Makna Sabda Nabi: “Mimpi Seorang Mukmin Bagian Dari Nubuwwah”

Mimpi Seorang Mukmin Bagian Dari Nubuwwah1MAKNA SABDA NABI: MIMPI SEORANG MUKMIN BAGIAN DARI NUBUWWAH

Asy Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah

| | |

Pertanyaan:

Apa makna sabda Nabi:

“Mimpi seorang mukmin merupakan satu bagian dari 46 bagian nubuwwah (kenabian).”  Kalau begitu siapakah yang benar mimpinya?

Jawab:

Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin menjawab:

“Makna sabda Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam: adalah apa yang diimpikan seorang mukmin akan terjadi dengan benar, karena mimpi tersebut merupakan permisalan yang dibuat bagi orang yang bermimpi. Terkadang mimpi itu adalah berita tentang sesuatu yang sedang atau akan terjadi. Kemudian sesuatu itu benar terjadi persis seperti yang diimpikan. Dengan demikian, dari sisi ini mimpi diibaratkan seperti nubuwwah dalam kebenaran apa yang ditunjukkannya, walaupun mimpi berbeda dengan nubuwwah. Karena itulah mimpi dikatakan satu dari 46 bagian nubuwwah. Kenapa disebut 46 bagian, karena hal ini termasuk perkara tauqifiyyah [1]. Tidak ada yang mengetahui hikmahnya sebagaimana halnya bilangan-bilangan rakaat dalam shalat [2].

adapun ciri orang yang benar mimpinya adalah seorang mukmin yang jujur, bila memang mimpinya itu mimpi yang baik/bagus. Jika seseorang dikenal jujur ucapannya ketika terjaga, ia memiliki iman dan takwa, maka secara umum mimpinya benar. Karena itulah hadits ini pada sebagian riwayatnya datang dengan menyebutkan adanya syarat, yaitu mimpi yang baik/bagus dari seorang yang shalih. Dalam Shahih Muslim dari hadits Abu Hurairah  disebutkan bahwa Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Orang yang paling benar mimpinya adalah orang yang paling jujur ucapannya.”

Akan tetapi perlu diketahui di sini bahwa mimpi yang dilihat seseorang dalam tidurnya itu ada tiga macam:

Pertama:

Mimpi yang benar lagi baik. Inilah mimpi yang dikabarkan oleh Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam sebagai satu dari 46 bagian kenabian. Secara umum, mimpinya itu tidak terjadi di alam nyata. Namun terkadang pula terjadi persis seperti yang dilihat dalam mimpi. Terkadang terjadi di alam nyata sebagai penafsiran dari apa yang dilihat dalam mimpi. Dalam mimpi ia melihat satu permisalan kemudian ta’bir dari mimpi itu terjadi di alam nyata namun tidak mirip betul. Contohnya seperti mimpi Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam beberapa waktu sebelum terjadi perang Uhud. Beliau mimpi di pedang beliau ada rekahan/retak dan melihat seekor sapi betina disembelih. Ternyata retak pada pedang beliau tersebut maksudnya adalah paman beliau Hamzah z akan gugur sebagai syahid. Karena kabilah (kerabat/keluarga) seseorang kedudukannya seperti pedangnya dalam pembelaan yang mereka berikan berikut dukungan dan pertolongan mereka terhadap dirinya. Sementara sapi betina yang disembelih maksudnya adalah beberapa sahabat beliau Shalallahu ‘alaihi wa sallam akan gugur sebagai syuhada. Karena pada sapi betina ada kebaikan yang banyak, demikian pula para sahabat. Mereka adalah orang-orang yang berilmu, memberi manfaat bagi para hamba dan memiliki amal-amal shalih.

Kedua:

Mimpi yang dilihat seseorang dalam tidurnya sebagai cermin dari keinginannya atau dari apa yang terjadi pada dirinya dalam hidupnya. Karena kebanyakan manusia mengimpikan dalam tidurnya apa yang menjadi bisikan hatinya atau apa yang memenuhi pikirannya ketika masih terjaga (belum tidur) dan apa yang berlangsung pada dirinya saat terjaga (tidak tidur). Mimpi yang seperti ini tidak ada hukumnya [3].

Ketiga:

Gangguan dari setan yang bermaksud menakut-nakuti seorang manusia, karena setan dapat menggambarkan dalam tidur seseorang perkara yang menakutkannya, baik berkaitan dengan dirinya, harta, keluarga, atau masyarakatnya. Hal ini dikarenakan setan memang gemar membuat sedih kaum mukminin sebagaimana Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

“Sesungguhnya pembicaraan rahasia [4] itu dari setan, dengan tujuan agar orang-orang beriman itu bersedih hati, padahal pembicaraan itu tidaklah memberi mudarat sedikitpun kepada mereka kecuali dengan izin Allah ….” (Al-Mujadalah: 10)

Setiap perkara yang dapat menyusahkan seseorang dalam hidupnya dan mengacaukan kebahagiaan hidupnya merupakan target yang dituju oleh setan. Ia sangat bersemangat untuk mewujudkannya, baik orang yang hendak diganggunya itu tengah terjaga atau sedang larut dalam mimpinya. Karena memang setan merupakan musuh sebagaimana Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

“Sesungguhnya setan itu merupakan musuh bagi kalian maka jadikanlah ia sebagai musuh.” (Fathir: 6)

