Kisah Ashabis Sabti (Kisah Orang yang melanggar Larangan Pada Hari Sabtu) – Bagian 2

Kisah Ashabis Sabti Bag 2

KISAH ASHABIS SABTI (Kisah Orang Yang Melanggar Larangan Pada Hari Sabtu) ~ Bagian Kedua

Ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Muhammad Harits

Turunnya Azab

Sedikit demi sedikit mulai bertambah mereka yang ikut menangkap ikan tersebut. Sementara orang-orang yang menasihati terus berulang-ulang mengingatkan mereka. Bahkan mengancam: “Kamu masih juga melakukannya, wahai musuh-musuh Allah. Demi Allah, kami tidak akan bertetangga lagi dengan kalian dalam satu desa.” Akhirnya mereka membagi desa itu dengan sebuah tembok.

Tatkala mereka tidak mau memerhatikan nasihat orang-orang yang melarang perbuatan buruk tersebut, bahkan terus menerus tenggelam dalam penyelewengan dan pelanggaran:

“Kami selamatkan orang-orang yang melarang dari perbuatan jahat.” (Al-A’raf: 165)
Yaitu orang-orang yang melakukan amar ma’ruf nahi munkar; Kami selamatkan mereka dari azab. Demikianlah ketetapan (sunnah) Allah subhanah wa ta’ala terhadap hamba-hamba-Nya; apabila siksaan itu turun, selamatlah orang-orang yang melakukan amar ma’ruf nahi munkar.
Allah subhanah wa ta’ala berfirman:
“Dan Kami timpakan kepada orang-orang yang zalim.” (Al-A’raf: 165)
Yaitu mereka yang melakukan pelanggaran di hari Sabtu tersebut:
“Siksaan yang keras.” (Al-A’raf: 165)
Yakni yang menyakitkan.
“Disebabkan mereka selalu berbuat fasik.” (Al-A’raf: 165)
Kemudian Allah subhanah wa ta’ala terangkan azab yang ditimpakan kepada mereka itu dengan firman-Nya:
“Maka tatkala mereka bersikap sombong terhadap apa yang mereka dilarang mengerjakannya, Kami katakan kepadanya: ‘Jadilah kamu kera yang hina’.” (Al-A’raf: 166)
Merekapun menjadi kera-kera yang hina, padahal sebelumnya mereka adalah manusia yang terhormat.
Keesokan harinya, orang-orang yang beriman tidak melihat seorangpun keluar dari balik tembok tersebut. Tidak terdengar aktivitas mereka seperti biasa. Akhirnya, mereka memasuki pintu pembatas kampung tersebut dan melihat kenyataan yang menyedihkan. Seorang pria berikut istri dan anaknya telah berubah menjadi kera. Mulailah mereka masuk menemui kera-kera yang dahulunya adalah orang-orang yang mereka kenal.
“Wahai Fulan, bukankah sudah aku peringatkan kepadamu azab Allah? Bukankah… bukankah?” Tapi tak ada sahutan, yang ada hanya tangis. Sebagian kera yang mendekat mencium pakaian orang yang datang dan dia mengenalnya, maka kera itupun menangis. Demikian dikisahkan oleh Ibnu Jarir t dalam Tafsir-nya. Wallahu a’lam.
Beberapa Faedah Kisah Ini
1. Kisah yang terkandung dalam ayat ini dan yang semakna, menegaskan kebenaran Nubuwwah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam . Sebab, kisah-kisah seperti ini, yang bercerita tentang Bani Israil, tidak ada seorangpun yang mengetahuinya kecuali melalui berita dari Allah subhanah wa ta’ala, sementara mereka (ahli kitab) menutup-nutupinya.
2. Apabila Allah subhanah wa ta’ala memberi nikmat kepada satu umat lalu mereka berpaling dari mensyukurinya, niscaya mereka ditimpa petaka pertama kali kemudian menerima azab.
