MARI MENYIBUKKAN DIRI DENGAN ILMU, IBADAH DAN DOA
Ditulis oleh: Al-Ustadz Abul Abbas Muhammad Ihsan
Allah Subhanahu wa ta’ala dengan hikmah-Nya yang sempurna dan keadilan-Nya menjadikan dunia yag fana ini sebagai medan ujian dan cobaan bagi hamba-hamba-Nya. Inilah yang diberitakan Allah Subhanahu wa ta’ala dalam firman-Nya:
“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Mahaperkasa lagi Maha pengampun.” (Al-Mulk: 2)
Mereka dihadapkan pada berbagai ujian dan cobaan. Di antaranya adalah harta, sehingga ada sebagian orang yang kaya dan ada yang miskin. Juga tahta sehingga di antara mereka ada yang menjadi pejabat dan ada yang menjadi rakyat. Dan ujian berupa ilmu, maka di antara mereka ada yang berilmu dan ada yang tidak berilmu (jahil). Dan masih banyak lagi berbagai fitnah (ujian) di dunia ini.
Hal ini sebagaimana yang Allah Subhanahu wa ta’ala firmankan:
“Dan Kami jadikan sebagian kamu cobaan bagi sebagian yang lain. Maukah kamu bersabar? Dan adalah Rabbmu Maha melihat.” (Al-Furqan: 20)
Dengan adanya berbagai ujian dan cobaan itu, kita pun menyaksikan sebagian orang berjatuhan. Kita senantiasa memohon hanya kepada Allah Subhanahu wa ta’ala keselamatan dari berbagai fitnah (ujian dan godaan). Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Ketahuilah, bahwa mereka telah terjerumus ke dalam fitnah.” (At-Taubah: 49)
Sehingga, terpilahlah hamba-hamba-Nya menjadi dua golongan, ash-shadiqun (orang-orang yang benar/jujur) dan al-kadzibun (orang-orang yang berdusta). Sebagaimana yang Allah Subhanahu wa ta’ala beritakan:
Alif laam miim. Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta. (Al-’Ankabut: 1-3)
Lalu, siapakah orang yang akan selamat tatkala menghadapi berbagai ujian dan cobaan, sehingga dia berhak mendapatkan janji Allah Subhanahu wa ta’ala di dunia dan di akhirat? Jawabannya, mereka pastilah orang-orang yang mendapatkan keutamaan dan rahmat Allah Subhanahu wa ta’ala, sebagaimana firman-Nya:
“Maka kalau tidak karena karunia Allah dan rahmat-Nya atasmu, niscaya kamu tergolong orang-orang yang rugi.” (Al-Baqarah: 64)
“Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah atasmu, tentulah kamu mengikut setan, kecuali sebagian kecil saja (di antaramu).” (An-Nisa’: 83)
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah berkata dalam tafsirnya: “Maksudnya, bila bukan karena hidayah taufiq yang Allah Subhanahu wa ta’ala karuniakan kepada kalian, juga tuntunan adab dan ilmu yang Allah Subhanahu wa ta’ala ajarkan kepada kalian –di mana kalian sebelumnya tidak mengetahuinya– niscaya kalian akan mengikuti setan kecuali sedikit saja di antara kalian yang selamat. Karena tabiat asli manusia adalah zalim dan jahil, sehingga tidaklah jiwa memerintahkan kecuali kepada yang jelek.”
Apabila dia meminta perlindungan kepada Rabbnya dan berpegang teguh dengan-Nya, serta bersungguh-sungguh dalam hal itu, niscaya Allah Subhanahu wa ta’ala akan merahmatinya. Allah Subhanahu wa ta’ala memberi hidayah kepadanya untuk melakukan berbagai kebaikan dan melindunginya dari tipu daya setan yang terkutuk.
