KONTROVERSI IBNU SABA’ AL-YAHUDI
Abdullah bin Saba’ dalam tarikh
Pembahasan jati dirinya adalah bagian penting dalam kajian tarikh Islam. Meskipun keberadaan Ibnu Saba’ sudah menjadi ijma’ (kesepakatan) ahli hadits, ahli al-jarh wat ja’dil, ahlitarikh, juga penulis kitab-kitab al-milal wan nihal dan firaq (aliran-aliran dalam Islam), namun pada sebagian kalangan, kontroversi keberadaannya sebagai sosok penebar fitnah dan kedustaan tetap saja menjadi perbincangan dan bahan perdebatan.
Orientalis bersama firqah-firqah sesat seperti agama Rafidhah (Syi’ah) berupaya keras menghilangkan jejak Ibnu Saba’ dari tarikh dan menampakkannya sebagai tokoh khayal.
Upaya tersebut bukan perjuangan tanpa tujuan. Banyak maksud buruk terselip di balik usaha itu. Di antaranya, mengaburkan sejarah wafatnya khalifah Utsman bin ‘Affan Radhiyallahu ‘anhu dan fitnah-fitnah berikutnya di masa khalifah Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu, yang sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari peran sosok Yahudi yang buruk ini.
Rafidhah (Syi’ah) juga memiliki maksud buruk lain, yaitu upaya memendam keterkaitan antara Rafidhah sebagai agama baru dengan ajaran Yahudi yang dibawa Ibnu Saba’.
Pembaca rahimakumullah. Agama Rafidhah –sebagaimana diterangkan ulama– memiliki banyak sisi persamaan dengan Yahudi. Mengapa demikian? Karena memang agama Rafidhah dipelopori oleh Ibnu Saba’, seorang Yahudi yang menampakkan keislaman di tengah barisan kaum muslimin. Oleh karena itulah, Rafidhah tidak ingin diketahui bahwa mereka sejatinya adalah anak dan kaki tangan Yahudi. Sebagaimana mereka juga tidak ingin terlihat adanya hubungan mesra dengan Yahudi yang selalu membantu tumbuh berkembangnya Rafidhah di tengah-tengah muslimin untuk merusak ajaran Islam yang murni.
Dari itikad-itikad buruk inilah, mereka menyatukan langkah menghilangkan fakta-fakta sejarah tentang Ibnu Saba’ dengan berbagai cara. Di antaranya memasukkan apa yang sebenarnya tidak terjadi dalam tarikh serta menggantinya dengan kedustaan atau memberikan penafsiran-penafsiran salah terkait dengan kejadian-kejadian tarikh.
Sadar atau tidak, pengaburan ini merupakan salah satu dari sekian bentuk upaya perusakan Islam. Hingga tidak sedikit dari kaum muslimin terbawa pola pemikiran mereka tersebut, kemudian terjerat dalam tipu muslihatnya.
Musuh-musuh Islam berupaya memerangi Islam dengan berbagai cara, di antaranya dengan merusak tarikh Islam. Terlebih yang terkait dengan sejarah sahabat-sahabat Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana hal ini diisyaratkan Syaikul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah (wafat 728 H). Beliau berkata dalam Al-’Aqidah Al-Wasithiyah ketika menyebutkan akidah Ahlus Sunnah tentang sahabat-sahabat Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam: “Dan mereka (Ahlus Sunnah) mengatakan bahwa atsar-atsar yang diriwayatkan tentang kejelekan sahabat, di antaranya ada yang dusta, di antaranya ada berita yang telah ditambah-tambah, dikurangi atau diubah-ubah…”
Demikian kaidah penting terkait dengan upaya musuh-musuh Islam menebarkan kedustaan dan kerancuan dalam tarikh sahabat, yang tiada lain bertujuan merusak Islam. Tetapi bagaimanapun musuh Islam berusaha mencemarkan kemuliaan sahabat, pertolongan Allah Subhanahu wa ta’ala atas agama ini adalah kepastian yang tidak bisa ditawar lagi. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Mereka ingin hendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tetap menyempurnakan cahaya-Nya meskipun orang-orang kafir benci.” (Ash-Shaff: 8)
