NASEHAT FUDHAIL BIN IYADH KEPADA KHALIFAH HARUN AR-RASYID

NASEHAT FUDHAIL BIN IYADH KEPADA KHALIFAH HARUN AR-RASYID

Al-Fudhail bin Ar-Rabi’ menceritakan:

Amirul Mu’minin Harun Ar-Rasyid pergi ke Mekkah untuk melaksanakan haji, lalu beliau datang kepada saya, maka saya pun segera keluar menyambutnya, lalu saya katakan: “Wahai Amirul Mu’minin, kenapa Anda tidak mengutus seseorang agar saya datang kepada Anda?”

Beliau menjawab: “Celaka engkau, aku merasakan kegelisahan dalam hatiku, maka lihatlah seseorang yang bisa aku mintai nasehat!”

Maka saya jawab: “Di sini (Mekkah –pent) ada Sufyan bin Uyainah.”

Beliau menjawab: “Ayo kita pergi kepadanya!”

Maka kami pun mendatanginya lalu saya mengetuk pintunya, dia bertanya dari dalam: “Siapa ini?”

Saya jawab: “Sambutlah Amirul Mu’minin.”

Maka dia pun segera keluar sambil berkata: “Wahai Amirul Mu’minin, kenapa Anda tidak mengutus seseorang agar saya datang kepada Anda?”

Beliau menjawab: “Penuhilah keperluan kami, semoga Allah merahmatimu.”

Maka Sufyan bin Uyainah pun berbicara dengan beliau beberapa saat, lalu beliau bertanya kepadanya: “Apakah engkau memiliki tanggungan hutang?”

Dia menjawab: “Ya.”

Maka beliau berkata kepada saya: “Wahai Abul Abbas, lunasilah hutangnya!”

Ketika kami telah keluar dari rumahnya, Amirul Mu’minin berkata: “Shahabatmu itu sama sekali tidak memberiku manfaat, maka lihatlah seseorang yang bisa aku mintai nasehat!”

Maka saya jawab: “Di sini ada Abdur Razzaq bin Hamam.”

Beliau menjawab: “Ayo kita pergi kepadanya!” Maka kami pun mendatanginya lalu saya mengetuk pintunya, dia bertanya dari dalam: “Siapa ini?”

Saya jawab: “Sambutlah Amirul Mu’minin.”

Maka dia pun segera keluar sambil berkata: “Wahai Amirul Mu’minin, kenapa Anda tidak mengutus seseorang agar saya datang kepada Anda?” Beliau menjawab: “Penuhilah keperluan kami, semoga Allah merahmatimu.”

Maka Abdur Razzaq bin Hamam pun berbicara dengan beliau beberapa saat, lalu beliau bertanya kepadanya: “Apakah engkau memiliki tanggungan hutang?” Dia menjawab: “Ya.” Maka beliau berkata kepada saya: “Wahai Abul Abbas, lunasilah hutangnya!”

Ketika kami telah keluar dari rumahnya, Amirul Mu’minin berkata: “Shahabatmu itu sama sekali tidak memberiku manfaat, maka lihatlah seseorang yang bisa aku minta nasehat!”

Maka saya jawab: “Di sini ada Al-Fudhail bin Iyadh.”

Beliau menjawab: “Ayo kita pergi kepadanya!”

Maka kami pun mendatanginya, ternyata dia sedang mengerjakan shalat dan membaca sebuat ayat Al-Qur’an yang dia baca berulang-ulang, lalu saya mengetuk pintunya, dia bertanya dari dalam: “Siapa ini?”

Saya jawab: “Sambutlah Amirul Mu’minin.”

Maka dia menjawab: “Apa urusan saya dengan Amirul Mu’minin?!”

Maka saya pun menimpali: “Subhanallah, bukankah Anda wajib ta’at, bukankah telah diriwayatkan dari Nabi shallallahu alaihi was sallam bahwa beliau bersabda:

لَيْسَ لِلْمُؤْمِنِ أَنْ يُذِلَّ نَفْسَهَ

“Seorang mu’min tidak boleh merendahkan dirinya sendiri.”
(Lihat: Sislilah Ash-Shahihah, no. 613 –pent)

Maka Fudhail pun membuka pintu, kemudian masuk kembali ke dalam kamarnya lalu mematikan lampu, setelah itu dia menuju ke salah satu sudut rumahnya. Maka kami pun masuk sambil meraba-raba dengan tangan kami. Maka tangan Amirul Mu’minin lebih dahulu menyentuh tangan Fudhail.

Dia pun berkata: “Duhai betapa lembutnya tangan ini jika besok bisa selamat dari adzab Allah Ta’ala.”

Saya berkata dalam hati: “Sungguh dia akan berbicara kepada beliau malam ini dengan perkataan yang muncul dari hati yang bersih.”

