KISAH ASHABIS SABTI (Kisah Orang Yang Melanggar Larangan Pada Hari Sabtu) ~ Bagian Pertama
Ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Muhammad Harits
Sepenggal kisah perjalanan bangsa Yahudi yang terkenal dengan tipu muslihat dan makarnya. Mudah-mudahan menjadi pelajaran bagi kaum muslimin.
Negeri Aylah
Kota yang terletak di tepi laut antara negeri Mesir dan Makkah. Ibnu Katsir rahimahullah dalam Al-Bidayah wan Nihayah menambahkan, antara Madyan dan Thur. Negeri yang subur dengan kurma dan hasil laut berupa ikan yang berlimpah. Kota ini merupakan batas pertama wilayah Hijaz. Penduduknya terdiri dari berbagai ras. Kota ini termasuk batas kerajaan Romawi zaman dahulu. Negeri ini pula yang diisyaratkan oleh Allah subhanah wata’ala dalam firman-Nya:
“Dan tanyakanlah kepada Bani Israil tentang negeri yang terletak di dekat laut ketika mereka melanggar aturan pada hari Sabtu, di waktu datang kepada mereka ikan-ikan (yang berada di sekitar) mereka terapung-apung di permukaan air, dan di hari-hari yang bukan Sabtu, ikan-ikan itu tidak datang kepada mereka. Demikianlah Kami mencoba mereka disebabkan mereka berlaku fasik.” (Al-A’raf 163)
Dalam ayat ini, Allah subhanah wata’ala perintahkan Nabi-Nya menanyai orang-orang Yahudi di Madinah, tentang saudara-saudara mereka yang dahulu menyelisihi perintah Allah Subhanahu wa ta’ala sehingga mereka diterpa azab tiba-tiba karena perbuatan dan tipu muslihat (hiyal) mereka dalam menyelisihi, serta men-tahdzir mereka agar jangan menyembunyikan sifat-sifat beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam yang tercantum dalam kitab mereka, agar mereka tidak terkena apa yang telah dialami oleh para pendahulu mereka.
Mereka adalah penduduk Aylah. Demikian uraian Ibnu Katsir tdalam Tafsir-nya.
Dahulu, Allah Subhanahu wa ta’ala memerintahkan mereka mencurahkan tenaga, pikiran dan waktu untuk hari Jum’at. Tapi mereka mengatakan: “Kami akan berusaha untuk hari Sabtu, karena Allah selesai mencipta pada hari Sabtu.”
Akhirnya ditetapkanlah bagi mereka hari Sabtu.
Konon, mereka masih berpegang dengan ajaran Taurat dalam menghormati hari Sabtu di masa itu. Waktu itu, mereka diharamkan melakukan usaha dalam bentuk apapun. Sementara ikan-ikan banyak berenang dari laut ke tempat mereka dengan tenang dan aman tanpa diganggu sedikitpun. Tapi pada selain hari Sabtu, ikan-ikan itu tidak pernah datang lagi.
Melihat hal ini, merekapun melakukan tipu muslihat agar dapat menangkap ikan-ikan tersebut. Mereka memasang tali, jaring dan perangkap serta menggali lubang ke arah tempat air yang sudah mereka buat untuk
menampung ikan-ikan yang dihanyutkan oleh air laut. Sehingga kalau ikan-ikan itu sudah berada di dalam lubang itu, mereka tidak dapat keluar lagi untuk kembali ke laut.
Mereka pun memasangnya pada hari Jum’at. Ketika ikan-ikan datang dan terperangkap pada hari Sabtu, mereka menutup jalur menuju laut sehingga ikan-ikan itu terperangkap. Setelah lewat hari Sabtu, mereka mengambil ikan-ikan tersebut.