Beberapa upaya pengaburan Ibnu Saba’
Orientalis demikian gigih mengingkari keberadaan Ibnu Saba’ dengan argumen-argumen yang sangat lemah dan nyata dibuat-buat. Sebut saja di antara mereka, Bernard Lewis, seorang Yahudi berkebangsaan Inggris, Julius Wellhausen (Jerman), Friedlaender dan Caetani Leone (Italia). Diikuti pula orang-orang yang terpengaruh orientalis, seperti Dr. Toha Husain (Mesir) dan Dr. Muhammad Kamil Husain. Rafidhah tidak pula ketinggalan berjalan mengekor seperti layaknya anjing di belakang tuannya –sambil menjulurkan lidah-lidah mereka–, seperti Muhammad Jawad, Murtadha ‘Askari, Dr. ‘Ali Wardi, Dr. Kamil Syaibi, dan lainnya. Dengan lantang mereka semua berteriak di atas kebodohan dan hawa nafsu bahwa Ibnu Saba’ hanya khayalan, keberadaannya hanyalah sebuah legenda. [1]
Pembaca rahimakumullah. Di antara syubhat mereka untuk menolak keberadaan Ibnu Saba’, adalah klaim bahwa Ibnu Saba’ tidak termaktub dalam referensi-referensi tarikh kecuali riwayat Saif bin ‘Umar At-Taimi, sementara ia bersendiri dalam meriwayatkan keberadaan Ibnu Saba’, dan riwayatnya tertolak. Demikian kata mereka.
Sebenarnya, bagi sedikit saja yang mau melihat riwayat-riwayat tarikh barang sejenak, dengan mudah menyimpulkan bahwa dalil mereka sangat lemah bahkan dusta. Terlebih jika memahami maksud buruk yang terselip dalam dada mereka. Allahu musta’an.
Abdullah bin Saba’ adalah nyata, bukan sosok khayalan
Keberadaan Abdullah bin Saba’ tidak perlu diragukan. Dalih bahwa Saif bin ‘Umar At-Taimi bersendiri dalam meriwayatkan adanya Ibnu Saba’ terbantah dari sekian banyak sisi. Di antaranya:
1. Keberadaan Ibnu Saba’ Al-Yahudi diriwayatkan dalam riwayat-riwayat lain yang shahih dan hasan dalam banyak referensi tarikh, bukan hanya dari jalan Saif bin ‘Umar At-Taimi seperti yang mereka dustakan. Di antara riwayat-riwayat tersebut adalah [2]:
Pertama: Ibnu ‘Asakir dalam Tarikh Dimasyq meriwayatkan dari ‘Amir bin Syarahil Asy-Sya’bi (wafat 104 H) rahimahullah, beliau berkata:
أَوَّلُ مَنْ كَذَبَ عَبْدُ اللهِ بْنُ سَبَأٍ
“Orang yang pertama kali melakukan kedustaan adalah Ibnu Saba’.”
Kedua: Ibnu ‘Asakir dalam Tarikh Dimasyq juga meriwayatkan dari Ja’far Ash-Shadiq, tentang kisah kemarahan Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu atas ucapan-ucapan kufur yang terlontar dari mulut Ibnu Saba’. (Lihat riwayatnya pada sub bab: “Sepenggal Kisah Ibnu Saba’ di Masa ‘Ali bin Abi Thalib”)
2. Disamping riwayat-riwayat shahih dan hasan, banyak riwayat-riwayat dha’if (lemah) tentang keberadaannya sebagai penguat kepastian adanya sosok Ibnu Saba’, sebagaimana keberadaannya telah disepakati ulama Islam.
3. Lebih menarik lagi sebagai bantahan, ternyata di kalangan orientalis sendiri ada yang secara obyektif berkesimpulan melalui penelitian riwayat dan referensi-referensi tarikh bahwa Abdullah bin Saba’ adalah sosok nyata dalam tarikh, bukan tokoh fiksi! Di antara mereka adalah Reynold Allen Micholson (1945 M) dan Ignaz Goldziher (1921 M). Dua orang ini berkesimpulan tentang adanya sosok Ibnu Saba’ dalam tarikh Islam. Cukuplah hal ini sebagai bantahan, jika mereka masih berakal.
