MEWASPADAI NIAT DALAM MENAMPAKKAN AL-HAQQ
Al-Imam Adz-Dzahaby -rahimahullah- berkata: “Betapa banyak orang yang berbicara benar dan memerintahkan hal yang ma’ruf, namun Allah menguasakan orang lain yang menyakitinya, hal itu disebabkan niatnya yang buruk dan karena dia senang terhadap kepemimpinan dalam agama. Ini merupakan penyakit tersembunyi yang menjalar pada diri para ahli fikih.”
(Siyar A’lamin Nubala’ 2/192, sebagaimana disebutkan dalam Ash-Shawarif ‘Anil Haqq, karya Muhammad bin Ibrahim Al-Utsman, terbitan Ad-Daarul Atsariyyah, Ammaan, Yordania, cetakan ketiga, tahun 1428 H, hal. 38)
KUNCI PERTOLONGAN ALLAH
Ibnul Qayyim -rahimahullah- berkata: “Seorang hamba selalu berbolak-balik antara ketetapan Allah yang berupa perintah (syariat -pent) dan ketetapan Allah berupa takdir (yang baik dan buruk -pent). Hamba membutuhkan -bahkan sifatnya darurat- pertolongan ketika menjalankan syariat dan membutuhkan kelembutan ketika menjalani takdir. Sejauh mana kesungguhannya dalam menjalankan perintah, maka sebesar itu pula kelembutan yang akan dia dapatkan ketika menghadapi takdir.”
(Al-Fawaa’id, terbitan Daarul ‘Aalamil Fawaa’id hal. 293)
SEDIKITNYA ORANG YANG SELAMAT DARI LISANNYA
Ibnul Qayyim -rahimahullah- berkata: “Termasuk hal yang mengherankan bahwa seseorang ada yang mudah baginya untuk menjaga diri dan menahan diri dari memakan sesuatu yang haram, kezhaliman, zina, mencuri, minum khamer, melihat yang haram dan selainnya, namun sulit baginya untuk mengendalikan gerakan lisannya. Sampai-sampai engkau melihat seseorang yang dianggap baik agamanya, zuhud dan banyak ibadah, namun dia berbicara dengan ucapan yang dimurkai Allah tanpa mempedulikan akibatnya. Dengan satu kalimat saja dia tergelincir ke dalam jurang yang dalamnya lebih jauh dari jarak antara timur dan barat. Betapa banyak engkau melihat orang yang sangat berhati-hati dari perbuatan keji dan zhalim, namun lisannya suka menodai kehormatan orang-orang yang masih hidup maupun yang telah mati tanpa mempedulikan apa yang dia ucapkan.”
(Al-Jawaabul Kaafy, terbitan Daar ‘Aalamil Fawaa’id, hal. 366)
KENAPA IBADAH TERASA HAMPA
Dzun Nuun Al-Mishry -rahimahullah- berkata: “Rusaknya badan karena penyakit, sedangkan rusaknya hati karena dosa. Maka sebagaimana kelezatan makanan tidak terasa ketika seseorang sakit, demikian pula hati tidak akan merasakan manisnya ibadah karena dosa-dosa.”
(Ad-Dunyaa Zhillun Zaa’il, karya Abdul Malik Al-Qasim, hal. 75)
ADAB DAN KEHATI-HATIAN DALAM BERFATWA
Suhnun Abdus Salam bin Habib At-Tanukhy -rahimahullah- pernah ditanya: “Apakah seorang ulama boleh mengatakan “saya tidak tahu” pada perkara-perkara yang sebenarnya dia ketahui?”
Beliau menjawab: “Adapun pada perkara yang ada dalilnya yang jelas dari Al-Qur’an dan As-Sunnah yang shahih maka tidak boleh mengatakan “tidak tahu”, adapun yang hanya berdasarkan pendapat maka hal itu boleh baginya, karena dia tidak tahu apakah pendapatnya itu benar ataukah salah.”
