MENGHORMATI PEMERINTAH SEBAGAI WALIYYUL AMRI
Ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Hamzah Yusuf hafizhahullah
Pemerintah adalah waliyyul amri.
Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam telah menjelaskan bahwa al-hakim al-muslim (pemerintah yang muslim), tidak lepas dari dua keadaan:
1. Pemerintah ini adalah seorang muslim, adil, bijaksana, taat beragama, tepercaya, menampakkan kasih sayang kepada kaum muslimin, mengerahkan segenap upayanya demi kebaikan kaum muslimin dan kebaikan Islam. Pemerintah yang seperti ini wajib dihormati dan dimuliakan sebagai bagian dari mengagungkan Allah Subhanahu wata’ala, seperti yang disinggung oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam di dalam hadits yang sahih,
إِنَّ مِنْ إِجْلَالِ اللهِ إِجْلَالُ ذِي الشَّيْبَةِ الْمُسْلِم،ِ وَذِي السُّلْطَانِ الْمُقْسِطِ، وَحَامِلِ الْقُرْآنِ غَيْرُ الْغَالِي فِيهِ أَوِ الْجَافِي عَنْهُ
“ Sesungguhnya termasuk mengagungkan Allah adalah menghormati orang tua yang muslim, penguasa yang adil, dan penghafal al-Qur’an; tanpa berlebihan di dalamnya atau menyepelekannya.” (HR. Abu Dawud no. 4843)
Penguasa yang adil adalah yang memimpin manusia dengan perintah dari Allah Subhanahu wata’ala dan perintah Rasul- Nya Shallallahu ‘alaihi wasallam, menerapkan syariat Allah Subhanahu wata’ala, menegakkan keadilan, dan kasih sayang. Penguasa seperti ini wajib dimuliakan, dihormati, dan diagungkan, karena hal ini bagian dari mengagungkan Allah Subhanahu wata’ala. Penguasa ini adalah naungan Allah Subhanahu wata’ala di muka bumi, sebagaimana disampaikan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam,
السُّلْطَانُ ظِلُّ اللهِ فِي الْأَرْضِ، مَنْ أَكْرَمَهُ أَكْرَمَهُ اللهُ وَمَنْ أَهَانَهُ أَهَانَهُ ا للهُ
“Penguasa adalah naungan Allah Subhanahu wata’ala di muka bumi, siapa yang memuliakannya, Allah Subhanahu wata’ala akan memuliakannya, dan siapa yang menghinakannya Allah Subhanahu wata’ala akan menghinakannya.” (HR. Ibnu Abi Ashim, dinyatakan hasan oleh al-Albani dalam Zhilalul Jannah)
2. Pemerintah yang muslim, namun zalim atau pribadinya fasik, dan pelaku kemaksiatan, tetapi tidak sampai keluar dari ruang lingkup keislaman. Pemerintah seperti ini tidak boleh diberontak dan tidak boleh (bagi siapa pun) untuk memprovokasi rakyat melakukan pemberontakan kepadanya, berdasarkan keumuman sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam,
إِنَّهُ سَيَكُو ن عَلَيْكم أُ مَرَ ا ءُ تَعرِ فُو ن وَ تنْكرُ و نَ
“Sesungguhnya akan ada para umara yang memimpin kalian, kalian mengenal (perbuatan baiknya) dan mengingkari (perbuatan buruknya).”
Beliau juga mengabarkan bahwa di akhir zaman akan ada para pemimpin yang memberi petunjuk tidak dengan petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dan menetapkan sunnah tidak dengan sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau ditanya, “Apa yang harus dilakukan menghadapi pemimpin yang seperti ini?” Beliau menjawab ditujukan kepada semua orang, “Kita hendaknya memohon (hak kita) kepada Allah Subhanahu wata’ala dan tetap taat (kepada mereka).”
Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam mengabarkan, bahwa di akhir zaman akan ada para pemimpin atau umara yang bertindak semenamena— korupsi, kolusi, dan nepotisme— terhadap dunia dan harta benda serta berbagai kemungkaran yang diingkari, namun beliau tetap memerintahkan agar kita mendengar dan taat kepada pemimpin itu.
Beliau mengabarkan, kita akan dipimpin oleh umara yang mengakhirakhirkan shalat dari waktunya, tetapi masih menunaikan shalat. Sebagian sahabat beliau bertanya, “Bolehkah kami bunuh? Kami penggal dengan pedang?” Beliau menjawab, “Tidak! Selama mereka masih menunaikan shalat.”
Dalam sebagian riwayat, beliau memerintah para sahabatnya agar bersabar. Bahkan, beliau memerintah orang yang datang bersama mereka (umara) agar menunaikan shalat pada waktunya, dan jika kebetulan mereka sedang menunaikan shalat, hendaknya shalat bersamanya.
Semua itu, sebagai bentuk penjagaan terhadap kewibawaan pemerintah, menjaga persatuan kaum muslimin, mengatur urusan-urusannya, dan menguatkan barisannya. Sebab, kewibawaan Islam tidak akan tegak kecuali dengan adanya kewibawaan pemerintah dalam setiap jiwa. Kewibawaan itu tidak dapat dicapai kecuali dengan penghormatan terhadap mereka yang tertanam dalam setiap dada manusia, mengajak semua pihak untuk memuliakan mereka, taat dan mendengar, serta tidak merendahkannya. Kemaslahatan seluruh rakyat dalam urusan agama dan dunianya tidak akan terwujud kecuali dengan kewibawaan pemerintah dan kehormatannya yang ada dalam diri setiap orang.
Al-Imam Ibnu Hazm rahimahumallah telah menukil kesepakatan ulama menyangkut persoalan ini, (beliau menyatakan), “Sesungguhnya kemaslahatan Islam tidak akan tegak kecuali dengan dihormatinya (pemerintah), dipenuhinya hak-haknya, dan adanya kewibawaan mereka dalam jiwa-jiwa manusia. Dengan inilah urusan agama dan dunia berjalan, sebagaimana pernyataan para ulama Islam, (al-Imam al-Qarafi) dalam adz-Dzakhirah, (al- Imam Badruddin Ibnu Jamaah) dalam Tahrir al-Ahkam bi Tadbir Ahli al- Islam, dan selainnya. Semoga Allah Subhanahu wata’ala merahmati mereka. Semua menegaskan bahwa tertatanya kemaslahatan rakyat dan negara adalah dengan cara mewujudkan apa yang menjadi faktor pendukungnya. Apa yang menjadi faktor pendukungnya? Ya, menumbuhkan kewibawaan pemerintah dalam dada kaum muslimin.
Apabila pemerintah tidak lagi memiliki kewibawaan, bahkan diupayakan agar kewibawaannya lenyap dari hati manusia, lepaslah ikatan kepemimpinan itu. Saat itu pula tidak ada sikap taat dan mendengar (dari rakyat) sehingga terjadilah berbagai kekacauan dan kerusakan.” (diambil dari ceramah asy-Syaikh Dr. Muhammad bin Hadi al-Madkhali hafizhahullah, 10 Jumadil Akhir 1432 H, yang kemudian diberi judul al-Hakim wa Anwa’uhu fi Sunnah an-Nabawiyyah)
Sumber: Majalah Asy Syariah