MENYEMBUNYIKAN HARTA YANG WAJIB DI ZAKATI
Ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Usamah Abdurrahman hafizhahullah
Dunia itu hijau, indah nan manis, itulah sabda Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam tentangnya. Karena hijau, indah dan manisnya, banyak orang yang tertipu dengannya, banyak orang yang melupakan akhirat karenanya. Bahkan banyak orang menjadi kanud (penentang) terhadap pemberi nikmat yaitu Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Itulah bahaya dan fitnahnya dunia. Sudah teramat sering terjadi peristiwa berdarah antara kakak dan adik, anak dan kedua orangtuanya, atau antar saudara, hanya gara-gara dipicu oleh perkara dunia.
Sementara, bertumpuk pertimbangan dan alasan manusia kala mereka diajak kepada kebaikan serta melakukan amal shalih. Ucapan “sami’na wa atha’na” (kami mendengar dan taat) menjadi ucapan yang langka dan berat.
Itulah dunia dan fitnahnya. Semua pandangan meliriknya dan seluruh cita-cita hidup tertuju padanya. Tidaklah mengherankan lagi jika perlombaan untuk mengejarnya terus berlangsung. Itulah yang diwanti-wanti oleh nabi kita Muhammad Shallallahu `alaihi wa sallam. Kata beliau: “Bukan kefakiran yang aku khawatirkan menimpa kalian, namun yang mengkhawatirkanku adalah dibentangkannya atas kalian dunia lalu kalian berlomba mengejarnya sebagaimana orang kafir berlomba-lomba mendapatkannya…”
Yang kalah merasa terhina karenanya dan yang menang seolah-olah singa, sang raja hutan yang penuh kuasa. Di sisi lain, rasa takut akan berkurang dan hilangnya harta selalu menyergap setiap saat. Kikir dan bakhil menjadi satu senyawa yang mendarah daging. Alhasil, muncul pada diri manusia sifat-sifat yang berbahaya seperti rakus, tamak, pelit, bakhil, sombong, iri hati, dengki, hasad, dan sebagainya. Dan merupakan sebuah ketetapan bagi anak Adam cinta kepada dunia. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allahlah tempat kembali yang baik (surga).” (Ali Imran: 14)
As-Sa’di Rahimahullah berkata di dalam tafsirnya: “Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberitakan bahwa Dia telah menghiasi kepada manusia cinta syahwat duniawiah, dan Dia menghususkan perkara-perkara (di dalam ayat tersebut) ini disebabkan besarnya syahwat kepada dunia dalam (kehidupan) sedangkan selainnya sebagai pengekor semata, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Sesungguhnya Kami telah menjadikan segala apa yang ada di atasnya sebagai penghiasnya.” (Al-Kahfi: 7)
Maka tatkala dijadikan semuanya ini sebagai perhiasan bagi mereka dan segala yang memikat, lalu jiwa-jiwa mereka bergantung atasnya dan hati-hati mereka condong kepadanya, mereka terbagi sesuai dengan realita menjadi dua golongan.
Pertama: “Segolongan dari mereka menjadikan dunia ini sebagai tujuan, sehingga segala pemikirannya, rencananya, amalan lahiriah dan batiniah diarahkan kepadanya yang akhirnya dunia menyibukkan dirinya dari tugas dia diciptakan. Hidupnya bagaikan binatang piaraan, yang penting mereka menikmatinya dan terpenuhi segala keinginannya. Tidak peduli dari mana dia mengambilnya serta kemana dikeluarkan dan dipergunakannya. Bagi mereka dunia menjadi bekal menuju negeri kecelakaan, penyesalan, dan azab.
Kedua: “Mereka mengerti tujuan dunia, bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikannya sebagai ujian dan cobaan bagi hamba-hamba-Nya agar Allah Subhanahu wa Ta’ala mengetahui siapa di antara mereka yang lebih mengutamakan ketaatan dan ridha-Nya daripada kenikmatan dan kelezatan dunia. Mereka menjadikan dunia sebagai wasilah dan jalan untuk berbekal buat akhirat, mereka menikmatinya sebagai bentuk bantuan dalam mengejar ridha-Nya. Badan mereka menyertai dunia akan tetapi hati-hati mereka berpisah darinya. Mereka mengetahui firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: “Itulah kesenangan dunia.” Mereka menjadikan dunia ini sebagai jembatan menuju akhirat dan perniagaan yang dia harapkan keberuntungan yang besar. Bagi mereka dunia menjadi bekal untuk menghadap Rabb mereka.
