ditulis oleh: Al-Ustadz Qomar Suaidi, Lc.
Membahas hakikat jiwa manusia amatlah penting karena seluruh penyakit kalbu timbul dari sana. Dari jiwalah, benih-benih yang rusak menjalar ke seluruh anggota tubuh. Yang pertama kali terkena adalah kalbu.
Oleh karenanya, dahulu Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam sering meminta kepada Allah Subhanahu wa ta’ala agar melindunginya dari kejahatan jiwa manusia:
إِنَّ الْحَمْدَ لِلهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا
“Sesungguhnya pujian itu milik Allah. Kami memuji-Nya, memohon pertolongan dari-Nya, dan memohon ampunan dari-Nya, serta kami berlindung kepada Allah dari kejahatan jiwa-jiwa kami.”
Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam berlindung dari sifat dan amal jiwa itu. Telah disepakati bahwa jiwa dapat memutus hubungan perjalanan kalbu menuju Allah Subhanahu wa ta’ala
Dalam menghadapi jiwa ini, manusia terbagi menjadi dua kelompok. Satu kelompok dari mereka telah berhasil mengalahkan jiwanya dan menundukkannya sehingga selalu taat terhadap perintah agama. Tapi sekelompok yang lain justru jiwanya yang menguasai sehingga ia selalu tunduk kepada semua titah jiwanya yang akhirnya membinasakannya.
Sebagian ahli hikmah mengatakan, “Perjalanan para penuntut ridha Allah berakhir dengan menundukkan jiwa mereka. Maka barang siapa yang menang atas jiwanya, ia telah menang dan berhasil. Barang siapa yang jiwanya menguasainya, ia rugi dan binasa. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Adapun orang yang melampaui batas dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, maka sesungguhnya nerakalah tempat tinggal(nya). Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Rabbnya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal(nya).” (an-Nazi’at: 37—41)
Jiwa mengajak untuk melampaui batas dan mengutamakan kehidupan dunia. Sedangkan Allah l mengajak untuk takut kepada-Nya dan menahan jiwa dari keinginan-keinginannya. Maka kalbu berada di antara dua penyeru. Terkadang cenderung kepada yang satu dan terkadang cenderung kepada yang lainnya. Inilah tempat cobaan dan ujian.
Allah Subhanahu wa ta’ala telah menyifati jiwa dalam Al-Qur’an dengan tiga sifat: al-muthmainnah, al-ammarah bis-suu’, dan al-lawwamah.
Nafsu muthmainnah (jiwa yang tenang) yaitu yang tenteram menuju Allah Subhanahu wa ta’ala, tenang dengan berzikir kepada-Nya, kembali kepada-Nya, merindukan pertemuan dengan-Nya, dan tenteram dengan kedekatan-Nya. Jiwa itulah yang akan diberi kabar gembira ketika wafatnya, seperti dalam firman Allah Subhanahu wa ta’ala:
“Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Rabbmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya.” (al-Fajr: 27—28)
Yaitu seorang mukmin yang jiwanya tenang terhadap apa yang Allah janjikan, demikian ditafsirkan oleh Qatadah. Al-Hasan menafsirkan, yaitu yang merasa tenang dengan apa yang Allah firmankan dan membenarkannya. Mujahid mengatakan, yaitu jiwa yang kembali dan tunduk (kepada Allah) yang yakin bahwa Allah adalah Rabbnya. Hatinya tunduk kepada perintah-Nya dan taat kepada-Nya, serta yakin dengan pertemuan dengan-Nya.
Jadi hakikat thuma’ninah jiwa adalah ketenteraman dan ketenangan. Tenteram bersama Allah, ketaatan-Nya, dan dengan mengingat-Nya, serta tidak tenteram kepada selain-Nya. Tenang dengan cinta-Nya, peribadatan-Nya, dan berzikir kepada-Nya. Juga tenteram kepada perintah-Nya, larangan-Nya, dan berita-Nya. Tenteram dengan membenarkan hakikat asma dan sifat-Nya, dan ridha akan Allah l sebagai Rabbnya, Islam sebagai agamanya, dan Muhammad Subhanahu wa ta’ala sebagai Rasulnya. Tenteram dengan qadha dan qadar-Nya. Tenteram dengan perlindungan dan jaminan-Nya. Tenteram dengan Allah sebagai Rabbnya, ilahnya, sesembahannya, yang memiliki dirinya, dan segala urusannya, serta bahwa kembalinya hanya kepada-Nya, dan ia tidak pernah bisa lepas darinya sekejap mata pun.
Jika sebuah jiwa memiliki lawan dari sifat-sifat di atas, maka itu adalah jiwa ammarah bis-suu’ (suka memerintahkan kepada kejelekan). Yang menitahkan kepada jiwa untuk mengikuti apa yang diinginkannya, yang melenceng, dan mengekor kepada kebatilan. Maka jiwa semacam itu adalah sarang segala kejelekan. Jika ditaati, akan menyeretnya pada segala kejelekan.
Ammarah artinya selalu memerintahkan. Maksudnya, telah menjadi kebiasaan dan adatnya karena sifat kebodohan dan kezaliman yang ada padanya. Ia terus akan seperti itu kecuali jika dirahmati Allah l. Kalaulah tidak karena Allah, maka tidak satu jiwa pun akan suci dari sifat-sifat tercela itu.
Ibnu ‘Abbas ditanya apakah nafsu lawwamah itu? Jawabnya, “Yaitu yang suka mencela (dirinya).” Al-Hasan mengatakan, “Sesungguhnya seorang mukmin—demi Allah—tidak engkau lihat kecuali mencela dirinya dalam segala keadaannya. Ia merasa kurang dalam segala apa yang ia lakukan sehingga menyesali dan mencelanya. Adapun orang yang jahat, ia akan terus melaju tanpa mencela dirinya.”
Mujahid mengatakan, yaitu yang menyesali atas apa yang terlewatkan dan mencela dirinya.
Nafsu lawwamah karena seringnya bimbang maka ia mencela dirinya.
Kesimpulannya, sebuah jiwa terkadang menjadi nafsu ammarah, terkadang menjadi nafsu lawwamah, dan terkadang menjadi nafsu muthmainnah. Bahkan dalam satu hari atau satu saat, terkadang jadi seperti ini atau seperti itu. Yang akan menguasai adalah yang banyak mendominasi keadaannya.
Sifat muthmainnah adalah sifat yang terpuji. Sifat ammarah adalah sifat tercela baginya. Sedangkan sifat lawwamah bisa jadi pujian dan bisa jadi celaan, tergantung pada apa yang ia sesali.
[Diterjemahkan dan diringkas dari Ighatsatul Lahafan, hlm. 82—86 karya Ibnul Qayyim]
—————————————————-
Sumber : Majalah Asy Syariah