MENJAWAB ALASAN & SYUBHAT MUHAMMAD AL-IMAM’ dalam “IZALATU AL-ISYKAL”
Asy-Syaikh Ali bin Husain Al-Hudzaifi hafizhahullah
Alhamdulillahi Rabbil ‘Alamin. Wa Asyhadu anna Laa ilaaha illallah Waliyyu ash-Shalihin. Wa Asyhadu Anna Muhammadan ‘Abduhu wa Rasuluhu. Amma Ba’d:
Muhammad Al-Imam telah mengeluarkan sebuah jawaban (pembelaan) tentang apa yang dia sebutkan dalam ucapannya: “Jika Nabi dibangkitkan dan berkata kepada kita, ‘Perangilah sekelompok kaum Muslimin!’ maka kita akan berperang dan kita tidak akan mengubah keputusan tersebut.”
Jawaban tersebut dia beri judul dengan “Izaalatu al-Isykaal” (Menghilangkan Masalah) dan padanya dia menjawab kritik terhadap ucapannya di atas dengan mengatakan :
- Ucapannya tersebut berkaitan dengan memerangi Khawarij, kemudian dia mengalihkan pembicaraan kepada peperangan yang diharamkan yang terjadi antara kaum Muslimin karena kekuasaan, fanatisme, dan kelompok.
- Jadi siapa yang memperhatikan ucapannya yang terdahulu dan yang belakangan, akan memahami bahwa dia memaksudkan perang demi kekuasaan.
- Ahlus Sunnah menetapkan bahwa sebuah ucapan dipahami terkadang berdasarkan lafazh-lafazhnya, dan terkadang berdasarkan konteks dan susunannya.
- Dia menyebutkan bahwa dia memiliki ucapan lain di kitabnya yang lain, yang menunjukkan bahwa dia berpendapat adanya perang syar’i (yang dibenarkan oleh syari’at).
# Inilah PEMBELAAN Muhammad Al-Imam terhadap dirinya sendiri.
Adapun bantahan terhadap jawaban Muhammad Al-Imam tersebut adalah sebagai berikut:
PERTAMA: Sesungguhnya apa yang mendahului ucapan itu dan yang setelahnya, serta engkau senantiasa mengulang-ulang pernyataan tersebut pada banyak kesempatan JUSTRU menunjukkan bahwa engkau MEMAKSUDKAN PERANG SECARA UMUM, TERMASUK DI DALAMNYA PERANG SYAR’I (YANG SESUAI DENGAN SYARI’AT).
Hal ini berdasarkan bukti sebagai berikut:
A. Fatwamu agar tidak melakukan perlawanan terhadap Al-Qaedah di Laudir, dan tidak melakukan perlawanan terhadap Hutsiyun –walaupun sifatnya membela diri dan membela kehormatan– dan menganggap peperangan pada dua keadaan tersebut termasuk FITNAH.
Ini semua menunjukkan bahwa engkau tidak memaksudkan peperangan demi kekuasaan saja, bahkan engkau juga memaksudkan PEPERANGAN YANG PADANYA DIANGKAT BENDERA JIHAD YANG SIFATNYA MEMBELA DIRI.
Padahal telah jelas bahwa Ahlus Sunnah ketika melawan Al-Qaedah dan melawan Hutsiyun (Syi’ah Rafidhah), mereka (ahlus Sunnah) tidak berperang karena kekuasaan, tetapi mereka hanyalah bermaksud untuk membela kehormatan dan negeri mereka.
B. Engkau menyebutkan bahwa sebagian manusia ada yang menyerukan jihad tanpa memahami berbagai konspirasi yang mengepung kaum Muslimin. Engkau contohkan dengan jihad di Afghanistan!! Maka ini jelas MENUNJUKKAN BAHWA ENGKAU JUGA MEMAKSUDKAN PERANG YANG SIFATNYA MEMBELA DIRI!!
Jadi apakah jihad di Afghanistan adalah peperangan demi kekuasaan?!
C. Sindiranmu terhadap orang-orang mulia yang menyerukan untuk melawan Hutsiyun seperti ucapanmu: “Perang yang terjadi sekarang ini, betapapun dihias-hiasi oleh orang-orang yang menghiasinya dan ditampakkan indah oleh orang-orang yang memperindahnya…”.
Ini jelas menunjukkan BAHWA ENGKAU MEMAKSUDKAN PERANG SECARA UMUM, termasuk di dalamnya PERANG YANG DIBENARKAN DALAM SYARI’AT YANG DISERUKAN OLEH SEBAGIAN ORANG-ORANG MULIA.
D. Ucapanmu di sebagian pelajaran: “Pada masa kita ini, bahkan pada waktu akhir-akhir ini dan pada hari-hari ini, di sana terdapat makar tersembunyi dan makar yang sangat berbahaya sekali terhadap kaum Muslimin, terlebih khusus terhadap Ahlus Sunnah, ketahuilah bahwa perkara tersebut adalah dengan mereka berusaha menyeret kaum Muslimin kepada peperangan, jadi inilah makar yang tersembunyi…”
Juga ucapannya, “… yang datang membentuk fron untuknya. … ”
Apakah Ahlus Sunnah berperang di sebagian front demi meraih kekuasaan?!
