Memilih Teman Membentengi Keyakinan

Memilih TemanMEMILIH TEMAN MEMBENTENGI KEYAKINAN

Ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Usamah Abdurrahman

Segala puji bagi Allah yang telah memuliakan hamba-hamba-Nya dengan menganugerahi mereka sifat ulfah (kedekatan sesama mereka) di dalam agama, memberikan taufik kepada akhlak yang paling mulia, menganugerahi mereka sifat sayang kepada kaum mukminin, menghiasi mereka dengan akhlak yang mulia dan perangai yang diridhai. Menjadikan mereka meneladani Rasulullah n dalam perbuatan, akhlak, pergaulan, dan amalan mereka. Karena Allah Subhanahu wa ta’ala telah memuji beliau dalam sebuah firman-Nya:

“Sesungguhnya engkau berada di atas akhlak yang agung.” (Al-Qalam: 4)

Allah Subhanahu wa ta’ala telah menyeru beliau kepada akhlak yang agung:

“Berilah maaf kepada mereka dan mintakanlah ampun buat mereka serta ajaklah mereka bermusyawarah dalam banyak hal dan jika kamu memiliki azam/tekad kuat (untuk melakukan sesuatu) maka bertawakkallah kepada Allah.” (Ali ‘Imran: 159)

Di antara kebagusan pergaulan beliau dan keindahannya, Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:

“Jika kamu keras hati niscaya mereka akan lari darimu.” (Ali ‘Imran: 159)

“Berikanlah maaf dan serulah kepada yang baik dan berpalinglah dari orang-orang yang bodoh.” (Al-A’raf: 199)

‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha telah ditanya tentang akhlak Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau Radhiyallahu ‘anha berkata: “Akhlaknya adalah Al-Qur’an.”

Segala puji bagi Allah Subhanahu wa ta’ala yang telah menjadikan hamba-Nya memiliki akhlak yang agung dan mulia. Dialah yang telah membimbing mereka kepada akhlak dan adab yang terpuji, serta menyelamatkan mereka dari akhlak yang tercela. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:

“Walaupun kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang berada di bumi niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka.” (Al-Anfal: 63)

Ulfah (kedekatan hati) akan melahirkan ukhuwah. Ukhuwah akan melahirkan kebagusan dalam bergaul dan berteman. Allah Subhanahu wa ta’ala lah yang memberikan taufik kepada siapa yang Dia kehendaki dari hamba-hamba-Nya dan membantu mereka dengan karunia serta keluasan rahmat-Nya.
Tentunya adab berteman dan bergaul banyak bentuknya. Setiap golongan manusia berhak mendapatkan adab-adab berteman dan bergaul. Oleh karena itu, wajib atas setiap mukmin untuk menjaga hak saudaranya dan memperbagus pergaulannya. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam telah menyebutkan bahwa mukmin itu adalah bersaudara, bagaikan satu jasad (tubuh). Tentunya, mereka semestinya akan tolong-menolong dalam kebaikan.

مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوْادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ الْوَاحِدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَى

“Permisalan orang yang beriman dalam cinta kasih dan sayang mereka bagaikan satu jasad yang bila salah satu dari anggota  tubuh tersebut mengeluh kesakitan maka seluruh anggota tubuh akan begadang dan merasa panas.” (HR. Muslim no. 4685)

الْمُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا

“Seorang mukmin dengan mukmin lainnya bagaikan satu bangunan yang sebagiannya mengokohkan sebagian yang lain.” (HR. Al-Bukhari no. 2266)

Apabila Allah Subhanahu wa ta’ala menghendaki kebaikan bagi hamba-Nya, niscaya Allah Subhanahu wa ta’ala memberikan taufiq untuk berteman dengan Ahlus Sunnah, dengan orang yang selalu menjaga diri, orang yang baik, dan baik agamanya. Allah Subhanahu wa ta’ala menyelamatkannya dari berteman dengan pengekor hawa nafsu, ahli bid’ah, dan orang-orang yang menyimpang. Karena Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

الرَّجُلُ عَلَى دِيْنِ خَلِيلِهِ فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ

“Seseorang berada di atas agama temannya, maka hendaklah setiap kalian melihat siapa temannya.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, At-Tirmidzi, dll)