4. Adapun bagi Rafidhah yang mengelak keberadaan Ibnu Saba’, cukuplah kita katakan pada mereka: “Kitab-kitab rujukan kalian dengan tegas menukil riwayat-riwayat keberadaan Ibnu Saba’, bahkan dari jalan imam-imam yang kalian anggap maksum.” Lihat beberapa referensi kalian, sepertiRisalatul Irja’ oleh Hasan bin Muhammad bin Al-Hanafiyah (95 H), Al-Maqalat wal Firaq oleh Sa’d bin Abdullah Al-Asy’ari Al-Qummi (301 H) cet. Teheran 1963; Rijal Al-Kisysyi oleh Abu ‘Amr dan Muhammad bin ‘Umar (369 H) cet. Istanbul 1931; Rijal Ath-Thusi, oleh Abu Ja’far Muhammad bin Al-Hasan Ath-Thusi (460 H) cet. Najef 1961 H, dan kitab-kitab lain yang kalian jadikan rujukan, wahai Rafidhah, wahai kaki tangan Yahudi. [3]
Empat hal di atas mudah-mudahan cukup sebagai bantahan bagi mereka yang meniadakan Ibnu Saba’ dalam tarikh, jika mereka masih punya sedikit akal.
Ibnu Saba, dan makarnya dalam Islam
Ibnu Saba’ adalah seorang Yahudi yang sangat busuk dan licik. Dia tampakkan keislamannya di zaman Utsman bin ‘Affan Radhiyallahu ‘anhu dan menampakkan keshalihan di masa Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu. Di balik topeng kemunafikannya inilah, ia embuskan api fitnah yang demikian besar di tengah umat hingga berkobar fitnah demi fitnah.
Peran Ibnu Saba’ sangat besar dalam fitnah pembunuhan Khalifah Utsman bin ‘Affan Radhiyallahu ‘anhu [4], demikian pula fitnah-fitnah berikutnya di masa khilafah ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu. Dia pula sesungguhnya yang memegang peran penting munculnya Rafidhah (Syi’ah) sebagai agama baru yang sangat erat pertaliannya dengan ajaran-ajaran kafir Yahudi.
Antara Abdullah bin Saba’ dan Rafidhah (Syi’ah)
Sebagaimana telah disinggung bahwasanya Rafidhah (Syi’ah) adalah agama baru yang berakar dari agama Yahudi yang dibawa dan ditumbuhkembangkan Abdullah bin Saba’ Al-Yahudi. Sisi kesamaan antara agama Syi’ah Rafidhah dengan Yahudi banyak kita jumpai. Semua itu menunjukkan keterkaitan yang sangat erat antara Yahudi dan Rafidhah.[5]
Berikut ini kita nukilkan beberapa sisi kesamaan antara Rafidhah dan pemikiran Ibnu Saba’ Al-Yahudi.
1. Dia adalah orang pertama yang menyebarkan keyakinan ke-rububiyah-an dan ke-uluhiyah-an Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu. Ali adalah ilah (sesembahan) dan Rabb (pengatur alam semesta). Keyakinan Ibnu Saba’ ini ada pada Rafidhah.
Referensi Syi’ah sendiri yang menyebutkan bahwa Ibnu Saba’ menyebarkan keyakinan kufur tersebut. Lihat sebagai bukti pada kitab rujukan mereka: Pertama: Rijal Al-Kisysyi (hal. 98, cet. Karbala), dan kedua: Tanqihul Maqal Fi Ahwali Ar-Rijal (2/183-184, cet. Najef, 1350 H. (Dari risalah Ibnu Saba’ Haqiqah La Khayal karya Dr. Sa’di Al-Hasyimi)
2. Ibnu Saba’ adalah orang pertama yang memunculkan akidah wasiat, yaitu keyakinan bahwa Rasulullah n telah mewasiatkan kepada Ali Radhiyallahu ‘anhu untuk menjadi khalifah sepeninggal beliau. Keyakinan wasiat Ibnu Saba’ ini ada pada Rafidhah, bahkan merupakan bagian penting dari aqidah Rafidhah.[6] Bukankah hal ini menunjukkan keterkaitan yang erat antara agama Rafidhah dengan Ibnu Saba’? Keyakinan wasiat Ibnu Saba’ adalah hasil pemikiran Yahudinya sebelum ia menyusup di tengah-tengah muslimin.