Apakah peperangan demi kekuasaan termasuk makar tersembunyi?!
E. Upayamu menjauhkan dari perang melawan Rafidhah dalam kitabmu yang berjudul “Ittihaf Ahlis Sunnah bi Iidhaahi Ashli Tarki al-Qitaal fi al-Fitnah” (halaman 68-69) merupakan upaya menjauhkan secara umum tanpa perincian.
Adapun pendalilanmu dengan perkataan guru kami Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah bahwa kita tidak siap untuk memerangi Rafidhah dan kita akan memerangi mereka dengan cara mendakwahkan agama Allah, semua ini engkau sampaikan pada saat Hutsiyun memberontak sebagaimana hal itu diketahui dari muqaddimah kitabmu (halaman 8).
Itu menunjukkan bahwa ENGKAU TIDAK MENGANGGAP BOLEHNYA MEMERANGI HUTSIYUN (RAFIDHAH) walaupun sifatnya membela diri, membela kehormatan, dan mempertahankan tempat tinggal dari kejahatan mereka. [1]
Ucapanmu ini merupakan KAIDAH SECARA UMUM, sehingga kita tidak bisa merasa aman (yakni sangat khawatir,pen) akan ada orang yang menjadikannya sebagai dalil walaupun telah sekian tahun berlalu, karena engkau mengatakan: “Seandainya Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam dibangkitkan dan beliau bersabda kepada kita: “Perangilah sekelompok kaum Muslimin!” Maka kita akan berperang dan kita tidak akan mengubah keputusan tersebut. Adapun –sebagaimana yang engkau dengar– barangsiapa datang untuk menegakkan front perang dan menyeret kaum Muslimin kepada peperangan, atau membentuk kelompok untuk tujuan itu dan menyeret kaum Muslimin kepada perang…”
Jadi yang wajib atasmu adalah memberikan batasan terhadap ucapanmu tersebut, misalnya dengan engkau mengatakan: “Siapa saja yang mengajak kita kepada perang di masa fitnah maka sekali-kali kita tidak akan menggubrisnya, kecuali jika Nabi dibangkitkan.”
Engkau telah menyebutkan dalam tulisanmu “Izalatu al-Isykal” beberapa atsar. Di antaranya : Atsar Sa’d bin Abi Waqqash, yaitu ketika ada yang mengatakan kepadanya, “Kenapa Anda tidak ikut berperang, sesungguhnya engkau termasuk Ahlu Syura. Engkau yang lebih pantas dalam hal ini dibandingkan lainnya.” Maka dia (Sa’d) menjawab, “Aku tidak akan berperang sampai kalian memberiku sebuah pedang yang punya dua mata, satu lisan, dan dua bibir sehingga bisa mengetahui mana yang mukmin dan mana yang kafir. Sungguh aku telah berjihad. Aku lebih mengerti tentang Jihad.”
Juga atsar dari Zubaid Al-Yamy, bahwasanya dia diminta untuk berperang bersama Zaid bin Ali, lalu dia menjawab: “Saya tidak akan keluar berperang kecuali bersama Nabi, dan saya menilai bahwa tidak alasan untuk berperang.” Dan Abdullah bin Hubairah mengatakan: “Siapa saja yang menjumpai fitnah, maka hendaklah dia mematahkan kakinya yang sebelah. Kalau fitnah masih menyeretnya juga, maka hendaklah dia mematahkan kakinya yang lain.”
Muhammad Al-Imam mengomentari: “Para ulama tidak ada yang memahami dari atsar-atsar ini bahwa itu konsekwensinya menafikan semua jenis peperangan syar’i (yang dibenarkan oleh syari’at).”
Saya katakan: Atsar-atsar yang engkau sebutkan itu padanya tidak ada hujjah (alasan) yang membelamu, karena mereka hanya sebatas menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang SEBUAH KEJADIAN TERTENTU DAN PERISTIWA KHUSUS.
Jadi salah seorang dari mereka ditanya tentang sebuah peristiwa tertentu, lalu dia menjawab agar menolak untuk berperang kecuali jika Nabi dibangkitkan, atau dengan pedang yang memiliki dua mata, sehingga penanya mengerti bahwa pihak yang ditanya memaksudkan fitnah tersebut saja, dan tidak memaksudkan hukum yang sifatnya umum.
Jadi ucapan mereka merupakan jawaban dari sebuah pertanyaan. Oleh karena itulah tatkala perkataan Abdullah bin Hubairah sifatnya umum tanpa didahului oleh sebuah pertanyaan, maka perkataannya bersifat rinci dan detail dengan dia mengatakan: “Siapa saja yang MENJUMPAI FITNAH, maka hendaklah dia mematahkan kakinya…” Jadi dia mengkaitkan secara jelas dengan fitnah.