(Hayaatus Salaf, hal. 623)
SAMPAI KAPAN KITA AKAN MENGGHIBAHI SAUDARA KITA
Khalid Ar-Raba’iy -rahimahullah- bercerita: “Saya masuk masjid lalu duduk bersama orang-orang, ketika mereka membicarakan aib seseorang maka saya larang mereka sehingga mereka pun berhenti membicarakannya. Kemudian mereka membicarakan pembicaraan yang lain hingga tanpa sadar kembali membicarakan aib orang tadi, maka saya pun tanpa sadar sedikit ikut nimbrung membicarakannya. Pada malam harinya saya bermimpi melihat sesuatu berwarna hitam yang menyerupai seorang laki-laki namun tubuhnya sangat tinggi sedang membawa nampan terbalik berwarna putih berisi daging babi. Dia berkata: “Makanlah!” Saya jawab: “Demi Allah, saya tidak akan memakan daging babi.” Maka dia memegang tengkuk saya dan mengatakan: “Makanlah!” Lalu dia membentak saya dengan keras dan menjejalkan daging babi tersebut ke dalam mulut saya. Maka saya mengunyahnya dan tidak menelannya, dan ingin saya muntahkan. Ketika itulah saya terbangun. Selama 30 hari dan 30 malam tidaklah saya memakan sebuah makanan kecuali saya masih merasakan rasa dan bau daging babi tersebut di mulut saya.”
(Hayaatus Salaf, hal. 607)
HATI-HATI DALAM BERBICARA
Seorang badui datang kepada Al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakr -rahimahullah- lalu bertany:, “Apakah engkau yang lebih berilmu ataukah Salim (bin Abdullah bin Umar -pent)?”
Beliau hanya menjawab: “Itu rumah Salim.”
Beliau tidak menjawab lebih dari itu hingga orang badui tersebut pergi. Beliau tidak suka untuk mengatakan, “Salim lebih berilmu dibandingkan diriku.” Karena khawatir berdusta secara tidak sengaja. Beliuu juga tidak suka untuk mengatakan, “Saya lebih berilmu dibandingkan dia.” Karena beliau tidak ingin mentazkiyah dirinya sendiri.
(Hayaatus Salaf, hal. 618)
TAWADHU DAN KEMULIAAN AL-IMAM AHMAD
Ali bin Abi Fazaarah bercerita: “Dahulu ibuku menderita lumpuh selama 20 tahun, maka suatu hari beliau berkata, “Pergilah kepada Ahmad bin Hanbal dan mintalah agar beliau mendoakan agar aku sembuh!” Saya pun mendatangi beliau. Ketika saya mengetuk pintu, beliau ternyata ada di gang rumahnya. Beliau bertanya, “Siapa ini?” Saya jawab, “Saya orang yang disuruh oleh ibunya yang lumpuh agar meminta doa kepada Anda.” Maka saya mendengar jawaban beliau seperti perkataan orang yang marah dengan mengatakan, “Kami lebih butuh untuk engkau berdoa kepada Allah untuk kami.” Maka saya pun pergi. Tiba-tiba ada seorang wanita lanjut usia yang muncul seraya berkata, “Ketika engkau meninggalkan beliau, dia akan mendoakan untuk ibumu.” Maka saya pun pulang ke rumah dan mengetuk pintu, ternyata ibu saya yang keluar membukakan pintu karena sudah bisa berjalan.”
(Siyar A’lamin Nubala’, terbitan Mu’asassah Ar-Risalah, 11/211-212)
ORANG DI ZAMAN INI -KECUALI YANG DIRAHMATI ALLAH- MENGANGGAP MUSIBAH KETIKA ADA ORANG LAIN YANG MEMBUTUHKAN BANTUAN
Hakim bin Hizam -radhiyallahu anhu- berkata: “Tidaklah aku masuk waktu pagi dalam keadaan tidak mendapati di depan pintu rumahku orang yang memerlukan bantuan, kecuali aku mengetahui bahwa hal itu termasuk musibah yang aku memohon kepada Allah agar memberiku pahala atasnya.”