3. Pentingnya amar ma’ruf nahi munkar, di mana Allah subhanah wa ta’ala selamatkan orang-orang yang mencegah kemungkaran dan membinasakan orang-orang yang berbuat kemungkaran dan tidak mau berhenti darinya.
4. Kisah ini juga memberikan pelajaran kepada kita betapa pentingnya amar ma’ruf nahi munkar.
Amar ma’ruf nahi munkar itu sendiri mempunyai tiga tingkatan sebagaimana diuraikan oleh Asy-Syinqithi rahimahullah (Adhwa`ul Bayan, 1/408), yaitu:
a. Iqamatul hujjah (menegakkan hujjah) Allah subhanah wa ta’ala terhadap makhluk-Nya, sehingga mereka tidak punya alasan untuk berkilah.
Sebagaimana firman Allah subhanah wa ta’ala:
“(Mereka Kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu.”
b. Lepasnya orang yang memerintahkan kebaikan dari tanggung jawab. Sebagaimana firman Allah subhanah wa ta’ala tentang orang-orang shalih di kalangan masyarakat yang melanggar hari Sabtu tersebut:
“Agar kami mempunyai alasan (pelepas tanggung jawab) kepada Rabb kamu.” (Al-A’raf: 164)
Juga firman Allah subhanah wa ta’ala:
“Maka berpalinglah kamu dari mereka, dan kamu sekali-kali tidak tercela.” (Adz-Dzariyat: 54)
Maka ini menunjukkan bahwa sekiranya dia tidak keluar dari tanggung jawab tersebut, tentulah dia tercela.
c. Berharap agar yang diperintah mendapatkan manfaat, sebagaimana firman Allah subhanah wa ta’ala:
“Agar kami mempunyai alasan (pelepas tanggung jawab) kepada Rabbmu, dan supaya mereka bertakwa.” (Al-A’raf: 164)
Firman Allah subhanah wa ta’ala:
“Dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman.” (Adz-Dzariyat: 55)
Kita tentu masih ingat dengan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam  tentang amar ma’ruf nahi munkar ini. Al-Imam Ahmad, Al-Bukhari, dan At-Tirmidzi rahimahumullah meriwayatkan dari An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu `anhu, dia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam  bersabda:
مَثَلُ الْقَائِمِ عَلَى حُدُودِ اللهِ وَالْوَاقِعِ فِيهَا كَمَثَلِ قَوْمٍ اسْتَهَمُوا عَلَى سَفِينَةٍ فَأَصَابَ بَعْضُهُمْ أَعْلَاهَا وَبَعْضُهُمْ أَسْفَلَهَا، فَكَانَ الَّذِينَ فِي أَسْفَلِهَا إِذَا اسْتَقَوْا مِنَ الْمَاءِ مَرُّوا عَلَى مَنْ فَوْقَهُمْ فَقَالُوا: لَوْ أَنَّا خَرَقْنَا فِي نَصِيبِنَا خَرْقًا وَلَمْ نُؤْذِ مَنْ فَوْقَنَا. فَإِنْ يَتْرُكُوهُمْ وَمَا أَرَادُوا هَلَكُوا جَمِيعًا، وَإِنْ أَخَذُوا عَلَى أَيْدِيهِمْ نَجَوْا وَنَجَوْا جَمِيعًا
“Perumpamaan orang yang menjaga hudud (batas-batas hukum) Allah subhanah wa ta’ala dan orang yang melanggarnya, seperti suatu kaum yang mengundi bagiannya di atas sebuah kapal. Sebagian mereka menempati bagian atas dan yang lain di bagian bawahnya. Lalu orang-orang yang berada di bagian bawahnya apabila ingin minum, melewati orang-orang yang ada di sebelah atas. Maka berkatalah mereka: ‘Seandainya kita lubangi bagian kita (di bawah) ini, dan kita tidak mengganggu orang-orang di atas kita.’ Maka apabila mereka (yang di atas) membiarkan orang-orang di bawah itu (melubangi dasar kapal) dan apa yang mereka inginkan, niscaya mereka binasa (tenggelam) semua. Dan apabila mereka menahan tangan mereka (agar tidak melubangi kapal), niscaya mereka selamat dan selamat pula semuanya.”