Maka Amirul Mu’minin berkata: “Penuhilah keperluan kami, semoga Allah merahmatimu.”

Fudhail menjawab: “Sesungguhnya Umar bin Abdul Aziz ketika diangkat menjadi khalifah, beliau mengundang Salim bin Abdillah bin Umar, Muhammad bin Ka’ab Al-Qurazhy dan Raja’ bin Haiwah, lalu beliau berkata kepada mereka:
“Sesungguhnya aku mendapatkan ujian dengan perkara ini (khilafah –pent), maka berilah aku nasehat!”

Maka Salim bin Abdillah berkata: “Jika Anda besok ingin selamat dari adzab Allah, maka berpuasalah dari dunia dan jadikan berbuka Anda darinya dengan kematian!”

Kemudian Muhammad bin Ka’ab mengatakan: “Jika Anda besok ingin selamat dari adzab Allah, maka jadikanlah orang tua dari kaum Muslimin sebagai ayah bagi Anda, yang sebaya sebagai saudara, dan yang lebih muda dari mereka sebagai anak bagi Anda. Jadi hormatilah ayah Anda, muliakanlah saudara Anda, dan sayangilah anak Anda!”

Lalu giliran Raja’ bin Haiwah berkata: “Jika Anda besok ingin selamat dari adzab Allah, maka cintailah kebaikan bagi kaum Muslimin seperti yang Anda cintai bagi diri Anda sendiri, dan bencilah keburukan atas mereka sebagaimana Anda membenci jika hal itu menimpa Anda. Kemudian meninggallah jika Anda menginginkan!”

Adapun saya maka sesungguhnya saya mengatakan kepada Anda bahwa saya benar-benar mengkhawatirkan keselamatan Anda pada hari (kiamat –pent) ketika kaki-kaki tergelincir, maka apakah Anda –semoga Allah merahmati Anda– memiliki orang-orang yang menasehati Anda dengan nasehat semacam ini?”

Maka Amirul Mu’minin menangis tersedu-sedu hingga jatuh pingsan.

Lalu saya pun berkata kepada Fudhail: “Bersikap lembutlah kepada Amirul Mu’minin, wahai Ibnu Ummir Rabi’, karena Anda dan shahabat Anda bisa membunuh beliau, dan saya juga akan bersikap lembut kepada beliau.”

Ketika Amirul Mu’minin telah sadar, beliau berkata kepada Fudhail: “Tambahlah nasehat kepadaku, semoga Allah merahmatimu!”

Maka Fudhail menjawab: “Wahai Amirul Mu’minin, telah sampai kepada saya bahwa salah seorang gubernur Umar bin Abdul Aziz pernah mengeluh kepada beliau, maka beliau menulis surat kepadanya yang berbunyi: “Wahai saudaraku, aku ingatkan engkau dengan Allah sepanjang lamanya penduduk neraka tidak bisa tidur sepanjang malam di samping kekekalan abadi. Dan jangan sampai malaikat yang ada di sisi Allah mengusirmu dari sisi-Nya sehingga akhir keadaanmu adalah keputusasaan!” Setelah membaca surat itu, maka gubernur tersebut menghadap kepada Umar bin Abdul Aziz, lalu beliau pun bertanya kepadanya: “Kenapa engkau datang kemari?”

Dia menjawab: “Anda telah mencabut hati saya dengan surat Anda, maka saya tidak mau lagi mengurusi sebuah wilayah pun hingga saya berjumpa dengan Allah Azza wa Jalla.”

Maka Amirul Mu’minin menangis tersedu-sedu, lalu beliau berkata kepada Fudhail: “Tambahlah nasehat kepadaku, semoga Allah merahmatimu!”

Fudhail menjawab: “Wahai Amirul Mu’minin, sesungguhnya Al-Abbas paman Al-Musthafa (Rasulullah –pent) shallallahu alaihi was sallam pernah datang kepada Nabi shallallahu alaihi was sallam lalu berkata: “Wahai Rasulullah, angkatlah saya menjadi pemimpin?”

Maka Nabi shallallahu alaihi was sallam bersabda kepadanya:

إِنَّ الإِمَارَةَ حَسْرَةٌ وَنَدَامَةٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، فَإِنِ اسْتَطَعْتَ أَنْ لَا تَكُوْنَ أَمِيْرًا فَافْعَلْ

“Sesungguhnya kepemimpinan akan menjadi penyesalan pada hari kiamat nanti, maka jika engkau mampu untuk tidak menjadi pemimpin, lakukanlah!”
(Lihat: Shahih Al-Bukhary, no. 174 –pent)

Maka Amirul Mu’minin menangis tersedu-sedu, lalu beliau berkata kepada Fudhail: “Tambahlah nasehat kepadaku, semoga Allah merahmatimu!”

