MELURUSKAN AKIDAH PERSIAPAN MENEGAKKAN HUKUM ALLAH
Ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Usamah Abdurrahman hafizhahullah
Sungguh Allah Subhanahu wa Ta’ala telah membuka peluang seluas-luasnya bagi setiap hamba untuk meraih yang terbaik dalam hidupnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala juga menuangkan kasih sayang kepada mereka melebihi kasih sayang mereka terhadap diri mereka sendiri. Hal ini sebagaimana ucapan Nabi Shallallahu `alaihi wa sallam kepada seorang sahabat:
فَاللهُ أَرْحَمُ بِكَ مِنْكَ بِهِ وَهُوَ أَرْحَمُ الرَّاحِمِيْنَ
“Allah Subhanahu wa Ta’ala lebih sayang kepada dirimu daripada sayangmu kepada dia (anakmu) dan Dia adalah Dzat yang paling penyayang di antara para penyayang.” (Shahih al-Adabil Mufrad no. 290)
Tidak ada hal sekecil apa pun yang akan membuahkan kebahagiaan melainkan Allah Subhanahu wa Ta’ala telah melimpahkannya kepada hamba-hamba-Nya. Yang menjadi pertanyaan, berapakah jumlah hamba-Nya yang mengetahui bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala menyayanginya? Pertanyaan selanjutnya, berapa jumlah hamba-Nya yang berusaha meraih kasih sayang tersebut?
“Dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu.” (al-A’raf: 156)
As-Sa’di Rahimahullah mengatakan, “Rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala mencakup segala yang di atas dan di bawah, pelaku kebaikan dan pelaku maksiat, mukmin dan kafir. Tidak ada satu makhluk pun melainkan rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala sampai kepadanya, demikian pula karunia serta kebaikan-Nya meliputi mereka. Namun, kasih sayang yang bersifat menyeluruh, yang melahirkan kebahagiaan dunia dan akhirat, tidak akan diberikan kepada seorang pun (melainkan orang-orang yang diridhai-Nya). Oleh karena itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Maka akan Aku tetapkan rahmat-Ku untuk orang-orang yang bertakwa, yang menunaikan zakat dan orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat kami. (Yaitu) orang-orang yang mengikut rasul, Nabi Shallallahu `alaihi wa sallam yang ummi.” (al-A’raf: 156—157)
Kasih Sayang yang Tidak Terhingga
Bagi orang yang beriman, tidak ada yang terbetik dalam benak, terlintas dalam sanubari, tergambar dalam ingatan, ataupun terbayang di pelupuk mata, selain bahwa hidup di dunia ini akan berakhir dan ia pasti akan menghadap Dzat yang Mahakuasa. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mempersiapkan seratus rahmat. Satu di antaranya telah diturunkan ke dunia dan yang 99 disimpan di akhirat bagi orang yang beriman.
Salah satu bentuk kasih sayang Allah Subhanahu wa Ta’ala di dunia, Dia mengutus para nabi dan rasul kepada mereka, menurunkan kitab-kitab kepada mereka, dan menurunkan agama untuk mereka anut. Namun, sangat sedikit dari mereka yang mau menyambut kasih sayang ini. Justru yang terjadi adalah sebaliknya, yang ingkar dan kufur lebih banyak daripada yang beriman.
“Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang berterima kasih.” (Saba: 13)
“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah.” (al-An’am: 116)
Mengingat hal ini, dengan gembira dan lapang dada, orang-orang yang beriman akan menyambut segala seruan para rasul yang diutus kepada mereka dan mengaplikasikan segala bimbingan di dalam kitab tersebut dan berjalan dalam aturan agama yang dianutnya. Satu rahmat di dunia ini mereka jadikan jembatan untuk mendapatkan 99 rahmat yang dipersiapkan di akhirat kelak.
