Menghidupkan Sunnah Nabi yang Kian Terasing
Al Ustadz Qomar Su’aidy Lc
Dahulu Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah mewasiatkan umatnya agar berpegang dengan kuat pada ajaran (Sunnah) beliau. Namun kini umatnya lebih banyak yang meninggalkan ajaran Nabinya, meski di sana menanti adzab yang keras dari Allah.
Sunnah Nabi, sebuah istilah yang kerap kita mendengarnya. Bahkan sering pula mengucapkan karena As Sunnah (petunjuk/ ajaran Nabi) adalah sesuatu yang menjadi landasan hidup kita sebagai penganut ajaran Islam. Kita semua sepakat untuk menjunjung tinggi dan mengagungkan As Sunnah dan bersepakat pula bahwa yang merendahkannya berarti menghinakan Islam dan ajaran Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam.
Namun jika kita menengok realita yang ada, apa yang dilakukan kaum muslimin dalam mengagungkan Sunnah Nabi nampaknya sudah jauh dari yang semestinya. Bahkan keadaannya sangat parah. Tidak tanggung-tanggung, di antara mereka ada yang menolak dengan terang-terangan As Sunnah yang tidak mutawatir [1] dan mengatakan hadits ahad bukan hujjah (dalil) dalam masalah akidah.
Ada pula yang menolak dan mengingkari Sunnah Nabi secara total dengan berkedok mengikuti Al Qur`an saja. Padahal Al Qur`an tidak mungkin dipisahkan dari As Sunnah. Al Qur`an memerintahkan untuk mengambil apa saja yang datang dari Nabi yaitu Sunnahnya. Ada pula yang dengan terang-terangan menolak hadits Nabi karena dinilai tidak sesuai dengan akal.
Bentuk yang lebih parah dari ‘sekedar’ menolak adalah mengolok-olok As Sunnah dan orang-orang yang mencoba berjalan di atasnya. Sangat disayangkan sikap-sikap seperti ini justru kadang dimiliki oleh orang-orang yang terjun ke kancah dakwah. Padahal lisan mereka juga mengatakan bahwa kita wajib mengagungkan As Sunnah.
Mengagungkan As Sunnah adalah perkara yang besar dan bukan sekedar isapan jempol. Ia butuh bukti nyata dan praktek dalam kehidupan. Namun kini keadaannya justru sebaliknya, banyak orang menolaknya.
Nabi telah mengisyaratkan akan datangnya keadaan ini:
“Sungguh-sungguh aku akan dapati salah seorang dari kalian bertelekan (tiduran) di atas dipannya, (lalu) datang kepadanya sebuah perintah dari perintahku atau larangan dari laranganku lalu dia mengatakan: ‘Saya tidak tahu itu. Apa yang kami dapatkan dalam kitab Allah kami ikuti.’”(Shahih, HR. Ahmad, Abu Dawud, At-Tirmidzi dari Abu Rafi’, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahihul Jami’, 7172)
Yakni mereka menolak Sunnah Nabi dengan alasan hanya mengikuti Al Qur`an.
Makna Sunnah Nabi
Yang dimaksud dengan Sunnah Nabi adalah petunjuk dan jalan yang ditempuh oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam. Di dalamnya mencakup perkara-perkara yang hukumnya wajib maupun sunnah, yang berkaitan dengan akidah maupun ibadah dan yang berkaitan dengan muamalah maupun akhlak.
Para ulama Salaf mengatakan bahwa As Sunnah artinya mengamalkan Al Qur`an dan hadits serta mengikuti para pendahulu yang shalih serta ber-ittiba’ (berteladan) dengan jejak mereka. (Al-Hujjah fi Bayanil Mahajjah, 2/428, Ta’zhimus Sunnah, hal. 18)
Ibnu Rajab rahimahullah menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan As Sunnah pada asalnya adalah jalan yang ditempuh, dan itu meliputi sikap berpegang teguh dengan apa yang dijalani oleh Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam dan para khalifahnya baik berupa keyakinan, amalan, maupun ucapan. Dan inilah makna As Sunnah secara sempurna. (Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, hadits no. 28)
Itulah yang dimaksud dalam pembahasan ini, sehingga kita tidak terpaku pada istilah sunnah menurut ahli fiqih atau sunnah menurut ahli ushul fiqih atau sunnah dalam arti akidah, tetapi mencakup itu semua.