Ayat ini menjadi hiburan bagi orang-orang yang faqir yang tidak memiliki kesanggupan mengejar syahwat dunia sebagaimana orang-orang kaya. Sekaligus sebagai peringatan bagi orang-orang yang telah tertipu dengannya dan agar orang-orang yang berakal jernih menjadi zuhud darinya. (Tafsir As-Sa’di 1/123)
Saudaraku… cobalah kita mengingat, ternyata di dalam harta kita terdapat hak-hak orang lain yang kita pergunakan dengan penuh kelaliman.
Manusia adalah makhluk yang tamak
Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam bersabda:
لَوْ أَنَّ ابْنَ آدَمَ أُعْطِيَ وَادِيًا مَلْأَى مِنْ ذَهَبٍ أَحَبَّ إِلَيْهِ ثَانِيًا وَلَوْ أُعْطِيَ ثَانِيًا أَحَبَّ إِلَيْهِ ثَالِثًا وَلَا يَسُدُّ جَوْفَ ابْنِ آدَمَ إِلاَّ التُّرَابُ وَيَتُوبُ اللهُ عَلَى مَنْ تَابَ
“Jika anak Adam itu diberikan satu lembah emas, dia akan mencari yang kedua dan jika dia diberikan yang kedua niscaya dia akan mencari lembah ketiga dan tidak ada yang menutup mulut anak Adam melainkan tanah dan Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menerima taubat siapa saja yang bertaubat.” (HR. Al-Bukhari no. 6072, Muslim no. 1042)
Al-Kirmani mengatakan: “Seolah-olah makna sabda beliau adalah dia tidak akan puas dari dunia sampai dia mati.” (Fathul Bari 18/250)
Al-Imam Nawawi Rahimahullah mengatakan, “Di dalam hadits ini terdapat celaan bagi orang yang rakus terhadap dunia, menumpuk-numpuknya, serta mencintainya. Makna ‘Tidak akan memenuhi tenggorokan anak Adam melainkan tanah’ yaitu terus-menerus sikap rakus terhadap dunia menyertainya sampai dia mati dan tanah kuburan menyumbat mulutnya. Hadits ini juga bercerita tentang mayoritas bani Adam dalam hal kerakusan terhadap dunia.” (Syarah Shahih Muslim 4/2)
Harta benda adalah ujian
Harta benda merupakan bagian dari sederetan bentuk ujian dan cobaan yang tidak sedikit dari umat Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam yang gagal dalam menghadapinya. Bukankah Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam telah mengatakan:
إِنَّ لِكُلِّ أُمَّةٍ فِتْنَةً وَفِتْنَةُ أُمَّتِي الْمَالُ
“Sesungguhnya bagi setiap umat ada fitnah (ujian) dan fitnah yang akan menimpa umatku adalah fitnah harta benda.” (HR.At-Tirmidzi no. 2507)
مَا ذِئْبَانِ جَائِعَانِ أُرْسِلَا فِي غَنَمٍ بِأَفْسَدَ لَهَا مِنْ حِرْصِ الْمَرْءِ عَلَى الْمَالِ وَالشَّرَفِ لِدِيْنِهِ
“Tidaklah dua ekor serigala dalam keadaan lapar dilepas pada seekor kambing akan lebih merusak dibandingkan dengan kerusakan orang yang rakus terhadap harta dan kedudukan pada agamanya.” (HR. At-Tirmidzi no. 2376 dari sahabat Ka’b bin Malik Al-Anshari Radhiyallahu ‘anhu)
Artinya bahwa rakusnya seseorang terhadap harta benda dan kedudukan sangat besar kerusakannya bagi agamanya, yang diserupakan bagaikan binatang yang tidak berdaya dan lemah yang berada dalam terkaman dua serigala. (Tuhfatul Ahwadzi 6/162)
بَادِرُوا بِالْأَعْمَالِ فِتَنًا كَقِطَعِ اللَّيْلِ الْمُظْلِمِ يُصْبِحُ الرَّجُلُ مُؤْمِنًا وَيُمْسِي كَافِرًا أَوْ يُمْسِي مُؤْمِنًا وَيُصْبِحُ كَافِرًا يَبِيعُ دِينَهُ بِعَرَضٍ مِنَ الدُّنْيَا
“Bersegeralah kalian untuk melakukan amal shalih, karena akan terjadi fitnah yang banyak seperti potongan gelap malam. Di pagi hari seseorang dalam keadaan beriman maka di sore harinya menjadi kafir, dan di pagi hari dia beriman maka di sore harinya dia kafir, dia melelang agamanya dengan secuil harta benda dunia.” (HR. Muslim no. 328 dari sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu)
Ujian dengan sebuah kewajiban