Islam, Sebuah Rahmat dan Aturan yang Kokoh
Pernahkah Anda melihat bangunan yang kokoh dan megah? Anda mungkin akan menjawab, “Ya.” Lalu, apakah komentar Anda? Mungkin Anda tidak berkomentar selain mengungkapkan rasa heran, “Betapa megah dan indahnya banguan ini.” Keheranan semata tidak akan membuahkan pengetahuan bahwa bangunan yang kokoh dan megah ini memiliki syarat-syaratnya. Oleh karena itu, mari kita menyadari bahwa bangunan yang kokoh dan megah ini pasti berdiri di atas fondasi yang kuat dan andal. Jika bangunan tersebut mengandung manipulasi keindahan dan terlihat kokoh tetapi tidak di atas fondasi yang kuat, niscaya tidak akan berumur panjang. Bangunan itu niscaya tidak akan bertahan lama, dia akan segera hancur dan runtuh.
Islam sebagai agama rahmat dan aturan yang kokoh merupakan fondasi hidup menuju kebahagiaan dunia dan akhirat. Islam adalah sebuah bangunan yang indah dan sempurna. Di samping itu, Islam juga menyempurnakan agama-agama sebelumnya. Kekokohan bangunan Islam berdiri di atas lima fondasi yang kuat, dan masing-masingnya menjadi penopang yang lain. Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam telah bersabda:
بُنِيَ الْإِسْلَامُ عَلَى خَمْسٍ؛ شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ، وَإِقَامِ الصَّلَاةِ، وَإِيْتَاءِ الزَّكَاةِ، وَالْحَجِّ، وَصَوْمِ رَمَضَانَ
“Islam dibangun di atas lima fondasi, yaitu (1) persaksian bahwa tidak ada sesembahan yang benar selain Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Muhammad adalah rasul Allah, (2) mendirikan shalat, (3) menunaikan zakat, (4) berhaji, dan (5) puasa pada bulan Ramadhan.” (Muttafaqun ‘alaih dari sahabat Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘anhuma)
Ibnu Rajab al-Hanbali Rahimahullah menegaskan, “Yang dimaksud oleh hadits ini adalah bahwa Islam dibangun di atas lima landasan. Kelimanya bagaikan fondasi dan pilar-pilar sebuah bangunan. Maksud perumpamaan ini, bangunan tidak akan berdiri kokoh (tanpa lima dasar tersebut), sedangkan bagian-bagian agama yang lain adalah penyempurna bangunan ini. Jika (bagian-bagian agama) kurang maka akan mengakibatkan kekurangan pada bangunan itu, tetapi bangunan tetap berdiri. Berbeda keadaannya jika fondasi yang lima ini tidak ada, Islam akan hilang tanpa diragukan lagi.” (Jami’ Ulumul al-Hikam hlm. 62)
Akidah adalah Asas Fondasi Islam
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengutus para rasul membawa misi yang sama, yaitu mengajak mereka untuk beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala semata dan meninggalkan segala bentuk peribadatan kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala. Hal ini telah ditegaskan oleh Allah Subhanahu wa Ta’alal di dalam firman-Nya:
Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan), “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah thaghut itu.” Maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul).” (an-Nahl: 36)
Kesamaan misi para rasul ini sesungguhnya adalah pemberitahuan umum dari Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada seluruh hamba bahwa:
- Kehancuran hidup dan kebinasaannya akan terselesaikan dengan pemurnian tauhid kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
- Kehinaan dan kerendahan akan hilang dengan dibersihkannya tampilan lahiriah dan keadaan batiniah oleh akidah.
- Kerusakan dalam segala bidang dan aspek, politik, perekonomian, aturan kenegaraan antara pemimpin dan rakyat, akan terselesaikan dengan landasan akidah yang kokoh.
- Kesiapan untuk menerima segala beban syariat dan menerima segala hukum-hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya harus dimulai dari pembenahan akidah.
- Landasan hidup menuju kebahagiaan yang hakiki di dunia dan di akhirat adalah akidah yang benar.
