Ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Muhammad Harits
Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Ada salah seorang nabi melakukan peperangan. Ia berkata kepada kaumnya, “Jangan ikut orang yang memiliki kehormatan seorang wanita (baru menikah) dalam keadaan dia ingin membina rumah tangga dengannya dan belum melakukannya. Jangan pula ikut orang yang membangun rumah tetapi belum memasang atapnya. Jangan pula ikut seseorang yang membeli seekor kambing atau unta yang sedang bunting dan dia sedang menunggu anaknya.”
Dia pun berperang dan mendekati sebuah desa ketika masuk atau hampir masuk waktu ‘ashar. Dia pun berkata kepada matahari, “Engkau diperintah, saya pun diperintah. Ya Allah, tahanlah dia terhadap kami.” Matahari itu pun ditahan sampai Allah Subhanahu wa ta’ala memberinya kemenangan. Kemudian dia mengumpulkan ghanimah. Lalu datanglah—api—untuk membakarnya, tetapi tidak melalap ghanimah tersebut.
Beliau berkata, “Sungguh, di antara kamu ada yang ghulul (menggelapkan ghanimah). Hendaklah setiap orang dari satu kabilah berbai’at kepadaku.”
Lalu menempellah tangan seorang laki-laki pada tangannya. Beliau pun berkata, “Di kabilahmu ada yang ghulul. Hendaklah kabilahmu berbai’at kepadaku.”
Lalu menempellah tangan dua atau tiga orang laki-laki dari kabilah tersebut.
Beliau pun berkata, “Kamu melakukan ghulul.”
Lalu dibawalah emas sebesar kepala seekor sapi dan beliau meletakkannya. Kemudian api itu datang dan membakarnya.
Jadi, ghanimah itu tidak dihalalkan bagi siapa pun sebelum kita, kemudian Allah Subhanahu wa ta’ala menghalalkannya untuk kita karena melihat kelemahan dan ketidakmampuan kita. (HR. al-Imam al-Bukhari no. 3124 dan Muslim no. 1747)
Hadits ini mengandung mukjizat yang besar. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan salah seorang di antara para nabi shalawatullahi wa salamuhu ‘alaihim yang memerangi suatu kaum. Nabi itu memerintahkan berjihad menghadapi mereka. Tetapi, ia melarang ikut semua orang yang sudah melakukan akad nikah dengan seorang wanita dalam keadaan belum menggaulinya, juga yang sedang membangun rumah dan belum memasang atapnya, serta mereka yang sudah membeli kambing atau unta yang bunting dan sedang menunggu anaknya.
Hal itu karena mereka ini disibukkan oleh pikiran mereka. Orang yang meninggikan rumahnya, belum memasang atapnya, pikirannya disibukkan oleh rumah yang ingin ditempatinya bersama istrinya. Demikian pula pemilik kambing dan unta yang sedang bunting, pikirannya tersita untuk anak kambing atau unta yang ditungguinya.
Adapun jihad itu harus dihadapi seseorang dalam keadaan pikirannya tenang. Tidak ada yang mengisi pikirannya selain jihad. Itulah sebabnya
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain.” (asy-Syarh: 7)
Artinya, kalau engkau selesai dari urusan dunia, tidak disibukkan olehnya, kerjakanlah sungguh-sungguh ibadah itu.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَا صَلَاةَ بِحَضْرَةِ الطَّعَامِ وَلَا هُوَ يُدَافِعُهُ الْأَخْبَثَانِ
“Tidak sah shalat di hadapan makanan (yakni ketika makanan telah terhidang). Tidak sah pula ketika dia didesak oleh dua hal yang kotor (BAB dan BAK, –red).”
Semua ini menunjukkan, jika seseorang ingin mengerjakan ketaatan seharusnya hatinya dikosongkan dan fisiknya tertuju kepada ketaatan tersebut. Dengan demikian, dia mengerjakannya dalam keadaan rindu kepada ibadah itu dan menunaikannya dengan perlahan dan tenang serta lapang dada.
Nabi itu berperang dan singgah di suatu kaum sesudah ashar. Malam mulai datang dan beliau khawatir kalau hari gelap akan sulit meraih kemenangan. Karena itu, beliau berkata kepada matahari, “Engkau diperintah dan aku pun diperintah.” Akan tetapi, perintah untuk matahari adalah kauni (mesti terjadi demikian, red.) sedangkan perintah untuk beliau adalah syar’i.
Beliau diperintah berjihad, sedangkan matahari diperintah berjalan sebagaimana Allah Subhanahu wa ta’ala perintahkan. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Dan matahari berjalan di tempat peredarannya. Demikianlah ketetapan Yang Mahaperkasa lagi Maha Mengetahui.” (Yasin: 38)
Sejak Allah Subhanahu wa ta’ala menciptakannya, dia selalu berjalan kemana pun diperintah, tidak mendahului, tidak pula tertinggal, tidak naik, dan tidak pula turun.