Buku-buku rujukan Syi’ah sendiri yang menetapkan bahwa keyakinan wasiat berasal dari Abdullah bin Saba’. Al-Mamaqani dalam bukunya Tanqih Al-Maqal (2/184) menukil ucapan Muhammad bin ‘Umar Al-Kisysyi –salah seorang tokoh Rafidhah– dia berkata: “Ahlul ilmi menyatakan bahwa Abdullah bin Saba’ dahulu seorang Yahudi lalu masuk Islam dan berwala’ kepada ‘Ali Radhiyallahu ‘anhu. Di masa Yahudinya, dia mengatakan bahwa Yusya’ bin Nun adalah orang yang mendapat wasiat dari Musa. Di masa Islamnya dia juga katakan hal semisal (yakni wasiat, pen.) terhadap ‘Ali.” [7]
3. Ibnu Saba’ adalah orang pertama yang menyebarkan keyakinan raj’ah, yaitu keyakinan bahwasanya ‘Ali hidup kembali di dunia sesudah wafatnya.
4. Ibnu Saba’ adalah orang pertama yang menyebarkan kebencian kepada Abu Bakr Ash-Shiddiq Radhiyallahu ‘anhu dan ‘Umar bin Al-Khaththab Radhiyallahu ‘anhu. Keyakinan ini adalah bagian terpenting dalam akidah Rafidhah.
Abu Ishaq Al-Fazari menyebutkan riwayat dengan sanadnya kepada Suwaid bin Ghaflah, bahwasanya dia mengunjungi ‘Ali Radhiyallahu ‘anhu di masa kekhilafahannya. Suwaid berkata: “Sungguh aku melewati suatu kaum yang mencela Abu Bakr dan ‘Umar. Mereka juga menyatakan bahwa engkau menyembunyikan pula celaan pada keduanya (yakni Abu Bakr dan ‘Umar). Di antara kaum itu adalah Abdullah bin Saba’ –dan dia adalah orang pertama yang menampakkan keyakinan ini–.” Maka berkatalah Ali: “Apa urusanku dengan si hitam yang busuk ini (yakni Ibnu Saba’)? Aku berlindung kepada Allah Subhanahu wa ta’ala dari memendam dalam hati sesuatu pada keduanya melainkan kebaikan.” Kemudian ‘Ali Radhiyallahu ‘anhu membuang Ibnu Saba’ ke Mada’in… (Ibnu Hajar membawakan riwayat kisah ini dalam Lisanul Mizan (3/290) dengan sanad yang shahih)
Demikian di antara pemikiran-pemikiran Ibnu Saba’ Yahudi yang diembuskan di tengah kaum muslimin untuk merusak akidah. Pemikiran tersebut benar-benar serupa dan sama dengan akidah yang ada pada Rafidhah (Syi’ah) yang memang ditumbuhkan oleh Ibnu Saba’ Al-Yahudi. [8]
Untuk menyembunyikan cela ini, Rafidhah berjalan bersama orientalis dalam usahanya menghilangkan jejak Ibnu Saba’ untuk kepentingan mereka. Namun usaha Rafidhah itu adalah usaha yang sia-sia. Karena keberadaan Ibnu Saba’ merupakan kesepakatan (ijma’) ahli hadits, Ahlus Sunnah wal Jama’ah, demikian pula kesepakatan ahli tarikh. Bahkan kitab-kitab rujukan Rafidhah sendiri menetapkan keberadaan Ibnu Saba’, sebagaimana telah lalu penyebutannya.
Apakah masuk akal, jika mereka mengingkari kitab-kitab yang mereka sucikan dan agungkan? Mustahil tentunya, kecuali jika mereka telah dungu atau kehilangan akal, atau telah berubah menjadi kera sebagaimana nenek moyang mereka. Dan inilah kenyataannya!!!
