Ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Muhammad Abdul Mu’thi, Lc.
Sangat disayangkan, kebanyakan kita lupa dengan aib yang melekat pada diri-diri kita dan menutup mata dari kekurangan yang ada. Lebih parah lagi, ada yang bersikap sebaliknya, yaitu berbaik sangka dan menganggap diri telah bersih dan sempurna, padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa.” (an-Najm: 32)
Ketika sebagian kita mendengar tentang akhlak yang mulia, ia beranggapan seolah-olah akhlak tersebut sudah ada pada dirinya dan dialah pemilik perangai mulia itu. Namun, tatkala disebutkan tentang perangai tercela, buru-buru dia menuduhkannya kepada orang lain. Seolah-olah dia jauh dari perangai tersebut.
Sikap seperti ini tidak pantas dimiliki oleh orang yang menjunjung tinggi moral dan mendambakan kesempurnaan. Sikap seperti ini akan memunculkan sikap bangga diri yang tercela dan merasa puas di atas kekurangan yang ada. Ujungnya adalah meninggalkan upaya perbaikan diri.
Tidak dimungkiri bahwa ini adalah sikap yang bodoh dan sangat keliru. Dengan sikap tidak mau tahu tentang kadar diri sendiri dan kondisinya, seseorang tidak akan melangkah maju kepada tingkat kemuliaan. (Lihat Su’ul Khuluq, Muhammad bin Ibrahim al-Hamd, hlm. 68—69)
Cara Mengenal Aib Diri Sendiri
Kesempurnaan yang mutlak hanya milik Allah Subhanahu wa Ta’ala dan kemaksuman (terpelihara dari dosa) hanya dipunyai oleh Rasul Shallallahu `alaihi wa sallam. Adapun diri kita adalah tidak lebih dari seorang manusia yang diliputi beragam kekurangan, baik dari sisi ilmu maupun amal. Kelemahan dalam dua sisi ini atau salah satunya menjadi faktor utama terjadinya ketergelinciran ketika menapaki kehidupan ini. Namun, hendaknya tidak dipahami bahwa seseorang baru dikatakan baik jika dia tidak mempunyai kesalahan karena hal ini mustahil, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam:
كُلُّ ابْنِ آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِيْنَ التَّوَّابُونَ
“Setiap anak Adam (manusia) banyak melakukan kesalahan, dan sebaik-baik orang yang berbuat salah adalah yang (mau) bertobat.” (Hadits dari sahabat Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu, dan dinyatakan hasan oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Shahih Sunan at-Tirmidzi no. 2499, cet. al-Ma’arif)
Dosa dan kesalahan adalah kepastian atas manusia. Namun, yang tercela ialah manakala seseorang menunda-nunda memperbaiki diri atau bahkan tidak mau menyadari kekurangannya.
Jangan sampai hilang dari ingatan kita, manusia dicipta untuk memberikan penghambaan semata-mata untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala, sebagaimana firman-Nya:
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (adz-Dzariyat: 56)
Inilah hikmah penciptaan manusia. Oleh karena itu, barang siapa belum mewujudkan beragam penghambaan yang harus diberikan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, berarti pada dirinya ada aib yang harus segera diobati. Sedikit dan banyaknya aib seseorang terkait dengan apa dan seberapa bentuk penghambaan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala yang belum terealisasikan. Apabila ingin mengetahui kekurangan diri kita lebih jauh di hadapan syariat, hendaknya kita menelaah ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi Shallallahu `alaihi wa sallam. Dengan cara demikian, kita akan tahu seberapa perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya yang masih terabaikan dan seberapa pula larangan-Nya yang dilanggar.
Memang, terkadang aib diri tidak diketahui oleh pemiliknya sehingga tidak dihiraukan. Andai seorang mengetahui aibnya, belum tentu juga mau mengobatinya karena obatnya pahit, yaitu siap menyelisihi hawa nafsunya. Seandainya dia mau bersabar dengan pahitnya obat, belum tentu juga dia mendapatkan dokter yang ahli. Dokter yang ahli dalam hal ini adalah para ulama.
