Menelan Pahitnya Ujian Dalam Beraqidah demi kehidupan Hakiki

Menelan Pahitnya Ujian Dalam BeraqidahMENELAN PAHITNYA UJIAN DALAM BERAQIDAH DEMI KEHIDUPAN HAKIKI

Ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Abdillah Abdurrahman Mubarak

Semua orang tidak pernah menduga dan mengharapkan adanya gangguan dan rintangan yang menghalangi jalan hidupnya kecil maupun besar, sedikit maupun banyak, dan ringan ataupun berat. Terlebih di saat dia ingin bertaqarrub kepada Allah Subhanahu wa ta’ala, mengemban tugas di mana dia diciptakan untuk itu, berharap tidak ada yang akan mengganggu, menyakiti, dan mencelanya. Hanya saja itu semua sekadar harapan dan keinginan. Sunnatullah telah mendahului harapan dan keinginannya bahkan telah mendahului penciptaan kita, sunnatullah yang tidak akan berubah dan berganti. Catatan hidup di lauhil mahfudz tidak akan mengalami pergantian dan perombakan, sebuah ketetapan yang pasti terjadi:

إِنَّ اللهَ قَدَّرَ مَقَادِيرَ الْخَلْقِ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ بِخَمْسِيْنَ أَلْفَ سَنَةٍ

“Sesungguhnya Allah telah menentukan seluruh takdir makhluk lima ribu tahun sebelum menciptakan langit dan bumi.” (HR. Muslim no. 2653 dari sahabat Abdullah bin ‘Amr bin Al-’Ash Radhiyallahu ‘anhu)

Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:

“Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi? Bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam sebuah Kitab (Lauh Mahfuzh). Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah.” (Al-Hajj: 70)

“Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam Kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (Al-Hadid: 22)

Sunnatullah yang telah memastikan adanya ujian dan cobaan bagi orang yang melaksanakan syariat dan mengikuti kebenaran. Dengan ujianlah akan nampak orang yang benar-benar jujur dan orang yang berdusta.

“Alif laam miim. Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: ‘Kami telah beriman’, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka. Maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya dia mengetahui orang-orang yang dusta.” (Al-’Ankabut: 1-3)

Saudaraku, camkan kalimat-kalimat ini:

“Allah Subhanahu wa ta’ala telah memberitakan tentang kesempurnaan hikmah-Nya. Dan hikmah Allah Subhanahu wa ta’ala tidak menentukan bahwa setiap orang yang mengatakan dan mengaku dirinya beriman, akan selalu berada dalam satu kondisi, selamat dari ujian dan cobaan dan tidak datang menghampirinya segala perkara yang akan mengganggu iman dan segala cabangnya. Jika hal itu terjadi (artinya orang-orang yang mengaku beriman tidak diuji, pent.) tentu tidak bisa dipisahkan antara orang yang jujur dan orang yang berdusta, serta antara orang yang benar dan orang yang salah. Sungguh sunnatullah telah berjalan dalam kehidupan orang-orang terdahulu dari umat ini. Allah Subhanahu wa ta’ala menguji mereka dengan kesenangan, malapetaka, kesulitan, kemudahan, segala yang disenangi dan tidak disenangi, kaya dan fakir, kemenangan musuh dalam sebagian kondisi, memerangi mereka dengan ucapan dan perbuatan, serta berbagai ujian lainnya. Segala bentuk ujian ini kembali kepada: ujian syubuhat yang akan mengempas aqidah, dan syahwat yang akan menodai keinginan. Barangsiapa yang ketika datang fitnah syahwat, imannya tetap kokoh dan tidak goncang, maka kebenaran yang ada pada dirinya menghalau fitnah tersebut. Ketika datang fitnah syahwat dan segala seruan kepada perbuatan maksiat dan dosa, dorongan untuk berpaling dari perintah Allah Subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya, dia berusaha mengaplikasikan konsekuensi iman dan bertarung melawan syahwatnya. Ini menunjukkan kejujuran dan kebenaran imannya.

Namun barangsiapa yang ketika fitnah syubhat datang memengaruhi hatinya dengan memunculkan keraguan dan kerancuan, dan ketika fitnah syahwat menghampirinya  lalu dia terseret pada perbuatan maksiat atau mendorongnya untuk meninggalkan kewajiban, ini menunjukkan tidak jujur dan tidak benarnya iman yang ada pada dirinya.” (As-Sa’di dalam Tafsir-nya hal. 576)

Surga dan Ujian

Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:

“Apakah kalian mengira bahwa kalian akan masuk surga, padahal belum datang kepada kalian (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kalian? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: ‘Bilakah datangnya pertolongan Allah?’ Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat.“ (Al-Baqarah: 214)

