MEMBUNGKAM ORANG-ORANG YANG SUKA MENCELA PARA ULAMA, TERKHUSUS ASY-SYAIKH RABI’ DAN ASY-SYAIKH UBAID AL-JABIRY
? Asy-Syaikh Abdullah bin Abdurrahim al-Bukhary hafizhahullah
*⃣ Pertanyaan: Sebagian penuntut ilmu ada yang mengulang-ulang ungkapan-ungkapan celaan terhadap asy-Syaikh Rabi’ hafizhahullah dan bahwasanya beliau dikelabui oleh sebagian para penuntut ilmu, dan hal itu disebarluaskan oleh para penuntut ilmu dan telah membuat gelisah ikhwah di negeri ini, maka bagaimana kita menyikapi mereka?
✅ Jawaban: Celaan itu sama saja terhadap asy-Syaikh al-Allamah Rabi’ bin Hady, atau asy-Syaikh al-Allamah Ubaid al-Jabiry, atau asy-Syaikh al-Allamah Abdul Muhsin al-Abbad, atau asy-Syaikh al-Allamah Shalih al-Fauzan, atau terhadap ulama Ahlus Sunnah yang lainnya, ini adalah sebagaimana dikatakan:
شَنْشَنَةٌ ﺃَﻋْﺮِﻓُﻬَﺎ ﻣِﻦْ ﺃَﺧْﺰَﻡِ
Ini adalah sifat yang aku ketahui dari Akhzam (1)
Saya bertanya kepada kalian dengan sebuah pertanyaan:
Celaan terhadap asy-Syaikh Rabi’ secara khusus, siapakah yang mendahului bayi-bayi dan anak-anak yang tertipu itu?! Siapa yang mendahului mereka untuk melontarkan celaan semacam ini?!
Bukankah pendahulu mereka yang melontarkan celaan terhadap asy-Syaikh Rabi’ dengan menyatakan bahwa beliau dikelabui dan dipengaruhi oleh orang-orang yang berada di sekitar beliau dan celaan-celaan yang lainnya, bukankah pendahulu mereka dalam hal ini adalah ahlul ahwa’ dari kelompok Quthbiyyah, Sururiyyah, Haddadiyyah, dan ahli bid’ah yang lainnya?!
Lalu mereka disusul oleh beberapa orang dari kelompok Abul Fitan (si pengobar fitnah dan kekacauan dalam dakwah, yaitu Abul Hasan Musthafa bin Ismail al-Ma’riby –pent) dan selain mereka dari orang-orang yang menunggangi gelombang (fitnah) ini. Mereka inilah pendahulu mereka dan dari mereka inilah mereka mencontoh!!
Ucapan ini mengandung celaan langsung terhadap asy-Syaikh Rabi’ hafizhahullah, yaitu ungkapan bahwa beliau tidak mengerti, tidak memahami, dan tidak menyadari konspirasi atau rencana buruk yang mengepung beliau!!
Ini merupakan kedustaan yang sudah sekian lama, dan pendahulu mereka adalah ahlul ahwa’ dan ahli bid’ah, sebagaimana yang telah saya katakan tadi.
Termasuk ciri-ciri ahli bid’ah adalah suka mencela Ahlus Sunnah, engkau telah paham? Jadi ini adalah sifat yang aku ketahui dari Akhzam.
Jangan sampai pendengaranmu dikotori oleh mereka, buanglah ucapan mereka sejauh-jauhnya sebagaimana ucapan para pendahulu mereka telah dibuang sehingga mereka terbuang ke tempat sampah sejarah, dan orang-orang (yang sekarang suka mencela ulama) mereka ini akan hilang juga jika mereka tidak bertaubat. Mereka akan lenyap jika tidak bertaubat dan kembali ke jalan yang benar, maka berhati-hatilah!!
Asy-Syaikh Rabi’ salah seorang ulama kaum muslimin, beliau bisa benar dan bisa juga keliru, seperti ulama yang lain.
Mengapa para ruwaibidhah (orang dungu yang lancang berbicara tentang urusan yang besar) tidak mengucapkan ucapan semacam ini terhadap para ulama yang lain?!
Mengapa mereka takut mengatakan terhadap sebagian ulama yang telah saya sebutkan namanya di awal jawaban ini?!