Sebagaimana tersebut dalam hadits Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam:
“Wajib atas kalian berpegang dengan Sunnahku dan Sunnah para Al-Khulafa` Ar-Rasyidin…” (Shahih, HR. Ahmad, Abu Dawud dan At Tirmidzi, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahihul Jami’, no. 2549)
Perintah Memuliakan Sunnah
Allah Subhanahu wata’ala berfirman:
“Dan apa yang diberikan Rasul kepada kalian maka ambillah sedang apa yang beliau larang darinya maka berhentilah.” (Al-Hasyr: 7)
Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di mengatakan: “Perintah ini mencakup prinsip-prinsip agama dan cabang-cabangnya baik lahir maupun batin, dan bahwa yang dibawa oleh Rasul maka setiap hamba harus menerimanya dan tidak halal menyelisihinya. Apa saja yang disebut oleh Rasul seperti apa yang disebut oleh Allah, tidak ada alasan bagi seorangpun untuk meninggalkannya dan tidak boleh mendahulukan ucapan siapapun atas ucapan Rasul.” (Taisir Al-Karimirrahman, hal. 851)
“Barangsiapa yang menaati Rasul berarti ia menaati Allah.” (An Nisa`: 80)
Maksudnya, setiap orang yang taat kepada Rasul Shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam perintah dan larangan berarti ia taat kepada Allah Subhanahu wata’ala , karena Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintah atau melarang kecuali dengan perintah dari Allah Subhanahu wata’ala . Ini berarti pula bahwa Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam terlindungi dari kesalahan karena Allah memerintahkan kita untuk taat kepadanya secara mutlak. Kalau seandainya beliau tidak ma’shum (terjaga dari salah) pada apa yang beliau sampaikan dari Allah Subhanahu wata’ala , tentu Allah Subhanahu wata’ala tidak akan memerintahkan taat kepadanya secara mutlak dan tidak memujinya. (Taisir Al-Karimirrahman, hal. 189 dan Tafsir Ibnu Katsir, 2/541)
“Dan tidaklah ada pilihan bagi seorang mukmin atau mukminah jika Allah Subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya telah memutuskan sebuah perkara pada urusan mereka.” (Al-Ahzab: 36)
Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan: “Ayat ini umum meliputi seluruh perkara, yaitu jika Allah Subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya menetapkan hukum sebuah perkara maka tidak boleh bagi seorangpun untuk menyelisihinya. Tidak ada peluang pilihan, ide atau pendapat bagi siapapun di sini.” (Tafsir Ibnu Katsir, 3/498)
Ketiga ayat ini menunjukkan secara jelas bagaimana semestinya kita menempatkan Sunnah Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam, yakni wajib mengambilnya dan merupakan keharusan yang tidak ada tawar-menawar lagi. Kemudian menjadikan As Sunnah tersebut sebagai pedoman dalam melangkah melakukan ketaatan kepada Allah Subhanahu wata’ala . Hal itu karena Allah Subhanahu wata’ala jadikan Nabi-Nya Shalallahu ‘alaihi wa sallam sebagai penjelas Al Qur`an sebagaimana dalam firman-Nya:
“Dan kami turunkan kepadamu Al Qur`an agar engkau terangkan kepada manusia apa yang diturunkan kepada mereka.” (An-Nahl: 44)
Selanjutnya kita lihat bagaimana hadits-hadits yang memerintahkan untuk mengikuti As Sunnah, di antaranya:
Dari Al-’Irbadh bin Sariyah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: “Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam memberikan sebuah nasehat kepada kami dengan nasehat yang sangat mengena, hati menjadi gemetar dan matapun berderai air mata karenanya, maka kami katakan: ’Wahai Rasullullah, seolah-olah ini nasehat perpisahan maka berikan wasiat kepada kami’, lalu beliau katakan: ‘Saya wasiatkan kalian untuk bertakwa kepada Allah Subhanahu wata’ala , mendengar dan taat walaupun yang memimpin kalian adalah seorang budak karena sesungguhnya barangsiapa yang hidup sepeninggalku ia akan melihat perbedaan yang banyak, maka wajib atas kalian bepegang teguh dengan Sunnahku dan Sunnah para Al-Khulafa` Ar-Rasyidin, gigitlah dengan gigi-gigi geraham kalian dan jauhilah oleh kalian perkara-perkara yang baru karena sesungguhnya semua bid’ah itu sesat.” (Shahih, HR. Ahmad, Abu Dawud dan At-Tirmidzi, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahihul Jami’, no. 2549)
