MERAIH CINTA
Seorang yang haus cinta mungkin akan mengupayakan segala cara untuk menggapai cinta. Dia bulatkan hatinya dengan matang, kokohkan jiwanya dengan tegar, dan tata dirinya seindah mungkin ketika mulai melangkah mencari cinta.
Rintangan sebesar gunung akan dia terjal. Duri setajam pedang akan dia singkirkan. Dinding sekeras baja pun akan dia pecahkan, demi menggapai cinta. Segigih apakah perjuangan Anda dalam meraih cinta?
Selayaknya seorang muslim melangkah dengan koridor Islam dalam semua sisi kehidupannya. Kesempurnaan Islam sudah berjalan lebih dari seribu tahun, menata sisi kehidupan manusia seluruhnya. Termasuk padanya penggapaian cinta. Bagaimana tidak, realita telah berbicara bahwa cinta itu motivator, kata orang Arab “al mahabah muharikah”.
Karena terlalu masyhur, maklum dan indah dibenak insan, maka cinta susah untuk didefinisikan secara tepat, baik, dan benar. Bahkan terkadang yang mencoba mendefinisikan justru menambah kerancuan dan pengkaburan dari makna yang telah terpatri di hati. Cinta ya cinta, cukuplah susunan lima huruf ini menggambarkan keindahan maknanya.
Melihat urgensinya perkara ini, dan hal-hal yang berakibat setelahnya baik secara langsung atau tidak, maka kita perlu merujuk kepada ahlinya. Pakar cinta legendaris, Al Imam Ibnul Qoyim memaparkan, “Cinta yang bermanfaat ada tiga: cinta Allah, cinta karena Allah, dan cinta perkara-perkara yang membantu ketaatan pada-Nya dan penjauhan kemaksiatan terhadap-Nya.” Di tempat yang lain, beliau membahasakan jenis cinta yang ketiga dengan redaksi lain yaitu cinta yang Allah cintai.
Beliau juga menjelaskan sisi yang berlawanan dengannya, “Cinta yang membahayakan ada tiga: cinta selain Allah disamping cinta Allah dengan kecintaan yang sama, cinta hal-hal yang Allah benci, dan cinta perkara yang memutus ataupun mengurangi kecintaan terhadap Allah.”
Inilah tiga cinta yang bermanfaat dan tiga cinta yang membahayakan. Dan peredaran para pelaku cinta di muka bumi ini tidaklah keluar dari enam macam cinta ini, siapapun dia.
Sebagai orang yang berakal, cerdas, dan berselera tinggi tentu hanya akan memilih cinta yang bermanfaat. Pandangan kedepannya akan berbicara, buat apa cinta kalau hanya berakhir dengan kepedihan di dunia dan akhirat.
Hanya orang-orang yang lalai, kerdil akalnya, berpikiran pendek, dan berselera rendah saja yang memilih cinta yang membahayakan. Anak kecil saja ketika tahu api itu panas dan menyakitkan kalau disentuh, maka ia akan menjauh dari api itu sejauh-jauhnya, bagaimana dengan kita?
Diantara cinta-cinta yang bermanfaat, manakah yang paling bermanfaat? Kembali guru besar cinta kita, Ibnul Qoyim menuturkan, “Ketahuilah bahwa cinta yang paling bermanfaat secara mutlak, paling wajib, paling mulia, dan paling tinggi adalah cinta Dzat yang hati ini ditabiatkan untuk mencintai-Nya dan para makhluk dinalurikan untuk menyembah-Nya. Dengannya tegak langit dan bumi, karenanya diciptakan semua makhluk, dan inilah rahasia syahadat “Lailaha illaallah”.
Karena yang paling berhak diibadahi adalah yang hati ini menyembah-Nya dengan penuh penghambaan, pemuliaan, pengagungan, kerendahan, ketundukan, dan kecintaan. Maka ibadah tidaklah pantas kecuali kepada-Nya. Ibadah adalah kesempurnaan cinta bersama kesempurnaan kerendahan dan ketundukan. Kesyirikan dalam peribadatan ini adalah kezaliman terbesar yang Allah tidak mengampuninya. Allah dicintai karena Dzat-Nya dari semua sisi, adapun selainnya dicintai sebagai bentuk pengikutan terhadap cinta-Nya.”
Beliau juga mengatakan, “Cinta Allah, rindu untuk bertemu dengan-Nya, rida dengan-Nya adalah asal agama dan asal maksud dan amalannya. Sebagaimana pengetahuan tentang-Nya, pengilmuan nama-nama, sifat-sifat, dan perbuatan-Nya merupakan ilmu agama termulia secara mutlak. Maka pengetahuan tentang-Nya adalah pengetahuan termulia. Menginginkan wajah-Nya adalah maksud termulia. Peribadatan pada-Nya adalah amalan termulia. Pujian pada-Nya dengan nama-nama dan sifat-sifat-Nya dan sanjungan pada-Nya adalah perkataan termulia.”