Al-Imam Ibnu Qudamah Rahimahullah berkata, “Ketahuilah bahwa apabila seorang hamba dikehendaki kebaikan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, Ia akan menjadikannya orang yang mengetahui kekurangannya. Orang yang melek mata hatinya niscaya tidak akan samar atasnya segala kekurangannya. Jika telah mengetahui kekurangan dirinya, dia akan bisa mengobatinya. Namun, sayang sekali, kebanyakan orang tidak tahu kekurangannya. Seorang dari mereka bahkan bisa melihat kotoran kecil yang melekat pada mata saudaranya, namun tidak bisa melihat batang pohon yang ada di matanya sendiri.
Ada empat cara bagi orang yang ingin mengetahui tentang aib dirinya:
1. Duduk di hadapan syaikh (guru/orang alim) yang sangat paham tentang aib-aib jiwa.
Orang alim itu akan memberi tahu aib-aib dirinya beserta terapi pengobatannya. Akan tetapi, orang alim di zaman sekarang sangat jarang. Oleh karena itu, jika seseorang menemukannya, berarti dia telah mendapatkan seorang dokter yang mahir sehingga dia hendaknya tidak berpisah darinya.
2. Mencari teman yang jujur, yang melek mata hatinya, dan bagus agamanya.
Teman yang seperti ini bisa dijadikan sebagai pengawas dirinya agar mengingatkannya dari perangai dan tingkah laku yang tidak baik.
Dahulu, Amirul Mukminin Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu ‘anhu berkata, “Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi rahmat kepada seorang yang menunjukkan kepada kami kekurangan-kekurangan kami.”
Adalah salaf (pendahulu umat ini) mencintai orang yang mengingatkan kekurangan atau aibnya. Namun, di masa kita ini justru sebaliknya. Orang yang menunjukkan aib kita pada umumnya dijadikan orang yang paling tidak disukai. Ini menandakan lemahnya iman.
Sesungguhnya, permisalan perangai jelek itu seperti kalajengking. Seandainya ada seseorang memberi tahu salah seorang kita bahwa di bawah pakaiannya ada kalajengking, niscaya dia akan berterima kasih lalu menyibukkan diri untuk membunuh kalajengking tersebut. Padahal perangai yang jelek lebih berbahaya daripada kalajengking.
3. Menggali kekurangan dirinya dari ucapan (yang keluar) dari musuhnya.
Penglihatan orang yang benci akan membongkar aib orang yang dibencinya. Oleh karena itu, seseorang lebih banyak mengambil pelajaran dari musuhnya yang menyebut-nyebut aibnya daripada temannya sendiri, yang seringnya berbasa-basi dan menyembunyikan kekurangannya.
4. Berbaur dengan manusia—yang baik—sehingga apa yang dipandang tercela oleh mereka dia akan menjauhinya. (Dinukil secara ringkas dari Kitab Mukhtashar Minhajul Qashidin hlm. 203—205)
Menuju Kesucian Diri
Seorang muslim yakin bahwa kebahagiaannya di dunia dan di akhirat tergantung pada upayanya membimbing dirinya dan membersihkannya dari kotoran. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (asy-Syams: 9—10)
Dia berusaha membersihkan dirinya dari keyakinan yang batil dan ibadah yang menyimpang, serta akhlak dan muamalah yang tercela. Di samping itu, dia juga berusaha menghiasi dirinya dengan iman yang memancar cahayanya ke seluruh anggota tubuhnya. Oleh karena itu, ia pun lebih sibuk mengoreksi dirinya ketimbang memerhatikan aib orang lain.
Al-Imam Ibnu Hibban Rahimahullah mengatakan, “Orang yang berakal tidak akan samar baginya aibnya karena orang yang tidak mengenal aibnya tidak akan mengetahui kebaikan orang lain. Sesungguhnya, hukuman terberat yang dirasakan oleh seseorang adalah ketika ia tidak tahu aib dirinya sendiri yang karenanya ia tidak akan berhenti dari—kejelekan—nya dan tidak akan tahu pula kebaikan orang.” (Raudhatul ‘Uqala hlm. 22)
Sesungguhnya, sangat tercela orang yang menutup mata dari aibnya sendiri, namun ia sangat paham terhadap aib orang lain.
Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu berkata, “Salah seorang dari kalian melihat kotoran (kecil) yang menempel pada mata saudaranya, (namun) ia lupa dengan kayu yang ada di matanya sendiri.” (Shahih al-Adab al-Mufrad no. 460)
Ini adalah permisalan bagi orang yang bisa melihat kekurangan orang lain yang sedikit dan mencelanya karena aib tersebut, padahal dia sendiri memiliki aib yang jauh lebih besar.
