MERAIH HIDAYAH DENGAN DAKWAH SALAFIYAH
Ditulis oleh: Al-Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi, Lc.
Nikmat Hidayah di Tengah Beragam Dakwah
Hidayah merupakan nikmat yang paling berharga dalam kehidupan ini. Setiap muslim sejati pasti mendambakan hidayah. Dengan hidayah itu, ia akan berbahagia dalam kehidupan dunia yang sedang dijalaninya dan dalam kehidupan akhirat yang kelak akan dihadapinya. Terlebih belakangan ini, manakala beragam dakwah semakin meruak di tengah umat. Masing-masing menyeru kepada manhaj (prinsip beragama) yang diusung dan mengklaim sebagai satu-satunya jalan menuju hidayah. Ikhwanul Muslimin (IM) dengan ‘Tarbiyah’-nya, Hizbut Tahrir (HT) dengan gerakan ‘Syabab’-nya, Jama’ah Tabligh (JT) dengan aktivitas ‘Khuruj’-nya, Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) dengan gebyar ‘Penegakan Syariat Islam’-nya, JIL (Jaringan Islam Liberal) dengan ‘Islam warna-warni’-nya, dan sebagainya. Semuanya saling berlomba untuk mengenalkan dakwahnya dan menyeru umat kepadanya.
Fenomena di atas—tak bisa dimungkiri—cukup membingungkan kebanyakan ‘orang awam’. Bahkan, sebagian pegiat dakwah (dai) tidak mampu memilahnya. Berbagai ungkapan kebingungan pun muncul, “Saya harus ikut yang mana?” atau, “Saya jadi bingung, karena penampilannya sepintas mirip”, “Mana yang benar?”, “Mana yang dapat mengantarkan kepada hidayah?” dan berbagai kalimat lainnya.
Namun, tak semua orang bisa mendapatkan nikmat hidayah, karena hidayah adalah milik Allah Subhanahu wa ta’ala. Dia l Maha Berhak memberikannya kepada siapa saja yang Dia kehendaki. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Maka sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan memberi hidayah kepada siapa yang dikehendaki-Nya.” (Fathir: 8)
Tidak mengherankan, Allah Subhanahu wa ta’ala memerintahkan setiap hamba untuk memohon hidayah tersebut di setiap rakaat dalam shalatnya.
“Berilah kami hidayah (kepada) jalan yang lurus.” (al-Fatihah: 6)
Bahkan Allah Subhanahu wa ta’ala memerintahkannya untuk memohon keteguhan hati (istiqamah) di atas hidayah tersebut manakala telah diraihnya.
“Wahai Rabb kami, janganlah Engkau sesatkan hati-hati kami setelah Engkau beri kami hidayah dan karuniakanlah kepada kami kasih sayang dari sisi-Mu.
Sesungguhnya Engkau adalah Dzat Yang Maha Pemberi.” (Ali Imran: 8)
Dakwah Salafiyah, Jalan Menuju Hidayah
Para pembaca yang mulia, sesungguhnya dakwah yang harus diikuti dan dapat mengantarkan kepada hidayah hanyalah dakwah salafiyah. Mengapa? Karena dakwah salafiyah adalah kelanjutan dakwah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam, bukan dakwah yang muncul belakangan. Asasnya adalah Al-Qur’anul Karim, bimbingan (sunnah) Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam, dan prinsip salafush shalih (pendahulu terbaik umat ini dari kalangan sahabat Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in). Misinya adalah mengajak umat manusia untuk memahami dan menjalani agama Islam sebagaimana yang dipahami dan dijalani Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam dan as-salafush shalih.
