KEMUDAHAN SETELAH KESULITAN
Ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Muhammad Abdul Mu’thi, Lc.
Setiap orang yang hidup di dunia ini tentu akan melewati beragam peristiwa. Perubahan keadaan adalah suatu kepastian karena dunia hanya persinggahan sementara. Hakikat ini harus kita pahami agar kita tidak lupa diri kala memperoleh kenikmatan duniawi dan tidak pula berlarut-larut dalam kesedihan atas materi yang luput kita dapatkan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berdukacita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (al-Hadid: 22—23)
Sungguh, berhadapan dengan kenyataan yang pahit dan berbagai problem yang mengimpit dirasa berat oleh jiwa. Manusia pun berbeda-beda dalam menyikapinya. Seorang mukmin sejati akan menghadapinya dengan penuh keteguhan hati, sedangkan orang kafir atau yang lemah imannya—karena tidak memiliki pegangan keyakinan yang kuat—akan terombang-ambing dan salah jalan. Di antara mereka ada yang bunuh diri atau mendatangi dukun dan paranormal. Ada pula yang menempuh cara-cara sadis seperti membunuh, memukul, dan merampok.
Peristiwa Dahsyat Menyingkap Jatidiri
Dalam kondisi biasa dan tidak ada masalah, kepribadian seseorang terkadang sulit untuk diketahui. Dalam keadaan yang serba sulit akan muncullah jatidirinya yang sesungguhnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan, ‘Kami telah beriman’, sedangkan mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.” (al-Ankabut: 2—3)
Dalam surat al-Baqarah, Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan tekad dan semangat para pembesar Bani Israil untuk memerangi musuh mereka yang jahat, yaitu Raja Jalut dan pasukannya. Mereka meminta kepada nabi mereka setelah wafatnya Nabi Musa ‘alaihissalam agar diangkat seorang raja yang akan memimpin mereka berperang. Permintaan mereka dikabulkan dan diangkatlah Thalut sebagai raja mereka. Ketika mereka berangkat berperang, di tengah perjalanan kesabaran mereka mulai melemah. Puncaknya adalah ketika mereka berhadapan langsung dengan pasukan musuh. Semangat yang tadinya membara kini tinggal cerita. Kebanyakan mereka mundur. Hanya sedikit yang teguh menghadapi musuh. (lihat pada al-Baqarah ayat 246—249)
Oleh karena itu, Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam melarang umatnya mengharap-harap datangnya musuh dan bala’ (bencana). Beliau Shallallahu `alaihi wa sallam bersabda:
لَا تَتَمَنَّوْا لِقَاءَ الْعَدُوِّ وَإذَا لَقِيْتُمُوْهُمْ فَاصْبِرُوْا
“Jangan kamu mengharap-harap bertemu dengan musuh. (Akan tetapi,) bila kamu bertemu dengan mereka maka bersabarlah.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Al-Munawi Rahimahullah menerangkan, “Berjumpa dengan musuh adalah urusan terberat yang dirasakan oleh jiwa. Urusan yang belum tampak tidak seperti yang sudah terlihat nyata. Ketika yang dinanti-nanti menjadi kenyataan, tidak mustahil yang terjadi adalah kebalikan dari yang diharapkan. (Faidhul Qadir 6/504)
Tidak Putus Asa
Kondisi sulit yang berlarut-larut bisa menyeret kepada sikap pesimis atau berputus asa dari rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Bila keadaan seorang sampai pada taraf ini, dia telah terhinggapi sifat kekufuran. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada yang berputus asa dari rahmat Allah melainkan kaum yang kafir.” (Yusuf: 87)
Kekafiran yang ada pada mereka menjadikan mereka menganggap jauh rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala, sehingga rahmat-Nya pun menjauh. Oleh karena itu, kita dilarang meniru mereka. Ayat ini menunjukkan bahwa seseorang memiliki sikap berharap sesuai dengan kadar keimanannya.
