Ditulis oleh: Al-Ustadz Muslim Abu Ishaq Al-Atsari
Al-Imam Abu Dawud meriwayatkan dari shahabat yang mulia Al-‘Irbadh bin Sariyah radhiyallahu ‘anhu, bahwa ia berkata: Rasulullah shalallahu‘alaihi wa sallam menasihatkan kepada kami dengan satu nasihat yang menggetarkan hati-hati kami dan air mata pun berlinang karenanya. Maka ketika itu kami mengatakan: “Duhai Rasulullah, nasihat ini seperti nasihat orang yang mau mengucapkan selamat tinggal, karena itu berilah wasiat kepada kami.” Beliau pun bersabda:
“Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah, untuk mendengar dan taat, walaupun yang memerintah kalian itu seorang budak. Dan barangsiapa di antara kalian yang masih hidup sepeninggalku, niscaya dia akan melihat perselisihan yang banyak. Karena itu wajib atas kalian untuk berpegang dengan Sunnahku dan Sunnah Al-Khulafa` Ar-Rasyidin yang mendapatkan petunjuk. Pegang erat-erat sunnah itu dengan gigi geraham kalian. Dan hati-hati kalian dari perkara-perkara baru, karena setiap perkara baru (bid’ah) itu sesat.” (HR. Abu Dawud no. 3991, At-Tirmidzi no. 2676 dan Ibnu Majah no. 42)
Penjelasan Hadits
Al-Hafidz Abu Nu‘aim berkata: “Hadits ini jayyid (bagus), termasuk hadits yang shahih dari periwayatan orang-orang Syam.” Beliau juga mengatakan: “Al-Bukhari dan Muslim meninggalkan hadits ini (yakni tidak memuat dalam kitab shahih mereka) bukan karena mengingkarinya.”
Al-Hakim menyatakan, Al-Bukhari dan Muslim meninggalkan penyebutan hadits ini disebabkan anggapan yang keliru dari keduanya bahwa tidak ada seorang rawi pun yang meriwayatkan dari Khalid bin Ma’dan kecuali Ats-Tsaur bin Yazid, padahal sebenarnya ada perawi lain yang meriwayatkan dari Khalid seperti Buhair bin Sa’d, Muhammad bin Ibrahim At-Taimi dan selain keduanya.
Namun pernyataan Al-Hakim ini dijawab oleh Al-Hafidz Ibnu Rajab: “Sebenarnya hal ini tidaklah seperti persangkaan Al-Hakim. Adapun Al-Bukhari dan Muslim tidak mengambil hadits ini karena hadits ini tidak memenuhi syarat mereka berdua di dalam kitab shahihnya, di mana Al-Bukhari dan Muslim sama sekali tidak mengeluarkan dalam shahihnya riwayat dari Abdurrahman bin ‘Amr As-Sulami dan dari Hujr Al-Kala’i. Dan juga dua orang rawi yang disebut ini tidaklah terkenal (masyhur) dalam keilmuan dan periwayatan hadits.”
Adapun Abdurrahman As-Sulami, salah seorang perawi dalam hadits ini, maka ia masturul hal (keadaannya tidak diketahui), walaupun telah meriwayatkan darinya jama’ah (sekelompok orang) namun tidak ada seorang alim yang mu’tabar (teranggap dan diakui keilmuannya) yang men-tsiqah-kannya (menganggapnya terpercaya). Ibnul Qaththan Al-Fasi men-dha’if-kan (melemahkan) hadits ini karena hal tersebut.