Al-Mubarakfuri t mengatakan tentang syarah hadits ini: “Seandainya orang-orang yang fasik itu dicegah dari kefasikan mereka, niscaya dia (yang fasik itu) selamat, dan mereka semua juga selamat dari azab Allah subhanah wa ta’ala. Tapi jika mereka membiarkan dia berbuat fasik, niscaya mereka ditimpa azab dan binasa karena kesialan yang dilakukan orang fasik tersebut. Inilah makna firman Allah subhanah wa ta’ala:
“Dan peliharalah dirimu dari siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu.” (Al-Anfal: 25)
Yakni juga menimpa kamu secara merata disebabkan sikap mudahanah yang kamu lakukan.
Padahal sikap mudahanah ini termasuk perkara yang diharamkan, karena Allah subhanah wa ta’ala berfirman:
“Maka mereka menginginkan supaya kamu bersikap lunak lalu mereka bersikap lunak (pula kepadamu).” (Al-Qalam: 9)
Mudahanah artinya menyetujui penyimpangan dan kesesatan yang dianut dan dilakukan oleh semua orang yang menyimpang, baik dari kalangan orang kafir, ahli bid’ah maupun pelaku kemaksiatan. Jadi, anda mengakui kesesatan itu dengan sikap menyetujui atau ikut dalam aktivitas mereka.
Sikap seperti ini jelas tidak layak dimiliki seorang muslim. Bahkan ujian ini banyak dialami kaum muslim sehingga mereka merasakan kehinaan dalam hidup dan kehidupan mereka. Padahal semestinya dia bangga dan berani menampakkan keyakinan dan keimanan yang dimilikinya, menyelisihi perilaku kebanyakan masyarakatnya. Terlebih lagi bagi seorang da’i yang mengajak manusia kepada Allah subhanah wa ta’ala.
Asy-Syaikh Abdur Razzaq ‘Afifi rahimahullah ketika menerangkan prinsip al-wala` wal bara` menguraikan bahwasanya termasuk sikap loyal (muwalah) kepada orang-orang kafir adalah mudahanah, mudarah, dan mujamalah dengan mereka atas dasar agama. Inilah yang dialami kebanyakan kaum muslimin dewasa ini. Bahkan inilah faktor internal yang menjadi sebab kekalahan mereka. Di mana mereka melihat musuh-musuh Allah subhanah wa ta’ala unggul dalam kekuatan materi sehingga membuat mereka terkagum-kagum.
Menurut mereka –yang tertipu ini– musuh-musuh tersebut adalah simbol kekuatan dan teladan. Akhirnya mereka mulai secara perlahan meninggalkan upaya mempelajari dien mereka karena sikap mujamalah (basa-basi) terhadap orang-orang kafir itu, agar jangan dikatakan fanatik.
Alangkah benar sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam  yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari rahimahullah dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu `anhu:
لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ مَنْ قَبْلَكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ سَلَكُوا جُحْرَ ضَبٍّ لَسَلَكْتُمُوهُ. قُلْنَا: يَا رَسُولَ اللهِ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى؟ قَالَ: فَمَنْ؟
“Sungguh-sungguh, kamu pasti akan mengikuti jalan (hidup) orang-orang sebelum kalian, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta, bahkan seandainya mereka masuk ke lubang dhab (sejenis biawak), pasti kamu juga mengikutinya.” Kami bertanya: “Wahai Rasulullah, (apakah mereka) Yahudi dan Nashara?” Kata beliau: “Siapa lagi?”