Seorang yang mengetahui luasnya rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala tentu tak akan terhinggapi sikap pesimis. Bahkan, dia yakin bahwa setiap ada kesulitan pasti akan datang kemudahan setelahnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.” (ath-Thalaq: 7)
Dahulu ada seseorang yang biasa menyewakan bighal (peranakan kuda dengan keledai) dari Damaskus ke negeri az-Zubdani. Ketika ia melakukan perjalanan, ada seseorang yang menemaninya. Di tengah perjalanan, di tempat yang sepi dan jauh dari lalu lalangnya manusia, orang yang menemaninya justru ingin merampok hartanya dan membunuhnya. Setelah orang itu diingatkan dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan azab-Nya namun tetap pada tekadnya untuk membunuh, akhirnya dia pasrah. Ia meminta waktu untuk shalat dua rakaat sebelum dibunuh. Ketika ia berdiri shalat tak ada satu ayat pun yang bisa keluar dari lisannya karena dahsyatnya keadaan. Selang beberapa saat, keluar dari lisannya ayat:
“Atau siapakah yang mengabulkan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdoa kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan, dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di bumi? Apakah di samping Allah ada tuhan (yang lain)? Amat sedikitlah kamu mengingati(Nya).” (an-Naml: 62)
Lalu, dia melihat seorang penunggang kuda membawa tombak mendatanginya dengan cepat. Setelah dekat, orang itu langsung menombak si perampok tersebut hingga mati. Orang itu ditanya, “Siapa kamu?” Dia menjawab, “Aku adalah utusan Dzat yang mengabulkan doa orang yang kesulitan.” (Lihat Tafsir Ibnu Katsir, surat an-Naml ayat 62, 3/383)
Jalan Keluar dari Kesulitan
Penderitaan yang dialami manusia dengan beragam bentuknya bukan berarti tidak ada penyelesaiannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala lebih sayang terhadap hamba-Nya daripada si hamba terhadap dirinya sendiri. Ada jalan keluar yang terbaik bagi seseorang sehingga terlepas dari malapetaka yang sudah menimpa atau menangkal musibah yang akan turun. Di antaranya:
1. Mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan menjalankan ketaatan dan meninggalkan hal-hal yang mendatangkan kemurkaan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ini sebagaimana firman-Nya:
“Sesungguhnya rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.” (al-A’raf: 56)
2. Memperbanyak tobat dan istighfar kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, karena umumnya petaka yang menimpa disebabkan kemaksiatan dan dosa. Orang yang beristighfar dan mengakui kesalahan akan memperoleh kucuran rahmat dan rezeki dari arah yang tidak terduga. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman menyebutkan ucapan Nabi Nuh ‘alaihissalam kepada kaumnya:
Maka aku katakan kepada mereka, “Mohonlah ampun kepada Rabbmu—sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun—, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, memperbanyak harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun serta mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai.” (Nuh: 10—12)
3. Memperkenalkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala ketika dalam keadaan lapang, dengan selalu menjaga batasan-batasan-Nya dan menunaikan hak-Nya. Disebutkan dalam hadits Qudsi:
وَمَا يَزَالُ عَبْدِيْ يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ … وَلَئِنْ سَأَلنَِيِ لَأُعْطِيَنَّهُ وَلَئِنِ اسْتَعَاذَنِي لَأُعِيْذَنَّهُ
“Dan hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan sunnah hingga Aku mencintainya … Apabila ia meminta kepada-Ku niscaya Aku akan memberinya, dan apabila ia meminta perlindungan kepada-Ku niscaya Aku akan melindunginya.” (HR. al-Bukhari no. 6502)
Adh-Dhahak bin Qais Rahimahullah berkata, “Ingatlah kamu kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala di saat senang, niscaya Ia mengingatmu di saat sulit. Sungguh, dahulu Nabi Yunus ‘alaihissalam selalu ingat Allah Subhanahu wa Ta’ala, sehingga tatkala ia ditelan ikan, Allah Subhanahu wa Ta’ala menyelamatkan beliau. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Maka sekiranya dia tidak termasuk orang-orang yang banyak mengingat Allah, niscaya ia akan tetap tinggal di perut ikan itu sampai hari berbangkit.” (ash-Shaffat: 143—144)
Adapun Fir’aun adalah seorang yang melampaui batas dan tidak mengingat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ketika tenggelam, ia berkata, “Aku beriman sekarang.” Allah Subhanahu wa Ta’ala pun berfirman:
“Apakah sekarang (baru kamu percaya) padahal sesungguhnya kamu telah durhaka sejak dahulu, dan kamu termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan.” (Yunus: 91)
Disebutkan dalam hadits yang masyhur tentang tiga orang yang masuk ke dalam goa lalu pintu goa itu tertutup oleh batu besar. Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala menyelamatkan mereka dengan menggeser batu itu hingga mereka bisa keluar. Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabulkan doa mereka karena mereka memiliki simpanan amal kebaikan di saat lapang. Amalan-amalan mereka adalah berbakti kepada kedua orang tua, meninggalkan kekejian padahal mampu melakukannya, dan menunaikan amanah atau menjaga titipan orang. (lihat kitab Nurul Iqtibas karya Ibnu Rajab t)
Demikian pula seperti yang Nabi Shallallahu `alaihi wa sallam sebutkan dalam hadits:
وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللهُ عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللهُ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَاللهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيهِ
“Dan barang siapa memudahkan orang yang kesulitan maka Allah Subhanahu wa Ta’ala mudahkan baginya di dunia dan akhirat. Barang siapa yang menutupi (aib) seorang muslim maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan tutup (aibnya) di dunia dan akhirat. Allah Subhanahu wa Ta’ala akan membantu seorang hamba selama hamba mau membantu saudaranya.” (HR. Muslim)
4. Memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan mengarahkan hati hanya kepada-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah)-Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (al-Baqarah: 186)
Pintu Allah Subhanahu wa Ta’ala selalu terbuka bagi hamba yang menghendaki-Nya meskipun seluruh pintu dan jalan yang selain-Nya tertutup.