Akhirnya Allah Subhanahu wa ta’ala murka dan melaknat mereka karena perbuatan yang mereka lakukan untuk melanggar perintah-Nya serta apa yang diharamkan-Nya dengan sebuah tipu muslihat (hiyal). Secara kasat mata, seolah-olah mereka tidak berbuat apa-apa, padahal mereka telah melakukannya.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman mengisahkan kejadian tersebut: ﮫ (Dan tanyakanlah kepada mereka), yakni Bani Israil, (tentang negeri yang terletak di dekat laut); di tepi pantai, tentang pelanggaran yang mereka lakukan serta hukuman Allah Subhanahu wa ta’ala yang ditimpakan atas mereka, (ketika mereka melanggar aturan pada hari Sabtu), padahal Allah Subhanahu wa ta’ala telah memerintahkan mereka agar mengagungkan dan menghormati hari tersebut dan jangan berburu apapun juga. Lalu Allah Subhanahu wa ta’ala uji mereka dengan datangnya ikan-ikan kepada mereka (terapung-apung di permukaan air di hari Sabtu itu), demikian berlimpah, terapung di permukaan laut. (dan di hari-hari yang bukan Sabtu), (ikan-ikan itu tidak datang kepada mereka), mereka berenang di dalam laut hingga tidak terlihat seekor ikanpun. (Demikianlah Kami mencoba mereka disebabkan mereka berlaku fasik). Jadi, kefasikan merekalah yang menyebabkan mereka diuji Allah Subhanahu wa ta’ala. Seandainya mereka tidak melanggar ketaatan kepada Allah Subhanahu wa ta’ala niscaya Allah Subhanahu wa ta’ala maafkan mereka, tidak menghadapkan mereka kepada bala dan kejelekan.
Akhirnya, mereka melakukan tipu muslihat untuk menangkapnya.
Setelah ada sebagian dari mereka menangkap ikan-ikan tersebut, terpecahlah mereka menjadi tiga; sebagian melakukannya, sebagian lagi mengingkari perbuatan mereka itu, dan yang lain tidak mengerjakan, tidak pula mencegah, tapi mereka mengingkari perbuatan tersebut. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman tentang mereka:
Dan (ingatlah) ketika suatu umat di antara mereka berkata: “Mengapa kamu menasihati kaum yang Allah akan membinasakan atau mengazab mereka dengan azab yang amat keras?” (Al-A’raf: 164)
Seolah-olah mereka hendak menyampaikan kepada orang-orang yang mencegah itu: “Apa gunanya nasihat/peringatan buat orang yang melanggar apa yang diharamkan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala dan tidak mau memerhatikan (nasihat) orang yang memberi nasihat? Bahkan terus-menerus dalam pelanggaran serta sikap melampaui batasnya, karena Allah Subhanahu wa ta’ala tentu mengazab mereka, apakah dengan membinasakan mereka atau dengan siksaan yang berat.”
Orang-orang yang mencegah perbuatan tersebut berkata: “Kami menasihati dan melarang mereka itu:
“Agar kami mempunyai alasan (pelepas tanggung jawab) kepada Rabb kamu.” (Al-A’raf: 164)
Yaitu terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada kami dalam ber-amar ma’ruf dan nahi munkar, karena takut akan azab-Nya. ﭤ ﭥ (Dan supaya mereka bertakwa), yakni agar mereka mau meninggalkan kemaksiatan yang mereka lakukan tersebut sehingga Allah Subhanahu wa ta’ala melindungi mereka dari azab-Nya dan memaafkan mereka kalau mereka bertaubat, serta menunjuki mereka lalu beramal sesuai dengan perintah.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Maka tatkala mereka melupakan apa yang diperingatkan kepada mereka.” (Al-A’raf: 165)
Yakni tatkala mereka tidak mau memerhatikan orang-orang yang melarang mereka dari perbuatan buruk tersebut, bahkan terus menerus tenggelam dalam penyelewengan dan pelanggaran,
“Kami selamatkan orang-orang yang melarang dari perbuatan jahat.” (Al-A’raf: 165)
Yaitu orang-orang yang melakukan amar ma’ruf nahi munkar; Kami selamatkan dari azab. Demikianlah ketetapan (sunnah) Allah Subhanahu wa ta’ala terhadap hamba-hamba-Nya; apabila siksaan itu turun, selamatlah orang-orang yang melakukan amar ma’ruf nahi munkar.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Dan Kami timpakan kepada orang-orang yang zalim.” Yaitu mereka yang melakukan pelanggaran di hari Sabtu tersebut.
“Siksaan yang keras,” yang menyakitkan.
“Disebabkan mereka selalu berbuat fasik.”
Kemudian Allah Subhanahu wa ta’ala terangkan azab yang ditimpakan kepada mereka itu dengan firman-Nya:
“Maka tatkala mereka bersikap sombong terhadap apa yang mereka dilarang mengerjakannya, Kami katakan kepadanya: ‘Jadilah kamu kera yang hina’.” (Al-A’raf: 166)
Adapun kelompok lain yang menegur orang-orang yang mencegah/melarang perbuatan itu sebagaimana firman Allah Subhanahu wa ta’ala:
“Dan (ingatlah) ketika suatu umat di antara mereka berkata: ‘Mengapa kamu menasihati kaum yang Allah akan membinasakan mereka?’.”
