KISAH SAPI BETINA (bagian pertama)
Ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Muhammad Idral Harits
Samiri telah merasakan buah dari kejahatan dan kesesatannya di dunia. Seumur hidupnya, dia selalu berkata kepada orang lain, “Jangan sentuh saya,” karena setiap kali tubuhnya disentuh, dia merasa seperti terbakar. Itulah hukuman bagi orang-orang yang melakukan kesyirikan, bahkan mengajak orang lain ke dalam kesesatan. Menurut ulama, kisah ini terjadi sesudah dihancurkannya patung anak sapi yang disembah oleh sebagian besar bani Israil yang menyertai Nabi Musa ‘Alaihissalam. Hal itu agar semakin jelas betapa rendahnya sesuatu yang mereka sembah selain Allah Subhanahu wata’ala. Ketika sapi itu sebagai makhluk yang hidup, ia tidak berdaya ketika disembelih, lebih-lebih lagi jika ia hanya sebuah benda mati, kaku, dan bisu. Mungkin—Allahu a’lam—kisah penyembelihan sapi betina ini adalah
salah satu bentuk rahmat dan karunia Allah Subhanahu wata’ala kepada bani Israil. Dengan memerintahkan mereka menyembelih seekor sapi ini, akan tercabut sisa-sisa pengaruh kesyirikan dan kesesatan yang pernah mereka lakukan, yaitu menyembah patung anak sapi, serta menambah kokoh keyakinan mereka bahwa hanya Allah Subhanahu wata’ala satu-satunya yang berhak menerima peribadatan dalam bentuk apa pun. Kisah ini—kalau secara lengkap dan detail—bersumber dari sebagian cerita Israiliyat. Akan tetapi, kisah ini termasuk kisah-kisah yang boleh diriwayatkan, meskipun kebenaran ataupun kebatilannya tidak dapat kita akui secara mutlak.
Oleh sebab itu, kisah ini ataupun kisah-kisah Israiliyat lainnya harus dihadapkan kepada al-Qur’an dan as-Sunnah yang sahih. Apa saja yang di dalamnya sesuai dengan al-Qur’anul Karim dan as-Sunnah yang sahih, itulah yang benar, sedangkan yang tidak sesuai, itulah yang batil dan harus ditolak. Adapun riwayat yang menceritakan secara detail tentang kisah mereka dan sampai kepada kita adalah melalui as-Suddi, Abul ‘Aliyah, dan ‘Abidah as-Salmani rahimahumullah. Riwayatriwayat ini dikeluarkan oleh imam-imam kaum muslimin, seperti Ibnu Jarir ath- Thabari, Ibnu Abi Hatim, Ibnul Mundzir, dan al-Baihaqi rahimahumullah.
Awal Kejadian
Alkisah—menurut riwayat-riwayat tersebut—, di zaman dahulu, ketika bani Israil masih bersama Nabi Musa ‘Alaihissalam, hiduplah seorang hartawan dengan kekayaan yang berlimpah. Hartawan tersebut tidak mempunyai anak yang akan mewarisi hartanya. Tetapi, ada kerabatnya yang akan mewarisi hartanya apabila dia meninggal dunia. Pada suatu hari, hartawan itu ditemukan terbunuh dan jenazahnya tergeletak di depan rumah penduduk sebuah desa. Keesokan harinya, kerabat hartawan
itu tiba di desa tersebut dan melihat jenazah hartawan itu. Kerabatnya segera menjerit dan meratap. Dia memandangi orang-orang di sekitarnya dan menuduh merekalah yang membunuh hartawan itu. Tentu saja, mereka mengingkari. Warga menjadi marah. Akhirnya, mereka ribut dan hampir berkelahi. Salah seorang cerdik pandai di kalangan masyarakat di desa itu berusaha menengahi mereka, “Untuk apa kalian berkelahi dan saling membunuh? Bukankah di tengah-tengah kita ada Rasulullah Musa ‘Alaihissalam? Mari kita menanyakan urusan ini kepada beliau.” Mereka segera menemui Nabi Musa ‘Alaihissalam dan menceritakan apa yang baru saja terjadi. Nabi Musa Alaihissalam segera berdoa kepada Allah Subhanahu wata’ala meminta petunjuk tentang kejadian tersebut. Allah Subhanahu wata’ala mewahyukan kepada beliau agar menyampaikan kepada bani Israil bahwa Allah Subhanahu wata’ala memerintahkan mereka menyembelih seekor sapi. Tentu saja mereka heran, Nabi Musa ‘Alaihissalam tidak menyebutkan pelakunya, tetapi menyuruh mereka menyembelih seekor sapi. “Apakah kamu mau menjadikan kami bahan ejekan?” tanya mereka. “Aku berlindung kepada Allah (jangan sampai aku) termasuk orangorang yang jahil (bodoh),” kata Nabi Musa ‘Alahissalam.