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberikan berbagai bentuk ujian dan cobaan yang terkait dengan harta benda, akankah hamba-Nya mau bersyukur atau tidak. Allah Subhanahu wa Ta’ala menguji mereka dengan kekurangan harta benda, kerusakan, hilang, hancur, dan sebagainya. Maukah dia bersabar? Allah Subhanahu wa Ta’ala menguji mereka dengan limpahan harta benda, maukah mereka mensyukurinya? Bahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menguji mereka dengan sebuah kewajiban yaitu mengeluarkan zakat, maukah mereka menaatinya? Ataukah mereka mengingkari kewajiban tersebut dengan mengatakan al-huququ katsirah (hak-hak itu banyak). Ucapan ini terkait dengan tiga orang yang diuji oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan mendapatkan kesembuhan dari penyakit yang telah menimpanya kemudian diuji dengan limpahan harta benda. Yang satu karena buta, yang satunya karena botak, dan yang lain karena berkulit belang. Dan ternyata yang lulus dari ketiga orang yang diuji oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala tersebut hanya satu orang saja. (lihat kisahnya dalam riwayat Al-Imam Al-Bukhari dan Muslim no. 2964 dari sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu)
Demikianlah tabiat manusia. Kikir, banyak pertimbangan dan alasan, tatkala Allah Subhanahu wa Ta’ala mengajak mereka berbuat sesuatu untuk keselamatan dirinya. Dia menyangka jika ajakan untuk mengeluarkan zakat tersebut akan mengurangi hartanya, padahal Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam telah menjelaskan:
مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ
“Tidaklah akan berkurang harta tersebut bila disedekahkan.”
Perintah zakat
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan rukuklah beserta orang-orang yang rukuk.” (Al-Baqarah: 43)
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (Al-Bayyinah: 5)
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.”
Kewajiban zakat adalah rukun Islam
Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam bersabda:
بُنِيَ الْإِسْلَامُ عَلَى خَمْسٍ: شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ، وَإِقَامِ الصَّلَاةِ، وَإِيْتَاءِ الزَّكَاةِ، وَالْحَجِّ وَصَوْمِ رَمَضَانَ
“Islam itu dibangun di atas lima dasar yaitu bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Muhammad adalah Rasulullah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, berhaji, dan berpuasa.” (HR. Al-Bukhari no. 8 dan Muslim no. 16)
Ibnu Rajab Rahimahullah menerangkan: “Yang dimaksud dengan hadits ini adalah bahwa Islam itu dibangun di atas lima tonggak. Ini tak ubahnya bagaikan tiang dan tonggak pada bangunan.” (Jami’ul Ulum wal Hikam 2/5)
Abu Abbas Al-Qurthubi Rahimahullah menyatakan: “Bahwa lima perkara ini merupakan azas agama Islam, tonggak yang di atasnya dibangun bangunan, dan dengan lima azas ini Islam tegak. Disebutnya lima perkara dengan khusus dan tidak disebutkan jihad dalam hal ini padahal jihad itu satu bentuk pembelaan terhadap agama dan membungkam kejahatan orang-orang kafir, karena lima perkara ini merupakan sebuah kewajiban yang hukumnya selalu wajib sedangkan jihad termasuk dalam fardhu kifayah dan pada kondisi tertentu bisa gugur.” (Fathul Qawi Al-Matin fi Syarh Al-Arba’in wa Tatimmatul Khamsin 1/27)
Hukum tidak membayar zakat
Sebagaimana yang telah lewat bahwa menunaikan zakat termasuk dari salah satu rukun Islam yang lima dan tentunya barangsiapa mengingkari salah satu dari rukun tersebut maka dia kafir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin Rahimahullah berkata: “Telah ijma’ umat Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam tentang kewajiban menunaikan zakat dengan ijma’ yang qath’i (mutlak) dan barangsiapa mengingkarinya setelah mengetahui kewajibannya maka dia telah kafir, keluar dari Islam. Barangsiapa yang tidak mengeluarkannya karena bakhil atau mengurangi (dalam pengeluarannya) maka dia termasuk orang yang zalim dan berhak untuk mendapatkan ancaman dan siksaan.” (Majalis Syahr Ramadhan hal. 182-183)