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
سَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلاَثَةٍ وَسَبْعِينَ مِلَّةً، كُلُّهُمْ فِي النَّارِ إِلاَّ وَاحِدَةً. قِيلَ: مَنْ هِيَ يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِيْ
“Umatku akan terpecah-belah menjadi 73 golongan. Semuanya masuk neraka, kecuali satu golongan.” Beliau ditanya, “Siapakah dia, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “(Golongan) yang berada di atas apa yang aku dan para sahabatku berada.” (Hasan, HR. at-Tirmidzi dalam Sunan-nya “Kitabul Iman Bab Iftiraqul Hadzihil Ummah”, dari sahabat Abdullah bin Amr bin al-‘Ash Radhiyallahu ‘anhuma) [1]
Targetnya di dunia adalah terciptanya kehidupan Islami yang penuh barakah, bersendikan iman dan amal saleh. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa ta’ala:
“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kalian dan mengerjakan amal-amal yang saleh, bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap beribadah hanya kepada-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apa pun dengan-Ku.” (an-Nur: 55)
Adapun targetnya di akhirat adalah mendapatkan ridha Allah Subhanahu wa ta’ala dan masuk ke dalam surga (al-Jannah) yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa ta’ala:
“Dan orang-orang yang terdahulu lagi pertama-tama (masuk Islam) dari kalangan sahabat Muhajirin dan Anshar, serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah, dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga (al-Jannah) yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal abadi di dalamnya. Itulah kesuksesan yang agung.” (at-Taubah: 100) [2]
Syiar utamanya adalah kembali kepada Al-Qur’anul Karim dan bimbingan (sunnah) Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam, dengan pemahaman as-salafush shalih (pendahulu terbaik umat ini dari kalangan sahabat Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in) dalam setiap permasalahan agama. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa ta’ala:
“Kemudian jika kalian berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagi kalian) dan lebih baik akibatnya.” (an-Nisa: 59)
“Dan barang siapa menentang Rasul setelah jelas baginya petunjuk, dan mengikuti selain jalan orang-orang yang beriman [3], Kami biarkan ia leluasa bergelimang dalam kesesatan dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.”(an-Nisa’: 115)
Demikian pula sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam:
فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيْرًا، فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِيْنَ، عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ
“Sesungguhnya siapa saja di antara kalian yang hidup sepeninggalku nanti, niscaya akan melihat perselisihan yang banyak (dalam memahami agama ini). Oleh karena itu, wajib bagi kalian untuk berpegang teguh dengan sunnah (bimbingan)ku dan sunnah al-Khulafa’ ar-Rasyidin yang terbimbing. Gigitlah ia dengan gigi-gigi geraham kalian (maksudnya, berpeganglah erat-erat dengannya, pen.)… (Sahih, HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi, ad-Darimi, Ibnu Majah, dan yang lainnya dari sahabat al-‘Irbadh bin Sariyah Radhiyallahu ‘anhu. Lihat Irwa’ul Ghalil, hadits no. 2455)
Seruannya senantiasa tegak di atas ilmu (bashirah). Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Katakanlah, ‘Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku menyeru (kalian) kepada Allah dengan ilmu yang nyata. Mahasuci Allah dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik’.” (Yusuf: 108)
Adapun jalan (thariqah)nya senantiasa terbimbing di atas hikmah, pengajaran yang baik, dan diskusi ilmiah dengan cara yang baik pula. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Serulah (manusia) kepada jalan Rabb-mu dengan hikmah dan pengajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.” (an-Nahl: 125)
Lebih dari itu, dakwah salafiyah adalah dakwah bijak yang sangat memerhatikan hubungan antara hamba dengan Allah Subhanahu wa ta’ala dan hamba dengan sesamanya. Sifatnya terbuka untuk seluruh umat manusia sepanjang masa (universal), dan tidak bersifat eksklusif atau kekelompokan (hizbiyah).
Dengan dakwah salafiyah, umat manusia—yang sebelumnya berada dalam jurang kejahiliahan— terbimbing meraih hidayah. Sekian banyak orang yang sebelumnya tenggelam dalam bid’ah dan kesesatan mendapatkan hidayah kepada as-Sunnah. Dua kekaisaran adikuasa dunia saat itu (Romawi dan Persia) dapat ditaklukkan dan tidak sedikit dari mereka yang mendapatkan hidayah Islam. Demikian pula negeri-negeri kafir yang sebelumnya dipenuhi kesyirikan dan kemaksiatan berubah menjadi negeri tauhid dan takwa yang berlimpah rahmat.
Demikianlah dakwah salafiyah. Tidaklah masuk kepada sebuah pribadi kecuali membuatnya penuh rahmat. Tidaklah masuk ke dalam keluarga kecuali membuat mereka penuh rahmat. Tidaklah masuk kepada suatu kaum kecuali membuat mereka penuh rahmat. Bahkan, tidaklah masuk ke sebuah negeri melainkan membuatnya penuh rahmat. Sejarah telah mencatat bahwa dakwah salafiyah merupakan rahmat bagi alam semesta (rahmatan lil ‘alamin).
Dakwah Salafiyah di Mata Sebagian Masyarakat
Di mata sebagian masyarakat, dakwah salafiyah tak ubahnya aliran atau sekte sesat. Terkhusus belakangan ini, seiring semakin berkembangnya berbagai aliran dan sekte sesat, baik yang baru atau sekadar berganti baju. Dengan informasi yang sangat terbatas atau setengah-setengah, mereka cenderung emosi atau mengedepankan sikap curiga dengan dalih kewaspadaan. Prinsip ‘pukul rata’ dengan dalil-dalil keumuman atau hukum mayoritas pun menjadi alasan dalam menyikapi semua itu.