Kemudian mereka bertanya kepada beliau, “Berapa usia sapi itu?” “Tidak muda, tidak pula tua. Pertengahan di antara keduanya. Nah, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepada kalian!” kata beliau. Mereka masih juga bertanya, “Apa warna sapi itu?” “Kuning tua, menyenangkan orang yang melihatnya,” kata beliau. Kembali mereka berkata, “Bagaimana keadaan sapi itu? Semoga kami mendapat petunjuk, insya Allah.” “Sapi itu tidak pernah digunakan untuk bekerja membajak sawah, memberi minum tanaman, dan bersih dari cacat,” kata beliau menerangkan. “ Sekarang , barulah kamu menerangkan keadaan sapi itu dengan benar,” kata mereka. Setelah mendapatkan jawaban Nabi Musa ‘Alaihissalam itu, mereka pun berkeliling mencari sapi yang dimaksud. Itulah akibat kesalahan mereka sendiri. Seandainya mereka langsung mengerjakan perintah Allah Subhanahu wata’ala yang disampaikan oleh Nabi Musa ‘Alahissalam, tentu tidak akan memberatkan dan menyusahkan mereka.
Setelah hampir putus asa mencari sapi yang dimaksud, mereka tiba di sebuah desa tempat seorang anak yatim yang hidup sederhana bersama ibunya. Ayahnya wafat ketika anak itu masih kecil. Sebelum meninggal dunia, sang ayah pernah berdoa kepada Allah Subhanahu wata’ala agar memeliharakan sapinya. Itulah satusatunya kekayaan yang dimilikinya. Sapi itu dibiarkan begitu saja, tidak dilatih bekerja apa pun. Kulit sapi itu kuning tua, bersih tanpa ada warna lain sedikit pun, tidak tua dan tidak pula muda, benar-benar seperti yang diterangkan di dalam firman Allah Subhanahu wata’ala. Melihat sapi tersebut, mereka segera mendekati dan menawarnya.
Ternyata anak yatim itu tidak ingin menjualnya dengan harga biasa. Mereka terpaksa kembali menemui Nabi Musa ‘Alahissalam dan mengadukan hal__ itu. Keadaan itu seakan-akan sebagai hukuman atas sikap mereka yang enggan bersegera menjalan perintah. Akhirnya, mereka harus mau memenuhi harga yang ditetapkan anak itu, yaitu emas sebanyak yang menutupi kulit sapi tersebut. Dengan terpaksa, mereka membeli juga sapi itu dengan emas sebanyak yang diminta anak yatim tersebut.
Setelah sapi itu dibawa ke hadapan Nabi Musa ‘Alaihissalam, beliau memerintahkan sapi itu disembelih dan salah satu anggota tubuhnya dipukulkan ke jenazah tersebut. Dengan izin AllahSubhanahu wata’ala, jenazah itu pun hidup kembali. Nabi Musa ‘Alahissalam bertanya kepadanya, “Siapa yang membunuhmu?” “Dia ini,” kata orang itu sambil menunjuk ke arah kerabatnya, dan setelah itu dia pun kembali menjadi mayat.
