KEHATI-HATIAN PARA SALAF DALAM MEMBERI FATWA
Abdurrahman bin Abi Laila berkata,
أَدْرَكْتُ فِي هَذَا المَسْجِدِ مِئَةً وَعِشْرِينَ مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللهِ صلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، مَا أَحَدٌ يُسْأَلُ عَنْ حَدِيثٍ أَوْ فَتْوَى إِلاَّ وَدَّ أنَّ أَخَاهُ كَفَاهُ ذَلِكَ، ثُمَّ قَدْ آلَ الأَمْرُ إِلَى إِقْدَامِ أَقْوَامٍ يَدَّعُونَ العِلْمَ اليَوْمَ، يُقْدِمُونَ عَلَى الجَوَابِ فِي مَسَائلَ لَوْ عَرَضَتْ لِعُمَرَ بْنِ الخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ لََجَمَعَ أَهْلَ بَدْرٍ وَاسْتَشَارَهُمْ
Di masjid ini, aku menjumpai 120 sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
Tidak ada seorang pun dari mereka ketika diminta menyampaikan hadits atau berfatwa, kecuali mereka berharap sudah cukup diwakili oleh sahabat yang lain.
Kemudian, seiring berjalannya waktu, keadaan sekarang berubah. Tampil orang-orang yang mengaku memiliki ilmu.
Mereka dengan lancang melontarkan jawaban-jawaban permasalahan, yang seandainya ditanyakan kepada Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu, niscaya beliau akan mengumpulkan dan bermusyawarah dengan para sahabat yang ikut Perang Badar.
Syarhus Sunnah, karya Al-Baghawi, 1/305