MERANGKAI FAEDAH DARI MUTIARA SEJARAH
Inilah al-baitul qashid –maksud– dari penukilan beberapa riwayat tarikh pada lembaran-lembaran yang telah lalu, yaitu mengambil pelajaran dari sejarah generasi terbaik.
Tarikh sahabat bukan sekadar cerita bacaan. Akan tetapi yang lebih penting dari itu adalah bagaimana kita mengambil ibrah (pelajaran) dari kehidupan generasi terbaik dalam mengamalkan Al-Kitab dan As-Sunnah. Dengan memohon pertolongan Rabbul ‘Izzah, kita tutup majelis kita dengan memetik beberapa pelajaran dari kisah-kisah di atas. Semoga Allah Subhanahu wa ta’ala selalu memberikan hidayah kepada kita hingga berjumpa dengan-Nya dan menatap Wajah-Nya yang mulia.
Pertama: Sahabat adalah bintang-bintang bagi umat Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam
Meyakini keutamaan sahabat dan mencintai mereka adalah kewajiban agama, fardhu ‘ain atas seluruh manusia sebagaimana ditunjukkan nash Al-Qur’an dan As-Sunnah. Mencintai sahabat adalah iman. Sebaliknya, membenci mereka adalah kemunafikan. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
آيَةُ الْإِيْمَانِ حُبُّ الْأَنصَارِ وَآيَةُ النِّفَاقِ بُغْضُ الْأَنْصَارِ
“Tanda keimanan adalah mencintai sahabat Anshar, dan tanda kemunafikan adalah membenci sahabat Anshar.” (Muttafaqun ‘Alaihi dari Anas bin Malik)
Apabila mencintai sahabat Anshar termasuk iman, maka terlebih lagi mencintai sahabat Muhajirin dan Al-Khulafaur Rasyidin; Abu Bakr, Umar, Utsman dan Ali.
Jauhnya umat dari generasi awal yang Allah subhanahu wa ta’ala ridhai adalah sebab kebinasaan dan sebab dijauhkannya seorang dari jalan kebenaran. Ibarat seorang musafir di tengah sahara yang berjalan tanpa petunjuk.
Pernahkah terbayang bagaimana seorang musafir di tengah lautan atau padang sahara berjalan di tengah kegelapan? Mereka sangat butuh dengan bintang di langit sebagai penunjuk arah. Demikianlah perumpamaan sahabat bagi umat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam.
Ketika kemuliaan sahabat dinodai dengan penghinaan, fitnah pasti akan menimpa. Kerusakan akidah akan melingkupi jiwa. Demikian pula sikap dan tindakan tercela akan muncul sebagaimana tejadi di masa lalu, di masa kekhilafahan ‘Utsman bin ‘Affan dan Ali bin Abi Thalib. Demikian pula saat ini dan masa yang akan datang.
Kedua: Menjatuhkan keutamaan sahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam adalah makar musuh-musuh Islam
Islam tidaklah sampai kepada kita melainkan melalui jalan sahabat. Dengan penuh pengorbanan, mereka menjaga syariat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam hingga kita pun merasakan cahaya Islam. Darah dan jiwa, mereka korbankan bersama Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam di masa hidupnya, demikian pula setelah wafatnya. Mereka menebarkan Islam ke seluruh penjuru dunia dengan jihad fi sabilillah yang penuh dengan rahmah dan keindahan.