Beliau juga menjelaskan: “…Barangsiapa yang mengingkari kewajibannya dia kafir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, kecuali jika dia orang yang baru pindah agama atau orang yang tumbuh di tempat yang jauh dari ilmu dan ahli ilmu, yang demikian ini dimaafkan. Dan jika dia terus-menerus mengingkari kewajibannya bersamaan dia mengetahui kewajibannya maka dia telah kafir dan murtad dari agama. Adapun orang yang tidak mau membayar zakat karena bakhil atau mengentengkan kewajibannya, terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ulama. Di antara mereka ada yang mengatakan dia kafir ini salah satu riwayat dari Al-Imam Ahmad Rahimahullah.
Ada pula yang mengatakan dia tidak kafir -dan ini pendapat yang shahih- akan tetapi dia telah melakukan dosa besar. Dalil-dalil yang menunjukkan bahwa dia tidak kafir adalah hadits Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallahu `alaihi wa sallam telah menyebutkan hukuman bagi orang yang tidak menunaikan zakat emas dan perak kemudian beliau mengatakan:
“Lalu diputuskan urusannya di antara seluruh makhluk apakah jalannya ke surga atau ke neraka.”
Sehingga, jika dia mungkin untuk melihat jalannya menuju surga maka dia bukanlah orang kafir, karena orang kafir tidak mungkin melihat jalan menuju surga.
Tentunya orang yang tidak mengeluarkan zakat karena bakhil atau mengentengkan permasalahannya, dia akan mendapatkan dosa yang besar sebagaimana yang telah disebutkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala:
“Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karunia-Nya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka, harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat, dan kepunyaan Allahlah segala warisan (yang ada) di langit dan di bumi. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Ali Imran: 180)
“Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah, dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih. Pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka Jahannam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka: ‘Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu’.”
Tentunya seorang muslim wajib mensyukuri nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang berupa harta dengan menunaikan zakat sehingga Allah Subhanahu wa Ta’ala menambah keberkahan pada hartanya dan bisa berkembang. (Fatwa Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin, lihat Fatawa Ulama’ Balad Al-Haram, hal. 837-838)
Bila yang tidak menunaikan zakat memiliki kekuatan
Hal ini kembali kepada keputusan sang imam yang akan melihat maslahat di belakangnya. Sebagaimana Abu Bakr Radhiyallahu ‘anhu telah memerangi orang-orang yang ingkar membayar zakat. Lihat Iqtidha’ Shiratul Mustaqim (1/278).
Bahkan beliau mengatakan: “Boleh bahkan wajib dengan ijma’ kaum muslimin memerangi mereka dan orang-orang seperti mereka dari setiap kelompok yang menolak satu syariat dari syariat Islam yang nampak dan mutawatir permasalahannya. Seperti sekelompok orang yang tidak melaksanakan shalat, menunaikan zakat yang telah diwajibkan kepada orang-orang yang berhak menerimanya yaitu delapan orang yang telah disebutkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala di dalam kitab-Nya, sekelompok orang yang tidak mau berpuasa pada bulan Ramadhan, atau orang-orang yang tidak menahan diri dari menumpahkan darah kaum muslimin, mengambil harta benda mereka atau orang-orang yang tidak berhukum di antara mereka dengan syariat yang Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengutus Rasul-Nya dengannya sebagaimana ucapan Abu Bakr Ash-Shiddiq dan seluruh sahabat g tentang orang-orang yang menahan zakat dan sebagaimana pula Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu dan segenap para sahabat Nabi telah memerangi Khawarij.” (Fatawa Al-Kubra 3/472). Wallahu a’lam.
Sumber: Majalah Asy Syariah