Sepenggal Kisah Ibnu Saba’ di masa ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu
Ibnu ‘Asakir rahimahullah dalam Tarikh Dimasyq meriwayatkan dari Ash-Shadiq [9] dari Jabir bin Abdillah Radhiyallahu ‘anhu: Ketika ‘Ali dibaiat (sebagai khalifah) beliau berkhutbah di hadapan manusia. Berdirilah Abdullah bin Saba’ mengatakan pada Ali Radhiyallahu ‘anhu: “Engkau adalah makhluk bumi (yang Allah Subhanahu wa ta’ala janjikan)[10].” Ali Radhiyallahu ‘anhu marah seraya berkata: “Takutlah engkau kepada Allah Subhanahu wa ta’ala!” Ibnu Saba’ menimpali: “Engkau malaikat.” Ali berkata: “Takutlah engkau kepada Allah Subhanahu wa ta’ala!” Ibnu Saba’ kembali berkata: “Engkaulah yang menciptakan makhluk dan meluaskan rizki!” Seketika itu Ali memerintahkan untuk membunuh Ibnu Saba’, tetapi berkerumunlah orang-orang Rafidhah (melindungi Ibnu Saba’). Mereka berkata: “Tinggalkan dia. Buang saja ke Mada’in, karena jikalau engkau membunuhnya di kota ini (Kufah), sahabat-sahabatnya akan memerangi kami!” (Demikian kata mereka). Maka dibuanglah Ibnu Saba’. [11]
Pembaca rahimakumullah, nukilan-nukilan dari kitab-kitab Ahlus Sunnah telah menetapkan keberadaan Ibnu Saba’ sebagai satu kesepakatan. Seandainya Rafidhah mengingkari keberadaan sosok ini dari riwayat-riwayat kitab-kitab Ahlus Sunnah, maka cukuplah referensi mereka –yang mereka sucikan– dan riwayat dari imam-imam mereka –yang diyakini kemaksumannya– sebagai bukti keberadaan Ibnu Saba’, sekaligus bukti akan kedustaan, kedunguan dan kebodohan orang-orang Rafidhah dalam memutarbalikkan fakta.
Wallahu a’lam.
Catatan Kaki:
[1] Lihat Ibnu Saba’ Haqiqah La Khayal hal. 7-24. Penulis, Dr. Sa’di Al-Hasyimi, menukil beberapa ucapan mereka beserta sanggahannya.
[2] Dr. Muhammad bin Abdullah Ghabban mengumpulkan riwayat-riwayat terkait dengan Ibnu Saba’ dalam tulisannya Fitnah Maqtal ‘Utsman, lihat jilid 2 hal. 883-900.
[3] Diringkas dari risalah Ibnu Saba’ Haqiqah Laa Khayal (hal.25-29) karya Dr. Sa’di Al-Hasyimi. Penulis menyebutkan 14 rujukan Syi’ah yang telah tercetak. Demikian pula diisyaratkan beberapa rujukan lain baik yang tercetak atau yang masih dalam bentuk manuskrip.
[4] Peran besarnya dalam menyalakan fitnah pembunuhan khalifah Utsman Radhiyallahu ‘anhu dapat dilihat kembali pada kajut: Tertumpahnya Darah Khalifah ‘Utsman Bin ‘Affan Radhiyallahu ‘anhu.
[5] Lihat Fitnah Maqtal ‘Ustman (1/143-144), Dr. Muhammad Abdullah Ghabban.
[6] Atas dasar keyakinan wasiat yang sesat inilah mereka –Syiah Rafidhah– mencela bahkan mengkafirkan Abu Bakr, Umar, dan Utsman g karena dianggap bahwa mereka telah mengkhianati wasiat Rasulullah n. Subhanallah, betapa busuknya Rafidhah mengkafirkan Abu Bakr, Umar, dan Utsman g. Betapa lancangnya mereka keluarkan sahabat yang mulia dari Islam, padahal Allah Subhanahu wa ta’ala telah menjamin mereka sebagai penghuni jannah.
[7] Dinukil dari ta’liq Muhibudin Al-Khathib atas kitab Al-Muntaqa Min Minhajil I’tidal (hal. 318).
[8] Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyebutkan banyak sisi-sisi persamaan Syiah Rafidhah dalam kitabnya Minhajus Sunnah, menukil ucapan ‘Amir bin Syarahil Asy-Sya’bi rahimaahullah.
[9] Abu Abdillah Ja’far bin Muhammad Ash-Shadiq, lahir dan wafat di Madinah (83-148 H). Beliau adalah seorang tabi’in dari ahli bait Rasulullah n. Diyakini agama Syiah Rafidhah sebagai imam maksum yang keenam.
[10] Yaitu makhluk bumi yang tersebut dalam firman Allah Subhanahu wa ta’ala:
“Dan apabila perkataan telah jatuh atas mereka, Kami keluarkan sejenis binatang melata dari bumi yang akan mengatakan kepada mereka, bahwa sesungguhnya manusia dahulu tidak yakin kepada ayat-ayat Kami.” (An-Naml: 82)َ
[11] Lihat Tahdzib Tarikh Dimasyq (7/430), Ibnu Badran.
————————————————
Sumber : Majalah AsySyariah