Adapun ucapanmu maka benar-benar berbeda dengannya, karena setelah selesai menyebutkan atsar tersebut, engkau MENYEBUTKAN KAIDAH YANG BERSIFAT UMUM, dan padanya engkau tidak membedakan antara peperangan yang dibenarkan oleh syari’at dengan peperangan yang dilarang, yaitu dengan ucapanmu: “Seandainya Nabi dibangkitkan dan beliau bersabda kepada kita: “Perangilah sekelompok kaum Muslimin!” Maka kita akan berperang dan kita tidak akan merubah keputusan tersebut.”
***
KEDUA: Adapun berkaitan dengan ucapan Muhammad Al-Imam: “Ahlus Sunnah menetapkan bahwa sebuah ucapan dipahami terkadang berdasarkan lafazh-lafazhnya, dan terkadang berdasarkan konteks dan susunannya.”
Saya katakan: Telah kami sebutkan konteks ucapannya, dan bahwasanya ITU justru MENUNJUKKAN KEPADA MAKNA YANG TELAH KAMI SEBUTKAN.
***
KETIGA: Adapun berkaitan dengan ucapan Muhammad Al-Imam bahwa dia memiliki ucapan lain di kitab yang lain yang menunjukkan bahwa dia berpendapat adanya perang syar’i (yang sesuai syari’at).
Maka dibantah: Jika engkau telah menyebutkan sebuah ucapan pada sebuah tempat, kemudian engkau menyebutkan ucapan lain di tempat yang berbeda yang bertentangan dengan ucapanmu terdahulu, maka ini termasuk KONTRADIKSI, dan ini adalah yang dinamakan oleh para ulama dengan istilah “membawa ucapan yang global kepada makna yang terperinci.”
Jadi, ketika seseorang salah pada sebuah tempat, dia bisa berkelit dengan mengatakan: “Saya memiliki ucapan yang bagus di tempat lain.” Hal ini misalnya seperti seseorang yang mengatakan dalam sebuah pelajaran: “Tidak boleh mencela para Shahabat.” Lalu pada hari Jum’at dia naik mimbar untuk menyampaikan khutbah Jum’at dan dia mencela para Shahabat. Ketika orang-orang mencelanya karena celaannya terhadap para Shahabat, dia berkelit dengan mengatakan: “Ucapanku pada pelajaran menjelaskan maksud ucapanku ini.”
Dia menyangka bahwa dengan semacam ini telah cukup untuk menghilangkan kesalahpahaman. Padahal ini tidak ada gunanya sama sekali, karena kesalahannya masih tetap ada seperti sedia kala, dan kesalahan itu tidak akan bisa dihilangkan kecuali dengan cara taubat yang benar dari kesalahan tersebut.
Muhammad Al-Imam menyangka bahwa ucapannya itu dalam konteks peperangan demi kekuasaan, namun orang-orang yang memusuhinya membawa ucapannya kepada makna yang tidak semestinya, sehingga mereka menempatkannya pada makna penafian perangan syar’i (yang dibenarkan oleh syari’at).
Maka saya katakan: Konteks ucapanmu sangat jelas menunjukkan bahwa engkau memaksudkan secara umum.
Tetapi masalahnya engkau menganggap bahwa peperangan syar’i adalah perang fitnah, karena (menurutmu, pen) hakekatnya hal itu merupakan konspirasi tersembunyi terhadap kaum Muslimin.
Saya telah membantah ucapannya ini pada “KRITIK ILMIAH” saya dengan saya katakan: “Sesungguhnya peletak syari’at (Allah) Yang Mulia mengkaitkan hukum-hukum fikih dengan alasan-alasan dan sebab-sebab, maka kapan saja dijumpai sebab-sebab ini maka tegaklah hukum-hukum fikih secara lahiriyah, dan setelah itu kita tidak dibebani untuk membongkar sesuatu yang sifatnya bathin atau tersembunyi.
Adapun teori adanya konspirasi, jika ternyata akan menyeret kepada sikap menggugurkan kewajiban-kewajiban syari’at dan membuang hukum-hukum fikih, maka itu merupakan teori yang rusak.”
Washallallah wa Sallam wa Baaraka ‘Abdihi wa Rasulihii
5 Shafar 1436 H
Ditulis oleh: Abu Ammar Ali Al-Hudzaify
Catatan kaki:
- Yang dimaksudkan oleh guru kami rahimahullah beliau dahulu dengan perkataannya tersebut adalah upaya mengadu domba yang dilakukan oleh pemerintah terhadap Ahlus Sunnah dan Rafidhah. Namun, tidak pernah suatu hari pun beliau mengatakan: “Jika Rafidhah menyerang kalian di negeri kalian, maka bukakan untuk mereka dan jangan memerangi mereka!”
Dan guru kami memiliki perkataan indah dalam kitab “Al-Ilhaad Al-Khumainy Fii Ardhil Haramain” yang intinya bahwa guru kami Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah memperingatkan agar Ahlus Sunnah tidak mendahului mengobarkan peperangan terhadap Rafidhah, hanya saja jika Rafidhah berbuat jahat terhadap Ahlus Sunnah maka Ahlus Sunnah berhak untuk membela diri.
Sumber: http://www.sahab.net/forums/index.php?showtopic=148851
WhatsApp Miratsul Anbiya Indonesia