Berbuka Puasa
Orang yang berpuasa dianjurkan untuk menyegerakan berbuka jika memang telah masuk waktu berbuka. Tidak boleh menundanya meski ia merasa masih kuat untuk berpuasa. ‘Amr bin Maimun al-Audi rahimahullah meriwayatkan:
كَانَ أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ أَعْجَلُ النَّاسِ إِفْطَارًا وَأَبْطَأُهُمْ سَحُورًا
“Para sahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling bersegera berbukanya dan paling lambat sahurnya.” (HR. al-Baihaqi, 4/238, dan al-Hafizh Ibnu Hajar mensahihkan sanadnya)
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Menyegerakan berbuka puasa (dianjurkan) bila telah terbenam matahari, bukan karena adzan. Namun di waktu sekarang (banyak) manusia menyesuaikan adzan dengan jam-jam mereka. Maka bila matahari telah terbenam boleh bagi kalian berbuka walaupun muadzdzin belum mengumandangkan adzan.” (asy-Syarh al-Mumti’)
Berbuka puasa dilakukan dalam keadaan ia mengetahui dengan yakin bahwa matahari telah terbenam. Hal ini bisa dilakukan dengan melihat di lautan dan semisalnya. Adapun hanya sekadar menduga dengan kegelapan dan semisalnya, bukanlah dalil atas terbenamnya matahari. Wallahu a’lam.
Menyegerakan buka puasa adalah mengikuti Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sahl bin Sa’d radhiallahu ‘anhu meriwayatkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَا تَزَالُ أُمَّتِي عَلَى سُنَّتِي مَا لَمْ تَنْتَظِرْ بِفِطْرِهَا النُّجُومَ
“Senantiasa umatku berada di atas Sunnahku selama mereka tidak menunggu (munculnya) bintang ketika hendak berbuka.” (HR. al-Hakim, 1/599, Ibnu Hibban, 8/3510, dengan sanad yang sahih. Lihat Shifat Shaum an-Nabi hlm. 63)
Menyegerakan berbuka puasa akan mendatangkan kebaikan bagi pelakunya. Seperti yang diriwayatkan Sahl bin Sa’d radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوا الْفِطْرَ
“Senantiasa manusia berada dalam kebaikan selama mereka menyegerakan buka puasa.” (HR. al-Bukhari, 2/1856, dan Muslim, 2/1098)
Menyegerakan berbuka puasa juga merupakan perbuatan menyelisihi Yahudi dan Nasrani. Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ يَزَالُ هَذَا الدِّيْنُ ظَاهِرًا مَا عَجَّلَ النَّاسُ الْفِطْرَ لِأَنَّ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى يُؤَخِّرُونَ
“Senantiasa agama ini tampak jelas selama manusia menyegerakan buka puasa karena Yahudi dan Nasrani mengakhirkannya.” (HR. Abu Dawud, 2/2353, Ibnu Majah, 1/1698, an-Nasai dalam al-Kubra, 2/253, dan Ibnu Hibban, 8/3503, dan dihasankan oleh asy-Syaikh al-Albani)
Selain itu, bersegera dalam berbuka puasa termasuk akhlak kenabian. Sebagaimana dikatakan ‘Aisyah radhiallahu ‘anha,
ثَلَاثٌ مِنْ أَخْلَاقِ النُّبُوَّةِ: تَعْجِيلُ الْإِفْطَارِ، وَتَأْخِيرُ السَّحُورِ، وَوَضْعِ الْيَمِينِ عَلَى الشِّمَالِ فِي الصَّلَاةِ
“Tiga hal dari akhlak kenabian: menyegerakan berbuka, mengakhirkan sahur, dan meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri dalam shalat.” (HR. ad-Daruquthni, 1/284, dan al-Baihaqi, 2/29)
Orang harus berbuka puasa lebih dahulu sebelum shalat Maghrib, berdasarkan hadits Anas radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berbuka puasa sebelum shalat (Maghrib). Dan makanan yang paling dianjurkan untuk berbuka puasa adalah kurma. Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu berkata,
كَانَ النَّبِيُّ يُفْطِرُ قَبْلَ أَنْ يُصَلِّيَ عَلَى رُطَبَاتٍ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ رُطَبَاتٍ فَتُمَيْرَاتٍ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تُمَيْرَاتٍ حَسَا حَسَوَاتٍ مِنْ مَاءٍ
“Adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berbuka dengan ruthab (kurma basah) sebelum shalat (Maghrib). Bila tidak ada ruthab maka dengan tamr (kurma kering). Bila tidak ada maka dengan beberapa teguk air.” (HR. Abu Dawud, 2/2356, at-Tirmidzi, 3/696, ad-Daruquthni, 2/185, dengan sanad yang sahih, disahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani rahimahullah)
Jangan lupa, berdoa sebelum berbuka puasa dengan doa:
ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتِ الْعُرُوقُ وَثَبَتَ الْأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللهُ تَعَالَى
“Telah hilang dahaga dan telah basah urat-urat dan telah tetap pahala insya Allah ta’ala.” (HR. Abu Dawud, 2/306 no. 2357, an-Nasa’i dalam as-Sunan al-Kubra, 2/255, ad-Daruquthni, 2/185, dan al-Baihaqi, 4/239, dari hadits Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhu dan dihasankan oleh asy-Syaikh al-Albani rahimahullah)
Orang yang menjalankan ibadah puasa diharuskan menjauhkan perkataan dusta sebagaimana yang terdapat dalam hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّوْرِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
“Siapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan mengamalkannya, maka tidak ada keinginan Allah pada puasanya.” (HR. al-Bukhari no. 1804)
Sumber: https://asysyariah.com/adab-adab-berpuasa/