Ketika kita mengajak agar sibuk memerhatikan aib diri kita sendiri, tidak berarti menutup pintu amar ma’ruf nahi mungkar. Yang dituntut dari seorang adalah mengaca kekurangan dirinya kemudian memperbaikinya, sebagaimana pula ia punya tanggung jawab untuk memperbaiki masyarakatnya.
Seperti itulah semestinya. Agar kesucian diri bisa terwujud dan aib bisa tertambal, kiranya ada beberapa langkah yang semestinya dilakukan.
1. Tobat, yaitu seorang melepaskan diri dari segala dosa dan maksiat, menyesali semua dosa yang telah dilakukan dan bertekad hati untuk tidak mengulang di masa mendatang.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman, bertobatlah kepada Allah dengan tobat yang semurni-murninya, mudah-mudahan Rabb kamu akan menghapus kesalahan-kesalahanmu dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai.” (at-Tahrim: 8)
2. Muraqabah, yaitu seorang menanamkan di hatinya bahwa dirinya selalu diawasi oleh Allah l pada setiap detik kehidupannya.
Apabila upaya itu terus dilakukan, akan sempurna keyakinannya terhadap pengawasan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dia pun yakin bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala mengetahui rahasia yang disembunyikan dalam dada dan apa yang dilakukannya secara lahir.
3. Muhasabah, yaitu menghitung-hitung dan mengoreksi amalannya.
Pada kehidupan di dunia ini, seorang muslim beramal siang dan malam untuk meraih keridhaan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan surga-Nya. Dunia ia jadikan sebagai lahan amal untuk meraih harapan tersebut.
Dia akan memandang hal yang diwajibkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala layaknya seorang pedagang yang memandang modalnya. Ia juga melihat amalan-amalan sunnah seakan-akan seorang pedagang yang melihat ada keuntungan dari pokok atau modal dagangannya. Tak lupa pula, ia memandang dosa dan kemaksiatan ibarat kerugian dalam dagangan. Lalu di sore hari dia merenung sesaat untuk memeriksa amalannya. Apabila ia melihat ada kekurangan pada perkara wajib (modal pokok), ia pun mencela dirinya lalu berusaha menambal kekurangannya. Jika bisa diganti, ia pun menggantinya. Jika tidak mungkin, ia akan menambalnya dengan memperbanyak amalan sunnah. Apabila ternyata kekurangan ada pada amalan sunnah, dia pun berusaha menggantinya dan menambalnya.
Seandainya ia melihat kerugian pada dirinya karena melakukan hal yang dilarang agama, ia akan meminta ampun kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, menyesali perbuatannya, kembali kepada jalur yang benar, dan melakukan kebaikan yang sekiranya bisa memperbaiki apa yang telah rusak.
4. Mujahadah, yaitu berupaya mengekang hawa nafsu yang selalu mengajak kepada kejelekan.
Hawa nafsu lebih menyukai sikap bersantai-santai dan bermalas-malas serta menyimpangkan hati agar terjerumus dalam kesenangan maksiat sesaat, padahal setelahnya adalah kebinasaan.
Seorang muslim yang tahu kondisi hawa nafsu yang seperti ini niscaya akan mempersiapkan diri untuk melawannya. Apabila hawa nafsunya mendorongnya untuk bermalas-malas, ia meletihkan dirinya (dengan perkara yang positif). Apabila dirinya menginginkan syahwat (yang diharamkan), ia mengekangnya. Jika dirinya meremehkan amal ketaatan, ia menghukum dirinya dengan melakukan yang diremehkannya.
Intinya, ia mengejar apa yang tertinggal. Dengan upaya seperti ini, dirinya akan bersih. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar bersama orang-orang yang berbuat baik.” (al-Ankabut: 69) (Disarikan dari Kitab Minhajul Muslim, al-Jazairi hlm. 91—96)
Di samping upaya di atas, kita juga hendaknya tidak lupa bermohon kepada Dzat Yang Mahakuasa agar Dia memperbaiki kondisi kita serta menambal aib dan kekurangan kita.
Wallahu a’lam bish-shawab.
Sumber: Majalah Asy Syariah