Karena demikian agungnya kedudukan sahabat dalam agama ini, maka mencela sahabat adalah pangkal kerusakan agama. Oleh karena itu Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam berwasiat dalam sebuah sabdanya:
لَا تَسُبُّوا أَحَدًا مِنْ أَصْحَابِي فَإِنَّ أَحَدَكُمْ لَوْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا أَدْرَكَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلَا نَصِيفَهُ
“Janganlah kalian mencela seorangpun dari sahabat-sahabatku, karena seandainya kalian berinfak emas sebesar gunung Uhud tidaklah infak itu mencapai (pahala infaq) salah seorang sahabatku sebanyak satu mud atau separuh mud.” [1]
Melalui pintu inilah musuh-musuh Islam dari kalangan orang kafir dan munafik berusaha merusak Islam dan menjauhkan umat dari Al-Kitab dan As-Sunnah. Abu Zur’ah berkata:
إِذَا رَأَيْتَ الرَّجُلَ يَنْتَقِصُ أَحَدًا مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللهِ فَاعْلَمْ أَنَّهُ زِنْدِيقٌ وَذَلِكَ أَنَّ الرَّسُولَ عِنْدَنَا حَقٌّ وَالْقُرْآنَ حَقٌّ وَإِنَّمَا أَدَّى إِلَيْنَا هَذَا الْقُرْآنَ وَالسُّنَنَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللهِ وَإِنَّمَا يُرِيدُونَ أَنْ يَجْرَحُوا شُهُودَنَا لِيُبْطِلُوا الْكِتَابَ وَالسُّنَّةَ، وَالْجَرْحُ بِهِمْ أَوْلَى وَهُمْ زَنَادِقَةٌ
“Jika engkau melihat seorang mencela (meremehkan) satu sahabat Rasulullah, maka ketahuilah sesungguhnya dia adalah zindiq. Karena kita yakin bahwa Rasulullah adalah haq, demikian pula Al-Qur’an adalah haq, dan yang menyampaikan Al-Qur’an dan sunnah-sunnah ini adalah sahabat-sahabat Rasulullah. Yang mereka kehendaki adalah mencela saksi-saksi kita (yakni para sahabat) untuk menolak Al-Qur’an dan As-Sunnah. Namun merekalah yang lebih pantas dicela, dan mereka adalah kaum zindiq.” [2]
Tarikh Islam membuktikan apa yang dilakukan musuh-musuh Allah subhanahu wa ta’ala dengan makarnya. Melalui pintu pencelaan sahabat Rasul shalallahu ‘alaihi wa sallam mereka berusaha merobohkan pilar-pilar Islam. Makar inilah yang dilakukan Abdullah bin Saba’ Al-Yahudi, dengan menebarkan celaan kepada Utsman bin Affan , manusia terbaik di muka bumi saat itu.
Terlalu berani dan gegabah bagi Ibnu Saba’ dan manusia buruk sejenisnya untuk mencela Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam di hadapan muslimin, karena tabir makar itu akan segera tersingkap. Namun dengan jalan mencela sahabat, mereka memiliki sedikit celah untuk membuat makar di tengah kaum muslimin.
Ketiga: Berhati-hati dari makar Yahudi dan penyusup di barisan kaum muslimin
Ahlul kitab, Yahudi dan Nasrani tidak pernah ridha hingga kaum muslimin mengikuti millah (agama) mereka. Allah subhanahu wa ta’ala kabarkan hal ini dalam firman-Nya:
“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka.” (Al-Baqarah: 120)
Berbagai upaya mereka tempuh untuk meluapkan kedengkian terhadap Islam. Di antara makar tersebut adalah menyebarkan pemikiran-pemikiran yang merusak Islam. Terlebih di zaman ini, zaman yang seringkali dibanggakan sebagai era informasi dan teknologi. Yahudi beserta barisan munafikin melancarkan perang pemikiran dengan berbagai media yang mereka miliki. Allahul musta’an.
Dalam tarikh Islam, Ibnu Saba’ adalah contoh nyata dari upaya tersebut. Lihatlah bagaimana penyusup ini membentuk kekuatan dengan menyebarkan kesesatan, menjatuhkan keutamaan sahabat di tengah-tengah orang-orang bodoh, hingga terbunuhlah khalifah ‘Utsman bin ‘Affan.