Ternyata pelaku pembunuhan itu adalah kerabatnya sendiri, tetapi mereka mengingkarinya, “Demi Allah, kami tidak membunuhnya.” Demikianlah watak bani Israil, sampai saat ini. Itulah cerita yang dinukilkan para ulama kaum muslimin dari ahli kitab. Secara umum, kisah ini diabadikan oleh AllahSubhanahu wata’ala di dalam Kitab Suci-Nya, al-Qur’anul Karim. Allah Subhanahu wata’alaberfirman,
وَإِذْ قَالَ مُوسَىٰ لِقَوْمِهِ إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَن تَذْبَحُوا بَقَرَةً ۖ قَالُوا أَتَتَّخِذُنَا هُزُوًا ۖ قَالَ أَعُوذُ بِاللَّهِ أَنْ أَكُونَ مِنَ الْجَاهِلِينَ () قَالُوا ادْعُ لَنَا رَبَّكَ يُبَيِّن لَّنَا مَا هِيَ ۚ قَالَ إِنَّهُ يَقُولُ إِنَّهَا بَقَرَةٌ لَّا فَارِضٌ وَلَا بِكْرٌ عَوَانٌ بَيْنَ ذَٰلِكَ ۖ فَافْعَلُوا مَا تُؤْمَرُونَ () قَالُوا ادْعُ لَنَا رَبَّكَ يُبَيِّن لَّنَا مَا لَوْنُهَا ۚ قَالَ إِنَّهُ يَقُولُ إِنَّهَا بَقَرَةٌ صَفْرَاءُ فَاقِعٌ لَّوْنُهَا تَسُرُّ النَّاظِرِينَ () قَالُوا ادْعُ لَنَا رَبَّكَ يُبَيِّن لَّنَا مَا هِيَ إِنَّ الْبَقَرَ تَشَابَهَ عَلَيْنَا وَإِنَّا إِن شَاءَ اللَّهُ لَمُهْتَدُونَ () قَالَ إِنَّهُ يَقُولُ إِنَّهَا بَقَرَةٌ لَّا ذَلُولٌ تُثِيرُ الْأَرْضَ وَلَا تَسْقِي الْحَرْثَ مُسَلَّمَةٌ لَّا شِيَةَ فِيهَا ۚ قَالُوا الْآنَ جِئْتَ بِالْحَقِّ ۚ فَذَبَحُوهَا وَمَا كَادُوا يَفْعَلُونَ () وَإِذْ قَتَلْتُمْ نَفْسًا فَادَّارَأْتُمْ فِيهَا ۖ وَاللَّهُ مُخْرِجٌ مَّا كُنتُمْ تَكْتُمُونَ () فَقُلْنَا اضْرِبُوهُ بِبَعْضِهَا ۚ كَذَٰلِكَ يُحْيِي اللَّهُ الْمَوْتَىٰ وَيُرِيكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ
Dan (ingatlah), ketika Musa berkata kepada kaumnya, “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih seekor sapi betina.” Mereka berkata, “Apakah kamu hendak menjadikan kami buah ejekan?” Musa menjawab, “Aku berlindung kepada Allah agar tidak menjadi salah seorang dari orang-orang yang jahil.” Mereka menjawab, “Mohonkanlah kepada Rabbmu untuk kami, agar Dia menerangkan kepada kami, sapi betina apakah itu.” Musa menjawab, “Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang tidak tua dan tidak muda; pertengahan antara itu; maka kerjakanlah apa yang diperintahkan kepada kalian!” Mereka berkata, “Mohonkanlah kepada Rabbmu untuk kami agar Dia menerangkan kepada kami apa warnanya.
” Musa menjawab, “Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang kuning, yang kuning tua warnanya, lagi menyenangkan orangorang yang memandangnya.” Mereka berkata, “Mohonkanlah kepada Rabbmu untuk kami agar Dia menerangkan kepada kami bagaimana hakikat sapi betina itu, karena sesungguhnya sapi itu (masih) samar bagi kami dan sesungguhnya kami insya Allah akan mendapat petunjuk (untuk memperoleh sapi itu).” Musa berkata, “Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang belum pernah dipakai untuk membajak tanah dan tidak pula untuk mengairi tanaman, tidak bercacat, dan tidak ada belangnya.” Mereka berkata, “Sekarang barulah kamu menerangkan hakikat sapi betina yang sebenarnya.” Kemudian mereka menyembelihnya dan hampir saja mereka tidak melaksanakan perintah itu. Dan (ingatlah), ketika kamu membunuh seorang manusia lalu kamu saling tuduh tentang itu. Dan Allah hendak menyingkapkan apa yang selama ini kamu sembunyikan.
Lalu Kami berfirman, “Pukullah mayat itu dengan sebagian anggota tubuh sapi betina itu!” Demikianlah Allah menghidupkan kembali orang-orang yang telah mati, dan memperlihatkan kepadamu tanda-tanda kekuasaan-Nya agar kamu mengerti.” (al-Baqarah: 67—73)
Inilah kisah mereka yang dipaparkan oleh Allah Subhanahu wata’ala, dan pasti benar. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
وَإِذْ قَالَ مُوسَىٰ لِقَوْمِهِ
Dan [ingatlah], ketika Musa berkata kepada kaumnya), yakni ingatlah wahai bani Israil ketika Musa berkata kepada kaumnya (firman Allah Subhanahu wata’ala);
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَن تَذْبَحُوا بَقَرَةً
(sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih seekor sapi betina).