Asy-Syaikh Muhammad Al-Imam hafizhahullah mengatakan:
“Fitnah (ujian/godaan) itu banyak jumlahnya dan bermacam-macam bentuknya. Dia datang silih-berganti dari waktu ke waktu. Seorang muslim yang berpegang teguh dengan agamanya senantiasa akan menghadapi berbagai ujian itu. Barangsiapa yang selamat dari berbagai macam fitnah, berarti dia memiliki dua hal yang agung, yaitu keutamaan dari Allah Subhanahu wa ta’ala yang dilimpahkan kepadanya dan mendapatkan hidayah dari Allah Subhanahu wa ta’ala.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman kepada para sahabat g setelah tersebarnya haditsul ifk (berita keji dan dusta) terhadap Ummul Mukminin Aisyah Radhiyallahu ‘anha:
“Sekiranya tidaklah karena karunia Allah dan rahmat-Nya atas kamu sekalian, niscaya tidak seorang pun dari kamu bersih (dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar itu) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (An-Nur: 21)
Selanjutnya berkata: “Alangkah nikmatnya orang yang diberi hidayah taufiq untuk menjauhi berbagai fitnah, baik yang nampak ataupun yang tidak nampak.” (At-Tanbihul Hasan hal. 12)
Demikianlah. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ السَّعِيدَ لَمَنْ جُنِّبَ الْفِتَنَ وَمَنِ ابْتُلِيَ فَصَبَرَ فَوَاهًا
“Sesungguhnya orang yang bahagia adalah yang dijauhkan dari fitnah-fitnah, dan barangsiapa yang diuji lalu bersabar, maka betapa indahnya.”
Di antara upaya yang bisa ditempuh agar seorang muslim selamat dari berbagai fitnah adalah:
1. Menyibukkan diri dengan ilmu
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ
“Barangsiapa yang Allah Subhanahu wa ta’ala kehendaki kebaikan baginya niscaya Allah akan menjadikannya paham dalam agama.” (Muttafaqun alaih dari Mu’awiyah Radhiyallahu ‘anhu)
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata: “Yang dapat dipahami dari hadits ini adalah barangsiapa yang tidak berusaha untuk mempelajari agama, di mana dia tidak mempelajari kaidah-kaidah yang ada di dalamnya, juga tidak mempelajari segala sesuatu yang terkait dengannya berupa berbagai permasalahan cabangnya, sungguh dia telah diharamkan (terhalang) dari kebaikan.” (Fathul Bari 1/165)
Ummu Abdillah bintu Asy-Syaikh Muqbil mengatakan: “Termasuk pengarahan orangtuaku (yakni Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah) adalah ‘Bersungguh-sungguhlah kalian dalam belajar, sebelum datangnya hal-hal yang akan memalingkan kalian darinya.’ Dan kesibukan-kesibukan itu berbanding terbalik dengan mencari ilmu, mengulangnya, terlebih lagi menghafalnya. Semakin banyak kesibukan akan melemahkan ingatan. Oleh karena itulah, sebagian ulama ketika menduduki jabatan hakim, seperti Syarik bin Abdillah An-Nakha’i rahimahullah, hafalannya menjadi jelek karena kesibukannya. Meskipun ada ulama lain yang ketika menjabat justru semakin bertambah banyak ilmunya. Permasalahan apapun yang dihadapkan kepadanya dia akan membahasnya, seperti Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah. Barakah itu hanyalah dari Allah Subhanahu wa ta’ala semata.” (Nashihati lin Nisa’ hal. 23)
Asy-Syaikh Muhammad Al-Imam hafizhahullah mengatakan: “Sesungguhnya, termasuk faedah mempelajari dan memahami ilmu agama ini adalah berusaha menempuh jalan yang akan menyelamatkan diri dari berbagai macam fitnah. Ini adalah keutamaan yang Allah Subhanahu wa ta’ala karuniakan kepada siapa yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya.”
Beliau juga berkata: “Sesungguhnya keagungan agama Islam itu tersimpan dalam setiap ayat Al-Qur’an dan hadits-hadits yang shahih dari Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam. Sehingga tatkala umat Islam menghadapi berbagai ujian dan cobaan, sudah ada jalan keluarnya di dalam ayat atau hadits tersebut. Bahkan, satu ayat atau hadits, bisa mengandung lebih dari satu jalan keluar. Sungguh, Islam datang membawa obat bagi setiap fitnah yang muncul, namun sedikit sekali orang yang terobati dengannya.