Mudahanah ini bermula dari persoalan kecil yang beranjak sedikit demi sedikit kepada hal-hal yang besar hingga –na’udzu billahi­– berujung kepada kemurtadan. Ini adalah salah satu upaya setan menggelincirkan manusia. Maka hendaklah kaum muslimin berhati-hati terhadap diri dan keluarganya. Camkanlah, bahwa dia lebih tinggi dan mulia apabila dia menjalankan manhaj Allah subhanah wa ta’ala dan mengikat dirinya dengan syariat Allah subhanah wa ta’ala serta tuntutan aqidah-Nya.
Kisah ini menjadi peringatan bagi kita bagaimana Allah subhanah wa ta’ala mengazab orang-orang yang melakukan pelanggaran terhadap apa yang dilarang-Nya dengan melakukan muslihat (hilah). Sebagaimana Dia menyiksa tuan-tuan kebun (ash-habul jannah) yang melakukan muslihat agar tidak bersedekah. Demikian pula dalam kisah ini.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam  mengingatkan kita dalam sabdanya dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu `anhu:
لَا تَرْتَكِبُوا مَا ارْتَكَبَ الْيَهُودُ فَتَسْتَحِلُّوا مَحَارِمَ اللهِ بِأَدْنَى الْحِيَلِ
“Janganlah kamu melakukan apa yang telah dilakukan oleh orang-orang Yahudi, sehingga kamu menghalalkan apa-apa yang diharamkan Allah dengan serendah-rendah muslihat.”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam  juga mengingatkan kita dalam hadits lainnya:
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُم
“Siapa yang meniru-niru suatu kaum, maka dia termasuk golongan mereka.”
Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda dalam hadits Jabir radhiyallahu `anhu:
إِنَّ اللهَ وَرَسُولَهُ حَرَّمَ بَيْعَ الْخَمْرِ وَالْمَيْتَةِ وَالْخِنْزِيرِ وَالْأَصْنَامِ. فَقِيلَ: يَا رَسُولَ اللهِ، أَرَأَيْتَ شُحُومَ الْمَيْتَةِ فَإِنَّهَا يُطْلَى بِهَا السُّفُنُ وَيُدْهَنُ بِهَا الْجُلُودُ وَيَسْتَصْبِحُ بِهَا النَّاسُ؟ فَقَالَ: لَا، هُوَ حَرَامٌ. ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللهِ n عِنْدَ ذَلِكَ: قَاتَلَ اللهُ الْيَهُودَ، إِنَّ اللهَ لَمَّا حَرَّمَ شُحُومَهَا جَمَلُوهُ ثُمَّ بَاعُوهُ فَأَكَلُوا ثَمَنَهُ
“Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya mengharamkan jual beli khamr, bangkai, babi, dan berhala (arca, patung, dan sebagainya).” Lalu dikatakan kepada beliau: “Wahai Rasulullah, bagaimana pendapat anda tentang gajih (lemak) bangkai? Karena dipakai untuk mengecat perahu, meminyaki kulit, dan dipakai untuk penerangan oleh manusia.” Maka beliau bersabda: “Tidak. Hal itu (yakni menjualnya) tetap haram.” Ketika itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam  bersabda: “Semoga Allah membinasakan orang-orang Yahudi. Sesungguhnya Allah, ketika mengharamkan gajih atas mereka, mereka mencairkannya dan menjualnya kemudian memakan harganya (hasil penjualan itu).”
Mudah-mudahan Allah subhanah wa ta’ala memberi taufik kepada kita, untuk meninggalkan sikap minder terhadap orang-orang kafir, lalu bersemangat menjalankan perintah Allah subhanah wa ta’ala dan menjauhi larangan-Nya dengan penuh keikhlasan. Wallahu a’lam.
———————————————————————-
© 1445 / 2024 Forum Salafy Indonesia. All Rights Reserved.
Enable Notifications OK No thanks