Nabi itu berdoa, “Ya Allah, tahanlah dia atas kami.” Allah Subhanahu wa ta’ala pun menahan matahari itu hingga tidak terbenam pada waktunya, sampai nabi itu selesai berperang dan memperoleh ghanimah yang sangat banyak. Setelah itu, ghanimah pun dikumpulkan di satu tempat menunggu api yang turun dari langit melahapnya. Itulah ketetapan untuk umat terdahulu. Ghanimah itu tidak halal bagi mereka. Adapun umat ini, ghanimah dihalalkan bagi mereka sebagai karunia Allah dan keutamaan mereka. Walillahil hamdu. Adapun umat terdahulu, mereka mengumpulkan ghanimah itu lalu turun api dari langit membakarnya.
Ghanimah itu lalu dikumpulkan. Akan tetapi, api tidak juga datang membakarnya. Kata beliau, “Di antara kamu ada yang ghulul.”
Kemudian ia memerintahkan masing-masing kabilah maju satu persatu berbai’at kepada beliau untuk tidak berbuat ghulul. Setelah masing-masing orang dari setiap kabilah berbai’at, menempellah tangan dua atau tiga orang di antara mereka. Ia pun berkata, “Kamu berbuat ghulul.” Lalu dibawalah ghanimah yang disembunyikan itu.
Ghulul ialah mencuri ghanimah, dengan menyembunyikan sebagiannya. Ternyata, mereka memang menyembunyikan emas sebesar kepala sapi. Setelah dibawakan dan diletakkan bersama ghanimah lainnya, datanglah api membakarnya. Inilah sebagian tanda kekuasaan Allah Subhanahu wa ta’ala.
Dalam hadits ini terdapat dalil tentang beberapa faedah. Di antaranya:
1. Jihad itu disyariatkan pada umat sebelumnya sebagaimana pada umat ini.
Hal ini ditegaskan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala dalam firman-Nya:
“Dan betapa banyak nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari pengikut(nya) yang bertakwa. Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah, tidak lesu, dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh).” (Ali ‘Imran: 146)
Demikian pula kisah Thalut dan Jalut serta Dawud q dalam surat al-Baqarah (ayat 246—252).
2. Adanya dalil tentang keagungan Allah Subhanahu wa ta’ala dan Dia-lah yang mengatur alam semesta ini.
Dia-lah yang menjalankan berbagai hal berlawanan dengan sifat alaminya. Misalnya, dengan menguatkan rasul atau menghindarkan kejelekan darinya, kalau tidak untuk kemaslahatan dalam Islam.
Yang jelas, mukjizat para nabi itu menguatkan mereka dengan cara bagaimanapun. Karena matahari, berdasarkan sifat alami yang telah diciptakan Allah Subhanahu wa ta’ala baginya, selalu berjalan, tidak berhenti, maju atau mundur, melainkan dengan perintah Allah Subhanahu wa ta’ala. Akan tetapi, di sini Allah Subhanahu wa ta’ala memerintahkannya berhenti, sehingga semakin panjanglah waktu antara shalat ashar sampai maghrib hingga Allah Subhanahu wa ta’ala memberi kemenangan kepada nabi tersebut.
Di sini juga terdapat bantahan terhadap ahli ilmu-ilmu alam yang berpendapat bahwa alam ini tidak berubah. Mahasuci Allah! Siapakah yang telah menciptakan alam tersebut? Allah Subhanahu wa ta’ala! Karena itu, Dzat yang telah menciptakannya, tentu Mahakuasa mengubahnya. Akan tetapi, mereka berpendapat bahwa alam ini berjalan sesuai dengan sifat alaminya, tanpa ada satu pun yang mengaturnya, wal’iyadzu billah, karena mereka mengingkari adanya Pencipta.
Ayat-ayat dari Al-Kitab dan Sunnah menegaskan bahwa falak ini berubah karena perintah Allah Subhanahu wa ta’ala. Nabi ini, beliau berdoa kepada Allah Subhanahu wa ta’ala, lalu matahari pun berhenti.
Nabi Muhammad, Rasul Allah, diminta oleh kaum musyrikin mendatangkan satu bukti yang menunjukkan kebenarannya. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pun memberi isyarat kepada bulan, lalu terbelahlah bulan hingga dapat mereka saksikan. Satu di atas bukit Shafa dan yang lain di atas Marwah.