Dalam ayat ini, Nabi Musa ‘Alaihissalam menerangkan bahwa Allah Subhanahu wata’alalah yang memerintahkan mereka menyembelih seekor sapi betina, bukan beliau. Semestinya, yang wajibmereka lakukan ialah segera mengerjakan perintah tersebut, bukan membantahnya. Akan tetapi, apa yang terjadi? Mereka justru mengucapkan kata-kata yang tidak beradab kepada Nabi yang mulia ini, (sebagaimana firman Allah Subhanahu wata’ala),
قَالُوا أَتَتَّخِذُنَا هُزُوًا
“Apakah kamu hendak menjadikan kami buah ejekan?” atau tertawaan orang?
Subhanallah.Mengapa harus merasa heran terhadap perintah Allah Yang Maha Mengetahui? Seolah-olah dengan pernyataan ini, mereka merasa ragu, bagaimana mungkin dengan menyembelih seekor sapi akan hilang pertikaian di antara mereka, dan pelaku pembunuhan itu akan segera diketahui? Inilah kebiasaan mereka hingga saat ini, yang selalu menilai segala sesuatunya dengan akal dan kebendaan (materi). Sok logis. Apakah mereka lupa, bagaimana Allah Yang Mahakuasa membelah laut menjadi dua belas jalan kering yang dilalui oleh setiap kabilah bani Israil? Dan itu belum lama terjadi. Padahal, mereka juga sudah melihat sendiri beberapa kejadian luar biasa selama Nabi Musaq bersama mereka. Lebih dari itu, sikap memperolokolok orang lain adalah perbuatan orang yang tidak berakal atau kurang akalnya. Para Nabiyullah r adalah manusia yang paling jauh dari perilaku ini. Sebab itu pula, Nabi Allah Musa ‘Alaihissalam berkata (sebagaimana firman Allah Subhanahu wata’ala),
أَعُوذُ بِاللَّهِ أَنْ أَكُونَ مِنَ الْجَاهِلِينَ
“Aku berlindung kepada Allah agar tidak menjadi salah seorang dari orang-orang yang jahil.”Seakan-akan Nabi Musa ‘Alaihissalam hendak mengatakan, “Aku berlindung kepada Allah Subhanahu wata’ala untuk mengatakan tentang Allah Subhanahu wata’ala sesuatu yang tidak diwahyukan kepadaku.” Selain itu, orang yang berakal tentu melihat bahwa termasuk aib yang sangat besar adalah meremehkan agama dan akal, serta mengolok-olok manusia seperti dia juga, walaupun dia dilebihkan dari orang lain. Wallahul muwaffiq.
Dan kata; بَقَرَةً (seekor sapi betina) pada ayat 67 ini berbentuk nakirah dalam susunan kalimatmutsbat (positif), sehingga pengertiannya bersifat mutlak, tidak ditentukan jenis, umur, warna, atau
keadaan yang lainnya. Artinya, seekor sapi betina yang mana saja mereka sembelih, sudah mencukupi, dan mereka tergolong orang-orang segera mematuhi perintah Allah Allah Subhanahu wata’ala, serta selesailah persoalan itu dengan segera. Akan tetapi, apa yang terjadi? Mereka justru mempersulit diri sendiri, maka Allah Subhanahu wata’ala menambah kesulitan tersebut. AllahSubhanahu wata’ala berfirman,
قَالُوا ادْعُ لَنَا رَبَّكَ يُبَيِّن لَّنَا مَا هِيَ ۚ
Mereka menjawab, “Mohonkanlah kepada Rabbmu untuk kami, agar Dia menerangkan kepada kami, sapi betina apakah itu.” (al-Baqarah: 68)
Nabi Musa ‘Alaihissalam pun berkata kepada mereka—sebagaimana firman Allah Subhanahu wata’ala—,
إِنَّهُ يَقُولُ إِنَّهَا بَقَرَةٌ لَّا فَارِضٌ وَلَا بِكْرٌ عَوَانٌ بَيْنَ ذَٰلِكَ ۖ فَافْعَلُوا مَا تُؤْمَرُونَ
“Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang tidak tua dan tidak muda; pertengahan antara itu; maka kerjakanlah apa yang diperintahkan kepada kalian!”