Para pembaca yang mulia, alasan atau cara pandang sebagian masyarakat dalam menilai dan menyikapi dakwah salafiyah di atas, tidak bisa dibenarkan secara syar’i. Adalah dilarang dalam agama kita yang mulia untuk menilai dan menyikapi sesuatu dengan informasi yang sangat terbatas atau setengah-setengah. Bahkan, Islam membimbing umatnya agar mengedepankan sikap ilmiah dan proporsional dalam menilai serta bersikap. Semua itu kelak akan dimintai pertanggungjawaban di sisi Allah Subhanahu wa ta’ala Rabb semesta alam. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan dimintai pertanggungjawabannya.” (al-Isra: 36)
Demikianlah, Islam melarang umatnya menilai dan bersikap dengan menggunakan dalil-dalil keumuman atau hukum mayoritas, karena itu merupakan prinsip kaum jahiliah yang dahulu dijadikan alasan untuk menentang dakwah para rasul yang mulia.
Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Di antara prinsip kaum jahiliah adalah menilai kebenaran dengan jumlah mayoritas dan kesalahan dengan jumlah minoritas. Menurut mereka, segala sesuatu yang diikuti kebanyakan orang berarti benar, sedangkan yang diikuti segelintir orang berarti salah. Inilah patokan yang ada pada mereka dalam menilai kebenaran dan kesalahan. Padahal patokan tersebut tidak benar, karena Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Dan jika kamu menuruti mayoritas orang-orang yang ada di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah Azza wa jalla).” (al-An’am: 116)
Allah Subhanahu wa ta’ala juga berfirman:
“Tetapi mayoritas manusia itu tidak mengetahui.” (al-A’raf: 187)
“Dan Kami tidak mendapati mayoritas mereka memenuhi janji. Sesungguhnya Kami mendapati mayoritas mereka orang-orang yang fasik.” (al-A’raf: 102) dan sebagainya.” (Syarh Masail al-Jahiliyyah, hlm. 60)
Maka dari itu, sedikitnya pengikut suatu dakwah, tidak lazimnya cara ibadah yang dilakukan (tidak seperti kebanyakan orang), atau penampilan yang berbeda dengan keumuman, bukanlah alasan untuk memvonis salah atau sesatnya sebuah dakwah. Bukankah dakwah para rasul yang mulia—di awal kemunculannya—juga tidak umum dan tidak lazim di mata kaumnya?! Bukankah tidak sedikit dari para rasul tersebut yang dimusuhi dan ditentang dakwahnya? Sebagian mereka hanya diikuti segelintir orang. Bahkan, sebagian lainnya tak ada yang mengikutinya! Namun, semua itu tidak mengurangi nilai dakwah yang mereka emban. Tidak pula menjadikan dakwah mereka divonis salah atau sesat. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Dan tidaklah beriman bersamanya (Nuh) kecuali sedikit.” (Hud: 40)
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
عُرِضَتْ عَلَيَّ اْلأُمَمُ، فَرَأَيْتُ النَّبِيَّ وَمَعَهُ الرَّهْطُ، وَالنَّبِيَّ وَمعَهُ الرَّجُلُ وَالرَّجُلاَنِ، وَالنَّبِيَّ وَلَيْسَ مَعَهُ أَحَدٌ
“Telah ditampakkan kepadaku beberapa umat, maka aku melihat seorang nabi yang bersamanya kurang dari sepuluh orang, seorang nabi yang bersamanya satu atau dua orang, dan seorang nabi yang tidak ada seorang pun yang bersamanya.” (HR. al-Bukhari no. 5705, 5752, dan Muslim no. 220, dari sahabat Abdullah bin Abbas Radhiyallahu ‘anhuma)
Asy-Syaikh Sulaiman bin Abdullah Alusy Syaikh rahimahullah berkata, “Hadits ini mengandung bantahan terhadap orang yang berdalil dengan hukum mayoritas dan beranggapan bahwa kebenaran itu selalu bersama jumlah yang banyak. Padahal tidaklah demikian adanya. Yang semestinya adalah mengikuti Al-Qur’an dan As-Sunnah bersama siapa saja dan di mana saja.” (Taisir al-‘Azizil Hamid, hlm. 106)
Menelisik Kehidupan Komunitas Salafi
Pembahasan tentang komunitas salafi (orang-orang yang menyambut dakwah salafiyah dan berupaya meniti jejak as-salafush shalih dalam kehidupan beragama) tidak bisa dipisahkan dengan dakwah salafiyah, karena keduanya saling terkait.
