PENJELASAN AIR SUCI TIDAK MENYUCIKAN
Asy-Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah dalam kitabnya Bahjatu Qulubil Abrar wa Qurratu ‘Uyunil Akhyar fi Syarhi Jawami’il Akhbar (hlm. 24—25) mengatakan bahwa Abu Sa’id al-Khudri radhiallahu anhu berkata, “Telah bersabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam:
الْمَاءُ طَهُوْرٌ لاَ يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ
‘Air itu suci tidak ada sesuatu pun yang dapat menajisinya’.” (Sahih, HR. Ahmad, at-Tirmidzi, Abu Dawud, dan an-Nasa’i)
Hadits yang sahih ini menunjukkan asal air secara keseluruhan (meliputi seluruh air yang keluar dari dalam bumi atau yang turun dari langit yang tetap sebagaimana asal penciptaannya, ataupun berubah karena tersimpan lama atau karena kemasukan/kejatuhan benda-benda yang suci, walaupun mengalami banyak perubahan) itu suci, bisa digunakan untuk thaharah dan selainnya. Kecuali air yang berubah warna, rasa, ataupun baunya karena kemasukan benda-benda yang najis, sebagaimana hal ini disebutkan pada sebagian lafadz hadits.
Ulama telah bersepakat tentang najisnya air yang mengalami perubahan akibat kemasukan benda najis. Al-Imam Ahmad rahimahullah dan selainnya mengambil dalil tentang perkara ini dari firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
“Diharamkan bagi kalian memakan bangkai, darah, dan daging babi, daging hewan yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah, hewan yang mati karena tercekik, yang dipukul dengan benda berat, yang jatuh dari tempat yang tinggi, yang ditanduk oleh hewan lain, yang diterkam oleh binatang buas kecuali yang sempat kalian sembelih, dan diharamkan pula bagi kalian hewan yang disembelih untuk berhala dan diharamkan bagi kalian untuk mengundi nasib dengan anak panah….” (al-Ma’idah: 3)
Sehingga kapan pun terlihat sifat-sifat dari benda-benda yang diharamkan ini di dalam air maka air tersebut menjadi najis.
Hadits ini dan selainnya menunjukkan bahwa air yang berubah karena kemasukan benda-benda yang suci tetap dihukumi suci dan menyucikan. Juga menunjukkan tidak dilarangnya menggunakan air sisa seorang wanita secara mutlak, serta menunjukkan sucinya air bekas celupan tangan orang yang bangun dari tidur malam. Adapun larangan mencelupkan tangan yang datang dalam masalah ini ditujukan kepada orang yang bangun tidur tersebut, ia dilarang mencelupkan tangannya ke dalam air sebelum mencucinya sebanyak tiga kali. Sedangkan pelarangan menggunakan air bekas celupannya tidak ditunjukkan dalam hadits ini.
Hadits Abu Sa’id al-Khudri radhiallahu anhu di atas menunjukkan air itu terbagi dua:
Pertama, air yang najis, yaitu air yang berubah salah satu sifatnya karena kemasukan benda yang najis, sedikit ataupun banyak.
Kedua, air suci menyucikan.
Adapun menetapkan jenis air yang ketiga, yaitu air yang suci tapi tidak menyucikan dan bukan pula air yang najis, tidaklah ada dalil syar‘i yang menunjukkannya, sehingga air tersebut tetap di atas asal kesuciannya (yaitu suci dan menyucikan).
Yang mendukung keumuman hal ini adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
“Jika kalian tidak mendapatkan air maka bertayammumlah dengan menggunakan tanah/debu yang bersih.” (al-Ma’idah: 6)
Penyebutan air yang dalam ayat ini disebutkan secara umum, karena penyebutannya datang dalam bentuk nakirah (umum) dengan konteks penafian [1] (kalimat negatif). Dengan demikian, masuk di dalamnya seluruh air kecuali air yang najis karena adanya ijma’ tentang hal ini.
Hadits ini menunjukkan pula bahwasanya hukum asal air itu suci, demikian pula hal-hal selain air. Maka kapan pun terjadi keraguan, apakah didapatkan padanya sebab kenajisan atau tidak, maka kembalinya pada hukum asal yaitu sesuatu itu tetap suci.
Catatan Kaki:
1 Yakni penyebutan ( ماء ) air dalam ayat disebutkan tanpa ال dan lafadz sebelumnya berisi kalimat penafian (kalimat negatif) ﭷ ﭸ “Jika kalian tidak mendapatkan air”.
—————————————————
Sumber : Majalah Asy Syariah