Demikian pula dengan Hujr bin Hujr Al-Kala’i, tidak ada yang meriwayatkan darinya kecuali Khalid bin Ma‘dan dan tidak ada seorang alim yang mu’tabar yang men-tsiqah-kannya, sehingga ia dinyatakan majhulul ‘ain (rawi yang tidak dikenal). Ibnul Qaththan berkata: “Orang ini tidak dikenal.” Namun sebagaimana kata Al-Imam Al-Hakim di atas, hadits ini diriwayatkan juga dari selain mereka berdua dan disebutkan jalan-jalannya yang saling menguatkan satu dengan lainnya oleh Al-Hafidz Ibnu Rajab dalam kitabnya Jami’ul ‘Ulum, maka hadits ini hasan. Penghasanan hadits ini dinyatakan oleh Syaikhuna Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i t, walaupun ada sebagian ulama yang menshahihkannya, sehingga mereka bersepakat bahwa hadits ini bisa dijadikan sebagai hujjah (dalil atau argumen), kecuali Ibnul Qaththan Al-Fasi yang men-dha’if-kan hadits ini. (As-Sunnah, Ibnu Abi ‘Ashim, no. 27, Ash-Shahihul Musnad, 2/71, Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, 2/110, Mizanul I’tidal, 2/207, Tahdzibut Tahdzib, 2/188, 6/215)
Kandungan Hadits
Allah Subhanahu wa Ta‘ala memerintahkan kepada Nabi-Nya:
“Berilah nasehat kepada mereka dan katakanlah kepada mereka ucapan yang bisa dipahami, mengena dan menancap di jiwa-jiwa mereka.” (An-Nisa`: 63)
Nabi shalallahu‘alaihi wa sallam memiliki sifat selalu memberikan bimbingan kepada jalan yang lurus terhadap siapa saja dari kalangan umatnya, sehingga ketika para shahabatnya meminta agar beliau memberikan nasehat maka beliau pun memenuhinya diiringi dengan hikmah.
Rasulullah shalallahu‘alaihi wa sallam ketika menyampaikan nasehat senantiasa memilih kata-kata yang tepat, lafadz yang indah, mengena di hati dan menancap dengan dalam. Beliau tidak menyampaikan nasehat dengan kalimat yang panjang lagi bertele-tele, namun cukup dengan kalimat yang ringkas namun mencakup dan dimengerti. Karena itulah beliau dikenal oleh para shahabatnya sebagai orang yang memiliki jawami’ul kalim (perkataan yang ringkas namun padat). Sebagaimana sabda beliau shalallahu‘alaihi wa sallam:
“Aku diutus dengan jawami’ul kalim.” (HR. Al-Bukhari no. 2977 dan Muslim no. 523)
‘Ammar bin Yasir radhiyallahu ‘anhu pernah menyampaikan khutbah dengan ringkas dan dipenuhi dengan kata-kata yang tepat, ibarat yang indah dan menancap di hati. Seusai khutbah, ada seseorang yang menegurnya. Maka ‘Ammar pun menanggapi dengan jawaban yang tepat: “Aku mendengar Rasulullah shalallahu‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sesungguhnya panjangnya shalat seseorang dan ringkasnya khutbahnya merupakan tanda kefaqihannya. Karena itu panjangkanlah shalat dan ringkaskanlah khutbah. Sesungguhnya di antara penyampaian dan ucapan, ada yang membuat orang tersihir.” (HR. Muslim no. 869)
Nasehat yang disampaikan oleh Rasulullah shalallahu‘alaihi wa sallam ketika itu sangatlah menancap di hati para shahabatnya hingga hati mereka bergetar dan air mata mereka pun berlinang karenanya. Inilah sifat kaum mukminin tatkala mendengar nasehat dari Allah dan Rasul-Nya, sebagaimana firman-Nya:
“Hanyalah yang dikatakan orang-orang beriman itu adalah mereka yang ketika disebut nama Allah bergetar hati-hati mereka.” (Al-Anfal: 2)
“Dan apabila mereka mendengar apa yang diturunkan kepada Rasul, engkau akan melihat mereka berlinangan air mata karena apa yang mereka ketahui dari kebenaran.” (Al-Ma`idah: 83)
Demikianlah nasehat Rasulullah shalallahu‘alaihi wa sallam, yang seolah-olah beliau akan pergi meninggalkan mereka dengan memberikan nasehat perpisahan. Sebagaimana yang telah diketahui, orang yang akan pergi jauh tidak akan meninggalkan sesuatu yang penting kecuali disampaikan dan dipesankannya. (Tuhfatul Ahwadzi, 7/366, ‘Aunul Ma’bud, 12/234)
Setelah mendengar nasehat Rasulullah shalallahu‘alaihi wa sallam, para shahabat pun khawatir mereka tidak akan bertemu lagi dengan Rasulullah setelahnya, sehingga untuk menyempurnakan nasehat yang ada, mereka meminta wasiat beliau seraya berkata: “Wahai Rasulullah, seakan-akan ini nasehat orang yang akan berpisah, karena itu berilah wasiat kepada kami.” Beliau pun memberikan wasiat, di antaranya:
Wasiat untuk Takwa kepada Allah
Ahlul ilmi mengatakan bahwa takwa merupakan pokok kebaikan dan inti dari segala perkara. Seluruh seruan kepada pintu kebaikan maupun larangan kepada kejelekan terkumpul dalam kalimat takwa ini.