Dalam ayat ini kembali Nabi Musa ‘alaihissalam menyandarkan bahwa yang menetapkan kriteria sapi itu adalah Allah Subhanahu wata’ala sendiri. Seharusnya, mereka segera bergerak mencari sapi dengan kriteria awal itu, karena masih mudah untuk didapatkan. Sekali lagi, lihatlah apa yang mereka lakukan? Mereka justru mempersulit diri sendiri, bukannya segera menjalankan perintah tersebut. Wallahul musta’an.
Mereka berkata—sebagaimana firman Allah Subhanahu wata’ala—,
قَالُوا ادْعُ لَنَا رَبَّكَ يُبَيِّن لَّنَا مَا لَوْنُهَا
“Mohonkanlah kepada Rabbmu untuk kami agar Dia menerangkan kepada kami apa warnanya.” (al-Baqarah: 69)
Mereka semakin menambah kesulitan mereka sendiri dengan menanyakan warnanya. Perintah pertama sebetulnya sudah cukup jelas, bahkan Nabi Musa ‘Alahissalam mengingatkan agar mereka tidak
menyanggahnya. Namun, Nabi Musa ‘Alahissalam tetap menjawab—sebagaimana firman AllahSubhanahu wata’ala—,
إِنَّهُ يَقُولُ إِنَّهَا بَقَرَةٌ صَفْرَاءُ فَاقِعٌ لَّوْنُهَا تَسُرُّ النَّاظِرِينَ
“Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang kuning, yang kuning tua warnanya, lagi menyenangkan orang-orang yang memandangnya.” (al-Baqarah: 69)
Beliau tetap menerangkan bahwa keadaan sapi itu benar-benar dari Allah Subhanahu wata’ala. Warna yang disebutkan adalah warna sapi yang paling bagus. Mereka mulai beranjak, tetapi kembali lagi mempersulit diri sendiri dengan bertanya—sebagaimana firman Allah Subhanahu wata’ala—,
ادْعُ لَنَا رَبَّكَ يُبَيِّن لَّنَا مَا هِيَ إِنَّ الْبَقَرَ تَشَابَهَ عَلَيْنَا وَإِنَّا إِن شَاءَ اللَّهُ لَمُهْتَدُونَ
“Mohonkanlah kepada Rabbmu untuk kami agar Dia menerangkan kepada kami bagaimana hakikat sapi betina itu, karena sesungguhnya sapi itu (masih) samar bagi kami dan sesungguhnya kami insya Allah akan mendapat petunjuk (untuk memperoleh sapi itu).” (al- Baqarah: 70)
Seolah-olah, menurut mereka, sapi seperti yang diterangkan itu belum jelas. Mereka ingin sapi yang dimaksud sudah tidak samar lagi sifat-sifatnya, maka mereka bertanya kembali. Seandainya mereka tidak mengucapkan, “Insya Allah,” niscaya keadaan mereka masih tetap dalam kebingungan mengenai sapi tersebut. Nabi Musa ‘Alahissalam menjawab— sebagaimana firman Allah Subhanahu wata’ala—,
إِنَّهُ يَقُولُ إِنَّهَا بَقَرَةٌ لَّا ذَلُولٌ تُثِيرُ الْأَرْضَ وَلَا تَسْقِي الْحَرْثَ
“Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang belum pernah dipakai untuk membajak tanah dan tidak pula untuk mengairi tanaman,” karena sapi itu dibiarkan dalam keadaan liar, tidak dilatih untuk bekerja.
مُسَلَّمَةٌ لَّا شِيَةَ فِيهَا
“Tidak bercacat, tidak ada belangnya,” yang mencampuri warna kuning tua tersebut.
Setelah mendapat keterangan ini, mereka pun berkata—sebagaimana firman Allah Subhanahu wata’ala—,
قَالُوا الْآنَ جِئْتَ بِالْحَقِّ ۚ فَذَبَحُوهَا وَمَا كَادُوا يَفْعَلُونَ
“Sekarang barulah kamu menerangkan hakikat sapi betina yang sebenarnya.” Kemudian mereka menyembelihnya dan hampir saja mereka tidak melaksanakan perintah itu.