Demikian Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam mewasiatkan kepada para shahabat beberapa wasiat penting, di antaranya perintah untuk berpegang teguh dengan Sunnahnya dan Sunnah para Al-Khulafa‘ Ar-Rasyidin. Bahkan beliau menyuruh untuk menggigitnya dengan gigi kita yang paling kuat. Di masa shahabat saja Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam telah berwasiat demikian, lebih-lebih di jaman sepeninggal beliau di mana kondisi masyarakat dari sisi keagamaan semakin buruk dengan munculnya berbagai perselisihan dan bid’ah pada perkara-perkara yang prinsipil.
Beberapa orang datang kepada istri Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam menanyakan amalan yang dilakukan oleh Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam di saat sendirian. Setelah mendengar jawabannya merekapun menganggap bahwa diri mereka sangat jauh dari apa yang dilakukan oleh Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam sehingga masing-masing menetapkan azam (tekad)-nya.
Salah satu dari mereka berkata: “Saya tidak akan menikahi wanita.” Yang lain mengatakan: “Saya tidak akan makan daging,” dan yang lain mengatakan: “Saya tidak akan tidur di kasur.” Sampailah berita itu kepada Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam maka beliaupun berpidato dengan memuji Allah Subhanahu wata’ala dan menyanjung-Nya lantas berkata: “Mengapa ada orang-orang yang mengatakan demikian dan demikian, (padahal) saya bangun shalat malam dan saya juga tidur, saya puasa dan saya terkadang tidak berpuasa, dan saya juga menikahi wanita. Maka barangsiapa yang tidak suka dengan Sunnahku, dia bukan dari golonganku.” (Shahih, HR. Muslim, 9/179)
Coba kita amati kisah ini. Beberapa shahabat datang dengan maksud baik, lalu mereka ber-azam untuk meninggalkan beberapa kenikmatan dengan tujuan memperbanyak ibadah sehingga bisa mendekati amalan Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam. Namun niatan itu justru mengakibatkan ditinggalkannya beberapa sunnah, petunjuk dan jalan Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam yaitu menikah, memberikan hak jasmani dengan tidak puasa setiap hari dan tidak bangun sepanjang malam walaupun untuk ibadah.
Maka Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam menganggap hal itu tidak baik sehingga mengatakan: “Barangsiapa yang benci terhadap Sunnahku maka bukan dari golonganku.”
Jadi, sekedar niat baik saja tidak cukup bila tanpa disertai cara yang baik pula. Kalau keadaan mereka saja seperti ini lalu bagaimana dengan yang sengaja meninggalkan Sunnah Nabi dengan niat jelek? Lalu bagaimana lagi yang menghina Sunnah Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam atau bahkan mengingkarinya?!
Demikian ayat dan hadits mendudukkan Sunnah Nabi pada tingkat yang sangat tinggi. Oleh karenanya kita dapati para shahabat Nabi benar-benar menghargai dan menjadikannya sebagai panutan hidup, bahkan sangat takut kalau-kalau mereka menyelisihi As Sunnah sehingga menyebabkan kesesatan mereka dari jalan yang lurus.
Kita dapati Abu Bakr Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu mengatakan: “Saya tidak meninggalkan sesuatu yang Rasulullah melakukannya kecuali saya pasti melakukannya juga, dan saya takut jika saya tinggalkan sesuatu darinya lalu saya sesat.”