Dalam kehidupan bermasyarakat, tak bisa dimungkiri bahwa komunitas salafi sering mendapatkan perlakuan yang berbeda di tengah masyarakatnya. Sebabnya bermacam-macam. Bisa jadi, karena informasi yang sangat terbatas atau setengah-setengah tentang mereka. Bisa jadi, karena dianggap tidak lazim cara ibadah yang dilakukan (tidak seperti kebanyakan orang). Bisa jadi, karena penampilan mereka yang berbeda dengan keumuman. Bisa jadi pula, karena anggapan bahwa mereka seperti malaikat, yang tak mungkin terjatuh dalam dosa dan maksiat.
Sebab yang pertama, kedua, dan ketiga, alhamdulillah telah dibahas dalam sub judul sebelum ini. Adapun sebab yang ketiga, berikut inilah pembahasannya.
Para pembaca yang mulia, sesungguhnya manusia—setinggi apapun keimanannya—tak sama dengan malaikat. Manusia adalah makhluk yang berkarakter dasar amat zalim (zhalum) dan amat bodoh (jahul). Bahkan, mayoritas mereka lalai dari ayat-ayat Allah Subhanahu wa ta’ala. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh.” (al-Ahzab: 72)
“Dan sesungguhnya mayoritas dari manusia benar-benar lalai dari ayat-ayat Kami.” (Yunus: 92)
Adapun malaikat adalah makhluk yang tak pernah mendurhakai Allah Subhanahu wa ta’ala sesaat pun. Mereka selalu mengerjakan apa yang diperintahkan-Nya. Bahkan, mereka selalu bertasbih kepada Allah Subhanahu wa ta’ala malam dan siang tiada henti-hentinya. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:
“(Para malaikat itu) tidak pernah mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (at-Tahrim: 6)
“Mereka selalu bertasbih malam dan siang tiada henti-hentinya.” (al-Anbiya: 20)
Demikian pula dengan komunitas salafi. Layaknya manusia, mereka tidak akan luput dari kesalahan dan dosa. Di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri. Ada yang pertengahan dan ada pula yang lebih dahulu berbuat kebaikan. Hal ini mengingatkan kita akan firman Allah Subhanahu wa ta’ala:
“Kemudian Kitab (Al-Qur’an) itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri, di antara mereka ada yang pertengahan, dan di antara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan [4] dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar.” (Fathir: 32)
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah berkata, “Mereka semua termasuk yang dipilih Allah Subhanahu wa ta’ala untuk mewarisi Al-Kitab (Al-Qur’an), walaupun tingkatan dan keadaan mereka berbeda-beda. Masing-masing mendapatkan porsi tertentu untuk mewarisi Al-Kitab, termasuk orang yang menganiaya diri sendiri. Karena prinsip keimanan, ilmu tentang keimanan, dan pengamalan tentang keimanan yang masih tersisa pada diri orang (yang menganiaya diri sendiri) tersebut merupakan bentuk pewarisan Al-Kitab tersebut. Karena maksud dari mewarisi Al-Kitab di sini adalah mengilmui dan mengamalkannya, mempelajari lafadz-lafadznya, dan mendulang makna yang dikandungnya.” (Taisir al-Karimirrahman, tafsir surah Fathir: 32)
Mungkin ada yang menyoal, “Apa ruginya jika dianggap seperti malaikat, bukankah itu sebagai rekomendasi?”
Memang, sepintas lalu terkesan sebagai rekomendasi. Namun, jika dicermati dengan saksama justru sebaliknya. Anggapan tersebut malah merugikan komunitas salafi itu sendiri. Bahkan, merugikan dakwah salafiyah yang merupakan jalan menuju hidayah.
Mengapa demikian? Karena anggapan tersebut berawal dari sikap berlebihan (ghuluw) dalam merekomendasi. Adalah nyata bahwa kesudahan ghuluw adalah petaka.
Berikutnya, ketika anggapan tersebut menjadi keyakinan di masyarakat, kemudian di antara komunitas salafi ada yang terjatuh dalam kesalahan atau dosa, masalahnya justru akan berbeda. Berbagai ungkapan kekecewaan akan bermunculan. “Masak orang salafi demikian?!” atau “Kelihatannya saja alim, tapi nyatanya zalim!”, “Penampilannya layaknya malaikat, tapi hakikatnya penjahat!”