Seorang penyair berkata:

عَنِ الْمَرْءِ لَا تَسْأَلْ وَسَلْ عَنْ قَرِينِهِ
فَكُلُّ قَرِيْنٍ بِالْمُقَارَنِ مُقْتَدِي

Janganlah engkau bertanya tentang jati diri seseorang, tapi tanyakanlah siapa temannya
Karena setiap orang akan mengikuti temannya
(lihat Muqaddimah Adab Ash-Shuhbah karya Al-Imam Abdurrahman As-Sulami)

Ruh-ruh itu ibarat pasukan yang kokoh

Watak dan karakter yang berbeda sangat memengaruhi pergaulan sehari-hari. Perbedaan watak dan karakter menyebabkan setiap individu akan mencari yang serupa dan menolak jika tidak sama. Yang baik akan bergabung dengan yang baik dan yang jelek akan bergabung dengan yang jelek.

Hal ini telah disinyalir oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam sebuah sabdanya:

الْأَرْوَاحُ جُنُودٌ مُجَنَّدَةٌ فَمَا تَعَارَفَ مِنْهَا ائْتَلَفَ وَمَا تَنَاكَرَ مِنْهَا اخْتَلَفَ

“Ruh-ruh itu ibarat sebuah pasukan yang kokoh, bila dia saling kenal maka akan bertemu, dan bila saling tidak kenal akan berpisah.”
Al-Imam Al-Baghawi Rahimahullah di dalam Syarhus Sunnah (13/57) mengatakan: “Hadits ini disepakati ulama tentang keshahihannya, diriwayatkan oleh Muhammad (Al-Bukhari t, pen.) dari ‘Aisyah x, dan diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim Rahimahullah dari Yazid bin Al-Asham, dari Abu Shalih, dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu. Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu berkata, ‘Ruh itu sebuah tentara yang dipersiapkan akan bertemu dengan yang sepadan. Sebagaimana kuda, jika dia cocok maka akan menyatu dengannya, dan bila tidak akan berpisah’.”

Di dalam hadits ini terdapat dalil bahwa ruh-ruh diciptakan sebelum jasad, dan bahwa ruh itu merupakan makhluk, ketika bersatu atau berpisah bagaikan sebuah pasukan bila bertemu dan berhadapan. Hal ini karena Allah Subhanahu wa ta’ala telah menjadikannya ada yang beruntung dan ada pula yang celaka. Setelah itu jasad yang menjadi tempat ruh akan bertemu di dunia, maka akan bertemu atau berpisah sesuai dengan keserupaan atau tidaknya, yang telah diciptakan baginya di awal penciptaannya. Sehingga engkau melihat seseorang yang baik akan mencintai yang baik, dan orang yang jahat akan senang kepada yang serupa. Dan masing-masing dari keduanya akan lari dari lawannya.”

Al-Imam An-Nawawi Rahimahullah dalam syarah beliau menjelaskan, “Orang yang baik akan condong kepada orang yang baik dan orang yang jahat akan condong kepada yang jahat.”

Figur pergaulan dan persahabatan yang baik pada generasi terbaik

Sesungguhnya kehidupan ini adalah bagian kecil dari karunia Allah Subhanahu wa ta’ala bagi manusia. Dialah yang telah menciptakan kehidupan dan kematian agar Allah Subhanahu wa ta’ala menguji siapa yang paling baik amalnya di antara mereka. Dia pula yang telah memilih siapa yang paling dekat dengan diri-Nya dari hamba-hamba-Nya serta siapa yang dijauhkan. Dia pula yang telah mengangkat dan merendahkan siapa yang dikehendaki-Nya. Dengan beramal, seseorang akan menjadi mulia di sisi Allah Subhanahu wa ta’ala dan menjadi generasi terbaik dalam kurun kehidupan manusia. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:

“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu.” (Al-Hujurat: 13)

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

خَيْرُكُمْ قَرْنِي، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ

“Sebaik-baik kalian adalah generasiku, kemudian setelah mereka, kemudian setelah mereka.” (HR. Al-Bukhari no. 2457)

“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (Al-Mujadalah: 11)

Generasi siapakah yang mendapatkan karunia pengangkatan derajat pertama kali dari umat ini dengan ilmu dan amal?