Pembaca yang budiman, Allah Subhanahu wa Ta’ala mengutus rasul pertama kali ke muka bumi ini, Nabi Nuh ‘alaihissalam membawa mandat untuk memurnikan akidah yang telah rusak. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
Sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya (dengan memerintahkan), “Berilah kaummu peringatan sebelum datang kepadanya azab yang pedih.” Nuh berkata, “Hai kaumku, sesungguhnya aku adalah pemberi peringatan yang menjelaskan kepada kamu, (yaitu) sembahlah olehmu Allah, bertakwalah kepada-Nya dan taatlah kepadaku.” (Nuh: 1—3)
Tugas besar yang diemban oleh Nabi Nuh ‘alaihissalam mendapatkan tantangan yang keras dari kaumnya. Bahkan, kaumnya sempat mengatakan kepada beliau, “Sesungguhnya kami melihat engkau berada dalam kesesatan yang nyata.”
Tidak ada seorang rasul pun yang diutus oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada suatu kaum melainkan dalam keadaan rusaknya semua lini kehidupan mereka. Allah Maha Mengetahui obat kerusakan tersebut sehingga setiap rasul yang Dia utus diperintahkan untuk memulai dakwahnya dengan memurnikan tauhid kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tugas yang diemban oleh Nabi Nuh ‘alaihissalam ditutup oleh Nabi kita, Muhammad Shallallahu `alaihi wa sallam, yang diutus kepada kaum yang juga ingkar dan kufur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Akibat Kerusakan Akidah
Asy-Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah mengatakan, “Penyimpangan dari akidah yang benar adalah kebinasaan dan kehancuran karena akidah yang benar adalah pendorong yang kuat untuk melakukan amal yang bermanfaat. Jika seseorang tidak berada di atas akidah yang benar, niscaya dia akan menjadi penampung segala waham dan keraguan. Bisa jadi, keraguan itu menguasai hidupnya sehingga menjadikan kehidupannya sempit. Dia lalu berusaha melepaskan diri dari kesempitan hidup itu dengan bunuh diri, sebagaimana yang terjadi pada beberapa orang yang tidak mendapatkan hidayah berupa akidah yang benar. Jika sebuah masyarakat tidak melandasi hidup mereka dengan akidah yang benar, niscaya akan terwujud kehidupan yang layaknya binatang. Akan hilang manfaat segala hal yang menunjang terwujudnya kehidupan yang bahagia. Kemampuan material yang mereka miliki justru akan menggiring mereka menuju kebinasaan. Hal ini bisa disaksikan di negeri-negeri kafir.
Kekuatan materi harus ditopang oleh bimbingan dan arahan sehingga bisa mewujudkan kehidupan yang istimewa dan bermanfaat. Tidak ada yang bisa memandu ke arah ini selain akidah yang benar. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang saleh. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (al-Mu’minun: 51)
Dan sesungguhnya telah Kami berikan kepada Dawud karunia dari Kami. (Kami berfirman), “Hai gunung-gunung dan burung-burung, bertasbihlah berulang-ulang bersama Dawud”, dan Kami telah melunakkan besi untuknya, (yaitu) buatlah baju besi yang besar-besar dan ukurlah anyamannya, dan kerjakanlah amalan yang saleh. Sesungguhnya Aku melihat apa yang kamu kerjakan. Dan Kami (tundukkan) angin bagi Sulaiman, yang perjalanannya di waktu pagi sama dengan perjalanan sebulan dan perjalanannya di waktu sore sama dengan perjalanan sebulan (pula), serta Kami alirkan cairan tembaga baginya. Dan sebagian dari jin ada yang bekerja di hadapannya (di bawah kekuasaannya) dengan izin Rabbnya. Dan siapa yang menyimpang di antara mereka dari perintah Kami, Kami rasakan kepadanya azab neraka yang apinya menyala-nyala. Para jin itu membuat untuk Sulaiman apa yang dikehendakinya dari gedung-gedung yang tinggi, patung-patung, dan piring-piring yang (besarnya) seperti kolam dan periuk yang tetap (berada di atas tungku). Bekerjalah, hai keluarga Dawud untuk bersyukur (kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala), dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang berterima kasih.” (Saba: 10—13)