(Siyar A’lamin Nubala’, 3/51, sebagaimana disebutkan dalam kitab Ma’aalim Fii Thalabil Ilmi, karya Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Muhammad As-Sadhan, terbitan Daarul Ashimah, cetakan ke-6, tahun 1433 H, hal. 151)
KEBANYAKAN MANUSIA MEREMEHKAN HAK TETANGGA
Ibnu Umar -radhiyallahu anhuma- berkata: “Sungguh kami telah melewati sebuah zaman (zaman Rasulullah -pent) yang ketika itu tidak ada seorang pun yang lebih berhak mendapatkan dinar dan dirhamnya dari saudaranya sesama muslim, kemudian sekarang dinar dan dirham lebih dicintai oleh salah seorang dari kita dibandingkan saudaranya sesama muslim. Padahal saya pernah mendengar Nabi -shalallahu alaihi was sallam- bersabda: “Betapa banyak pada hari kiamat nanti seorang tetangga akan memegangi tetangganya seraya mengatakan, “Ya Rabbi, tetanggaku ini sengaja menutup pintu rumahnya dariku agar dia bisa menahan kebaikannya dariku.”
(Al-Adab Al-Mufrad, terbitan Daarus Shiddiq, cetakan ke-2, hal. 49, hadits no. 111. Al-Albany -rahimahullah- berkata dalam Ash-Shahihah no. 2646: “Hasan lighairih.” Sedangkan Syaikhuna Muhammad Al-Imam -hafizhahullah berkata pada dars Al-Adabul Mufrad tadi malam, Sabtu, 8 Jumadal Ula 1435: “Atsar Ibnu Umar shahih, sedangkan haditsnya hasan.”)
BANYAK IBADAH, TAPI MASUK NERAKA!!!
Rasulullah -shallallahu alaihi was sallam- pernah ditanya: “Wahai Rasulullah, bagaimana dengan si fulanah yang selalu mengerjakan shalat malam dan banyak puasa di siang hari, melakukan berbagai kebaikan dan suka bersedekah, tetapi dia suka menyakiti tetangganya dengan ucapannya?” Beliau menjawab: “Tidak ada kebaikan padanya, dia termasuk penduduk neraka.” Para shahabat bertanya lagi: “Sedangkan si fulanah yang lain dia hanya mengerjakan shalat wajib dan mampunya hanya bersedekah dengan keju sedikit saja, namun dia tidak pernah menyakiti seorang pun?” Beliau menjawab: “Dia termasuk penduduk syurga.”
(Shahih Al-Adab Al-Mufrad, terbitan Maktabah Ad-Daliil, cetakan ke-4, hal. 69-70, hadits no. 88)
JANGAN CONGKAK DAN TERTIPU DENGAN ILMUMU!!!
Sa’id Az-Zubaidy -rahimahullah- berkata: “Aku tidak suka para penghafal Al-Qur’an yang suka tertawa terbahak-bahak, juga yang jika aku menjumpainya dengan wajah ceria, dia justru menyambutku dengan muka masam, karena dia merasa memiliki kelebihan dan jasa atasku karena ilmu dan ibadahnya. Semoga Allah tidak memperbanyak penghafal Al-Qur’an yang modelnya seperti ini.”
(Mukhtashar Qiyaamil Lail, karya Al-Marwazy, hal. 57, sebagaimana disebutkan dalam kitab Ma’alim Fii Thalabil Ilmi, terbitan Daarul Aashimah, cetakan ke-6, hal. 147)
SALING BERBAIK SANGKA KEPADA SAUDARANYA
Dikisahkan bahwa Putri Abdullah bin Muthi’ berkata kepada suaminya yaitu Thalhah bin Abdurrahman bin Auf: “Aku tidak melihat kaum yang lebih hina dibandingkan dengan teman-temanmu!”
Thalhah menimpali: “Jangan berkata demikian, kenapa engkau mengatakan seperti itu?!”
Istrinya menjawab: “Aku melihat jika engkau berkecukupan maka mereka selalu dekat denganmu. Namun jika engkau sedang susah, mereka meninggalkanmu.”
Maka Thalhah meluruskan: “Demi Allah, ini termasuk kemuliaan jiwa mereka; mereka mengunjungi kita di saat kita mampu memuliakan mereka sebagai tamu, dan mereka tidak mengunjungi kita ketika kita tidak mampu menunaikan hak mereka sebagai tamu.”
(Adaabud Dunya wad Diin, terbitan Daar Iqra’, Beirut, cetakan ke-4, tahun 1405 H, hal. 193-194)