Tidak ada seorangpun yang pernah membayangkan jika ternyata surga beriringan dengan ujian dan rintangan besar, banyak lagi berat. Tempat kenikmatan yang hakiki dan abadi diliputi dengan perkara-perkara yang tidak menyenangkan. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam hal ini menegaskan:

حُجِبَتِ النَّارُ بِالشَّهَوَاتِ وَحُجِبَتِ الْجَنَّةُ بِالْمَكَارِهِ

“Neraka diliputi oleh berbagai macam syahwat dan surga diliputi oleh berbagai macam perkara yang tidak disukai.” (HR. Al-Bukhari no. 6006 dan Muslim no. 2823 dari sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu)

Hijrah ke Habasyah, Simbol Kekejaman Musyrikin

Para sahabat Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam  yang telah mendapatkan kemuliaan dari Allah Subhanahu wa ta’ala di dunia dan di akhirat –bahkan sebagiannya mendapatkan jaminan masuk surga– juga tidak luput dari berbagai ujian. Menggali perjalanan hidup mereka akan mendapatkan buah yang matang lagi harum dan lezat. Meski untuk bisa memetiknya harus melangkahi duri-duri nan tajam dan jurang yang curam lagi berbahaya. Selain itu, bila hati sedang hidup ketika menggali perjalanan hidup mereka, niscaya mata ini akan berlinangan air mata.

Hijrah pertama kali ke Habasyah merupakan salah satu usaha untuk meringankan beban yang mereka hadapi di saat mengikrarkan diri sebagai pemeluk agama baru yang dibawa oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam. Puncak dari keberingasan dan kekejaman mereka rasakan, sehingga mereka menginginkan ketentraman dan ketenangan dalam menjalankan ajaran agama baru tersebut. Mereka mencari tempat yang akan mengantarkan mereka kepada ketenangan dalam beragama. Lalu terisyaratlah negeri asing: Habasyah.

Mulai tahun keempat dari kenabian, kekejaman kaum kafir kian hari bertambah dan memuncak. Sampai kemudian pada tahun kelima dari kenabian beliau, bertepatan dengan bulan Rajab, dengan penuh rahasia di waktu malam, mereka keluar menuju laut dan menyewa dua perahu. Mereka lalu berlayar menuju negeri yang telah diisyaratkan. Mereka yang berhijrah berjumlah 12 orang pria dan empat wanita. Rombongan dipimpin oleh ‘Utsman bin ‘Affan Radhiyallahu ‘anhu. Mereka mendapatkan ketentraman dan ketenangan hidup di negeri hijrah. Namun akankah ujian itu berakhir?

Berita Makkah menghebohkan para muhajirin ini di saat Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam mengumandangkan kalam ilahi (surat An-Najm) di Baitullah Al-Haram. Mereka mengira bahwa kafir Quraisy telah memeluk agama yang dibawa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam. Ternyata sekembalinya ke negeri kelahiran, dugaan itu meleset. Orang-orang kafir menjadikan kembalinya mereka ini sebagai momen emas untuk melampiaskan keberingasan dan kekejamannya. Sehingga Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam mengisyaratkan kepada para sahabatnya untuk melakukan hijrah ke Habasyah untuk kedua kalinya. Hijrah yang kedua ini menghadapi kesulitan dan risiko yang hebat. Karena kaum kafir Quraisy berjaga dan bersiap-siap menghadang perjalanan mereka. Namun semuanya ada di tangan Yang Maha Kuasa. Tiada sedikitpun mereka bisa berbuat seperti yang mereka rencanakan. Allah Subhanahu wa ta’ala menghendaki yang lain. Hijrah kedua kalinya ini terdiri dari 83 orang pria dan 18 atau 19 orang wanita. Tidak berhenti sampai di sini ujian menimpa mereka. Di negeri hijrah, kafir Quraisy telah merancang berbagai macam makar agar Najasyi menyerahkan kaum muslimin kepada mereka. Beberapa bentuk hadiah mereka kirim beserta dua ahli hujjah (ahli debat) Quraisy, ‘Amr bin Al-’Ash dan Abdullah bin Abu Rabi’ah sebelum keduanya masuk Islam. Namun sungguh tipu daya mereka tidak bisa mengalahkan bantuan Allah Subhanahu wa ta’ala terhadap kaum mukminin ketika itu. (Lihat Fathul Bari 7/215 dan Ar-Rahiqul Makhtum hal. 67-70)

Di atas ujian ini, Allah Subhanahu wa ta’ala memuji mereka dari atas tujuh lapis langit. Pujian semerbak yang tidak akan bisa ditukar oleh apapun juga. Mereka membeli surga dengan kesabaran dan ketabahan mereka dalam menghadapi segala risiko beriman kepada Allah Subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya Shalallahu ‘alaihi wa sallam. Menukar surga dengan pengorbanan yang besar, lahir dan batin.