Maka dari itu, kekuatan akidah wajib ada sebagai penopang kekuatan materi. Jika kekuatan materi terlepas darinya maka ia menjadi perantara menuju kehancuran dan kebinasaan sebagaimana yang bisa disaksikan di negara-negara kafir yang memiliki kekuatan materi namun tidak memiliki akidah yang benar.” (Aqidah at-Tauhid hlm. 13)
Periode Makkah
Sebelum Nabi Shallallahu `alaihi wa sallam kita diutus oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, sungguh kita mengetahui bagaimana kehidupan orang-orang jahiliah. Kerusakan menimpa mereka pada segala sisi sehingga kehormatan, darah, dan harta benda tidak memiliki harga sedikitpun. Islam memberikan perhatian yang sangat besar terhadap hal-hal tersebut. Dalam keadaan kerusakan pada segala sisi inilah Allah Subhanahu wa Ta’ala memilih Rasul-Nya Shallallahu `alaihi wa sallam sebagai utusan-Nya kepada mereka. Dari manakah Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan beliau untuk memulai? Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskannya di dalam firman-Nya:
“Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan) selain Allah.” (Muhammad: 19)
“Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik.” (al-Hijr: 94)
Dalam sebuah hadits, Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam bersabda:
أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوا أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ وَيُقِيْمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ فَإِذَا فَعَلُوا ذَلِكَ عَصَمُوا مِنِّي دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ إِلَّا بِحَقِّ الْإِسْلَامِ وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللهِ
“Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka mempersaksikan bahwa tidak ada sesembahan yang benar melainkan Allah dan Muhammad adalah rasul Allah. Mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan bila mereka melakukan semuanya, niscaya mereka telah memelihara darah dan harta mereka kecuali dengan hak Islam dan hisab mereka di sisi Allah.” (HR. al-Bukhari dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma)
Al-Imam Ahmad dan al-Baihaqi meriwayatkan dari Rabi’ah bin ‘Abbad ad-Daili, yang mengalami masa jahiliah lalu masuk Islam. Ia berkata,
“Pada masa jahiliah, saya melihat Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam di pasar Dzil Majaz mengatakan:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ قُولُوا: لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ؛ تُفْلِحُوا
“Wahai sekalian manusia, ucapkanlah kalimat La ilaha illallah niscaya kalian akan beruntung.” (Lihat Shahih Sirah an-Nabawiyah karya asy-Syaikh al-Albani hlm. 142)
Tapak tilas dakwah Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam di kota Makkah benar-benar menjadi bukti sejarah Islam masa bahwa problema hidup dengan segala kerusakan dan kehancurannya bisa diselesaikan oleh akidah dan tauhid. Dari sini kita mengetahui bahwa jika sebuah bangunan berdiri tanpa fondasi yang kokoh, pasti akan hancur. Demikian juga, apabila kehidupan ini tidak dilandasi oleh akidah yang benar, niscaya akan binasa. Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan hafizhahullah berkata, “Akidah yang benar adalah asas berdirinya agama. Dengannya pula amalan akan diterima, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
“Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Rabbnya, hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Rabbnya.” (al-Kahfi: 110)
Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu, “Jika kamu mempersekutukan (Allah) niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi.” (az-Zumar: 65)
“Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya. Ingatlah, hanya kepunyaan Allah -lah agama yang bersih (dari syirik).” (az-Zumar: 2—3)