Itulah generasi sahabat Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana dalam hadits ‘Imran bin Hushain Radhiyallahu ‘anhu di atas.

Bagaimanakah mereka berteman, bergaul, dan bersahabat? Apakah mereka mendahulukan kesukuan dan ras? Atau mendahulukan karakteristik dan perasaan? Atau mendahulukan kekeluargaan?

Untuk menjawab semua pertanyaan ini, mari kita lihat bagaimana sifat-sifat mereka yang telah diabadikan Allah Subhanahu wa ta’ala di dalam banyak ayat-Nya. Di antaranya:

“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya. Maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang shalih di antara mereka ampunan dan pahala yang besar.” (Al-Fath: 29)

“Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin). Mereka (Anshar) ‘mencintai’ orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin) dan mereka (Anshar) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang orang yang beruntung.” (Al-Hasyr: 9)

Adakah sifat pergaulan dan persahabatan dalam bermuamalah yang paling tinggi dari apa yang Allah Subhanahu wa ta’ala sifatkan mereka di dalam ayat-ayat di atas? Mereka adalah orang yang keras terhadap orang kafir dan penyayang sesama mereka. Mereka adalah orang yang taat kepada Allah Subhanahu wa ta’ala dalam melaksanakan segala kewajiban. Mereka adalah orang yang tulus ikhlas dalam mencari karunia Allah l. Mereka adalah orang-orang yang tangguh dan kokoh. Mereka adalah orang yang ditakuti oleh musuh-musuh Allah Subhanahu wa ta’ala. Mereka adalah orang yang mencintai saudaranya lebih dari diri mereka sendiri. Mereka adalah orang yang tidak kikir dan bakhil. Mereka mengutamakan saudaranya daripada kepentingan mereka sendiri.

Dengan semua sifat ini, adakah kecurigaan dalam berteman dan persahabatan di antara mereka, buruk sangka, saling benci, saling hasad, saling mencela, saling menjatuhkan, saling menjauhi, mencari-cari kesalahan, dan saling berpaling? Cukuplah pujian dan sanjungan Allah Subhanahu wa ta’ala untuk mereka sebagai generasi terbaik umat ini yang patut untuk diteladani.

Memilih teman adalah bagian dari agama

“Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Rabbnya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas.” (Al-Kahfi: 28)

“Maka berpalinglah (wahai Muhammad) dari orang yang berpaling dari peringatan Kami, dan tidak mengingini kecuali kehidupan duniawi.” (An-Najm: 29)

“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah).” (Al-An’am: 116)

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada kaum lelaki ketika mencari pasangan: “Pilihlah yang beragama. Jika tidak, akan celaka kedua tanganmu.”

Al-Imam An-Nawawi Rahimahullah berkata: “Di dalam hadits ini terdapat anjuran dan dorongan untuk berteman dengan orang yang memiliki agama dalam segala permasalahan. Karena berteman dengan mereka akan mendapatkan kebagusan akhlak mereka, keberkahan, dan kebagusan jalan mereka serta akan terpelihara dari kerusakan yang akan timbul dari mereka.” (Syarah Shahih Muslim 10/52)

Teman yang baik akan membantu dalam kebaikan

Sesungguhnya syariat telah menganjurkan kita untuk berteman dengan orang-orang yang baik dan menjauhkan diri dari teman yang jelek.

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

الْمَرْءُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ

“Seseorang berada di atas agama temannya.” (HR. Ahmad)

Beliau Shalallahu ‘alaihi wa sallam juga menjelaskannya sebagaimana dalam riwayat Al-Bukhari dan Muslim dari sahabat Abu Musa Radhiyallahu ‘anhu:

مَثَلُ الْجَلِيسِ الصَّالِحِ وَالسَّوْءِ كَحَامِلِ الْمِسْكِ وَنَافِخِ الْكِيرِ فَحَامِلُ الْمِسْكِ إِمَّا أَنْ يُحْذِيَكَ وَإِمَّا أَنْ تَبْتَاعَ مِنْهُ وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ مِنْهُ رِيحًا طَيِّبَةً، وَنَافِخُ الْكِيرِ إِمَّا أَنْ يُحْرِقَ ثِيَابَكَ وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ رِيحًا خَبِيثَةً

“Permisalan teman yang baik dan teman yang jelek seperti (berteman) dengan pembawa minyak wangi dan tukang pandai besi. Dan adapun (berteman) dengan pembawa minyak wangi kemungkinan dia akan memberimu, kemungkinan engkau membelinya, atau kemungkinan engkau mencium bau yang harum. Dan (berteman) dengan tukang pandai besi kemungkinan dia akan membakar pakaianmu atau engkau mendapatkan bau yang tidak enak.”