Wahai saudaraku… orang yang paling jujur (Abu Bakr) khawatir dirinya tersesat jika menyelisihi sesuatu dari jalan Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam. Maka bagaimana jadinya dengan sebuah jaman yang penduduknya mengolok-olok Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam mereka dan perintah-perintahnya bahkan berbangga dengan menyelisihi dan mengolok-oloknya?
Kami memohon perlindungan kepada Allah Subhanahu wata’ala dari perbuatan salah dan memohon keselamatan dari amal yang jelek. Demikian dikatakan oleh Ibnu Baththah t, seorang ulama akidah yang hidup pada abad keempat hijriyah dalam kitab Al-Ibanah, 1/246, (lihat Ta’zhimus Sunnah, hal. 24). Lalu bagaimana jika beliau hidup di jaman kita? Apa yang kira-kira akan beliau katakan?
Seorang tabi’in bernama Abu Qilabah rahimahullah mengatakan: “Jika kamu ajak bicara seseorang dengan As Sunnah lalu dia mengatakan: ‘Tinggalkan kami dari ini dan datangkan Kitabullah.’ Maka ketahuilah bahwa dia sesat.” (Thabaqat Ibni Sa’d, 7/184, Ta’zhimus Sunnah, hal. 25)
Demikian pula yang enggan menerima Sunnah Nabi karena lebih cenderung kepada pendapat seseorang maka dia berada dalam bahaya besar. Seperti dikatakan Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma ketika datang kepadanya seseorang yang yang seolah-olah mengadu Sunnah Nabi dengan pendapat Abu Bakar dan ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, maka Abdulllah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengatakan: “Hampir-hampir turun kepada kalian bebatuan dari langit, aku katakan Rasullullah berkata demikian, dan kalian katakan Abu Bakar dan ‘Umar berkata demikian?!” (Riwayat Ahmad dengan sanad hasan, lihat Tahqiq Fathul Majid hal. 451 oleh Walid Al-Furayyan)
Maka sangat mengherankan kalau seseorang mengetahui As Sunnah lalu meninggalkannya dan mengambil pendapat yang lain, sebagaimana diingatkan oleh Al-Imam Ahmad t: “Saya merasa heran terhadap sebuah kaum yang tahu sanad hadits dan keshahihannya, lalu pergi kepada pendapat Sufyan (maksudnya Sufyan Ats-Tsauri rahimahullah -red). Padahal Allah Subhanahu wata’ala berfirman: ‘Maka hendaklah berhati-hati orang yang menyelisihi perintah Rasul-Nya untuk tertimpa fitnah atau tertimpa adzab yang pedih’ (An-Nur: 63). Tahukah kalian apa arti fitnah? Fitnah adalah syirik.” (Fathul Majid, hal. 466)
Demikian pula suatu saat Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah ditanya tentang sebuah masalah maka beliau mengatakan bahwa dalam masalah ini diriwayatkan demikian dan demikian dari Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam. Maka si penanya mengatakan: “Wahai Al-Imam Asy-Syafi’i, apakah engkau berpendapat sesuai dengan hadits itu?” Maka beliau langsung gemetar lalu mengatakan: “Wahai, bumi mana yang akan membawaku dan langit mana yang akan menaungiku, jika aku riwayatkan hadits dari Nabi kemudian aku tidak memakainya?! Tentu, hadits itu di atas pendengaran dan penglihatanku.” (Shifatus Shafwah, 2/256, Ta’zhimus Sunnah, hal. 28)
Dalam kesempatan lain beliau rahimahullah ditanya dengan pertanyaan yang mirip lalu beliau gemetar dan menjawab: “Apakah engkau melihat aku seorang Nasrani? Apakah kau melihat aku keluar dari gereja? Ataukah engkau melihat aku memakai ikat di tengah badanku (yang biasa orang Nasrani memakainya -red)? Saya meriwayatkan hadits dari Nabi lalu saya tidak mengambilnya sebagai pendapat saya?!” (Miftahul Jannah, 6)
Demikian tinggi nilai Sunnah Nabi dalam dada mereka sehingga rasanya sangat mustahil mereka meninggalkannya. Bahkan tidak terbayang ada seorang muslim yang berani meninggalkan Sunnah Nabi yang telah diketahui.