Takwa ini pula merupakan wasiat Allah Subhanahu wa Ta‘ala kepada orang-orang terdahulu maupun yang belakangan, sebagaimana dalam firman-Nya:
“Sungguh Kami telah mewasiatkan kepada orang-orang yang diberikan Al Kitab sebelummu dan juga kepada kalian agar bertakwa kepada Allah.” (An-Nisa`: 131)
Kita diperintah oleh Allah Subhanahu wa Ta‘ala untuk berbekal dengannya sebagaimana firman-Nya:
“Berbekallah kalian, maka sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa.” (Al-Baqarah: 197)
Oleh karena itu terkumpul dalam takwa ini kebaikan dunia dan akhirat.
Wasiat untuk Mendengar dan Taat
Yang dimaksud dengan mendengar dan taat oleh beliau shalallahu‘alaihi wa sallam di sini adalah kepada para pemimpin kaum muslimin, karena taat kepada mereka akan membawa kepada kebahagiaan dunia dan akhirat. Di mana dengan menaati mereka akan baiklah kehidupan orang-orang yang dipimpin (rakyat) dan menjadi amanlah negeri, di samping juga dapat membantu menegakkan agama mereka.
Hal ini merupakan kewajiban agama karena Allah telah berfirman:
“Taatlah kalian kepada Allah dan taatlah kalian kepada Rasulullah dan kepada pemimpin di antara kalian.” (An-Nisa`: 59)
Kewajiban mendengar dan taat ini tetap berlaku bahkan ketika yang menjadi pemimpin itu seorang budak sekalipun. Rasulullah shalallahu‘alaihi wa sallam pernah berpesan: “Tetaplah kalian mendengar dan taat, sekalipun yang memimpin kalian itu seorang budak Habasyah (Ethiopia) yang rambutnya seperti kismis.” (HR. Al-Bukhari dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu no. 7142 dan Muslim dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu no. 648)
Al-Imam Ibnu Daqiqil ‘Ied t menyatakan bahwa sebagian ulama berkata: “Seorang budak tidak bisa menjadi pemimpin, akan tetapi penyebutan pemimpin dari kalangan budak dalam hadits ini hanyalah sekedar permisalan walaupun tidak mungkin terjadi, sama halnya dengan sabda Nabi shalallahu‘alaihi wa sallam: “Siapa yang membangun masjid untuk Allah walaupun besarnya hanya seperti sarang burung maka Allah akan membangunkan untuknya sebuah rumah di jannah (surga).” Dan telah diketahui bahwa ukuran sarang burung tidak mungkin dapat digunakan oleh manusia sebagai masjid, akan tetapi di sini hanya didatangkan sebagai permisalan.”