Perkataan mereka yang diceritakan oleh Allah Subhanahu wata’ala ini kepada kita menunjukkan seolah-olah—menurut mereka— penjelasan Nabi Musa ‘Alaihissalam di awal tidak lengkap dan tidak benar. Mahasuci Allah. Di awal, mereka mengira Nabi Musa ‘Alaihissalam mempermainkan mereka, membodoh-bodohi mereka. Padahal,
mereka mendengar bahwa Nabi Musa q menyebutkan bahwa perintah menyembelih sapi itu langsung dari Allah Subhanahu wata’ala. Kemudian, mereka sendiri yang meminta Nabi Musa berdoa kepada Allah Subhanahu wata’ala agar Allah Subhanahu wata’ala menerangkan sifat sapi tersebut. Sebetulnya, satu sifat saja (dari sapi tersebut) yang mereka tanyakan sudah cukup, dan itulah sebabnya Nabi Musa ‘Alaihissalammemperingatkan mereka agar tidak menyanggah perintah itu, hendaknya segera saja dikerjakan. Tetapi, itulah kebiasaan bani Israil sampai saat ini. Akibat pembangkangan mereka itu, hampir saja mereka tidak mau menyembelih sapi yang sudah ditemukan. Pada awal kisah ini, Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
وَإِذْ قَالَ مُوسَىٰ لِقَوْمِهِ
“Dan [ingatlah], ketika Musa berkata kepada kaumnya,” yakni ingatlah wahai bani Israil, ketika Musa berkata kepada kaumnya (firman Allah Subhanahu wata’ala);
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَن تَذْبَحُوا بَقَرَةً
“Sesungguhnya Allah menyuruh kalian menyembelih seekor sapi betina.”
Tetapi, Allah Subhanahu wata’ala belum menerangkan sebabnya. Seakan-akan memancing minat orang-orang yang mau memerhatikan agar menunggu dan membacanya dengan saksama sampai selesai. Wallahu a’lam.
Kemudian, pada bagian akhir kisah ini Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
وَإِذْ قَتَلْتُمْ نَفْسًا فَادَّارَأْتُمْ فِيهَا ۖ وَاللَّهُ مُخْرِجٌ مَّا كُنتُمْ تَكْتُمُونَ () فَقُلْنَا اضْرِبُوهُ بِبَعْضِهَا ۚ كَذَٰلِكَ يُحْيِي اللَّهُ الْمَوْتَىٰ وَيُرِيكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ
Dan (ingatlah), ketika kalian membunuh seorang manusia lalu kalian saling tuduh tentang itu. Dan Allah hendak menyingkapkan apa yang selama ini kamu sembunyikan. Lalu Kami berfirman, “Pukullah mayat itu dengan sebagian anggota sapi betina itu!” Demikianlah Allah menghidupkan kembali orang-orang yang telah mati, dan memperlihatkan kepadamu tanda-tanda kekuasaan-Nya agar kamu mengerti.” (al-Baqarah: 72—73)
Ayat yang mulia ini, menjelaskan peristiwa apa yang sebetulnya terjadi, sehingga mereka diperintah untuk menyembelih seekor sapi. Seakan-akan hendak menerangkan pula kepada kaum mukminin sifat dan watak orang-orang Yahudi terhadap perintah Allah Subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya, agar mereka tidak meniru, lalu binasa seperti mereka. Setelah sapi itu disembelih, Allah Subhanahu wata’ala memerintahkan agar memukulkan sebagian anggota tubuh sapi itu kepada mayat yang mereka perselisihkan siapa pembunuhnya. Allah Subhanahu wata’ala tidak menerangkan bagian tubuh yang mana dipukulkan kepada mayat tersebut, karena itu bukan urusan kita dan tidak ada kepentingannya. Begitu pula pemaparannya, tidak secara lengkap sebagaimana yang dinukil oleh para ulama kaum muslimin, adalah juga karena
tidak banyak faedahnya. Kami menukilnya di sini untuk memudahkan alur cerita karena sudah begitu dikenal kaum muslimin. Dan, bagaimanapun, Kalam Allah Subhanahu wata’ala pastilah yang paling jelas dan benar.
(insya Allah bersambung; Akhir Peristiwa dan Beberapa Faedah)
———————————–
Sumber : Majalah Asy Syariah