Pahala bagi Orang yang Berpegang dengan Sunnah Nabi
Karena pentingnya mengagungkan Sunnah Nabi sekaligus beratnya tantangan bagi yang mengagungkannya maka Allah Subhanahu wata’ala sediakan pahala yang besar bagi mereka yang berpegang teguh dengannya dan menjunjungnya tinggi-tinggi. Dalam sebuah hadits disebutkan:
“Sesungguhnya di belakang kalian ada hari-hari kesabaran, kesabaran di hari itu seperti menggenggam bara api, bagi yang beramal (dengan Sunnah Nabi) pada saat itu akan mendapatkan pahala lima puluh.” Seseorang bertanya: “Lima puluh dari mereka wahai Rasulullah?” Rasulullah menjawab: “Pahala lima puluh dari kalian.” (Shahih, HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi lihat Silsilah Ash-Shahihah no. 494 dan kitab Al-Qabidhuna ‘Alal Jamr)
Di hadits yang lain Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sesungguhnya Islam berawal dengan keasingan dan akan kembali kepada keasingan sebagaimana awalnya maka bergembiralah bagi orang-orang yang asing.” Rasulullah ditanya: “Siapa mereka wahai Rasulullah?” Jawab beliau: “Yaitu yang melakukan perbaikan ketika manusia rusak.” (Shahih, HR. Abu ‘Amr Ad-Dani dari shahabat Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, lihat Silsilah Ash-Shahihah no. 1273)
Demikian pula Allah Subhanahu wata’ala menjamin hidayah bagi orang-orang yang mengikuti Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam firman-Nya:
“Dan jika kalian menaatinya niscaya kalian akan mendapatkan hidayah.” (An-Nur: 54)
Hidayah untuk menempuh jalan yang lurus baik dengan ucapan atau perbuatan, di mana tidak ada jalan menuju kepada hidayah kecuali dengan taat kepada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam. Adapun tanpa itu maka tidak mungkin, bahkan mustahil. (Taisir Al-Karim Ar-rahman, hal. 572-573)
Semakna dengan ayat itu, hadits Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam yang berbunyi:
“Sesungguhnya setiap amalan itu ada masa giatnya dan setiap giat itu ada masa jenuhnya maka barangsiapa yang jenuhnya itu kepada Sunnahku berarti ia mendapatkan petunjuk dan barangsiapa yang masa jenuhnya itu kepada selainnya maka ia binasa.” (Shahih, HR. Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman dari Ibnu ‘Amr, lihat Shahihul Jami’ no. 2152)
Selama seseorang berada di atas Sunnah Nabi maka dia tetap berada di atas istiqamah. Sebaliknya, jika tidak demikian berarti ia telah melenceng dari jalan yang lurus sebagaimana dikatakan oleh Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu: “Manusia tetap berada di atas jalan yang lurus selama mereka mengikuti jejak Nabi.” (Riwayat Al-Baihaqi, dalam Al-Madkhal no. 220, lihat Miftahul Jannah no.197)
‘Urwah rahimahullah mengatakan: “Mengikuti Sunnah-Sunnah Nabi adalah tonggak penegak agama.” (Riwayat Al-Baihaqi, dalam Al-Madkhal no. 221, Miftahul Jannah no. 198)
Seorang tabi’in bernama Ibnu Sirin rahimahullah mengatakan: “Dahulu mereka mengatakan: Selama seseorang berada di atas jejak Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam maka dia berada di atas jalan yang lurus.” (Riwayat Al-Baihaqi, dalam Al-Madkhal no. 230, Miftahul Jannah no. 200)
Catatan Kaki:
1 Hadits mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan oleh para rawi dalam jumlah yang banyak dan mustahil mereka sepakat untuk berdusta atau kebetulan sama-sama berdusta. Sedang hadits ahad adalah yang selain itu. Ahlussunnah berpendapat bahwa hadits ahad yang shahih harus diterima dan diamalkan. (lihat An Nukat ‘Ala Nuzh-hatinnazhar, hal. 53-57)
Sumber: Majalah Asy Syariah