Sebagai contoh, ketika Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam meninggal, terjadi perbedaan pendapat di kalangan sahabat, apakah pakaian yang dikenakan beliau harus dilepaskan ketika dimandikan atau tidak. Tiba-tiba mereka mendengar perkataan “Jangan kalian lucuti pakaian Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam”, sehingga mereka tidak melakukannya. Mereka juga berbeda pendapat tentang siapa yang akan menjadi khalifah setelah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam meninggal. Abu Bakr Radhiyallahu ‘anhu kemudian berkata: Aku mendengar Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Quraisy adalah yang akan memegang urusan ini.” Sehingga para sahabat pun menyerahkan kedudukan tersebut kepada Abu Bakr Radhiyallahu ‘anhu, karena beliau dari Quraisy.
Perhatikanlah bagaimana perbedaan di antara mereka g dapat dengan mudah diselesaikan dengan berdasarkan ilmu dan tunduk kepada dalil serta penjelasan yang syar’i. Sehingga menuntut ilmu dan memahaminya adalah dasar atau fondasi setiap kebaikan. Hanya saja, menuntut ilmu dilakukan kepada ahlul ilmi yang lurus aqidahnya, selamat manhajnya, dan bagus niatnya. Kemudian, memilih kitab-kitab yang baik dan guru yang cerdas dalam memahami agama. Inilah hal-hal yang dicari oleh setiap orang yang mencari kebenaran.” (At-Tanbihul Hasan, hal. 26-27)
2. Menyibukkan diri dengan ibadah
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Rabbmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.” (Ali ‘Imran: 133)
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
بَادِرُوا بِالْأَعْمَالِ فِتَنًا كَقِطَعِ اللَّيْلِ الْمُظْلِمِ، يُصْبِحُ الرَّجُلُ مُؤْمِنًا وَيُمْسِي كَافِرًا وَيُمْسِي مُؤْمِنًا وَيُصْبِحُ كَافِرًا، يَبِيعُ دِيْنَهُ بِعَرَضٍ مِنَ الدُّنْيَا
“Bersegeralah kalian beramal (shalih) untuk menyelamatkan diri dari berbagai fitnah yang seperti potongan malam yang gelap. Di mana seseorang pada pagi hari dalam keadaan beriman lalu di sore harinya dia menjadi kafir. Ada pula yang di sore hari dalam keadaan beriman kemudian dia masuk waktu pagi menjadi kafir. Dia menjual agamanya untuk mendapatkan keuntungan dunia.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu)
Asy-Syaikh Muhammad Al-Imam hafizhahullah berkata: “Bila setiap muslim menyibukkan diri dengan ibadah sebagaimana yang Allah Subhanahu wa ta’ala kehendaki, niscaya tidak ada waktu yang terbuang sia-sia untuk terlibat dalam fitnah, berdebat dan berbantah-bantahan. Benarlah Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam ketika bersabda:
نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ؛ الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ
“Ada dua kenikmatan yang kebanyakan manusia tertipu padanya (terbuang sia-sia): nikmat kesehatan dan waktu luang.” (HR. Al-Bukhari dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma)
Beliau hafizhahullah juga berkata: “Kata ibadah di sini mencakup seluruh jenis ibadah, seperti kejujuran, keikhlasan, perasaan dekat (diawasi) oleh Allah Subhanahu wa ta’ala, takwa, meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat, sabar, teguh di atas kebenaran, komitmen dalam belajar dan mengajarkan ilmu yang bermanfaat. Demikian pula amalan shalih yang lain seperti shalat dan puasa, dalam hal muamalah maupun akhlak, serta macam-macam ibadah lainnya.” (At-Tanbihul Hasan hal. 12)
Hal ini termasuk terapi yang sangat baik.