Tidak berhenti dengan wafatnya ‘Utsman, di masa ‘Ali pun dia berusaha menyusupkan akidah-akidah sesat. Ia tebarkan sikap ghuluw (melampaui batas dalam mengagungkan Ali) sampai taraf menuhankan beliau. Hingga muncullah agama Syi’ah Rafidhah di tengah kaum muslimin, yang pengaruhnya terus dirasakan hingga saat ini. Bahkan mereka memiliki sebuah negara yang memperjuangkan agama Rafidhah.
Iran, demikian nama negara yang siap terus menjadi kaki tangan Yahudi merusak keindahan Islam dan mencemarkan sahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. Khumaini Al-Khabits adalah misal yang tidak dapat dipungkiri. Mulutnya yang kotor dan najis penuh dengan celaan dan cercaan kepada sahabat-sahabat Rasulullah, istri-istri Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, bahkan dipenuhi dengan ucapan-ucapan kufur. Wal-’iyadzu billah.
Pembaca rahimakumullah. Jika musuh-musuh Islam berusaha menyusup di tengah muslimin di masa sahabat, lalu bagaimana di masa kita? Tentu mereka lebih banyak dan lebih leluasa. Di sinilah kita harus terus meminta kepada Allah Subhanahu wa ta’ala pertolongan dan harus ada upaya untuk menghadapi mereka, yaitu dengan jihad baik dengan lisan, tulisan, atau kekuatan sesuai dengan aturan syariat.
Keempat: Memberontak kepada penguasa muslim adalah jalan Khawarij yang penuh kerusakan
Menaati umara dalam hal-hal yang baik adalah pokok penting dalam Islam, sebagaimana ditunjukkan Al-Kitab dan As-Sunnah.
Mematahkan/ menghancurkan ketaatan pada umara’ –meskipun mereka fajir– dengan memberontak atau melakukan tindakan-tindakan yang menyelisihi syariat, seperti aksi demonstrasi dan membuka aib-aib umara di podium dan jalan umum adalah sebab fitnah dan tercabutnya keamanan.
Hal ini bukan berarti kita diam atas kemungkaran umara. Namun syariat telah memberi aturan yang baku tentang cara menasihati penguasa dan sikap apa yang kita lakukan kala melihat kemungkaran mereka.
Di antara aturan tersebut tampak dalam sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam:
مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِذِي سُلْطَانٍ فَلَا يُبْدِهِ عَلَانِيَةً وَلَكِنْ يَأْخُذْ بِيَدِهِ فَيَخْلُوا بِهِ فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ وَإِلَّا كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ
“Barangsiapa hendak menasihati penguasa maka janganlah dia tampakkan nasihatnya terang-terangan. Akan tetapi ambillah tangannya dan rahasiakanlah nasihat itu. Jika dia menerimanya maka itulah yang diharapkan. Namun jika ia menolaknya, sesungguhnya kewajiban memberi nasihat telah ia tunaikan.” [3]
Adapun pemberontakan dengan segala bentuknya, semua itu adalah sunnah sayyi’ah Ibnu Saba’. Pemberontakan dengan gaya Ibnu Saba’ begitu jelas kita saksikan di negeri kita ini. Perhatikan apa yang terjadi di tengah umat. Berbagai jamaah hizbiyyah terus menanamkan kebencian kepada wulatul umur. Dengan mudah mereka memberikan vonis kafir tanpa mempertimbangkan syarat-syarat dan faktor-faktor penghalang (mawani’). Dengan mudah pula mereka menilai sebuah negeri sebagai negeri kafir –seperti negeri kita ini–. Massa pun disusun, kekuatan pun dibangun untuk menggulingkan pemerintahan.
Apakah reformasi ala Abdulah bin Saba’ mendatangkan kebaikan? Tidak! Justru kerusakan dan hilangnya keamanan, itulah yang akan dituai.