Para ulama berbeda pendapat tentang kelompok ini, apakah mereka selamat atau juga ikut binasa. Ada yang mengatakan mereka termasuk yang selamat dari azab Allah Subhanahu wa ta’ala, adapula yang mengatakan mereka juga menerima azab. Secara lahiriah, mereka selamat. Karena Allah Subhanahu wa ta’ala khususkan kebinasaan itu hanya menimpa orang-orang yang zalim, dan Dia tidak menyatakan bahwa mereka adalah orang-orang yang zalim. Sehingga ini menegaskan bahwa hukuman itu hanya khusus menimpa orang-orang yang melanggar larangan di hari Sabtu. Di samping itu, karena amar ma’ruf nahi munkar hukumnya fardhu kifayah; jika sudah ada yang menjalankan maka gugurlah dari yang lain. Jadi, mereka mencukupkan diri karena sudah adanya peringatan dan nasihat dari yang lain. Bahkan ternyata, mereka juga mengingkari perbuatan tersebut, melalui ucapan mereka dalam ayat ini:
“Mengapa kamu menasihati kaum yang Allah akan membinasakan mereka atau mengazab mereka dengan azab yang amat keras?”
Mereka tampakkan kemarahan terhadap para pelaku maksiat itu, di mana sikap ini menegaskan betapa besar kebencian mereka terhadap perbuatan orang-orang itu, bahwa Allah Subhanahu wa ta’ala akan menghukum mereka dengan hukuman yang sangat berat.
Demikian pula menurut Ibnu Katsir rahimahullah, yang benar adalah pendapat pertama, bahwa kelompok yang hanya mengingkari saja, juga selamat. Kepada pendapat inilah Ibnu ‘Abbas radhiyallahu `anhu rujuk, setelah dia berdiskusi dengan maula-nya, ‘Ikrimah radhiyallahu `anhu.
Ceritanya, ketika ‘Ikrimah menemui Ibnu ‘Abbas, dia melihat Ibnu ‘Abbas sedang menangis. Lalu dia bertanya apa yang menyebabkannya menangis. Ibnu ‘Abbas radhiyallahu `anhu menunjukkan ayat-ayat ini kepadanya seraya berkata: “Tahukah engkau negeri Aylah?”
“Ya,”kata ‘Ikrimah.
Kata Ibnu ‘Abbas radhiyallahu `anhu: “Ada segolongan Yahudi di sana, datang kepada mereka ikan yang banyak pada hari Sabtu, gemuk-gemuk. Tapi di luar hari Sabtu, mereka tidak mampu menangkapnya kecuali dengan susah payah. Ketika mereka dalam keadaan demikian, setan membisikkan bahwa mereka dilarang memakannya hanya pada hari Sabtu, maka tangkaplah pada hari itu dan makanlah di hari yang lain.”
Akhirnya, satu kelompok berpendapat seperti ini, dan yang lain melarang dan mencegah: “Kalian itu dilarang untuk menangkap dan memakannya pada hari Sabtu.”
Setelah itu Ibnu Katsir rahimahullah menguraikan kisah seputar tipu muslihat yang mereka lakukan lalu berkata: “Kemudian Ibnu ‘Abbas radhiyallahu `anhu membaca ayat ini:
“Maka tatkala mereka melupakan apa yang diperingatkan kepada mereka, Kami selamatkan orang-orang yang melarang dari perbuatan jahat dan Kami timpakan kepada orang-orang yang zalim siksaan yang keras.” (Al-A’raf: 165)
Lalu beliau c berkata: “Saya lihat, orang-orang yang melarang itu selamat, tapi saya tidak melihat yang lain disebut-sebut. Sementara kita juga melihat banyak hal yang kita ingkari dan tidak mengatakan apa-apa.”
Sayapun berkata: “Semoga Allah jadikan aku tebusanmu. Tidakkah engkau lihat bahwa mereka juga membenci dan menyelisihi apa yang dilakukan orang-orang yang melanggar tersebut? Bahkan mereka mengatakan (sebagaimana dalam firman Allah Subhanahu wa ta’ala tersebut):
“Mengapa kamu menasihati kaum yang Allah akan membinasakan mereka?”
Kemudian, Ibnu ‘Abbas radhiyallahu `anhu memberinya dua helai kain tebal. Demikian pula riwayat Mujahid dari beliau. Sekian uraian Ibnu Katsir rahimahullah.
(Bersambung, insya Allah)
——————————————————–
Sumber : Majalah Asy Syariah