Rekomendasi berbalik menjadi isolasi (pemboikotan). Kepercayaan berbalik menjadi kebencian. Dakwah salafiyah pun jadi perbincangan. Padahal sekiranya pelakunya itu anggota masyarakat selain mereka, kemungkinan besar tidak ada ungkapan seperti itu.
Para pembaca yang mulia, apabila kita memerhatikan dengan saksama fenomena di atas, ada beberapa pelajaran berharga yang dapat kita ambil. Di antaranya:
1. Bagi komunitas salafi, hendaknya menjaga nama baik dakwah salafiyah, dengan berupaya menjalankan segala ketaatan dan menjauhkan diri dari segala kemaksiatan. Berakhlak mulia, berkata santun, bijak dalam berdakwah, dan tidak menjadi juru fitnah yang membuat orang lari dari dakwah salafiyah.
2. Bagi masyarakat, hendaknya tidak berlebihan menyikapi komunitas salafi. Tidak berlebihan dalam merekomendasi dan tidak berlebihan pula mengkritisi mereka. Sikap ilmiah dan proporsional sangat dibutuhkan dalam semua itu.
3. Kesalahan oknum dari komunitas salafi tidak berarti dakwah salafiyah yang diikutinya salah atau sesat, karena keadaan oknum dapat berubah-ubah seiring naik dan turunnya keimanan. Adapun keadaan dakwah salafiyah tidak berubah dan senantiasa di atas kemuliaan.
Demikianlah yang dapat kami sajikan dalam kesempatan kali ini. Semoga menjadi pelita dalam kegelapan dan embun penyejuk bagi pencari kebenaran.
Amin, ya Rabbal ‘Alamin…
Catatan Kaki:
[1] Asy-Syaikh Ahmad bin Muhammad ad-Dahlawi al-Madani rahimahullah berkata, “Hadits ini adalah nash (dalil, pen.) bagi apa yang diperselisihkan karena dengan tegas Rasul Shalallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan tiga hal:
1. Umat Islam sepeninggal beliau akan berselisih serta bergolong-golongan yang berbeda pemahaman dan pendapat dalam memahami agama. Semuanya masuk neraka, karena masih berselisih dalam permasalahan agama walaupun telah datang (kepadanya) keterangan dari Rabb semesta alam.
2. Ada satu golongan yang diselamatkan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala karena mereka berpegang teguh dengan Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam, serta mengamalkan keduanya tanpa takwil dan penyimpangan.
3. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam telah menentukan golongan yang selamat di antara sekian banyak golongan itu. Golongan yang selamat itu hanya satu. Mereka memiliki ciri-ciri yang khusus, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam sendiri (dalam hadits tersebut) yang tidak lagi membutuhkan takwil dan tafsir. (Tarikh Ahlil Hadits, hlm. 78—79)
Tentunya, golongan yang ditentukan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam itu adalah yang mengikuti dakwah salafiyah karena jalan yang mereka tempuh dalam kehidupan beragama ini adalah jalan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya (as-salafush shalih).
[2] Dalam ayat ini Allah Subhanahu wa ta’ala tidak mengkhususkan ridha dan jaminan al-Jannah (surga)-Nya untuk para sahabat Muhajirin dan Anshar (as-Salaf) semata. Akan tetapi, orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik pun mendapatkan ridha Allah Subhanahu wa ta’ala dan jaminan al-Jannah seperti mereka.
[3] Al-Imam Ibnu Abi Jamrah al-Andalusi rahimahullah berkata, “Para ulama telah menjelaskan makna firman Allah Subhanahu wa ta’ala (di atas) bahwa yang dimaksud orang-orang mukmin di sini adalah para sahabat Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam dan generasi pertama dari umat ini.” (al-Marqat fi Nahjis Salaf Sabilun Najah, hlm. 36—37)
[4] Yang dimaksud dengan orang yang menganiaya dirinya sendiri ialah orang yang lemah dalam mengerjakan suatu kewajiban dan masih melakukan sesuatu yang diharamkan. Yang dimaksud pertengahan ialah orang-orang yang mengerjakan semua kewajiban dan meninggalkan semua yang diharamkan, namun terkadang dia meninggalkan sesuatu yang sunnah dan mengerjakan sesuatu makruh. Adapun yang dimaksud dengan orang-orang yang lebih dahulu dalam berbuat kebaikan ialah orang-orang yang mengerjakan semua kewajiban dan yang disunnahkan, serta meninggalkan segala sesuatu yang haram, makruh, dan sebagian hal yang mubah. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir, surah Fathir ayat 32)
————————————————-
Sumber: Majalah Asy Syariah