“Dan Kami cabut segala macam dendam yang berada di dalam dada mereka; mengalir di bawah mereka sungai-sungai dan mereka berkata: ‘Segala puji bagi Allah yang telah menunjuki kami kepada (surga) ini dan kami sekali-kali tidak akan mendapat petunjuk kalau Allah tidak memberi kami petunjuk. Sesungguhnya telah datang rasul-rasul Rabb kami, membawa kebenaran.’ Dan diserukan kepada mereka: ‘Itulah surga yang diwariskan kepadamu, disebabkan apa yang dahulu kamu kerjakan’.” (Al-A’raf: 43)

“Dan itulah surga yang diwariskan kepada kamu disebabkan amal-amal yang dahulu kamu kerjakan.” (Az-Zukhruf: 72)

“Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya.” (Al-Baqarah: 207)

“Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil, dan Al-Qur`an. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar.” (At-Taubah: 111)

Demikianlah. Surga didapatkan dengan berbagai macam ujian dan cobaan, rintangan, dan gangguan. Asy-Syaikh As-Sa’di rahimahullah mengatakan: “Allah Subhanahu wa ta’ala memberitakan bahwa Dia pasti akan menguji hamba-hamba-Nya dengan kesenangan, malapetaka, dan kesulitan sebagaimana telah Dia lakukan atas orang-orang sebelum mereka. Ujian ini merupakan sunnatullah yang terus berlangsung, tidak akan berubah dan berganti. Barangsiapa yang melaksanakan ajaran agama dan syariat-Nya, pasti Dia akan mengujinya. Jika dia bersabar atas perintah Allah Subhanahu wa ta’ala dan tidak peduli dengan segala rintangan yang terjadi di jalan-Nya, maka dialah orang jujur yang telah memperoleh kebahagiaan yang sempurna. Dan itulah jalan menuju sebuah kepemimpinan. Namun barangsiapa menjadikan ujian dari manusia bagaikan siksa Allah Subhanahu wa ta’ala, seperti dia terhalangi untuk melaksanakan ketaatan karena gangguan tersebut, menghalanginya dari meraih tujuannya, maka dia berdusta dalam pengakuan keimanan. Karena iman bukan sekadar hiasan, angan-angan, dan pengakuan. Amallah yang akan membenarkan atau mendustakannya.”

Semua ini menuntut agar kita memiliki kesiapan untuk menerima berbagai macam ujian dengan bermacam-macam bentuk dan kadarnya. Terkadang sebuah perkara sangat tidak disukai oleh diri kita, ternyata mengandung kebaikan yang banyak. Seperti apa yang telah disebutkan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala di dalam firman-Nya:

“Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.” (Al-Baqarah: 216) [Lihat Bahjatun Nazhirin 1/184]

Orang yang beriman tidak lagi memiliki pilihan melainkan bersabar terhadap malapetaka yang menimpanya dan bersyukur jika ujian tersebut berbentuk kesenangan dan kegembiraan. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

عَجَبًا لِأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ لَهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَلِكَ لِأَحَدٍ إِلاَّ لِلْمُؤْمِنِ، إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ، وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ

“Sangat mengherankan urusan orang-orang yang beriman di mana semua urusannya adalah baik dan hal itu tidak didapati melainkan oleh orang yang beriman. (Yaitu) apabila dia mendapatkan kesenangan, dia bersyukur; maka itu adalah kebaikan bagiannya. Dan apabila ditimpa malapetaka, dia bersabar; maka itu adalah sebuah kebaikan bagiya.” (HR. Muslim no. 2999 dari sahabat Abu Yahya Suhaib bin Sinan Radhiyallahu ‘anhu)

Aqidah, Pondasi Kesabaran, dan Kesabaran Pondasi Keberhasilan

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam berdakwah di kota Makkah selama 13 tahun, memperbaiki kerusakan aqidah dan moral. Dengan keuletan dan keberanian beliau menghadapi segala tantangan dan risiko, serta pengorbanan yang tidak terhitung, akhirnya beberapa orang dengan hidayah dari Allah Subhanahu wa ta’ala masuk ke dalam agama yang dibawanya. Di antaranya istri beliau Ummul Mukminin Khadijah bintu Khuwailid Radhiyallahu ‘anha, maula beliau Zaid bin Haritsah bin Syarahil Al-Kalbi Radhiyallahu ‘anhu, anak paman beliau ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu, dan teman dekat beliau, Abu Bakr Radhiyallahu ‘anhu. Mereka masuk Islam di awal permulaan dakwah. Setelah itu Abu Bakr ikut andil memegang amanat yang besar ini. Melalui tangannya, masuk Islamlah ‘Utsman bin ‘Affan Al-Umawi Radhiyallahu ‘anhu, Az-Zubair bin Al-’Awwam Radhiyallahu ‘anhu, Abdurrahman bin Auf Radhiyallahu ‘anhu, Sa’d bin Abi Waqqash Radhiyallahu ‘anhu, dan Thalhah bin Ubaidillah At-Taimi Radhiyallahu ‘anhu.