Dahulu, sekelompok orang musyrik berlayar di lautan. Perahu yang mereka naiki diombang-ambingkan oleh gelombang laut yang dahsyat. Lalu mereka berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan setulus hati mereka dan mencampakkan segala yang mereka sembah selain Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala pun mengabulkan permintaan mereka, meskipun setelah tiba di daratan mereka kembali menyekutukan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Jika doa mereka dikabulkan padahal mereka musyrikin, tentu orang yang beriman lebih mulia. Intinya hanyalah seseorang benar-benar mengarahkan permohonannya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala serta membuang jauh-jauh ketergantungan kepada selain-Nya.
Rahasia di Balik Datangnya Kemudahan setelah Kesulitan yang Dahsyat
- Kesulitan yang telah sampai puncaknya menjadikan seseorang tidak lagi bergantung kepada makhluk, sehingga hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dia bergantung. Apabila seseorang hanya bersandar kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, permohonannya akan dikabulkan dan kesulitannya akan dihilangkan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Dan barang siapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.” (ath-Thalaq: 3)
- Apabila dahsyatnya petaka telah meliputi seorang hamba, dia harus berupaya keras untuk memerangi godaan setan yang membisikkan sikap putus asa dari rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Balasan atas upaya keras untuk menepis godaan setan ini adalah dilepaskannya ia dari malapetaka. Bentuk godaan setan tersebut di antaranya adalah agar seseorang meninggalkan berdoa bila tak kunjung dikabulkan.
Nabi Shallallahu `alaihi wa sallam bersabda:
يُسْتَجَابُ لِأَحَدِكُمْ مَا لَمْ يَعْجَلْ، يَقُولُ: دَعَوْتُ فَلَمْ يُسْتَجَبْ لِي
“Dikabulkan (doa) salah seorang kalian selagi tidak tergesa-gesa, (dengan) ia mengatakan, ‘Aku telah berdoa namun tidak kunjung dikabulkan’.” (HR. al-Bukhari dalam Kitab ad-Da’awat dan Muslim dalam adz-Dzikru wad Du’a)
- Apabila seorang mukmin melihat kesulitannya tidak kunjung selesai dan hampir berputus asa – setelah sering memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala – hal ini akan membuahkan sikap introspeksi diri. Dia menyadari bahwa doanya belum dijawab karena hatinya masih kotor. Perasaan seperti ini mendorongnya untuk bersimpuh hati secara total di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala serta mengakui bahwa permohonannya belum pantas dikabulkan. Dengan demikian, dia akan cepat dilepaskan dari malapetaka. (lihat kitab Nurul Iqtibas karya Ibnu Rajab Rahimahullah bersama al-Jami’ al-Muntakhab, hlm. 212—213)
Buah Kesabaran
Semua orang, baik mukmin maupun kafir, pasti mengalami cobaan hidup. Hanya saja, orang yang beriman berbeda dengan orang kafir dalam menyikapinya. Masa-masa sulit yang dialaminya dia hadapi dengan keteguhan hati, ridha terhadap ketentuan Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan berbaik sangka kepada-Nya. Adalah Nabi Ya’qub ‘alaihissalam diuji oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan terpisahnya ia dari anak yang sangat dicintainya, yaitu Nabi Yusuf ‘alaihissalam dan saudaranya. Berpuluh-puluh tahun Nabi Ya’qub ‘alaihissalam menahan penderitaan hidup. Akan tetapi, ia tidak pernah berputus asa. Dia berkata kepada anak-anaknya:
“Pergilah kalian, carilah berita tentang Yusuf dan saudaranya dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah.” (Yusuf: 87)
Beliau juga berkata dengan penuh harapan:
“Mudah-mudahan Allah mendatangkan mereka semuanya kepadaku.” (Yusuf: 83)
Allah Subhanahu wa Ta’ala mewujudkan harapan Ya’qub ‘alaihissalam. Allah Subhanahu wa Ta’ala pun mempertemukan bapak dan anak yang saling merindukan ini.
Kisah orang-orang yang dilepaskan dari penderitaan hidup, baik umat terdahulu maupun di umat ini, telah banyak dibukukan. Di antaranya kitab al-Faraju Ba’da asy-Syiddah dan Mujabid Da’wah karya al-Imam Ibnu Abid Dunya t. Demikian pula kitab-kitab yang menyebutkan tentang karamah para wali yang ditulis oleh ulama Ahlus Sunnah dan kitab-kitab sejarah.
Hal ini membuktikan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala mendengarkan rintihan hamba-Nya serta melepaskan penderitaan orang yang hanya bergantung kepada-Nya.
Wallahu a’lam bish-shawab.
Sumber: Majalah Asy Syariah