Mereka tidak mengucapkannya selain terhadap asy-Syaikh Rabi’ dan asy-Syaikh Ubaid!!
Benar kan?!
Jika perkaranya sampai kepada guru kita al-Allamah al-Abbad atau asy-Syaikh al-Allamah Shalih al-Fauzan, atau para ulama yang lain, atau Mufti (asy-Syaikh Abdul Aziz bin Muhammad Alus Syaikh), para pencela itu tidak mengucapkan ucapan ini!!
Kalaupun sebagian mereka mengucapkannya maka dia mengucapkannya secara rahasia dan pelan-pelan, dia mungkin hanya merahasiakan kepada dirinya sendiri!!
Waspadalah terhadap ucapan semacam ini.
وَلا يَسْتَخِفَّنَّكَ الَّذِينَ لا يُوقِنُونَ.
“Dan janganlah sekali-kali engkau dibuat gelisah oleh orang-orang yang tidak yakin.” (QS. Ar-Rum: 60)
Adapun tentang diulang-ulangnya ucapan tersebut di negeri ini maka sungguh orang-orang sebelum mereka sebagaimana yang telah kami sebutkan telah mengulang-ulangnya, namun tidak benar kecuali yang benar.
Kesalahan wajib untuk bertaubat darinya, dan jika sebuah kesalahan muncul dari salah seorang ulama maka tetap dijaga kehormatannya, dijaga kedudukannya, namun kesalahannya tidak boleh diterima, (kita katakan) semoga Allah memaafkan beliau, beliau berijtihad namun keliru, selesai perkaranya.
Al-Imam Malik pernah keliru, al-Laits bin Sa’ad mengatakan, “Saya menghitung kesalahan Malik ada 70 masalah yang padanya beliau menyelisihi nash hadits Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.”
Apakah Malik dicela dalam ucapan semacam ini?!
Apakah al-Laits dicela karena ucapan beliau ini?!
مَا لَكُمْ كَيْفَ تَحْكُمُونَ.
“Bagaimana kalian dalam memutuskan perkara?!” (QS. Al-Qalam: 36)
Kedudukan dari kedua imam tersebut tetap terjaga, sedangkan kesalahan tidak diterima, selesai perkaranya, titik.
Kehormatan dan kedudukan tetap dijaga, namun kesalahan tidak boleh diambil.
Kengawuran dan perancuan perkara macam apa ini, dan mengibarkan bendera al-wala’ wal bara’ (loyalitas dan permusuhan) berdasarkan ucapan yang rusak?! Tidak ada padanya tanda-tanda keilmuan, dan tidak ada petunjuk dari Allah padanya?!
Sampai kapan kita akan menyibukkan diri dengan hal yang sia-sia semacam ini?!
Apakah setiap kali datang kepada kalian seseorang yang lebih pintar ngomong dibandingkan yang lain kalian akan meninggalkan agama Muhammad shallallahu alaihi wa sallam hanya gara-gara ucapannya?!
Jika demikian apa manfaatnya menuntut ilmu?! Apa manfaatnya duduk menimba ilmu di hadapan para ulama?! Kegoncangan semacam apa ini?! Kekacauan semacam apa ini?! Kenapa tidak bersikap tenang seperti ini?! Sampai kapan kita akan terus seperti ini?!
Laa haula walaa quwwata illa billah, kita memohon keselamatan kepada Allah.
? Sumber transkrip : https://t.me/Nataouan/6458
┈┈••••❁❁••••┈┈
? Link audio : https://e.top4top.net/m_7989ksw61.mp3
? Channel Telegram : https://t.me/jujurlahselamanya
❁❁
?️ Catatan kaki:
(1) Abu Akhzam adalah kakek dari Hatim bin Abdillah bin Sa’ad bin Al-Hasyraj bin Akhzam bin Abi Akhzam. Akhzam dikenal anak yang durhaka. Ketika dia mati dia meninggalkan anak yang banyak lalu mereka melukai kakek mereka yaitu Abu Akhzam hingga berdarah, lalu dia mengatakan hal ini. Wallahu a’lam.
Lihat: Tahdzibul Lughah 7/100. (pent)