Kelima: Al-Jahl (kebodohan) adalah sebab terjatuhnya seseorang dalam fitnah, dan ilmu adalah obatnya
Siapakah orang-orang yang dihasut Abdullah bin Saba’? Apakah yang dia hasut adalah sahabat-sahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam atau ulama-ulama tabi’in? Atau orang-orang yang mengitari ulama, bertanya pada mereka dan kembali kepada mereka di saat ada perkara yang tidak diketahui?
Jawabnya: Bukan salah satu jenis di atas! Yang ia pengaruhi adalah orang-orang bodoh yang jauh dari ilmu dan ulama.
Ibnu Sauda’ tidak berhasil memengaruhi penduduk Madinah untuk menumpahkan darah ‘Utsman. Tetapi dia berhasil memprovokasi orang-orang bodoh dan jauh dari ulama ketika dia menginjakkan kaki di Mesir. [4]
Demikianlah jika kebodohan telah meliputi jiwa dan hawa nafsu telah merasuk dalam kalbunya, terlebih jika keadaan itu disertai sikap acuh dan antipati pada ulama. [5] Orang seperti ini akan sangat mudah dibawa gelombang fitnah, sebagaimana terjadi pada para pemberontak Utsman bin ‘Affan dan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhu. Mereka bodoh akan dalil-dalil muhkam (yang sangat terang) yang menunjukkan keutamaan ‘Utsman dan Ali radhiyallahu anhu serta jaminan jannah untuk keduanya. Hawa nafsu dan nash yang mutasyabihat (samar) lebih mereka kedepankan ketimbang bertanya kepada ahlul ilmi yakni para sahabat untuk menghilangkan kebodohan tersebut. Sebagaimana hal ini juga tampak pada argumen-argumen Khawarij dalam dialog mereka bersama Ibnu ‘Abbas radhiyallahu anhu. Merekapun binasa.
Berbeda dengan sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan ihsan (baik). Tidak ada seorang sahabatpun terlibat dalam pemberontakan atau bahkan pembunuhan Utsman radhiyallahu anhu atau Ali bin Abi Thalib. [6] Semua itu karena pertolongan Allah subhanahu wa ta’ala, kemudian ilmu yang ada pada mereka hingga mengerti mauqif (sikap) yang benar saat terjadinya fitnah.
Benarlah sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dari sahabat Mu’awiyah bin Abi Sufyan:
مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ
“Siapa yang Allah Subhanahu wa ta’ala kehendaki kebaikan padanya, Allah Subhanahu wa ta’ala akan fahamkan dia dalam agama.”
Demikianlah, ketika Allah Subhanahu wa ta’ala kehendaki kebaikan pada beberapa ribu Khawarij untuk selamat dari fitnah pemberontakan kepada Ali, Allah Subhanahu wa ta’ala berikan taufik kepada mereka untuk memahami dialog Ibnu ‘Abbas yang membantah syubhat-syubhat mereka, hingga mengantarkan sebagian mereka bertaubat dan kembali pada jalan yang benar.