Tentang inilah Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:
Telah dekat (datangnya) saat itu dan telah terbelah bulan. Dan jika mereka (orang-orang musyrikin) melihat sesuatu tanda (mukjizat), mereka berpaling dan berkata, “(Ini adalah) sihir yang terus-menerus.” (al-Qamar: 1—2)
Orang-orang musyrik itu mengatakan, “Muhammad menyihir kita. Bulan itu tidak terbelah, dia hanya merusak pandangan dan mata kita.” Sebab, orang kafir itu—wal ‘iyadzu billah—yang sudah pasti terhadapnya Kalimat Allah, tetap tidak akan beriman:
“Sesungguhnya orang-orang yang telah pasti terhadap mereka kalimat Rabbmu, tidaklah akan beriman, meskipun datang kepada mereka segala macam keterangan.” (Yunus: 96—97)
3. Hati manusia ada di antara dua jari dari jari-jari Ar-Rahman (Allah Yang Maha Pengasih). Dia membolak-balikkannya sebagaimana dikehendaki-Nya dan memalingkannya sekehendak-Nya.
Orang-orang yang sudah pasti ketetapan azab terhadapnya, selamanya tidak akan beriman walaupun segala macam keterangan datang kepadanya. Sebab itulah mereka meminta satu tanda dari Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memperlihatkan kepada mereka ayat yang menakjubkan ini, yang tidak satu pun kuasa terhadapnya. Akan tetapi, kata mereka, “(Ini adalah) sihir yang terus-menerus.”
4. Dalam hadits ini terdapat keterangan tentang nikmat Allah Subhanahu wa ta’ala terhadap umat ini dengan menghalalkan ghanimah yang mereka peroleh dari orang-orang kafir, padahal pernah diharamkan bagi umat sebelumnya.
Hal itu karena ghanimah ini mengandung banyak kebaikan bagi umat Islam dan membantu mereka berjihad. Mereka memperoleh harta ghanimah dari orang-orang kafir sebagai bekal untuk memerangi orang-orang kafir itu pada kesempatan lain. Semua ini adalah bagian dari karunia Allah Subhanahu wa ta’ala, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
أُعْطِيْتُ خَمْسًا لَمْ يُعْطَهُنَّ أَحَدٌ مِنَ الْأَنْبِيَاءِ قَبْلِي… وَأُحِلَّتْ لِي الْغَنَائِمُ
“Saya diberi lima hal yang tidak diberikan kepada seorang nabi pun sebelumku.” Beliau menyebutkan, “Dihalalkan ghanimah bagiku dan tidak dihalalkan bagi siapa pun sebelumku.” [1]
5. Dalam hadits ini terdapat salah satu tanda kekuasaan Allah Subhanahu wa ta’ala, bahwa orang-orang yang ghulul, tangan mereka menempel pada tangan nabi tersebut.
Ini menyelisihi kebiasaan yang ada. Tapi Allah Mahakuasa atas segala sesuatu. Karena biasanya, jika dua tangan saling berjabatan, dia akan lepas.
6. Faedah lainnya, para nabi tidak mengetahui urusan gaib dan ini masalah yang jelas, kecuali apa yang diperlihatkan kepada mereka. Jadi, mereka sama sekali tidak mengetahui perkara gaib.
Bukti akan hal ini sangat banyak. Seperti yang dialami Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, banyak hal yang tersembunyi atas beliau.
Sebagaimana Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:
Lalu Hafshah bertanya, “Siapakah yang telah memberitahukan hal ini kepadamu?” Nabi menjawab, “Telah diberitahukan kepadaku oleh Allah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (at-Tahrim: 3)
Beliau sendiri sama sekali tidak tahu urusan gaib.
Para sahabat juga demikian; tidak mengetahuinya. Suatu hari, Abu Hurairah radhiyallahu anhu bersama beliau, tiba-tiba dia menghilang karena junub. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadanya ketika dia sudah kembali dari mandi junub, “Kemana engkau tadi, wahai Abu Hurairah?” Artinya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengetahui urusan gaib. Tidak ada satu pun makhluk mengetahuinya, sebagaimana Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:
“(Dialah Rabb) yang mengetahui yang gaib. Maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorang pun tentang yang gaib itu, kecuali kepada rasul yang diridhai-Nya. Sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan di belakangnya.” (al-Jin: 26—27)
7. Faedah lainnya, dalil akan kekuasaan Allah Subhanahu wa ta’ala bahwa api itu tidak diketahui dari mana datangnya.
Dia turun dari langit, bukan dari pohon atau ranting yang ada di bumi, tapi dari langit. Allah Subhanahu wa ta’ala memerintahkannya turun dan membakar ghanimah yang sudah dikumpulkan.
Wallahu a’lam.
SUumber: Majalah Asy Syariah
Catatan Kaki:
1 HR. al-Bukhari no. 419 dan Muslim no. 810.