Beliau juga mempertegas, “Cinta Allah, bahkan keberadaan-Nya sebagai yang paling dicintai oleh hamba daripada yang lainnya secara mutlak adalah kewajiban teragung, asal terbesar, dan kaidah termulia. Barang siapa mencintai makhluk disamping mencintai Allah dengan kecintaan yang sama, dia terjatuh pada kesyirikan yang pelakunya tidak diampuni dan amalannya tidak diterima. Allah berfirman,
ومن الناس من يتخذ من دون الله أندادا يحبونهم كحب الله والذين آمنوا أشد حبا لله
“Sebagian manusia ada yang menjadikan selain Allah sebagai tandingan, mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Dan orang-orang yang beriman kecintaannya kepada Allah lebih besar.” (QS Al Baqorah :165)
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, “Tak lain mereka dicela karena menyerikatkan antara Allah dan sekutu-sekutu mereka dalam kecintaan, dan mereka tidak memurnikannya kepada Allah semata sebagaimana kecintaan mukminin pada Allah.”
Al Imam Ibnul Qoyim kembali memperjelas, “Cinta Allah merupakan kenikmatan jiwa, kehidupan ruh, kebahagiaan jiwa, kekuatan hati, kecerahan akal, kesejukan pandangan, dan kemakmuran batin. Maka tidak ada disisi hati yang selamat, ruh yang baik, dan akal yang suci, sesuatu yang lebih manis, lebih lezat, lebih indah, lebih nikmat, dan lebih menyenangkan daripada cinta Allah.”
Beliau juga gambarkan keindahannya, “Kemanisan yang kaum mukminin dapatkan dalam hatinya dengan cinta Allah melebihi segala kemanisan. Kenikmatan yang yang kaum mukminin dapatkan dengan cinta-Nya merupakan kenikmatan paling sempurna di atas semua kenikmatan. Kelezatannya yang dicapainya melebihi semua kelezatan. Sebagaimana pengkabaran sebagian kaum mukminin yang telah mendapatinya.
Sebagiannya berkata, “Sesungguhnya terlintas dihatiku waktu-waktu yang padanya seandainya penduduk surga seperti ini, sungguh mereka dalam kehidupan yang indah.” Sebagiannya menyatakan, “Orang-orang lalai yang perlu dikasihani, mereka keluar dari dunia tapi tidak merasakan hal terbaik yang ada padanya.” Sebagiannya juga mengatakan, “Seandainya para raja dan putra-putra raja mengetahui keadaan yang kami berada di atasnya, sungguh mereka akan menghunuskan pedang-pedang kepada kami untuk mendapatkannya.”
Beliau juga memberikan sepuluh sebab untuk mendatangkan cinta Allah, yang ringkasnya sebagai berikut:
- Membaca Al Quran dengan merenungi dan memahami makna-maknanya dan apa yang diinginkan dengannya.
- Mendekatkan diri kepada Allah dengan amalan-amalan yang disenangi setelah amalan-amalan yang wajib.
- Terus menerus berzikir pada-Nya dalam semua keadaan dengan lisan, hati, perbuatan, dan keadaannya. Maka kadar cintanya sekadar zikirnya.
- Mengedepankan cinta-Nya diatas cinta Anda ketika hawa nafsu menguasai.
- Hati menelaah nama-nama dan sifat-sifat-Nya, menyaksikan dan hanyut dalam keindahan taman pengenalan-Nya.
- Menyaksikan kebaikan, kebajikan, dan kenikmatan-Nya yang lahir dan yang batin.
- Ketundukan hati di hadapan-Nya, dan ini yang paling mengagumkan.
- Bermunajat pada-Nya waktu turun Ilahi dan membaca kitab-Nya lalu menutupnya dengan istigfar dan taubat.
- Bermajelis dengan para pecinta yang jujur dan memetik buah terbaik darinya. Tidak berbicara kecuali jika kemaslahatannya lebih kuat dan ada padanya tambahan perbaikan keadaan Anda dan kemanfaatan bagi selain Anda.
- Menjahui semua sebab yang menghalangi antara hati dan Allah.
Mari berpacu meraih cinta sejati, untuk kebahagiaan yang hakiki, di dunia ini dan akhirat nanti. Di Surga Firdaus nan mulia dan tinggi, padanya kesenangan dan kenikmatan abadi, terus menerus tiada henti.
Referensi:
- Ighotsatul Lahfan
- Ad Dau wa Dawa
- Madarijus Salikin
- Fathul Majid
Fiyus, 8 Rajab 1435,
Yang Haus Cinta,
Abu Abdillah Zaki Ibnu Salman