Demikian juga upaya untuk mengajarkan hal-hal yang bermanfaat bagi umat manusia. Bila semua orang menyibukkan diri dengan amalan masing-masing, niscaya tidak akan terjadi fitnah, seperti demonstrasi dan penggulingan kekuasaan. Semua ini adalah fitnah. Maka, alangkah agungnya terapi yang syar’i ini dan alangkah sedikitnya orang yang bisa mengambil manfaat darinya. (At-Tanbihul Hasan, hal. 14)
3. Bertanya kepada ahlul ilmi (ulama)
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” (An-Nahl: 43)
Allah Subhanahu wa ta’ala juga berfirman:
“Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut setan, kecuali sebagian kecil saja (di antaramu).” (An-Nisa’: 83)
Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah berkata dalam tafsirnya:
“Ini adalah tuntunan adab dari Allah Subhanahu wa ta’ala bagi hamba-hamba-Nya terhadap sikap mereka yang tidak sepantasnya ini. Selayaknya, apabila suatu berita yang penting atau terkait dengan kepentingan umat sampai kepada mereka –seperti berita yang berkaitan dengan keamanan, atau berita yang menggembirakan orang-orang yang beriman, atau urusan yang dikhawatirkan akan menimpa mereka– hendaknya mereka memperjelas kebenarannya terlebih dahulu dan tidak tergesa-gesa menyebarkannya. Namun hendaknya mereka menyerahkan urusan tersebut kepada Rasul Shalallahu ‘alaihi wa sallam (semasa hidup beliau) atau menyerahkannya kepada ulim amri di antara mereka, yaitu orang-orang yang ahli menentukan pendapat, berilmu, penasihat, dan memiliki sikap tenang. Mereka adalah orang-orang yang memahami urusan-urusan tersebut dan dampaknya yang baik. Mereka juga orang-orang yang paham terhadap akibat jelek yang akan ditimbulkannya.
Sehingga, apabila mereka melihat kebaikan dan akan menggembirakan orang-orang yang beriman, atau justru akan membangkitkan kewaspadaan mereka terhadap musuh-musuhnya, niscaya mereka akan menyebarkannya. Namun apabila mereka melihat bahwa tidak ada kebaikan untuk disebarkan, atau mengandung kebaikan bila disebarkan tetapi dampak buruknya yang lebih besar, niscaya mereka tidak akan menyebarkannya. Oleh karena itulah, Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri).”
Maknanya, kata beliau rahimahullah, mereka akan berusaha mengeluarkan hukum atau keputusan dengan pikiran dan pendapat yang tepat serta ilmu mereka yang mapan.
Dalam firman Allah Subhanahu wa ta’ala ini terdapat dalil yang menunjukkan benarnya sebuah kaidah dalam adab, yaitu apabila terjadi pembahasan sebuah masalah yang sangat penting, sudah selayaknya urusan tersebut diserahkan kepada orang-orang yang ahli di dalamnya, dan tidak boleh ada yang mendahului mereka. Dengan cara ini, akan lebih mendekati kebenaran dan lebih selamat.
Disamping itu, firman Allah Subhanahu wa ta’ala ini juga mengandung larangan dari sikap tergesa-gesa dalam menyebarkan berita setelah mendapatkannya. Yang diperintahkan justru untuk memerhatikan dan meneliti lebih dahulu sebelum menyebarkannya, apakah berita itu berupa kebaikan sehingga dapat disebarkan, ataukah sebaliknya. Kemudian Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut setan, kecuali sebagian kecil saja (di antaramu).”
Maksudnya, bila bukan karena hidayah taufiq dari Allah Subhanahu wa ta’ala, tuntunan dan ajaran terhadap hal-hal yang tidak kalian ketahui sebelumnya, niscaya kalian akan mengikuti bisikan setan, kecuali sedikit saja dari kalian yang selamat. (Taisir Al-Karimirrahman)
Namun, musibah bisa saja terjadi sebagaimana yang diperingatkan oleh Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah: “Namun sebagian penuntut ilmu merasa mantap atau cukup dengan sedikit ilmu yang dimilikinya. Dia siap membantah setiap orang yang menyelisihi pendapatnya. Ini adalah salah satu sebab yang akan menimbulkan perpecahan dan perselisihan. Wallahul musta’an.”