Dimungkinkan pula di sini Nabi shalallahu‘alaihi wa sallam ingin mengabarkan rusaknya perkara apabila diserahkan urusan kepada selain ahlinya, sampai akhirnya kepemimpinan diserahkan kepada seorang budak (yang dia bukan ahlinya). Sehingga andaikan permisalan yang disebutkan itu terjadi, tetaplah kalian mendengar dan taat (dalam rangka menolak kemudharatan yang lebih besar walaupun) terpaksa menempuh kemudharatan yang lebih ringan di antara dua kemudharatan yang ada, dengan bersabar atas kepemimpinan seseorang yang sebenarnya tidak boleh menjadi pemimpin. Yang mana apabila membangkang kepadanya akan mengantarkan kepada fitnah yang besar.” (Syarhul Arba’in An-Nawawiyyah, hal. 75)
Tentunya ketaatan kepada pemimpin itu jika dia muslim dan sebatas dalam perkara yang ma’ruf (kebaikan), tanpa melanggar hak Allah Subhanahu wa Ta‘ala, karena Rasulullah shalallahu‘alaihi wa sallam bersabda: “Ketaatan itu hanyalah dalam perkara kebaikan.” (HR. Al-Bukhari no. 4340 dan Muslim no. 1840)
Wasiat untuk Berpegang Teguh dengan As Sunnah
Nabi shalallahu‘alaihi wa sallam, mengatakan: “Siapa di antara kalian yang masih hidup sepeninggalku niscaya dia akan melihat perselisihan yang banyak. Karena itu wajib atas kalian untuk berpegang dengan Sunnahku dan Sunnah Al-Khulafa` Ar-Rasyidin yang mendapatkan petunjuk. Gigit/pegang erat-erat sunnah itu dengan gigi geraham kalian.”
Ini merupakan salah satu tanda di antara tanda-tanda kenabian beliau shalallahu‘alaihi wa sallam, di mana beliau mengabarkan kepada para shahabatnya tentang perkara yang akan datang sepeninggalnya, yakni akan terjadi perselisihan yang banyak di kalangan umat beliau. Hal ini sesuai dengan pengabaran beliau bahwasanya umat ini akan berpecah belah menjadi lebih dari 70 golongan, semuanya masuk an-naar (neraka) kecuali satu yang selamat yaitu mereka yang berpegang dengan apa yang dipegangi oleh Rasulullah shalallahu‘alaihi wa sallam dan para shahabatnya. (Shahih Sunan At-Tirmidzi, no. 2129)
Karena itulah, sebagai bahtera penyelamat dari gelombang perselisihan dan perpecahan ini adalah berpegang teguh dengan Sunnah beliau dan para Al-Khulafa` Ar-Rasyidin. Saking kuatnya keharusan berpegang tersebut hingga diibaratkan seperti menggigit dengan geraham (Jami’ul ‘Ulum, 2/126). Ditambahkan oleh Syaikhul Islam bahwa dikhususkannya penyebutan geraham dalam hadits ini karena gigitan gigi geraham ini sangat kokoh. (Majmu’ Fatawa, 22/225)
Kata Al-Imam As-Sindi t: “Hal ini menunjukkan keharusan untuk bersabar terhadap kepayahan yang menimpanya di jalan Allah, sebagaimana yang harus dihadapi orang yang sakit terhadap derita yang menimpanya dari sakitnya.” (Syarah Ibnu Majah, Al-Imam As-Sindi)
Adapun sunnah yang dimaksudkan dalam sabda Nabi shalallahu‘alaihi wa sallam ini adalah jalan hidup beliau yang lurus dan jelas. (Syarhul Arba’in, hal. 75)
Selain mengikuti Sunnah beliau, diperintahkan pula setelahnya untuk memegangi sunnah Al-Khulafa` Ar-Rasyidin dan mereka yang dimaksud di sini adalah Abu Bakr, Umar, Utsman dan Ali g, kata Ibnu Daqiqil ‘Ied. Para khalifah ini disifatkan dengan Ar-Rasyidin karena mereka mengetahui, mengenali kebenaran dan memutuskan dengannya. Mereka adalah Al-Mahdiyyin karena Allah telah memberi petunjuk mereka kepada kebenaran dan tidak menyesatkan mereka dari kebenaran tersebut. (Syarhul Arba’in, hal. 75, Jami’ul ‘Ulum, 1/127)
Nabi shalallahu‘alaihi wa sallam menggandengkan Sunnah Al-Khulafa` Ar-Rasyidin dengan Sunnah beliau karena para khalifah ini tatkala menetapkan sunnah bisa jadi mengikuti Sunnah Nabi itu sendiri, dan bisa pula mereka mengikuti apa yang mereka pahami dari Sunnah Nabi secara global dan rinci, yang mana perkara tersebut tersembunyi bagi yang lainnya. (Al-I’tisham, 1/118)
Al-Imam Asy-Syaukani t dalam Al-Fathur Rabbani mengatakan: “Sunnah adalah jalan yang ditempuh, sehingga seakan-akan Nabi shalallahu‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Tempuhlah jalanku dan jalan Al-Khulafa` Ar-Rasyidin’. Jalan Al-Khulafa` Ar-Rasyidin di sini sama dengan jalan Rasulullah karena mereka merupakan orang yang paling bersemangat dalam berpegang dengan Sunnah beliau dan mengamalkannya dalam segala perkara. Bagaimanapun keadaannya, mereka sangatlah berhati-hati dan menjaga diri agar tidak sampai jatuh ke dalam perkara yang menyelisihi Rasulullah shalallahu‘alaihi wa sallam, sekalipun dalam perkara yang terbilang kecil, terlebih lagi dalam perkara yang besar.”
