nya di saat menafsirkan surat Yunus ayat 1 (Fi Zhilalil Qur`an, 3/1762-1763). Ia menganggap sifat-sifat Allah itu hanyalah sekadar makna yang tidak ada hakikatnya. [13]
  3. Menganggap Al Qur`an itu bukan kalamullah tetapi makhluk, dalam Fi Zhilalil Qur`an (5/2715): “Akan tetapi mereka tidak kuasa untuk menyusun satu surat pun yang semisal kitab Al Qur`an ini karena kitab ini adalah buatan Allah bukan buatan manusia.”  [14]
  4. Mencela Nabiyullah Musa alaihissalam dalam kitabnya At-Tashwirul Fanni fil Qur`an (hal.  200-204) bahwa Nabi Musa adalah seorang pemimpin yang membela ‘ashabiyyah qaumiyyah (fanatik golongan/suku), seorang yang emosional tidak sabaran, tidak memiliki ketenangan. Ia berjanji tidak akan menjadi penolong orang-orang yang berbuat dosa, namun perbuatannya menyelisihi janjinya dengan membantu seseorang dari kaumnya yang berkelahi dengan seseorang dari kaum Fir’aun, ia meminta kepada Allah dengan permintaan yang tidak pantas.  [15]
  5. Seorang sufi yang ghuluw dan berbahaya dengan pernyataannya: “Ya Allah, aku adalah hamba-Mu, (aku beribadah kepada-Mu) bukan karena takut dari neraka-Mu dan bukan pula karena ingin masuk ke dalam surga-Mu”, dalam kitabnya At-Tashwirul Fanni fil Qur`an.
    Pemikiran seperti ini disebutkan oleh sebagian Ahlus Sunnah wal Jamaah sebagai pemikiran seorang zindiq. [16]

Dan masih banyak lagi model penyimpangan orang ini, namun beberapa contoh di atas cukuplah mewakili gambaran tentang Sayyid Quthub. Namun ternyata dengan kebobrokan dan borok menjijikkan yang ada padanya, tidaklah membuatnya malu dan minder untuk tampil mencerca para shahabat yang mulia.

Mungkin sekelompok manusia akan menyalahkan kita, karena kita menjelekkan Sayyid Quthub pencela shahabat Nabi shalallahu’alaihi wa sallam. Sementara katanya, dia adalah seorang yang punya banyak jasa terhadap Islam, dia gugur sebagai syahid, dia begini, dia begitu dan seterusnya dari sederet pujian untuk si Sayyid. Lalu orang itu memberikan pembelaan terhadap Sayyid Quthub karena ghirahnya terhadap tokoh nyeleneh dan bebal  [17] ini.

Maka kita katakan kepadanya sebagaimana ucapan Asy-Syaikh Rabi’  [18] hafizhahullah: “Wahai sekalian muslimin, di mana ghirah kalian terhadap aqidah Islamiyyah (yang dirusak oleh orang seperti Sayyid Quthub)? Di mana ghirah kalian terhadap tokoh-tokoh umat ini (para shahabat Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam yang dicela oleh Sayyid Quthub)? Di mana sikap kalian bila dibandingkan dengan sikap salaful ummah terhadap orang yang mencela shahabat Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam? Dan sampai kapan kalian sabar menanggung kezaliman, kelaliman dan penganiayaan ini?”

Wallahul musta’an.

*

Sumber: Majalah Asy Syariah

————————————————

Catatan Kaki:

  1. Para ulama berbeda pendapat dalam menafsirkan kata Al-Fathu di sini. Mayoritas ulama menafsirkan dengan pembukaan kota Makkah. Adapun Asy-Sya’bi dan yang lain menafsirkan dengan Perjanjian Hudaibiyah.
  2. Para shahabat itu memang berbeda-beda derajat, keutamaan dan kemuliaannya, seperti Abu Bakr Ash-Shiddiq lebih utama dari shahabat-shahabat yang lain, kemudian setelahnya para Al-Khulafa` Ar-Rasyidun yang lain, dan seterusnya. (Al-’Aqidah Al-Wasithiyyah beserta syarahnya, hal. 167-169)
  3. Ta‘zir adalah hukuman yang tidak dapat dikadarkan secara pasti, yang wajib ditunaikan oleh hakim karena adanya pelanggaran terhadap hak Allah atau hak anak Adam. Hukuman ini dilaksanakan dalam setiap maksiat yang tidak ada hukum hadnya dan tidak ada kaffarah-nya secara umum. (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah, 12/254)
  4. Mendiamkan, tidak memberikan pendapat
  5. Matha‘in Sayyid Quthb fi Ash-habi Rasulillah pasal ke-14 Ramyu ‘Utsman bil inhiraf ‘an ruhil Islam
  6. Matha‘in Sayyid Quthb fi Ash-habi Rasulillah pasal ke-15 Sayyid Quthb yara anna ats-tsaurah al-lati qadaha Ibnu Saba` Al-Yahudi aqrabu ila ruhil islam min ‘Utsman bin ‘Affan.
  7. Asy-Syaikh Rabi’ hafizhahullah berkata: “Bila pembaca merujuk pada kitab Al-Mas‘udi niscaya akan mengetahui bahwa Al-Mas‘udi membawakan kedustaan ini untuk mencela shahabat-shahabat besar tersebut.” (Adhwa` Islamiyyah ‘ala Aqidah Sayyid Quthb wa Fikrihi pasal ke-2 Mauqif Sayyid min Utsman wa mu‘dhamis shahabah
  8. Adhwa`u Islamiyyah ‘ala Aqidah Sayyid Quthb wa Fikrihi pasal ke-2 Mauqif Sayyid min ‘Utsman wa mu‘zhamis shahabah
  9. Adhwa`u Islamiyyah ‘ala Aqidah Sayyid Quthb wa Fikrihi pasal ke-2 Mauqif Sayyid min ‘Utsman wa mu‘zhamis shahabah
  10. Nirwana maknanya selamat, yakni selamatnya ruh yang terus menerus mengalami perbaikan di tengah peredaran dan perputarannya dalam menitis ke tubuh-tubuh manusia. Ketika telah selamat, ruh ini tidak butuh lagi untuk menitis karena ia telah selamat dari perjalanan tersebut dan telah menyatu dengan Sang Pencipta. Ia telah meninggalkan jasad di alam materi dan masuk ke alam yang kekal abadi. Derajat Nirwana atau tercapainya keselamatan itu merupakan tujuan tertinggi dalam kehidupan bagi penganut Hindu dan Budha.
  11. Adhwa`u Islamiyyah ‘ala Aqidah Sayyid Quthb wa Fikrihi, pasal ke-9 Qaul Sayyid Quthub bi ‘aqidah wihdatul wujud wal hulul wal jabr, karya Asy-Syaikh Rabi‘ Al-Madkhali, Al-’Awashim Mimma fi Kutub Sayyid Quthb minal Qawashim pasal ke-5, karya Asy-Syaikh Rabi’ dan makalah Asy-Syaikh Rabi’ berjudul: Qaul Sayyid Quthb bi ‘Aqidah Wihdatul Wujud wal Hulul wal Jabr wa Difa‘uhu ‘an-Aqidah An-Nirfana Al-Hindukiyyah Al-Budziyyah
  12. Adhwa`u Islamiyyah ‘ala Aqidah Sayyid Quthb wa Fikrihi, pasal ke-6 Asy-syirku wa ‘ibadatul awtsan ‘inda Sayyid waman sara nahjihii
  13. Adhwa`u Islamiyyah ‘ala Aqidah Sayyid Quthb wa Fikrihi pasal ke-10 Ghuluw Sayyid fi ta‘thil sifatillah kama huwa sya’nu Jahmiyyah dan  Makalah Asy-Syaikh Rabi‘ berjudul: Min Ushuli Sayyid Quthub Al-Bathilah Al-Mukhalafah Li Ushuli As-Salafis Shalih
  14. Adhwa`u Islamiyyah ‘ala Aqidah Sayyid Quthb wa Fikrihi pasal ke-8 Qaulu Sayyid bi khalqil Qur’an wa anna kalamillahi ‘ibaratun anil iradah
  15. Adhwa`u Islamiyyah ‘ala Aqidah Sayyid Quthb wa Fikrihi pasal pertama Adabu Sayyid ma‘a rasulillah dan kalimillah Musa ‘alaihis shalatu wa sallam
  16. Makalah Syaikh Rabi‘: Min Ushuli Sayyid Quthb Al-Bathilah Al-Mukhalafah Li Ushuli As-Salafish Shalih
  17. Dikatakan demikian karena telah dinasehati oleh Asy-Syaikh Mahmud Syakir agar tidak mencela shahabat, namun Sayyid malah membenarkan perbuatannya mencela shahabat. (Muqaddimah cetakan kedua kitab Matha’in Sayyid Quthb fi Ash-habi Rasulillah)
  18. Muqaddimah cetakan kedua kitab Matha‘in Sayyid Quthb fi Ash-habi Rasulillah
© 1446 / 2024 Forum Salafy Indonesia. All Rights Reserved.
Enable Notifications OK No thanks