Asy-Syaikh Muhammad Al-Imam hafizhahullah berkata: “Para penuntut ilmu adalah duta para ulama kepada umat manusia. Hanya saja yang dicela di antara mereka adalah yang mendahului para ulama serta merasa tidak membutuhkan arahan dan nasihat mereka, kemudian tidak mau menimba ilmu dari para ulama.” (Bidayatul Inhiraf, hal. 437)
4. Berdoa
Hakikatnya, seorang hamba sangat membutuhkan ilmu dan petunjuk, sehingga dia meminta dan mencarinya. Dengan mengingat Allah Subhanahu wa ta’alala dalam hadits qudsi:
يَا عِبَادِي كُلُّكُمْ ضَالٌّ إِلَّا مَنْ هَدَيْتُهُ فَاسْتَهْدُونِي أَهْدِكُمْ
“Wahai hamba-hamba-Ku, kalian semua tersesat kecuali siapa yang Aku beri petunjuk, maka mohonlah petunjuk kepada-Ku niscaya Aku akan menunjukimu.” (HR. Muslim dari Abu Dzar Radhiyallahu ‘anhu)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Apabila seorang hamba merasa dirinya sangat membutuhkan Allah Subhanahu wa ta’ala dan senantiasa berusaha meneliti firman Allah Subhanahu wa ta’ala, sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam dan ucapan para sahabat g, tabi’in, serta para imam kaum muslimin, niscaya akan terbuka baginya jalan petunjuk.” (Majmu’ Fatawa, 5/118)
Beliau rahimahullah juga berkata: “Barangsiapa yang telah jelas baginya kebenaran dalam suatu urusan, hendaknya dia mengikutinya. Sedangkan barangsiapa yang masih belum mendapatkan kejelasan hendaknya dia tidak bersikap sampai Allah Subhanahu wa ta’ala menampakkan kejelasan kepadanya. Selayaknya dia meminta pertolongan dalam urusan tersebut dengan berdoa kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. Termasuk doa yang paling baik dalam urusan tersebut adalah apa yang diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim rahimahullah dalam Shahih-nya dari Aisyah Radhiyallahu ‘anha, bahwa bila Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam terbangun dari tidur malamnya, beliau lalu shalat dan berdoa (dalam doa iftitahnya):
للَّهُمَّ رَبَّ جِبْرَئِيْلَ وَمِيْكَائِيْلَ وَإِسْرَافِيْلَ، فَاطِرَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ، عَالِمَ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ، أَنْتَتَحْكُمُ بَيْنَ عِبَادِكَ فِيمَا كاَنُوْا فِيْهِ يَخْتَلِفُوْنَ، اهْدِنِي لِمَا اخْتُلِفَ فِيْهِ مِنَ الْحَقِّ بِإِذْنِكَ، إِنَّكَ تَهْدِي مَنْ تَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيْمٍ
“Ya Allah, wahai Rabb Jibril, Mikail dan Israfil! Wahai Yang memulai penciptaan langit-langit dan bumi tanpa ada contoh sebelumnya! Wahai Dzat Yang mengetahui yang gaib dan yang tampak! Engkau menghukumi/memutuskan di antara hamba-hamba-Mu dalam perkara yang mereka berselisih di dalamnya. Tunjukilah aku mana yang benar dari apa yang diperselisihkan dengan izin-Mu. Sesungguhnya Engkau memberikan hidayah kepada siapa yang Engkau kehendaki ke jalan yang lurus.”
Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah berkata: “Sesungguhnya orang yang meneliti dan membahas ilmu ketika membutuhkannya untuk beramal atau berbicara, kemudian dia belum mendapatkan pendapat yang lebih dekat kepada kebenaran setelah dia meniatkan mencarinya dalam hatinya dan membahasnya, maka sesungguhnya Allah Subhanahu wa ta’ala tidak akan mengecewakan orang yang seperti ini. Sebagaimana yang terjadi pada Nabi Musa ‘alaihissalam ketika beliau bermaksud pergi ke kota Madyan padahal beliau tidak tahu jalan ke arahnya. Beliau q berdoa:
“Mudah-mudahan Rabbku memimpinku ke jalan yang benar.” (Al-Qashash: 22)
Sungguh Allah Azza wa Jalla telah membimbing beliau serta memberikan apa yang beliau harapkan dan cita-citakan.” (Taisir Al-Lathifil Mannan, hal. 180)
Kita memohon kepada Allah Subhanahu wa ta’ala semata agar kita senantiasa ditunjuki kepada jalan yang lurus dan diselamatkan dari berbagai fitnah hingga datangnya ajal kita.
Amin ya Rabbal alamin.
—————————————–
Sumber: Majalah Asy Syariah