Keenam: Bid’ah besar berawal dari bid’ah yang kecil, maka berhati-hatilah dengan segala kebidahan
Al-Imam Al-Barbahari (329 H) t berkata: “Berhati-hatilah dari perkara-perkara muhdats (bid’ah) yang kecil, karena bidah yang kecil akan menjadi besar. Dan demikianlah, semua kebid’ahan yang muncul di umat ini pada awalnya menyerupai kebenaran, maka tertipulah mereka yang masuk ke dalamnya, hingga kemudian tidak mampu untuk keluar darinya….” (Syarh As-Sunnah hal. 37) [7]
Al-Imam Ad-Darimi meriwayatkan bahwasanya Abdullah bin Mas’ud z menjumpai sekelompok manusia berkumpul di masjid membentuk lingkaran. Masing-masing memegang kerikil-kerikil, dan di tengah mereka ada seseorang yang duduk dan mengatakan: “Bertasbihlah kalian seratus kali! Bertahlillah seratus kali! Bertakbirlah seratus kali!” Dengan kerikil-kerikil itu mulailah mereka menghitung dzikir (bersama-sama). Maka berdirilah Abdullah bin Mas’ud mengingkarinya seraya berkata: “Apa yang kalian lakukan ini?” Mereka menjawab: “Wahai Abu ‘Abdirrahman, kami menghitung takbir, tasbih dan tahlil dengan kerikil-kerikil ini.” Berkatalah Ibnu Mas’ud: “Hitung saja kesalahan-kesalahan kalian. Aku jamin kebaikan kalian tidak disia-siakan sedikitpun. Wahai umat Muhammad n, betapa celakanya kalian! Betapa cepatnya kehancuran kalian! (Bukankah) sahabat Nabi kalian masih banyak, dan pakaian Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam belum lagi hancur? Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, apakah yang kalian lakukan ini berada di atas agama yang lebih baik dari agama Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam, ataukah kalian telah membuka pintu-pintu kesesatan!?” Mereka menjawab: “Demi Allah –subhanahu wa ta’ala-! Wahai Abu Abdurrahman, tidaklah kami menginginkan kecuali kebaikan!” Ibnu Mas’ud berkata: “Betapa banyak orang menginginkan kebaikan akan tetapi tidak mendapatkannya.”
‘Amr bin Salamah berkata: “Sungguh kami melihat bahwa semua mereka yang berada di halaqah-halaqah tersebut memerangi kami di hari Nahrawan bersama barisan Khawarij.” (Diriwayatkan oleh Ad-Darimi dalam As-Sunan dan dishahihkan Al-Albani dalam Ash-Shahihah, 5/11, no. 2005)
Pertempuran Nahrawan adalah pertempuran besar antara Ali dan Khawarij. Terbunuh pada perang ini tokoh-tokoh Khawarij, termasuk di antara mereka adalah orang-orang yang terlibat pembunuhan khalifah Utsman bin ‘Affan.
Asy-Syaikh Al-Albani berkata menerangkan faedah dari riwayat Ad-Darimi ini: “Sesungguhnya bid’ah yang kecil akan mengantarkan kepada bid’ah yang besar.” (Ash-Shahihah, 5/11)
Ketujuh: Al-Qur’an wajib ditadabburi dan diamalkan
Allah subhanahu wa ta’ala turunkan Al-Qur’an untuk ditadabburi maknanya dan diamalkan kandungannya. Bukan hanya dibaca kemudian tidak direnungkan, atau bahkan menyelisihinya dalam pengamalan. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran.” (Shad: 29)
Mentadaburi Al-Qur’an dan mengamalkannya adalah manhaj sahabat dan generasi salaf umat ini. Abu ‘Abdurrahman As-Sulami berkata: “Berkata kepada kami para sahabat yang membacakan Al-Qur’an kepada kami seperti ‘Utsman bin Affan, Abdullah bin Mas’ud dan selain keduanya, bahwasanya jika mereka belajar dari Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam sepuluh ayat, tidaklah mereka melampauinya hingga mempelajari apa yang terkandung dalam sepuluh ayat tersebut berupa ilmu dan amal, maka kami (ATAU: mereka???) mempelajari Al-Qur’an, kandungannya sekaligus pengamalannya.” [8]
Namun ketika Al-Qur’an hanya dibaca tanpa dipahami dengan pemahaman yang benar, seorang akan terjatuh dalam penyimpangan dan kesesatan. Abdurrahman bin Muljam dan barisannya adalah contoh dalam hal ini. Ia adalah sosok ahli ibadah dan penghafal Al-Qur’an. Namun ketika Al-Qur’an tidak mereka fahami dengan pemahaman sahabat, bahkan mereka fahami dengan pemahaman Khawarij, terbawalah ia dalam arus fitnah. Ia pun tergulung oleh ombak kebinasaan.