Al-Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah di dalam kitabnya Fathul Bari (4/324) menjelaskan: “Di dalam hadits ini terdapat larangan berteman dengan seseorang yang akan merusak agama dan dunia. Hadits ini juga mengandung anjuran agar seseorang berteman dengan orang yang akan bermanfaat bagi agama dan dunianya.”

Di dalam hadits ini terdapat bimbingan dan dorongan agar berteman dengan orang-orang yang shalih dan berilmu, karena berteman dengan mereka akan mendatangkan kebaikan di dunia dan akhirat. Juga terdapat peringatan dari berteman dengan orang yang jelek dan fasik karena akan membahayakan agama dan dunia. Berteman dengan orang baik akan mewariskan kebaikan, sedangkan berteman dengan orang yang jahat akan mewariskan kejelekan. Tak ubahnya seperti angin, jika dia bertiup pada sesuatu yang wangi maka akan membawa bau yang harum. Jika bertiup pada sesuatu yang busuk, maka akan membawa bau yang busuk. Walhasil, pertemanan akan berpengaruh. Oleh karena itu, Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:

“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar.” (At-Taubah: 119)

Sebagian orang bijak berkata: “Selalulah kalian bersama Allah l. Jika kalian tidak sanggup maka bertemanlah kalian dengan orang yang (selalu) bersama Allah l.” (Lihat Mirqatul Mafatih Syarah Misykatu Al-Mashabih, 14/306)

Bila teman anda orang yang jelek

Saudaraku… Anda pasti tidak akan sudi dan tidak ingin jika api itu akan membakar pakaian anda atau mendapatkan bau yang busuk. Jika anda tidak sudi hal itu menimpa dunia anda, apakah anda akan senang jika hal itu menimpa agama anda?

Tentu jawabannya lebih tidak senang. Mari kita simak sabda Rasul kita:

الْمَرْءُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ

“Seseorang berada di atas agama temannya.” (HR. Ahmad)

Bagaimanakah pendapat anda jika:

1.    Teman anda adalah orang yang rusak agama, manhaj (pemahaman), aqidah, ibadah, akhlak, muamalah, dan semua sendi agamanya?

2.     Teman anda adalah orang yang curang, pendusta, suka menipu, dan pengkhianat?

Sudikah anda berteman bersama mereka? Jika anda mengatakan iya, berarti bersiaplah menuju kehancuran dan kehinaan hidup karena anda melanggar perintah Allah Subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya. Jika anda mengatakan tidak, tahukah anda teman yang baik yang harus anda cari?

Teman yang baik adalah teman yang memiliki sifat-sifat sebagai berikut; orang yang taat dan selalu menepati janji, amanah, jujur, senang berkorban, terpuji, dan orang yang menjauhi lawan dari sifat tersebut. Oleh karena itu, jika pertemanan tidak dibangun di atas ketaatan, kelak di hari kiamat akan berubah menjadi permusuhan. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:

“Teman-teman akrab pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali orang-orang yang bertakwa.” (Az-Zukhruf: 67)

Beberapa contoh pengaruh teman dalam beragama

1. Dibawakan sebuah riwayat oleh Al-Imam Al-Bukhari dan Muslim, dari sahabat Musayyab Radhiyallahu ‘anhu, tatkala beliau menyaksikan kematian Abu Thalib sebagai paman Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam. Bagi kita, tidaklah tersembunyi perihal pembelaan beliau terhadap Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam mendakwahkan agama Allah Subhanahu wa ta’ala ini. Dengarkan berita ketika matinya: “Tatkala Abu Thalib di atas ranjang kematiannya, datanglah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam kepadanya dengan menawarkan Islam, ‘Wahai pamanku, ucapkan kalimat Laa ilaaha illallah, kalimat yang dengannya aku bisa membelamu kelak di sisi Allah’, dua saudara Abu Thalib yaitu Abdullah bin Abu Umayyah dan Abu Jahl yang lebih dahulu hadir mendiktekan sesuatu yang bertolak belakang dengan ajakan

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu agar Abu Thalib tetap mempertahankan agama kufurnya. Takdirlah telah mendahului dia bahwa dia harus mati dalam kondisi kafir di atas agama nenek moyangnya.”

Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Rahimahullah mengambil faedah melalui hadits ini dalam kitab beliau At-Tauhid bab firman Allah l: “Innaka Laa Tahdi Man Ahbabta” faedah yang kedelapan, Bahaya teman yang jahat terhadap seseorang.

2. ‘Imran bin Haththan bin Zhabyan As-Sadusi Al-Bashri, termasuk salah satu ulama tabi’in. Beliau meriwayatkan dari ‘Aisyah, Abu Musa, dan Ibnu Abbas g, dan yang meriwayatkan darinya adalah Ibnu Sirin, Qatadah, dan Yahya bin Abi Katsir. Akan tetapi beliau termasuk tokoh Khawarij. Hal ini karena awalnya dia ingin menikahi anak pamannya yang berpemahaman Khawarij. Kata Ibnu Sirin, dia menikahinya dalam rangka untuk membantahnya. Namun istrinya yang justru menyeretnya ke dalam madzhab Khawarij. Disebutkan oleh Al-Mada’ini bahwa wanita itu memiliki kecantikan, sementara dia memiliki rupa yang jelek. Pada suatu hari, dia terheran lalu wanita tersebut berkata kepadanya: “Saya dan kamu di dalam jannah karena kamu diberi lalu bersyukur dan aku diuji lalu aku bersabar.”

3. Abu Bakr Abdurrazzaq bin Hammam bin Nafi’ bin Sa’dan Al-Himyari Al-Yamani (lebih dikenal dengan Ash-Shan’ani, penulis Al-Mushannaf)
Beliau adalah hafizh besar, alim negeri Yaman. Beliau berangkat mendulang ilmu ke negeri Hijaz, Syam, dan Irak. Beliau tertipu dengan pemikiran gurunya, Ja’far bin Sulaiman Adh-Dhaba’i, sehingga terpengaruh paham Syi’ah.

4. Abu Bakr Ahmad bin Husain bin Ali bin Musa, Al-Hafizh, Al-Allamah, Ats-Tsabt, Al-Faqih, Syaikhul Islam, yang masyhur dengan nama Al-Baihaqi. Beliau adalah salah satu dari sederetan ulama ahli hadits, bahkan ulama mereka. Beliau terpengaruh paham Asy’ariyyah dari Ibnu Faurak dan semisalnya.

5. Abu Dzar Al-Harawi, ‘Abd bin Ahmad bin Muhammad bin Abdullah bin Ufair bin Muhammad, Al-Hafizh, Al-Imam, Al-Mujawwid, Al-’Allamah, syaikh negeri Haram. Beliau termasuk salah satu perawi Al-Bukhari dan menulis ilzamat atas Ash-Shahihain serta termasuk murid Al-Imam Ad-Daruquthni. Beliau mendengar Al-Imam Ad-Daruquthni memuji Al-Baqillani, lalu beliau terpengaruh dan mencintainya sehingga beliau terjatuh ke dalam madzhab Asy’ariyyah serta menyebarkannya di negeri Maghrib (Afrika Utara bagian barat).

(Lihat Siyar A’lamin Nubala’ karya Al-Imam Adz-Dzahabi dalam biografi para ulama di atas. Lihat pula tulisan Asy-Syaikh Rabi’, Syarah Aqidatus Salaf Ashabil Hadits hal. 302)

Ini adalah beberapa contoh dari sejumlah besar orang yang terpengaruh dengan paham kesesatan karena salah dalam memilih teman.

Jika hal itu terjadi pada diri para ulama besar, akankah kita akan merasa aman?

Wallahu a’lam bish-shawab.

————————————————

Sumber:  Majalah Asy Syariah

© 1446 / 2024 Forum Salafy Indonesia. All Rights Reserved.