Ayat-ayat ini dan yang semakna dengannya—yang banyak jumlahnya—menunjukkan bahwa semua amalan akan diterima apabila bersih dari kesyirikan. Dari sinilah perhatian pertama kali para rasul adalah memperbaiki akidah. Yang pertama kali mereka serukan kepada kaumnya adalah beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala semata dan meninggalkan segala bentuk penyembahan kepada selain-Nya, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
“Sungguh kami telah mengutus pada setiap umat seorang rasul (untuk menyerukan), ‘Sembahlah Allah Subhanahu wa Ta’ala dan jauhilah oleh kalian thaghut itu’.” (an-Nahl: 36) (Lihat Aqidah at-Tauhid hlm. 9)
Periode Madinah
Tiga belas tahun Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam berdakwah di kota Makkah mengembalikan ajaran bapak tauhid, Ibrahim ‘alaihissalam, yang sudah hilang. Beliau Shallallahu `alaihi wa sallam mengibarkan bendera tauhid dan meruntuhkan tahta berhalaisme dalam kalbu sebelum menghancurkan wujudnya. Beliau Shallallahu `alaihi wa sallam juga membangun fondasi kehidupan yang kokoh di atas akidah yang suci dan mengembalikan fitrah yang sudah rusak karena ajaran Amr bin Lu’ai al-Khuza’i. Meskipun beliau Shallallahu `alaihi wa sallam menghadapi tantangan yang sangat dahsyat, namun satu orang demi satu orang, bahkan satu keluarga, membesarkan jiwa para pengikut agama dalam keasingannya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala lalu memerintahkan mereka melakukan hijrah. Negeri yang dipilihkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai tempat bernaung dan mengatur strategi adalah kota Madinah yang dulunya bernama Yatsrib. Dalam perjalanan berjalan kaki menuju negeri yang jauh ini, kaum kafir Quraisy tidak berhenti berupaya membendung dakwah Nabi Shallallahu `alaihi wa sallam. Mereka berusaha memadamkannya dengan cara menangkap beliau baik dalam kondisi masih hidup maupun mati. Namun, makar jahat mereka ada yang mengawasinya. Mereka tidak bisa mengelak dari kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala pun menimpakan kegagalan kepada mereka.
Sesampainya di Yatsrib, hidup baru mulai dijalani. Strategi hidup mulai dirancang dan bendera tauhid semakin berkibar. Fondasi hidup pun tersusun dengan rapi dan kokoh. Para pembela dan penolong agama berdiri tegak. Kesucian lahiriah dan batiniah menghiasi diri mereka, yang dipimpin oleh Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam. Negara Islam pun berdiri. Hukum-hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala dijalankan dengan penuh ketundukan, didasari oleh:
- Keberhasilan dakwah Nabi Muhammad Shallallahu `alaihi wa sallam yang dimulai dari pemurnian akidah.
- Kebersihan hidup lahiriah dan batiniah, disertai kebagusan hubungan mereka dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
- Kesiapan yang sangat mendukung dari pemimpin dan rakyatnya yang semuanya berada pada jalan yang diridhai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
- Ilmu agama yang murni.
Di kota inilah semua ajaran Islam disempurnakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dengan kesempurnaannya, sempurnalah pula tugas Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam sebagai utusan yang telah memperbarui tatanan kehidupan. Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan umatnya sebagai umat yang paling mulia dibandingkan dengan umat-umat sebelumnya. Generasi yang hidup bersama beliau Shallallahu `alaihi wa sallam pun menjadi generasi terbaik.
Dari pembahasan yang singkat ini, kita menyimpulkan bahwa tidaklah sebuah Negara Islam akan berdiri melainkan harus berlandaskan akidah yang benar. Tidak akan tegak hukum-hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala di muka bumi melainkan dengan memurnikan tauhid kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dengan misi yang sama inilah Allah Subhanahu wa Ta’ala mengutus para rasul-Nya dan menurunkan kitab-kitab-Nya. Wallahu a’lam.
Sumber: Majalah Asy Syariah