Kedelapan: Di antara makar musuh Islam adalah merusak sejarah
Sejarah salaf umat ini adalah sejarah gemilang dan penuh pelajaran berharga bagi generasi sesudahnya. Semua mata rantainya tidak lepas dari faedah dan pelajaran. Oleh karenanya, musuh-musuh Islam berusaha merusak tarikh tersebut sebagai upaya menjauhkan umat dari generasi terbaiknya. Sebagaimana kita bisa melihat contohnya berupa upaya musuh-musuh Islam membuang Ibnu Saba’ dari catatan tarikh, atau upaya mereka membuat kedustaan-kedustaan dalam riwayat tarikh sahabat sebagaimana diisyaratkan Ibnu Taimiyah rahimahullah. Maka berhati-hatilah dari makar musuh-musuh Islam melalui pintu ini maupun pintu lainnya.
Kesembilan: Fitnah akan padam dengan taqwa
Semua fitnah akan padam dengan taqwa, yaitu menghadapinya dengan bimbingan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. Inilah yang dilakukan ‘Utsman bin Affan. Beliau terus berpegang teguh dengan Sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dan wasiat-wasiatnya dalam menghadapi fitnah, sebagaimana ditunjukkan riwayat-riwayat yang shahih.
Beliau lebih memilih untuk sendiri dalam menghadapi bughat sebagaimana wasiat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, dengan harapan mereka sadar dan tidak melanjutkan pemberontakan.
Utsman melarang sahabat melakukan pembelaan atas dirinya karena mafsadah (kerusakan) besar yang akan terjadi yaitu pertumpahan darah di kalangan kaum muslimin, dan yang akan menjadi korban adalah para sahabat. Beliau ambil mafsadah terkecil dari dua mafsadah yang ada di hadapan beliau. Fitnahpun reda tanpa adanya pertumpahan darah di tengah kaum muslimin.
Wallahu a’lam bish-shawab. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.
[1] HR. Al-Bukhari no. 3673 dan Muslim (4/1967) no. 2541.
[2] Diriwayatkan Al-Khathib Al-Bagdadi dalam Al-Kifayah (hal. 98) dan Ibnu ‘Asakir dalam Tarikh Dimasyq (38/32).
[3] Diriwayatkan Ahmad dalam Al-Musnad (3/404), Ibnu Abi ‘Ashim dalam As-Sunnah no. 1096 dari sahabat ‘Iyadh bin Ghunm. Dishahihkan Al-Albani dalam Zhilal Al-Jannah.
[4] Lihat kajut: Kontroversi Ibnu Saba’ Al-Yahudi.
[5] Sehingga di antara makar musuh-musuh sunnah adalah menjatuhkan kehormatan ulama agar umat jauh dari mereka. Di masa kita misalnya, Khawarij menjatuhkan kehormatan masyayikh sunnah, seperti Asy-Syaikh Ibnu Baz,Asy- Syaikh Al-Albani, Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin, Asy-Syaikh Muqbil, Asy-Syaikh Shalih Fauzan, Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi, Asy-Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad, dan masyayikh lainnya.
[6] Tidak ada seorang sahabat pun yang terjatuh pada fitnah pembunuhan Utsman, bahkan pembunuhan itu terjadi di saat sebagian besar sahabat menunaikan ibadah haji tahun 35 H. Adapun Muhammad bin Abu Bakr Ash-Shiddiq yang disebut-sebut termasuk mereka yang mengepung ‘Utsman bin Affan radhiyallahu anhu, bahkan sempat masuk di hari pembunuhan kemudian insaf dan pergi meninggalkan fitnah, ia bukan termasuk sahabat. Hal ini diterangkan Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah Wan-Nihayah.
[7] Ucapan Al-Barbahari ini dinukilkan Adz-Dzahabi dalam Siyar A’lamin Nubala‘ (15/91) pada biografi Al-Imam Al-Barbahari.
[8] Disebutkan Syaikhul Islam dalam Muqadimah Tafsir, lihat Majmu’ Fatawa (13/330).