Terhadap bentuk mimpi yang ketiga ini, kita dibimbing oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam untuk berlepas diri darinya. Beliau memerintahkan kepada orang yang bermimpi melihat perkara yang dibencinya agar berlindung kepada Allah subhanahu wa ta’ala dari gangguan setan dan dari kejelekan apa yang dilihatnya. Kemudian ia meludah sedikit ke arah kirinya sebanyak tiga kali, mengubah posisi tidurnya dengan membalikkan lambung/rusuknya ke arah lain dan tidak boleh menceritakan mimpi tersebut kepada seorang pun. Bila seseorang telah melakukan bimbingan Rasul yang telah disebutkan ini, niscaya mimpi buruknya itu tidak akan memudaratkannya sedikitpun. Hal ini banyak terjadi di kalangan manusia. Banyak pertanyaan yang datang tentang permasalahan ini, namun obatnya adalah apa yang telah diterangkan oleh Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana disebutkan dalam hadits Jabir bin Abdillah  yang diriwayatkan Al-Imam Muslim. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Bila seseorang dari kalian bermimpi hal yang dibencinya (mimpi buruk), hendaklah meludah ke arah kiri sebanyak tiga kali dan berlindung kepada Allah dari gangguan setan tiga kali, serta memalingkan lambung/rusuknya ke arah yang berbeda dengan yang sebelumnya.”

Sebagaimana disebutkan pula dalam hadits Abu Sa’id Al-Khudri yang diriwayatkan  Al-Imam Al-Bukhari:

“Bila seseorang dari kalian bermimpi perkara yang dibencinya (mimpi buruk) maka hanyalah mimpi itu dari setan. Karena itu, hendaklah ia berlindung kepada Allah dari kejelekan mimpi tersebut dan janganlah ia ceritakan mimpinya kepada seorang pun. Sungguh mimpi itu tidak akan memudaratkannya.”

Dalam hadits Abu Qatadah yang dikeluarkan Al-Imam Muslim disebutkan bahwa Abu Qatadah berkata:

“Aku pernah bermimpi buruk hingga mimpi itu membuatku sakit/lemah. Sampai akhirnya aku mendengar Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda bahwa mimpi yang bagus itu dari Allah, maka bila salah seorang dari kalian bermimpi melihat perkara yang disukainya maka jangan ia ceritakan mimpi tersebut kecuali kepada orang yang dicintainya. Bila yang diimpikan itu perkara yang tidak disukai (mimpi buruk), hendaklah ia meludah sedikit ke kiri tiga kali, berlindung kepada Allah dari kejelekan setan dan dari kejelekan mimpi tersebut, dan jangan ia ceritakan mimpi itu kepada seorang pun. Bila demikian yang dilakukannya niscaya mimpi itu tidak akan memudaratkannya.”

Adapun dalam hadits Abu Hurairah disebutkan bahwa Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Bila seseorang dari kalian melihat perkara yang dibencinya dalam mimpinya maka hendaklah ia bangkit dari tempat tidurnya (untuk berwudhu) lalu mengerjakan shalat dan jangan ia ceritakan mimpinya itu kepada manusia.” (HR. Muslim)

Dengan demikian ada beberapa perkara yang diperintahkan Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam kepada orang yang bermimpi buruk:

1. Meludah sedikit ke arah kirinya tiga kali

2. Berlindung kepada Allah subhanahu wa ta’ala dari kejelekan setan (membaca ta’awudz) sebanyak tiga kali

3. Berlindung kepada Allah subhanahu wa ta’alal dari kejelekan apa yang dilihatnya (dalam mimpi)

4. Memalingkan lambung/rusuknya ke arah yang berlainan dari arah semula

5. Tidak boleh diceritakannya kepada seorang pun

6. Hendaknya ia bangkit dari tempat tidurnya (untuk berwudhu) lalu mengerjakan shalat.

Sumber : (Majmu’ Fatawa wa Rasa`il Fadhilatisy Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, 1/327-330)

Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

**************************************************

1 Perkaranya sudah paten, dari sananya demikian. Tidak ada andil bagi akal dalam penetapannya, namun semata-mata dari wahyu, Al-Qur`an dan As-Sunnah. (pent.)

2 Seperti Zhuhur 4 rakaat, Subuh 2 rakaat, Maghrib 3 rakaat, dan seterusnya. Apa hikmahnya? Jawabannya, tak ada yang tahu. Penetapan bilangan 4, 2, dan 3 ini merupakan perkara tauqifiyyah. Bukan hasil ijtihad akal seorang manusia, namun semata-mata dari wahyu. Sehingga tak boleh seorang pun mengubah jumlah rakaat shalat-shalat tersebut dengan buah pikirannya. (pent.)

3 Karena peristiwa di alam nyata atau pikirannya di alam nyata itulah yang membawanya sampai bermimpi.

4 Berbicara dengan bisik-bisik di hadapan kaum mukminin, sehingga si mukmin menyangka bahwa yang dibicarakan adalah rencana untuk mencelakakannya dan menimpakan kejelekan padanya. Akibatnya ia merasa sedih, takut, dan khawatir. (pent.)

Sumber artikel : Majalah Asy Syariah online

© 1446 / 2024 Forum Salafy Indonesia. All Rights Reserved.
Enable Notifications OK No thanks