Demikianlah perjalanan dakwah kepada aqidah yang benar. Tidak semudah apa yang dibayangkan. Tugas yang menuntut pengorbanan besar dan tidak sedikit. Usaha dakwah kepada aqidah yang dilakukan oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam menyebabkan mereka bersabar menghadapi berbagai macam ujian di atas Islam. Dengan kesabaran dan keuletan serta keikhlasan, orang yang mendapatkan hidayah hari demi hari kian bertambah, baik dari kalangan budak atau orang merdeka. Seperti Bilal bin Rabah Al-Habsyi Radhiyallahu ‘anhu, Amin (kepercayaan) umat ini Abu ‘Ubaidah ‘Amir bin Al-Jarrah Radhiyallahu ‘anhu, Abu Salamah bin Abdul Asad Radhiyallahu ‘anhu, Arqam bin Abi Arqam Radhiyallahu ‘anhu, ‘Utsman bin Mazh’un Radhiyallahu ‘anhu dan dua saudara beliau, Qudamah Radhiyallahu ‘anhu dan Abdullah Radhiyallahu ‘anhu, ‘Ubaidah bin Al-Harits Radhiyallahu ‘anhu, Sa’id bin Zaid Al-’Adawi Radhiyallahu ‘anhu dan istrinya Fathimah Radhiyallahu ‘anha saudari ‘Umar bin Al-Khaththab, Khubbab bin Art Radhiyallahu ‘anhu, Abdullah bin Mas’ud Al-Hudzali Radhiyallahu ‘anhu, dan selain mereka. Mereka masuk agama tauhid dengan penuh rahasia. Hal itu terjadi karena keberingasan dan kekejaman kafir Quraisy terhadap siapa saja yang menganut agama baru yang dibawa oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam.

Pondasi aqidah yang mereka pijak melahirkan keikhlasan, kesabaran, keberanian, kesungguhan dalam mengemban amanat Ilahi. Dengan semuanya itu, Allah Subhanahu wa ta’ala mencatat kemuliaan bagi mereka di dunia dan di akhirat. Mereka mendapatkannya dengan ujian yang susul-menyusul. (lihat dengan ringkas dengan beberapa tambahan Ar-Rahiqul Makhtum hal. 53)

Bersabarlah, Engkau Akan Mulia

Mereka telah berlalu dengan ujian mulai dari awal mengikrarkan ketauhidan sampai ajal menjemput. Itulah sunnatullah yang pasti terjadi dan ketetapan yang tidak akan berubah. Bila engkau bersabar, maka kemuliaan, keberhasilan, dan kemenangan di pengujung kehidupan menanti.

“Katakanlah: ‘Hai hamba-hamba-Ku yang beriman bertakwalah kepada Rabbmu.’ Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (Az-Zumar: 10)

إِنَّكُمْ سَتَلَقَّوْنَ بَعْدِي أَثَرَةً فَاصْبِرُوا حَتَّى تَلَقَّوْنِي عَلىَ الْحَوْضِ

“Sesungguhnya kalian akan menjumpai sikap mengutamakan kepentingan pribadi, maka bersabarlah kalian sampai kalian berjumpa denganku di Al-Haudh (telaga).”  (HR. Al-Bukhari no. 3508 dan Muslim no. 1845 dari sahabat Abu Yahya Usaid bin Hudhair Radhiyallahu ‘anhu)

‘Alqamah berkata (ketika menjelaskan firman Allah Subhanahu wa ta’ala: “Dan barangsiapa beriman kepada Allah niscaya Dia akan menunjukinya.” (Ath-Thaghabun: 11): “Dia adalah seseorang yang ditimpa musibah dan mengetahui kalau itu datangnya dari Allah Subhanahu wa ta’ala, lalu dia ridha dan menerima.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, Ibnu Abi Hatim, dan telah diriwayatkan sepertinya dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu)

‘Umar bin Al-Khaththab Radhiyallahu ‘anhu berkata: “Kami menjumpai kebagusan hidup dengan kesabaran.” (Diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari rahimahullah secara mu‘allaq dan Al-Imam Ahmad rahimahullah dengan sanadnya dalam kitab Az-Zuhd hal. 117 dengan sanad yang shahih sebagaimana dinyatakan Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Bari, 11/303). Wallahu a’lam.

———————————————–

Sumber: Majalah Asy Syariah

© 1446 / 2024 Forum Salafy Indonesia. All Rights Reserved.