ORANG YANG IKHLASH DAN JUJUR SELALU BERBAIK SANGKA KEPADA ALLAH APAPUN YANG MENIMPANYA SELAMA DIA DI ATAS KEBENARAN
Al-Allamah Abdurrahman bin Yahya Al-Mu’allimy Al-Yamany rahimahullah
Sebagian orang pernah bercerita kepadaku bahwa ada seseorang yang kebiasaannya mencium kuku kedua ibu jarinya ketika dia mendengar muadzin mengucapkan: “Asyhadu anna Muhammadan Rasulullah.” Kemudian dia meninggalkannya ketika ada salah seorang ulama mengatakan kepadanya bahwa hal itu adalah perbuatan bid’ah dan hadits yang diriwayatkan tentang perkara tersebut dihukumi oleh para ahli hadits sebagai riwayat dusta.
Ketika dia meninggalkan kebiasaannya tersebut maka dia ditimpa rasa sakit di kedua matanya. Maka dia pun berusaha untuk mengobatinya dengan berbagai macam obat. Namun berbagai macam obat tersebut tidak mempan, sampai ada sebagian orang-orang shufi mengatakan kepadanya: “Makanya hendaknya engkau meneruskan mencium kedua ibu jarimu ketika adzan!”
Lalu terbetiklah di dalam hatinya anggapan bahwa rasa sakit tersebut menimpanya sebagai hukuman terhadapnya karena dia meninggalkan kebiasaan tersebut. Akhirnya dia pun kembali melakukan bid’ah tersebut dan ternyata rasa sakitnya pun hilang.
Maka katakanlah kepadanya di dalam menilai apa yang dia alami tersebut: sesungguhnya Allah senantiasa menguji hamba-hamba-Nya dengan apa yang Dia kehendaki dan menggiring orang-orang yang sengaja memilih kesesatan semakin jauh dari jalan yang benar tanpa mereka sadari.
Kami telah mendengar dari beberapa orang yang menceritakan bahwa ada seseorang yang tidak mengerjakan shalat, maka sebagian orang-orang yang suka menasehati berusaha memotivasinya untuk mengerjakan shalat dan menakut-nakutinya dengan hukuman yang akan menimpanya akibat meninggalkannya. Maka dia pun mulai menjaga shalat. Setelah itu ternyata dia ditimpa berbagai musibah pada keluarga dan hartanya. Maka dia menganggap bahwa hal itu adalah akibat shalat yang dia kerjakan sehingga dia pun meninggalkannya.
Kami katakan: bisa saja musibah yang menimpanya adalah akibat dari shalat yang dia kerjakan. Penjelasannya adalah hadits yang menyatakan:
إِنَّ اللهَ طَيِّبٌ لَا يَقْبَلُ إِلَّا طَيِّبًا.
“Sesungguhnya Allah Maha Baik dan tidak akan menerima kecuali seuatu yang baik pula.” (HR. Muslim no. 1015 –pent)
Jadi termasuk sunnatullah adalah jika seorang hamba meninggalkan sebuah kemaksiatan, maka Allah akan mengujinya agar nampak hakekatnya dan apa sebenarnya yang mendorongnya untuk meninggalkan maksiat tersebut. Apakah karena iman atau karena sesuatu yang lain.
Yang semisal dengannya adalah yang diceritakan oleh sebagian orang kepada saya bahwa ada seseorang yang jika dia mengerjakan shalat wajib sendirian maka dia merasakan hatinya lembut dan khusyuk, namun jika dia shalat berjamaah justru dia tidak bisa khusyuk. Sebab dari apa yang menimpanya ini karena sesungguhnya syaithan berusaha menyeretnya agar meninggalkan shalat berjamaah. Jadi syaithan membiarkannya khusyuk jika dia mengerjakan shalat sendirian dan mengganggunya jika dia shalat berjamaah, dengan tujuan agar orang tersebut meninggalkan shalat berjamaah dan agar meyakini bahwa shalat sendirian lebih afdhal (karena menurutnya bisa lebih khusyuk –pent). Sehingga keyakinan dia yang seperti ini merupakan sikap menyelisihi syari’at yang bahayanya lebih besar atasnya dari sekedar meninggalkan shalat berjamaah.
Yang semisal dengannya juga adalah apa yang saya jumpai sendiri. Dahulu saya pernah dalam keadaan yang baik pada keluarga (sehat –pent) dan harta saya (berkecukupan –pent). Maka saya menginfakkan sebagian harta saya pada salah satu jalan kebaikan. Kemudian saya ingin melakukannya lagi, namun tiba-tiba muncul musibah yang menimpa keluarga dan harta saya. Namun –dengan memuji Allah semata– saya tidak terpengaruh dengan musibah tersebut dan saya tetap melaksanakan untuk menginfakkan harta yang telah saya niatkan sebelumnya. Bahkan kemudian saya mengulanginya untuk ketiga kalinya. Sampai sekarang sebagian musibah tersebut belum hilang sepenuhnya. Namun nampaklah kepada saya rahasia kenapa musibah-musibah tersebut menimpa saya. Barangkali apa yang saya infakkan tersebut diterima di sisi Allah Azza wa Jala, lalu Allah ingin membalasnya dengan membersihkan diri saya dari sebagian dosa-dosa yang telah saya lakukan. Dan musibah-musibah tersebut adalah sebagian dari bentuk pembersihan dosa itu.
[Risaalah Fii Tahqqiihil Bid’ah, hal. 28-32]
Sumber artikel: Al-Imam Abdurrahman Al-Yamany Hayaatuhu wa Aatsaaruh, hal. 57-58
Alih bahasa: Abu Almass
Senin, 19 Dzulhijjah 1435 H