Beliau kemudian melanjutkan: “Faidah minimal dari hadits ini adalah ra`yu (pendapat) yang bersumber dari mereka adalah lebih utama dari pendapat orang selain mereka, sekalipun ternyata setelah ditinjau kembali hal itu merupakan Sunnah Rasulullah, dan juga lebih baik daripada tidak ada dalil.” (Dinukil dari Tuhfatul Ahwadzi, 7/367)
Wasiat untuk Berhati-hati dari Bid’ah
Ucapan Nabi shalallahu‘alaihi wa sallam: “Hati-hati kalian dari perkara-perkara baru”, merupakan peringatan kepada umat beliau dari perkara baru yang diada-adakan lalu disandarkan kepada agama sementara perkara tersebut tidak ada asalnya sama sekali di dalam syariat ini. Dan beliau tekankan lagi peringatan beliau ini dengan sabdanya: “karena setiap bid’ah itu sesat”.
Adapun ucapan para ulama yang menganggap baik sebagian bid’ah maka kembalinya hal tersebut kepada pengertian bid’ah secara bahasa bukan bid’ah menurut syariat. Seperti perkataan ‘Umar radhiyallahu ‘anhu ketika melihat kaum muslimin shalat tarawih berjamaah dipimpin seorang imam, ia berucap: “Sebaik-baik bid’ah adalah perbuatan ini.”
Shalat tarawih berjamaah ini bukanlah bid’ah dalam pengertian syar’i karena perbuatan ini telah ada asalnya dalam syariat, di mana Nabi shalallahu‘alaihi wa sallam pernah melakukannya bersama para shahabat selama beberapa malam dari malam-malam Ramadhan. Adapun ‘Umar hanya menghidupkannya kembali setelah Nabi shalallahu‘alaihi wa sallam tidak melanjutkan pelaksanaannya karena khawatir perkara tersebut akan diwajibkan kepada umat beliau, sementara mungkin ada di antara mereka yang tidak mampu melaksanakannya.
Faidah Hadits:
- Keharusan bagi hati untuk tunduk ketika mendengarkan nasehat agama
- Anjuran untuk menyampaikan wasiat yang bermanfaat untuk dunia dan akhirat ketika hendak berpisah
- Ketika dimintai nasehat, hendaknya tidak luput dari memberikan nasehat untuk bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta‘ala
- Keharusan untuk mendengar dan taat kepada pemimpin muslim, selama tidak bermaksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta‘ala
- Tidak boleh keluar/memberontak dari pemimpin kaum muslimin sekalipun pemimpin itu sebenarnya tidak pantas menduduki jabatannya
- Berita dari Rasulullah shalallahu‘alaihi wa sallam tentang kepastian terjadinya perselisihan dan perpecahan di tengah umat beliau
- Keharusan berpegang teguh dengan Sunnah salaf kita yang shalih, dan ini merupakan kunci keselamatan ataupun bahtera penyelamat
- Tingginya kedudukan Al-Khulafa` Ar-Rasyidun
- Apa yang terjadi pada umat beliau sepeninggal beliau merupakan bukti dan saksi tentang kebenaran berita yang beliau sampaikan
- Peringatan dari perkara yang diada-adakan (bid’ah) dalam agama
Hadits ini merupakan pokok yang agung untuk menetapkan kebenaran manhaj salaf.
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
Sumber: Majalah Asy Syariah