Fudhail menjawab: “Wahai yang berwajah bagus, Andalah yang akan ditanya oleh Allah tentang hamba-hamba-Nya pada hari kiamat nanti, maka jika Anda mampu untuk bisa menjaga wajah ini dari neraka, jangan sampai Anda memasuki waktu pagi dan sore dalam keadaan di hati Anda terdapat pengkhianatan terhadap seorang pun dari rakyat Anda, karena sesungguhnya Nabi shallallahu alaihi was sallam pernah bersabda:

مَنْ أَصْبَحَ غَاشًّا لِرَعِيَّتِهِ لَمْ يَرِحْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ

“Siapa saja yang mengkhinati rakyatnya maka dia tidak akan mencium bau surga.”
(Lihat: Shahih Al-Bukhary, no. 7150 –pent)

Maka Amirul Mu’minin menangis tersedu-sedu, lalu beliau berkata kepada Fudhail: “Apakah engkau memiliki tanggungan hutang?”

Dia menjawab: “Ya, hutang kepada Rabbku yang belum Dia tagih. Maka celaku diriku jika Dia telah menanyakannya kepadaku, celaka diriku jika Dia memperhitungkannya, dan celaka diriku jika aku tidak bisa mengemukakan alasan yang tepat.” Beliau menimpali: “Yang kumaksud adalah hutang kepada hamba-hamba Allah.”

Fudhail menjawab: “Sesungguhnya Rabbku tidak memerintahkanku untuk melakukan hal ini, yang Dia perintahkan kepadaku adalah agar saya mentauhidkan-Nya dan mentaati perintah-Nya. Dia Azza wa Jalla berfirman:

وَما خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُوْنِ. مَا أُرِيْدُ مِنْهُمْ مِنْ رِزْقٍ وَما أُرِيْدُ أَنْ يُطْعِمُوْنِ. إِنَّ اللهَ هُوَ الرَّزَّاقُ ذُوْ الْقُوَّةِ الْمَتِيْنَ

“Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka hanya beribadah kepada-Ku. Aku tidak menghendaki rezeki sedikit pun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi-Ku makan. Sesungguhnya Allah Dialah Maha pemberi rezki yang mempunyai kekuatan lagi sangat kokoh.” (QS. Adz-Dzariyat: 56-58)

Maka Amirul Mu’minin berkata kepadanya: “Ini 1000 dinar, ambillah dan belanjakan untuk kebutuhan keluargamu dan gunakanlah untuk menguatkan ibadahmu.” Fudhail menjawab: “Subhanallah, saya menunjukkan Anda kepada jalan keselamatan, sementara Anda membalasnya dengan yang semacam ini?! Semoga Allah menyelamatkan Anda dan memberi taufik kepada Anda.”
Kemudian dia diam dan tidak berbicara lagi kepada kami. Maka kami pun keluar meninggalkan rumahnya. Ketika kami sampai di pintu, Amirul Mu’minin berkata: “Wahai Abul Abbas, jika engkau menunjukkan seseorang kepadaku maka tunjukkanlah orang yang seperti ini, dialah pemimpin kaum Muslimin yang sebenarnya.”

Tiba-tiba salah seorang istrinya masuk menemuinya seraya berkata: “Suamiku, engkau sering melihat kesempitan hidup yang kita rasakan, sekiranya engkau mau menerima harta ini agar kita mendapatkan kemudahan dengannya.” Maka Fudhail menjawab perkataan istrinya: “Permisalan diriku dan kalian adalah seperti suatu kaum yang memiliki unta yang mereka makan dari hasilnya, tatkala dia telah berkembang biak maka mereka menyembelihnya dan memakan dagingnya.”

Ketika Amirul Mu’minin perkataan tersebut maka beliau berkata: “Masuklah lagi, mudah-mudahan dia mau menerima harta ini.” Ketika Fudhail mengetahui hal tersebut maka dia keluar dan duduk di atas loteng di atas pintu kamar, lalu Amirul Mu’minin ikut duduk di sampingnya dan mengajaknya bicaranya, namun dia sama sekali tidak menjawab beliau. Ketika kami dalam keadaan demikian, tiba-tiba keluarlah seorang budak wanita berkulit hitam seraya berkata: “Anda telah mengganggu ketenangan Syaikh sejak malam, maka pergilah, semoga Allah merahmati Anda!” Maka kami pun pergi meninggalkan mereka.

Al-Muntazham Fii Taarikhil Muluuk wal Umam, 9/149-152.

* Alih bahasa: Abu Almass
Sabtu, 12 Jumaadats Tsaniyah 1435 H

© 1446 / 2024 Forum Salafy Indonesia. All Rights Reserved.
Enable Notifications OK No thanks